PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Rongga mulut merupakan tempat yang dihuni oleh berbagai mikroflora, baik itu bakteri, virus,
mikoplasma maupun jamur. Mikroflora-mikroflora tersebut bersifat oppurtunistik, yaitu flora
normal yang tidak bersifat pathogen pada sel atau jaringan di rongga mulut selama system
pertahanan tubuh seseorang masih normal.
Namun rongga mulut juga merupakan tempat atau jalan masuk bagi mikroorganismemikroorganisme dari lingkungan luar baik itu mikroorganisme non-patogen maupun
mikroorganisme pathogen. Karena merupakan tempat masuk tersebut maka rongga mulut rentan
sekali terinfeksi oleh mikroorganisme-mikroorganisme tersebut, baik infeksi langsung pada jaringan
rongga mulut maupun infeksi di jaringan lain namun dapat bermanifestasi di rongga mulut
diantaranya yaitu penyakit yang umumnya terjadi di genital namun dapat bermanifestasi di oral.
Untuk itu perlu diketahui bagaimana etiologi suatu penyakit, patogenesis suatu mikroorganisme
agar kita dapat mencegah dan mencegah dan mengobati penyakit yang disebabkan oleh
mikroorganisme.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang masalah yang telah disebutkan di atas, maka didapatkan rumusan masalah
sebagai berikut :
1. Apa saja macam-macam penyakit di rongga mulut?
2. Bagaimana mekanisme ulserasi yang didahului dengan vesikel maupun tidak?
3. Mengapa pada bayi yang baru lahir mudah terinfeksi?
4. Bagaimana hubungan antara vesikel yang ada pada genital dapat bermanifestasi pada rongga
mulut?
1.3 TUJUAN
Dari latar belakang masalah dan rumusan masalah maka didapatkan tujuan penulisan laporan ini,
yaitu :
1. Mampu memahami dan menjelaskan macam-macam penyakit di rongga mulut secara etiologi,
histologi, patologi, dan anatomi serta gambaran klinisnya.
2. Mampu memahami dan menjelaskan mekanisme ulserasi baik yang didahului dengan vesikel
maupun tidak
3. Mampu memahami dan menjelaskan penyebab bayi yang baru lahir mudah terinfeksi
4. Mampu memahami dan menjelaskan hubungan antara vesikel yang ada pada genital dapat
Pada banyak bakteri yang menyebabkan penyakit, serbuan pada sel epitel inang sangat penting bagi
proses infeksi. Beberapa bakteri menyerbu jaringan melalui sambungan antara sel epitel. Bakteri
lain menyerbu jenis khusus epitel inang dan sesudah itu memasuki jaringan. Begitu berada dalam
sel inang, bakteri dapat bersembunyi dalam suatu vakuola yang terdiri atas selaput inang, atau
selaput vakuola yang dapat dilarutkan dan bakteri disebarkan dalam sitoplasma. (Brooks,1996)
o Toksisitas
Toksin yang dihasilkan oleh bakteri yaitu berupa eksotoksin dan endotoksin. Selain itu bakteri juga
mengeluarkan enzim yang membantu sifat toksisitasnya. (Brooks,1996)
Macam- macam Infeksi karena Bakteri, antara lain :
Syphilis
Gonorrhea
Tuberculosis
Leprosy
Actinomycosis
Noma
2.4 Infeksi VirusMacam-macam Infeksi karena Virus
Virus Herpes Vericela Zooster
Virus Herpes Simplex Zooster
Virus Ebstein Bar
Virus Coxsackie
Virus Papova
Virus Citonegalo
BAB 3. PEMBAHASAN
3
3.1 Sifilis
3.1.1 Definisi
Penyakit Sifilis adalah penyakit menular seksual yang disebabkan oleh Bakteri Spiroseta,
Treponema Pallidum dengan perjalanan penyakit yang kronis karena adanya remisi dan eksaserbasi.
Dapat menyerang semua organ organ dalm tubuh terutama sistem kardiovaskular, otak dan susunan
saraf serta dapat menyebabkan kelainan konginental pada bayi. Nama lain dari sifilis, yaitu Mal de
Naples, Morbus Gillicus, Raja Singa.
Gambaran virus penyebab sifilis
3.1.2 Etiologi
Etiologi dari Penyakit Sifilis, antara lain:
- Hubungan seksual yang bebas (Genitogenital, Orogenital maupun Anogenital).
- Sering berganti pasangan.
- Kurangnya kebersihan diri .
- Menggunakan alat-alat yang telah di pakai penderita tanpa di desinfektan atau di sterilisasi terlebih
dahulu, misalnya jarum suntik.
- Virulensi kuman yang tinggi.
- Kontak langsung dengan lesi yang mengandung Bakteri Treponema Pallidum.
3.1.3 Patofisiologi
Bakteri Treponema masuk ke dalam tubuh manusia melalui selaput lendir (misalnya di vagina atau
mulut) atau melalui kulit. Dalam beberapa jam, bakteri akan sampai ke kelenjar getah bening
terdekat, kemudian menyebar ke seluruh tubuh melalui aliran darah. Umumnya 10 - 90 hari atau 3 4 minggu setelah terjadi infeksi ditempat Bakteri Trepoma Pallidum timbul lesi primer yang
bertahan 1 - 5 minggu dan kemudian hilang sendiri. Kurang lebih 6 minggu (2 - 6 minggu) setelah
lesi primer terdapat kelainan kulit dan selaput lendir.
3.1.4 Manifestasi Klinis
Secara umum manifestasi klinis dari Penyakit Sifilis, yaitu:
- Keluarnya cairan dari vagina, penis, atau dubur yang berbeda dari biasanya. Dapat berwana putih
susu, kekuningan, kehijauan, atau disertai berak darah dan bau yang tidak enak.
- Perih, nyeri, atau panas saat BAK atau setelah BAK atau menjadi sering BAK.
- Adanya luka terbuka (luka basah disekitar alat kemaluan atau mulut). Dapat terasa nyeri atau
tidak.
- Tumbuh sesuatu seperti jengger ayam atau kutil di sekitar kemaluan.
- Pada pria, skrotum menjadi bengkak dan nyeri.
- Sakit perut bagian bawah, terkadang timbul, terkadang hilang.
- Secara umum merasa enak badan atau demam.
Manifestasi klinis dari Penyakit Sifilis secara khusus, antara lain:
a. Sifilis Stadium I
Terjadi efek primer berupa papul, tidak nyeri (indolen). Sekitar 3 minggu kemudian terjadi
penjalaran ke kelenjar inguinal medial.Timbul lesi pada alat kelamin, ekstragenital seperti bibir,
lidah, tonsil, puting susu, jari dan anus, misalnya pada penularan ekstrakoital.
3.2.2 Etiologi
Etiologi dari penyakit gonore ini adalah akibat adanya hubungan seksual. Penyakit ini dapat
bermanifestasi di rongga mulut karena adanya kontak orogeital. Penyakit ini banyak ditemukan
pada orang dewasa terutama pria homoseksual.
3.2.3 Patofisiologi
Lesi biasanya menunjukkan infeksi primer dan terjadi karena adanya kontak orogenital. Periode
inkubasi pendek, yaitu dalam waktu kurang dari 7 hari.
3.2.4 Gambaran klinis
Pasien biasanya mengeluh tentang rasa sakit pada mukosa mulut diiringi dengan halitosis serta
limfadenopati. Pemeriksaan klinis mennunjukkan adanya tanda-tanda yang bervariasi diantaranya
edema, eritema, ulserasi dan pseudomembran, terutama di daerah tonsil dan faring.
Gambaran klinis dari gonorrhoea yang bermanifestasi di rongga mulut
terutama infeksi di daerah faring
3.3 Actynomicosis
3.3.1 Etiologi
Etiologi; Actinomyces israelii normal di rm pada individu yang sehat
Habitat; tonsil, krevikuler gingiva, lesi karies, sal akar gigi nonvital.
Infeksi biasanya tidak ditularkan dari satu individu ke individu yang lain
Infeksi biasanya terjadi setelah trauma, pembedahan atau infeksi sebelumnya.
Faktor predisposisi: Ekstraksi gigi, bedah gingiva dan infeksi rongga mulut
3.3.2 Gambaran klinis
Lokasi infeksi; thorax, abdomen, kepala dan leher biasanya didahului trauma
Kepala dan leher disebut cervicofasial actinomycosis.
Khas; terdapat pembesaran mandibula yang distimulasi infeksi pyogenik
Lesi; indurasi dan membentuk satu atau lebih sinus drainase
Lesi kulit; indurasi dan konsistensi keras
Maxila jarang terlibat osteomyelitis
Pus drainase dr lesi kronis mengandung granul kecil berwarna kuning disebut sulfur granule
3.4 Tuberkulosis
3.4.1 Definisi
Dahulu, infeksi sekunder mukosa mulut yang disebabkan oleh Myobacterium tuberculosis yang
terdapat dalam dahak penderita tuberkulosis pulmoler aktif merupakan hal yang biasa dan umum.
Tapi tuberkulosis oral dewasa ini sudah jarang terjadi di Eropa dan Amerika Utara, walaupun ada
kenaikan insiden penderita AIDS. Lesi intraoral biasanya terbentuk pada permukaan dorsal lidah
tetapi dapat juga terjadi pada tempat lain.
predisposisi ini berperan dalam meningkatkan pertumbuhan Candida albicans serta memudahkan
invasi jamur ke dalam jaringan tubuh manusia karena adanya perubahan dalam sistem pertahanan
tubuh. Blastospora berkembang menjadi hifa semu dan tekanan dari hifa semu tersebut merusak
jaringan, sehingga invasi ke dalam jaringan dapat terjadi. Virulensiditentukan oleh kemampuan
jamur tersebut merusak jaringan serta invasi ke dalam jaringan.Enzim-enzim yang berperan sebagai
faktor virulensi adalah enzim-enzim hidrolitik seperti proteinase, lipase dan fosfolipase.
3.5.3 Patologi
Infeksi Candida Albican biasanya terdapat di permukaanatau bersifat superficial. Dimana infeksi
akut hanya mengakibatkan respon peradangan ringan walaupun terdapat sejumlah besar polymorph
(mikro-abses) di sekitar organism. Pada infeksi kronis, terjadi hyperplasia epidermis yang hebat
dengan hyperkeratosis, akantosis, dan infiltrate sel sel peradangan kronis.
3.5.4 Gambaran klinis
Manifestasi klinis Kandidiasis dapat dibedakan menjadi 3 yaitu :
1. Akut
a. Kandidiasis Pseudomembranous Akut
Kandidiasis ini biasanya disebut juga sebagai thrush. Secara klinis, pseudomembranosus kandidiasis
terlihat sebagai plak mukosa yang putih atau kuning, difus, bergumpal/seperti beludru, tebal serta
dapat dihilangkan dan meninggalkan permukaan yang berwarna merah, kasar/ berdarah.
Kandidiasis ini terdiri atas sel epitel deskuamasi, fibrin, dan hifa jamur dan umumnya dijumpai
pada mukosa labial, mukosa bukal, palatum keras, palatum lunak, lidah, jaringan periodontal dan
orofaring.2,3 Thrush dijumpai sebesar 5% pada bayi bayu lahir dan 10% pada orang tua yang
kondisi tubuhnya lemah.
Keberadaan kandidiasis pseudomembranosus ini sering dihubungkan dengan penggunaan
kortikosteroid, antibiotik, xerostomia, dan pada pasien dengan sistem imun rendah seperti
HIV/AIDS. Diagnosa banding dari kandidiasis pseudomembranosus ini meliputi flek dari susu dan
debris makanan yang tertinggal menempel pada mukosa mulut, khususnya pada bayi yang masih
menyusui atau pada pasien lanjut usia dengan kondisi tubuh yang lemah akibat penyakit.
b. Kandidiasis Atrofik Akut
Tipe kandidiasis ini kadang dinamakan sebagai antibiotic sore tongue atau juga kandidiasis
eritematus yang merupakan tdrush tanpa pseudomembran dan biasanya dijumpai pada mukosa
bukal, palatum, dan bagian dorsal lidah dengan permukaan tampak sebagai bercak kemerahan dan
ada rasa sakit seperti terbakar. Penggunaan antibiotik spektrum luas terutama tetrasiklin maupun
kortikosteroid sering dikaitkan dengan timbulnya kandidiasis atrofik akut.
2. Chonic:
a. Chronic atrophic candidiasis (denture stomatitis).
Bentuk umum dari oral candidiasis; infeksi candida yang berhubungan dengan denture.
Treatment diarahkan pada mukosa dan denture.
Klinis : mukosa dibawah denture erythematous dengan garis batas yang jelas.
Daerah kemerahan tetap selama pakai denture
b. Chronic hyperplastic candidiasis mirip leukoplakia
Klinis: Plaque keratotik putih atau plaque leukoplakia yang dengan karakteristik adanya invasi
Candida pada oral epithelium dengan ditandai atypia.
Plague sukar dikerok batas tidak tentu, halus
Berpotensi ke arah premalignant Candida Leukoplakia
Dx: sukar bila hanya dengan klinis
HPA : parakeratosis, acantosis, pseudoepisheliomatous, Hyperplasi microabses, sel radang
khonis>>
Perlu pengecatan khusus tampak mycelia bentuk sangat chronic monilia : leukoplakia
3.5.5 Histopatologi
3.5.5.1 Acute candidiasis;
hifa jamur penetrasi pada lapisan atas epitel
infiltrasi neutrofilik pada epitel dengan membentuk microabces superfisial
Pseudohifa
3.5.5.2 Chronic candidiasis
Ephitel hyperplasia
Organisme jarang
Chronic candidiasis leukoplakia (blm jelas status precancer nya)
3.6 Herpes zooster
3.6.1 Definisi
Herpes zoster adalah radang kulit akut dan setempat, terutama terjadi pada orang tua yang khas
ditandai adanya nyeri radikuler unilateral serta timbulnya lesi vesikuler yang terbatas pada
dermatom yang dipersarafi serabut saraf spinal maupun ganglion serabut saraf sensorik dari nervus
kranialis. Infeksi ini merupakan reaktivasi virus varisela zoster dari infeksi endogen yang telah
menetap dalam bentuk laten setelah infeksi primer oleh virus.
3.6.2 Epidemiologi
Herpes zoster dapat muncul disepanjang tahun karena tidak dipengaruhi oleh musim dan tersebar
merata di seluruh dunia, tidak ada perbedaan angka kesakitan antara laki-laki dan perempuan, angka
kesakitan meningkat dengan peningkatan usia. Di negara maju seperti Amerika, penyakit ini
dilaporkan sekitar 6% setahun, di Inggris 0,34% setahun sedangkan di Indonesia lebih kurang 1%
setahun. Herpes zoster terjadi pada orang yang pernah menderita varisela sebelumnya karena
varisela dan herpes zoster disebabkan oleh virus yang sama yaitu virus varisela zoster. Setelah
sembuh dari varisela, virus yang ada di ganglion sensoris tetap hidup dalam keadaan tidak aktif dan
aktif kembali jika daya tahan tubuh menurun. Lebih dari 2/3 usia di atas 50 tahun dan kurang dari
10% usia di bawah 20 tahun. Kurnia Djaya pernah melaporkan kasus hepes zoster pada bayi usia 11
bulan.
3.6.3 Etiologi
Herpes zoster disebabkan oleh infeksi virus varisela zoster (VVZ) dan tergolong virus berinti DNA,
virus ini berukuran 140-200 nm, yang termasuk subfamili alfa herpes viridae. Berdasarkan sifat
biologisnya seperti siklus replikasi, penjamu, sifat sitotoksik dan sel tempat hidup laten
diklasifikasikan kedalam 3 subfamili yaitu alfa, beta dan gamma. VVZ dalam subfamili alfa
mempunyai sifat khas menyebabkan infeksi primer pada sel epitel yang menimbulkan lesi vaskuler.
Selanjutnya setelah infeksi primer, infeksi oleh virus herpes alfa biasanya menetap dalam bentuk
laten didalam neuron dari ganglion. Virus yang laten ini pada saatnya akan menimbulkan
kekambuhan secara periodik. Secara in vitro virus herpes alfa mempunyai jajaran penjamu yang
relatif luas dengan siklus pertumbuhan yang pendek serta mempunyai enzim yang penting untuk
replikasi meliputi virus spesifik DNA polimerase dan virus spesifik deoxypiridine (thymidine)
kinase yang disintesis di dalam sel yang terinfeksi
3.6.4 Patogenesis
Infeksi primer dari VVZ ini pertama kali terjadi di daerah nasofaring. Disini virus mengadakan
replikasi dan dilepas ke darah sehingga terjadi viremia permulaan yang sifatnya terbatas dan
asimptomatik. Keadaan ini diikuti masuknya virus ke dalam Reticulo Endothelial System (RES)
yang kemudian mengadakan replikasi kedua yang sifat viremia nya lebih luas dan simptomatik
dengan penyebaran virus ke kulit dan mukosa. Sebagian virus juga menjalar melalui serat-serat
sensoris ke satu atau lebih ganglion sensoris dan berdiam diri atau laten didalam neuron. Selama
antibodi yang beredar didalam darah masih tinggi, reaktivasi dari virus yang laten ini dapat
dinetralisir, tetapi pada saat tertentu dimana antibodi tersebut turun dibawah titik kritis maka
terjadilah reaktivasi dari virus sehingga terjadi herpes zoster.
yang menerima serabut saraf fasialis (N.VII), ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.3
Herpes zoster fasialis dekstra.
posterior, serta pembesaran kelenjar getah bening submandibula dan servikal. Lesi ekstraoral sama
dengan lesi intraoral tetapi ditutupi krusta kekuningan dan terletak di daerah merah bibir dan sirkum
oral. Pada sebagian besar penderita, infeksi ulangan dari herpes simpleks labialis mungkin hanya
menimbulkan sedikit gangguan nyeri, tetapi hal ini bisa berakibat fatal pada:
- penderita kelainan sistem kekebalan (misalnya AIDS)
- penderita yang menjalani kemoterapi
- penderita yang menjalani terapi penyinaran
- penderita yang menjalani pencangkokan sumsum tulang.
3.7.2 Etiologi
Ada dua jenis yaitu virus herpes simpleks tipe 1 (HSV-1) dan tipe 2 (HSV-2). Keduanya berkaitan
erat tetapi berbeda dalam gambaran epidemiologinya. HSV-1 dikaitkan dengan penyakit orofacial,
sedangkan HSV-2 dikaitkan dengan penyakit genital, namun lokasi lesi tidak selalu menunjukkan
virus type.1 Sekitar 80% dari infeksi herpes simpleks tidak menunjukkan gejala. Gejala infeksi
dapat dicirikan dengan rekurensi yang sering terjadi dimana pada host yang immunocompromised,
infeksi dapat menyebabkan komplikasi yang mengancam jiwa. Faktor predisposisi yang dapat
mengaktifkan virus laten adalah demam, stres, trauma lokal pada ganglion saraf, alergi, defisiensi
nutrisi, dan kelelahan fisik.
3.7.3 Mekanisme
Awalnya nyeri, kadang-kadang terpusat, vesikel pada dasar eritematous kemudian muncul, diikuti
dengan adanya pustul dan ulserasi. vesikel-vesikel berdinding tipis dengan dasar inflamasi dan bila
pecah akan menjadi ulkus terutama di mukosa berkeratin tebal, Beberapa vesikel berkelompok dan
tersebar. Terbentuk krusta dan gejala resolusi muncul dalam waktu 2 sampai 6 minggu.
Gambaran sel Herpes simpleks : Sel Raksasa Berinti Banyak.
3.8 Herpes simpleks rekuren
Banyaknya bukti bukti member kesan bahwa heres rekuren bukan merupakan suatu reinfeksi akan
tetapi suatu reaktivasi virus yang tetap laten dalam jaringan saraf diantara masamasa dimana ia
berada dalam keadaan tidak beraplikasi.virus menyebar mengikuti lintasan pada trunkus saraf untu
menginfeksi sel-sel epitel dan menyebar dari sel ke sel srta menimbulkan lesi.
Semua pasien yang mengalami herpes primer tidak akan menggalami herpes rekuren. Gejalanya:
lesinya didahului oleh periode prodormal dengan gejala seperti terbakar dan perih disertai dengan
adnya edema pada lesi tersebut. Lalu disusul dengan timbulnya vesikel-vesikel kecil yg bergrombol
dan vesikelnya dapat pecah dan timbul suatu ulser. vesikel ini khas berkelompok pada suatu bagian
yang kecil dari mukosa yang berkeratinasi tebal dari gingival palatum dan alveolar ridge.
3.9 Traumatic ulser
3.9.1 Etiologi
Penyebab traumatic dari ulserasi mulut bias berupa trauma fisik, trauma kimiawi, dan trauma
thermis. Kerusakan fisik pada mukosa mulut dapat disebabkan oleh permukaan tajam, sepererti
cengkraman atau tepi-tepi protesa, peralatan ortodontik, kebiasaan menggigit pipi, atau gigi yang
fraktur. Suntikan gigi juga dianggap berkaitan dengan ulserasi traumatic yang dapat dijumpai pada
bibir bawah pada anak anak yang menggigit bibirnya setelah perawatan gigi selesai dilakukan.
Sebagai tambahan dari cedera gigi tiruan, anak kecil dan bayi rentan terhadap ulkus traumatikus
palatum lunak akibat dari menghisap ibu jari, yang disebut apthae bednar. Ulserasi oral yang timbul
karena tergigit sewaktu kejang sangat dikenal pada penderita epileptik yang tak terkontrol.
Walaupun jarang ulserasi mulut dapat timbul dengan sendirinya (stomatitisartefakta), sama halnya
dengan lesi kulit pada dermatitis artefakta. Iritasi kimiawi pada mukosa mulut dapat menimbulkan
ulserasi. Penyebab umum dari ulserasi jenis ini adalah tablet aspirin atau krm sikat gigi yang
diletakkan pada gigi-gigi yang sakit atau di bwah protesa yang tidak nyaman. Sedangkan trauma
thermis dapat berupa panas atau dingin (Miler,1998)
3.9.2 Patogenesis
Trauma mekanis dapat terjadi karena cengkeram atau tepi-tepi protesa gigi mengenai jaringan lunak
rongga mulut. Trauma kimia dapat terjadi karena bahan-bahan kimia yang digunakan dalam rongga
mulut dapat berakibat pada penurunan jumlah, sifat dan fungsi dari sel makrofag, sehingga sel pada
rongga mulut tidak peka terhadap perubahan, selain itu penggunaan aspirin dapat menurunkan
sintesis prostaglandin sehingga ketahanan mukosa juaga akan turun karena prostaglandin
merupakan barier pertahanan dalam mukosa rongga mulut (Sadikin, 1987, Rusyanti, 1991:39).
3.9.3 Manifestasi klinis
Ulser dengan permukaan yang dikelilingi oleh garis berupa erythematous mucous. Permukaan
dibungkus oleh pseudomembran berwarna kuning. Traumatic ulser yang lebih besar akan menjadi
traumatic ulcerated granulomas. Terdapat pada lidah, bibir, mucosa bukal, palatum durum, gingival
dan vestibulum mucosa. Setelah pengaruh traumatic hilang, ulkus akan sembuh dalam waktu 2
minggu, jika tidak maka penyebab lain harus dicurigai dan dilakukan biopsy. (Miller, 1998)
Ulser ini dibedakan menjadi:
a. Ulser reaktif akut
sehingga dapat membentuk kekebalan untuk infeksi yang sama yang akan menyerang untuk kedua
kalinya.
3.11 Hubungan infeksi pada rongga mulut dan genital
Infeksi di rongga mulut dapat menyebabkan infeksi selain infeksi local di dalam mulut juga dapat
menyebar ke daerah kepala dan leher secara sistemik yaitu melalui pembuluh darah keseluruh
tubuh. Hal inilah yang menyebabkan infeksi di organ lain. Selain itu, penyebaran infeksi di oral bisa
ke genital kebanyakan diakibatkan kontak langsung antara oral dengan genital pada hubungan seks.
Selain hubungan seks, manifestasi ini juga dapat melalui neonatus yang baru lahir yang berkontak
langsung dengan genital dari ibunya, terutama jika ibunya sedang menderita penyakit yang dapat
bermanifestasi pada rongga mulut. Ada beberapa sindrom yang berkatan dengan manifestasi
penyakit genital pada rongga mulut yaitu:
Sindroma Fellatio
o Cedera oral akibat fellatio diduga disebabkan oleh kombinasi dari tekanan negatif intraoral dan
dampak langsung dari penis pada daerah palatum.
o Lesi patologis yang terjadi biasanya berupa :
1. Perdarahan submukosa, dengan temuan klinis meliputi eritema, petekie, atau ekimosis pada
sambungan antara palatum durum dan mole
2. Lesi dapat unilateral atau bilateral, dapat terpisah atau membentuk gabungan, dan biasanya tidak
melibatkan uvula atau dinding faring
3. Lesi yang timbul tersebut biasanya tidak nyeri dan rata (datar)
o Diagnosis banding meliputi trauma tumpul dari sumber lain, barotrauma lokal saat batuk, bersin,
atau muntah, infeksi virus pada saluran nafas atas, mononukleosis, tumor nasofaring, peningkatan
kerapuhan kapiler, dasn diskrasia darah. Diagnosis ditegakkan dari anamnesis/riwayat medis,
pemeriksanan dan observasi dari ekspektan
o Lesi biasanya menyembuh secara spontan dalam 7 hingga 10 hari namun dapat kambuh lagi
setelah melakukan fellatio lagi.
Sindroma Cunnilingus
o Saat melakukan cunnilingus, lidah terjulur jauh ke luar, dan bergerak-gerak, secara tidak disadari
akan menggesek frenulum lingual pada gigi insisivus mandibular.
o Temuan klinis menunjukkan :
1. Lesi ulseratif kecil dengan eksudat fibrin berwarna keputihan dengan tepi eritem pada bagian
tengah dari frenulum lingual.
2. Pada aktivitas berulang menyebabkan fibroma traumatik kecil.
3. Gejala meliputi nyeri pada lidah dan tenggorokan.
o Diagnosis banding meliputi ulkus infeksius, tumor, dan truma lokal karena sebab lain seperti
akibat makanan yang keras, sikat gigi, luka saat pemasangan gigi palsu (protesa dental) atau
pemeriksaan ENT. Diagnosis ditegakkan dari anamnesis/riwayat medis, pemeriksanan dan
observasi dari ekspektan.
o Lesi biasanya menyembuh secara spontan dalam 7 hingga 10 hari. Pengobatan terbatas pada
anestetikum lokal dan pada kasus berulang, dapat dilakukan penghalusan ujung insisivus
mandibular. Hal yang sama juga terjadi pada aktivitas analingus.
Sindroma Insuflasi Vagina
o Aktifitas meniupkan udara ke dalam vagina.
o Komplikasi yang dapat terjadi dapat berupa : pneumoperitonium bergejala atau tidak bergejala
pada wanita tidak hamil, dan pada wanita hamil dapat terjadi embolisasi paru yang seringkali fatal
dan masif.
o Pneumoperitonium dapat disebabkan oleh banyak kondisi selain akibat perforasi viskus. Sebab
lain adalah saat operasi pada area kepala, leher, dada, perut atau panggul), peritonitis oleh kuman
pembentuk gas, pneumomediastinum, cystoides pneumatosis intestinalis, dan penyebab dari saluran
kandungan di mana gas memasuki peritonium melalui vagina dan tubafalopii. Penyebab dari
ginekology juga meliputi piosalfingitis oleh kuman pembentuk gas, pemeriksaan radiologi dengan
menggunakan gas kontras, douching dengan tekanan tinggi atau dengan bahan efferfescent,
pemeriksaan pelvis sederhana, dan insuflasi orogenital.
o Pada pasien tidak hamil, insuflasi orogenital dapat menyebabkan pneumoperitoneum asimtomatis
sampai simtomatis sedang. Pasien simtomatis biasanya mengeluh nyeri perut bawah yang
mendadak atau nyeri yang menyeluruh pada perut, yang menjalar ke bahu saat pasien dalam
keadaan tegak. Pemeriksaan abdomen tidak menunjukkan secara khas adanya kelainan, dan hanya
minimal jika ada ketegangan abdomen, dan pasien tidak terlihat sakit akut. Pemeriksaan radiologis
memberikan adanya gambaran udara bebas di bawah diafragma. Tindakan laparotomi eksplotrasi
dapat dihindari jika memang terdapat riwayat aktivitas seks tersebut, gejala ringan, temuan fisik
minimal, dan observasi serial menunjukkan perbaikan gejala dalam 24 jam berikutnya.
o Pada pasien hamil, insuflasi orogenital berdampak tragis. Selama tahun 1935-1985 terdapat 15
kasus embolisasi udara pada vena yang masif akibat insuflasi vagina pada trimester II dan III.
Kematian fetus telah terjadi pada 93 % dari, daan 83 % terjadi kematian ibu pada kasus tersebut.
Selama kehamilan vagina menjadi jauh lebih luas dan dapat mengatasi sekitar 1-2 liter udara
bertekanan. Udara ini dapat melelui serviks, memasuki rongga antara membran amnion dan dinding
rahim, masuk ke pembuluh-pembuluh vena uterina, ikut aliran darah ke jantung kanan dan
memasuki peredaran darah paru ( menurunkan curah jantung sementara), menyebabkan embolisasi
paradoksal ke sirkulasi arterial (menyebabkan oklusi arteri serebral), dan merangsang faktor
DAFTAR PUSTAKA
Lewis, MAO. 1998. Tinjauan Klinis Penyakit Mulut. Jakarta:Widya Medika
Willian Lawder. 1992. Buku Pintar Patologi untuk Kedokteran Gigi. Jakarta:EGC
Diposkan oleh sachi di 02.39
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest