Anda di halaman 1dari 21

BLOK XIII : UROGENITAL

LAPORAN KASUS KUNJUNGAN LAPANGAN

Gagal Ginjal Kronik

DISUSUN OLEH :
A.A.A. Lie Lhianna. M.P.

(H1A013001)

Aditya Agung P.

(H1A013002)

Ahia Zakira Rosmala

(H1A013003)

Ahmad Haviz

(H1A013004)

Fakultas Kedokteran Universitas Mataram


Nusa Tenggara Barat
2015

BAB 1
PENDAHULUAN

Penyakit Ginjal Kronik atau Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu
patofisiologis dengan etiologi yang beragam, kemudian dapat mengakibatkan penurunan
fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Penyakit
Ginjal Kronik ini mempengaruhi 10-15% populasi orang dewasa di negara-negara barat. Hal
ini diakui sebagai kondisi umum yang berkaitan dengan peningkatan risiko penyakit
kardiovaskular dan kematian.
Uremia adalah suatu sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua oran,
akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik. . Perawatan medis pada pasien
dengan penyakit ginjal kronik (CKD) harus berfokus pada pengendalian gangguan yang
mendasari, memperlambat perkembangan penyakit, dan mengobati komplikasi dari penyakit.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2

A.

Definisi
Penyakit Ginjal Kronik diartikan sebagai adanya kelainan structural atau fungsional pada
ginjal yang berlangsung minimal 3 bulan, dapat berupa :
1. Kelainan structural yang dapat dideteksi melalui pemeriksaan laboratorium (albuminuria,
sedimen urin, kelainan elektrolit akibat ginjal), pemeriksaan histology, pencitraan, atau
riwayat transplantasi ginjal (Sudoyo, et.al., 2009)
2. Gangguan fungsi ginjal dengan laju filtrasi glomerulus (LFG) <60 mL/menit/1,73 m 2
(Kidney, et al., 2014).
Klasifikasi CKD dapat dilihat pada gambar sebagai berikut :

B. Epidemiologi
Penyakit ginjal kronik merupakan penyakit yang sering ditemui pada praktik klinik seharisehari. Perhimpunan Nefrologi Indonesia melaporkan bahwa sebanyak 12,5% populasi di
Indonesia mengalami penurunan fungsi ginjal. Penyakit ginjal kronis jauh lebih banyak di seluruh
dunia dari yang di perkiraan sebelumnya. Dimana ini mempengaruhi 10 - 15 % dari populasi
orang dewasa di negara-negara barat, banyak dari mereka memerlukan perawatan yang mahal
atau terapi pengganti ginjal (transplantasi) (Suhardjono, 2010). Di negara-negara berkembang
lainnya, insidens penyakit ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus/juta penduduk/tahun (Sudoyo,
et.al., 2009).

Faktor resiko yang dapat memperberat perjalanan penyakit ini dikenal sebagai faktor
progesivitas PGK, yang tertera pada tabel dibawah ini :

TIDAK DAPAT DIMODIFIKASI

DAPAT DIMODIFIKASI

Usia (usia tua)

Hipertensi

Jenis kelamin (laki-laki lebih cepat)

Proteinuria

Ras (ras Afrika-Amerika lebih cepat)

Albuminuria

Genetik

Glikemia

Hilangnya massa ginjal

Obesitas
Dislipidemia

C.

Merokok
Kadar asam urat
Etiologi
Penyakit ginjal kronik disebabkan oleh bermacam-macam hal, seperti :
1. Glomerulonefritis, akibat infeksi (endokarditis bacterial, hepatitis C, hepatitis B, HIV)
2.
3.
4.
5.
6.

atau yangbersifat kronis


Diabetes mellitus yang menyebabkan nefropati diabetik
Hipertensi
Uropati obstruktif (batu saluran kemih, tumor, dan lain-lain)
Lupus eritematosus sistemik (SLE), amiloidosis, penyakit ginjal polisiklik
Penggunaan obat-obatan (obat anti-inflamasi non steroid, antibiiotik, sikolosporin,
takrolimus).
Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Penetri) tahun 2000 mencatat penyebab gagal

ginjal yang menjalani hemodialis, antara lain : 1) glomerulonefritis sebanyak 46,39%, 2)


diabetes mellitus sebanyak 18,65%, 3) obstruksi dan infeksi sebanyak 12,85%, 4) hipertensi
sebanyak 8,46%, 5) sebab lain yakni sebanyak 13,65% (Suhardjono, 2010).

D. Patofisiologi
Penyakit ginjal kronik terjadi oleh karena terjadinya gangguan atau adanya kerusakan
pada ginjal, terutama komponen filtrasi ginjal, seperti membran basal glomerulus, sel
endotel, dan sel podosit. Kerusakan komponen ini disebabkan oleh mekanisme progrresif
yang berlangsung dalam jangka panjang.
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya. Pengurangan massa pada ginjal mengakibatkan hipertrofi structural dan
fungsional nefron yang masih tersisa sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai olh
4

molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factor sehingga nantinya akan mengakibatkan
hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus.
Proses adaptasi ini berlangsung singkat dan kemudian diikuti oleh proses maladaptasi berupa
sklerosis nefron yang masih tersisa. Pada akhirnya akan terjadi penurunan fungsi nefron yang
progresif, walaupun penyakit dasar sudah tidak aktif.
Adanya peningkatan aktivitas aksis renin angiotensin-aldosteron intrarenal juga
berperan terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut. Aktifasi
jangka panjang aksis renin angiotensin-aldosteron intrarenal, sebagian diperantai oleh growth
factor, seperti transforming growth factor (TGF-). Albuminuria, hipertensi, hiperglikemia,
dislipidemia juga diduga memilki peranan terkait progesifitas penyakit ginjal kronik.
Pada stadium dini, terjadi kehilangan daya cadang ginjal, pada keadaan dimana LFG
masih normal atau justru meningkat. Kemudian, secara perlahan akan terjadi penurunan
fungsi nefron yang progresif yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin
serum (Sudoyo, et.al., 2009).
Mekanisme Kerusakan Glomerulus
Penyakit herediter seperti Sindrom Alport sering menjadi penyebab
munculnya CKD. Sindrom Alport merupakan penyakit terkait kromosom X, dimana
terjadi mutasi di gen COL4A5 yang mengkode rantai 5 dari kolagen tipe IV di
kromosom X. Hal ini menyebabkan membran basalis glomerulus menjadi ireguler,
berpisah, atau menebal, yang dapat menyebabkan glomerulosklerosis.
Kompleks imun yang terbentuk dapat terdeposit di mesangium (seperti pada
nefropati IgA, purpura Henoch Schonlein, lupus nefritis kelas II, glomerulonefritis
postinfeksi), di subendotel (seperti pada lupus nefritis kelas III, glomerulonefritis
membranaproliferatif), di subepitel (seperti pada nefropati membranosa idiopatik,
lupus nefritis kelas V), atau di membran basalis glomerulus (seperti pada penyakit
anti-GBM).
Tempat terdepositnya kompleks imun menentukan respon dan manifestasi
klinis. Inflamasi pada glomerulus dapat mengalami resolusi dengan derajat fibrosis
yang bervariasi. Proses resolusi ini berjalan bila tidak terjadi produksi antibodi dan
tidak ada kompleks imun yang bersirkulasi. Selain itu, harus ada pembersihan sel
dan mediator inflamasi, normalisasi permeabilitas pembuluh darah, serta

pembersihan sel glomerulus yang proliferatif.


Hipertensi Sistemik
Tekanan darah yang sangat tinggi yang sampai ke glomerulus atau keadaan
hipertensi

glomerulus

menyebabkan

perubahan

lokal

pada

hemodinamika

glomerulus yang dapat menyebabkan cedera glomerulus. Sebenarnya, ginjal memilki


mekanisme autoregulasi untuk memproteksi ginjal dari hipertensi sistemik, namun
mekanisme tersebut akan menjadi tidak efektif jika terdapat tekanan darah yang
terlalu tinggi. Hipertensi kronik menyebabkan vasokonstriksi arteriol dan
5

nefrosklerosis yang akhirnya menyebabkan atrofi glomerulus dan tubuointerstisial.


Angiotensin II, EGF, PDGF, CSGF, TGF-, aktivasi kanal ion, dan respon gen
berhubungan dengan tekanan darah tinggi pada proliferasi myointimal dan sklerosis
dinding pembuluh darah.

Hipertensi Glomerulus
Hal ini merupakan mekanisme adaptif untuk memberi peringatan kepada
nefron terhadap peningkatan beban kerja akibat hilangnya sejumlah nefron, apapun
penyebabnya. Hipertensi intraglomerulus meningkatkan produksi matriks dan
memicu glomerulosklerosis karena akumulasi matriks ekstraseluler. Proses ini
dimediasi terutama oleh TGF-, angiotensin II, PDGF, CSGF, dan endotelin.
Hipertensi glomerulus dapat mendahului hipertensi sistemik pada penyakit ginjal
(Matovinovi, 2009).

Mekanisme kerusakan tubulointersitial


Terlepas dari etiologi, PGK dikarakteristikkan oleh glomerulosklerosis dan
fibrosis tubulointerstisial. Kerusakan dari tubulointerstisial berkaitan dengan
glomerulosklerosis.

Beberapa

penelitian

menjelaskan

bahwa

kerusakan

tubulointerstisial berkaitan erat dengan gangguan fungsi ginjal dalam jangka


panjang. Hal ini tidak mengherankan mengingat tubulus dan intersitium menempati
-

lebih dari 90% dari volume ginjal.


Fibrogenesis Ginjal
Awalnya mengarah ke respon inflamasi dengan pelejpasan mediator lokal,
peningkatan permeabilitas pembuluh darah lokal, aktivasi sel endotel, ektravasasi
leukosist sepanjang endotelium, sekresi berbagai mediator oleh leukosit dan sel

tubulointerstisial, dan aktivasi sel profibrotik.


Induksi dan pengembangan respon inflamasi
Leukosit bermigrasi dari sirkulasi melalui venula post kapiler dan kapiler
peritubular ke interstitial mengikuti gradien dari kemoattractant dan kemokin. Semua
sel tubular bisa mengeluarkan mediator larut ketika distimulasi oleh hipoksia,
iskemia, agen infeksius, obat-obatan, dan toksin endogen seperti lipid, glukosa tinggi,
paraprotein dan faktor genetik. Penyakit glomerular berkaitan dengan tingkat cedera
tubulointerstisial dan peradangan karena sel-sel tubular terkena protein yang
seharusnya tidak disaring. Faktor-faktor yang terlibat dalam pembentukan inflamasi
filtrasi tubulointerstisial adalah : proteinuria, deposit imun, kemokin, sitokin, kalsium

fosfat, asidosis metabolik, asam urat, lipid, hipoksia, dan agen reaktif oksigen.
Infiltrat inflamasi
Sel inflamasi mononuklear terdiri dari monosit/makrofag dan limfosit,
terutama limfosit T. Sel T CD4 dan sel T CD3 membawa reseptor kemokin CCR5 dan

CXCR3 yang terkait erat dengan fungsi ginjal. Sel-sel inflamasi ini mensekresi
-

sitokin profibrotik.
Sitokin profibrotik
Infiltrasi sel-sel inflamasi merangsang fibroblas menjadi miofibroblas. Faktor
profibrotik yang paling penting terlibat dalam fibrogenesis ginjal adalah angiotensin
II, TGF-1, CTGF, PDGF, FGF-2 (Fibroblast Growth Factor-2), EGF, ET-1, dan sel
mast triptase. Angiotensin II menginduksi sintesis TGF-1 di sel epitel tubular dan
fibroblas. Angiotensisn II dan CTGF menginduksi hipertrofi pada sel epitel tubular
yang bergantung pada TGF-1. Saat ini diasumsikan bahwa TGF-1 adalah kunci

dalam fibrogenesis ginjal.


Proliferasi dan aktivasi fibroblast
Fibroblas berkembang menjadi aktif mengikuti infiltrasi sel-sel inflamasi ke
dalam ruang tubulointerstisial. Fibroblas ini harus diaktifkan oleh sitokin (sebagian
besar berasal dari makrofag), mengubah fenotipnya dari fibroblas ke miofibroblas.

Mitogen yang penting bagi fibroblas ginjal adalah PDGF, bFGF-2, dan lain-lain.
Ephitelial-mesencymal Transition (EMT)
Konversi fenotip sel epitel ke dalam sel mesenkim dikenal sebagai Ephitelialmesencymal Transition (EMT). Bukti untuk EMT pada penyakit berasal dari
pemanfaatan protein penanda mesenkimal seperti vimentin atau S1004A. Protein
penanda mesenkimal dalam sel epitel tubular berkorelasi baik dengan fungsi ginjal
pada IgA nefropati, lupus nefritis dan kegagalan allograft kronis.
Telah terbukti akhir-akhir ini bahwa hipoksia yang diinduksi oleh faktor 1
(HIF-1), dianggap mengendalikan ekspresi ratusan gen, juga merangsang EMT, yang
menjelaskan bagaimana hipoksia dapat menimbulkan fibrosis dan kerusakan ginjal
yang progresif. Hipoksia mengubah metabolisme matriks proksimal tubular epitelial
(PTE), menyebabkan akumulasi matriks ekstraseluler berupa kolagen interstisial serta
supresi matriks pendegradasi. Paparan hipoksia terhadap PTE menginduksi transisi
menjadi miofibroblas, selanjutnya, paparan yang lebih lama menyebabkan cedera
mitokondria dan apoptosis. Pada PTE, hipoksia juga menginduksi ekspresi faktor

fibrogenik.
Proteinuria dan kerusakan tubulointersitial
Proteinuria dapat merusak tubulointerstisium melalui beberapa jalur termasuk
toksisitas langsung ke tubular, perubahan dalam metabolisme epitel tubular,
menginduksi sintesis sitokin dan kemokin, dan peningkatan ekspresi molekul adesi.
Kelebihan reabsorbsi protein di tubulus proksimal dapat melebihi kapasitas
pengolahan lisosomal, menyebabkan lisosom pecah dan mengakibatkan toksisitas
tubular secara langsung. Protein yang dapat menembus area filtrasi glomerulus akan
terlihat dalam urin yang dikelurakan atau disebut proteinuria (Matovinovi, 2009).

E. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis PGK tidak spesifik danbiasanya ditemukan pada tahap akhir penyakit.
Pada stadium awal, penyakit ginjal kronik biasanya asimptomatis. Tanda dan gejalanya
melibatkan berbagai sistem organ, diantaranya :

Gangguan keseimbangan cairan: edema perifer, efusi pleura, hipertensi, peningkatan


JVP, asites

Gangguan elektrolit dan asam basa: tanda dan gejala hiperkalemia, asidosis
metabolic (nafas Kussmaul), hipertfosfatemia

Gangguan gastrointestinal dan nutrisi: metallic taste, mual, muntah, gastritis, ulkus
peptikum, malnutrisi

Kelainan kulit: kulit terkihat pucat, kering, pruritus, pigmentasi kulit, ekimosis

Gangguan

neuromuscular:

kelemahan

otot,

fasikulasi,

gangguanmemori,

ensefalopati, uremikum

Gangguan metabolic endokrin: dislipidemia, gangguan metabolisme glukosa,


gangguan hormon seks

Gangguan hematologi: anemia (dapat mikrositik hipokrom maupun normositik


normokrom(, gangguan hemostasis.

Hipertensi: Pada umumnya simtomatik, tidak jarang ditemui gambaran scar


parenkim ginjal misalnya akibat refluks nefropati sehingga berakibat PGK.
Hipertensi mungkin merupakan penyakit primer dan menyebabkan kerusakan pada
ginjal, sebaliknya penyakit ginjal kronik dapat menyebabkan hipertensi melalui
mekanisme retensi natrium dan air dan pengaruh vasopresor dari sistem reninangiotensin-aldosteron.

Ensefalopati Hipertensi: Peningkatan tekanan darah yang ekstrim dan tiba-tiba dapat
menyebabkan nekrosis arteri intrakranial dan edema serebri dengan gejala sakit
kepala, penurunan kesadaran dan kejang (Sekarwana, 2004).

F. Diagnosis

Anamnesis
Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang berhubungan

dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi Penyakit Ginjal Kronik, dan perjalanan

penyakit termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal (LFG) (Hogg, et al., 2003
dan KDOQI, 2014).
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi:
o
o

Sesuai dengan penyakit yang mendasari;


Sindrom uremia yang terduru daru lemah, letargi, anoreksia, mual, muntah,
nokturia, kelebihan cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritusm uremic

frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma;


Gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah
jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium,
klorida) (Hogg, et al., 2003 dan KDOQI, 2014)

Pemeriksaan Fisik
o

Vital sign

Pemeriksaan fisik ginjal

Pemeriksaan fisik lain

Paru
Jantung
Abdomen

Terdapat tiga gejala penyakit ginjal kronis yang biasanya dapat dipakai untuk
menentukan diagnosis suspect yakni anemia, hipertensi, dan edema.

Pemeriksaan Penunjang
Pada stadium awal, biasanya penyakit ginjal kronis tidak menimbulkan gejala. Tes
laboratorium dapat mendeteksi masalah yang berkembang terkait penyakit ini.

Pemeriksaan laboratorium
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik sesuai dengan penyakit yang
mendasarinya, penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan ureum dan kreatinin serum,
dan penurunan laju filtrasi glomerolus (LFG) yang dapat dihitung menggunakan rumus
Kockcroft-Gault, serta kelainan biokimia darah lainnya, seperti penurunan kadar
hemoglobin, hiper atau hipokalemia, hiperfosfatemia, hipokalsemia. Kelainan urinalisis
meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria, dan silinder.

Tes Fungsi Ginjal

Tes Urin
o Urinalisis
Pada pemeriksaan, pertama-tama yang dilakukan adalah tes dipstick untuk
mengetahui ada atau tidaknya berbagai zat atau molekul yang normal maupun
abnormal, seperti protein, sel darah merah, dsb, lalu untuk mencari apakah
terdapat kristal ( padatan ), maupun sel-sel epitel dan sel-sel di luar tubuh yang
lain.
9

Dalam urin dapat dijumpai adanya albumin (protein) namun dalam jumlah yang
sangat minimal. Hasil positif pada tes dipstick untuk protein menunjukkan
terdapat keadaan yang abnormal. Pengujian yang lebih sensitif daripada tes
dipstick untuk mengetahui jumlah protein dalam urin adalah estimasi
laboratorium albumin urin ( protein ) dan kreatinin dalam urin. Rasio albumin
(protein) dan kreatinin dalam urin memberikan perkiraan yang baik dari albumin
(protein) yang diekskresi per hari.
o

Laju filtrasi glomerulus (GFR)


Pasien yang menderita penyakit ginjal biasanya akan diikuti dengan
menurunnya GFR secara progresif. Estimasi GFR (eGFR) dapat dihitung dari tes
darah rutin pasien. Pasien CKD dibagi menjadi lima tahap penyakit ginjal kronis
berdasarkan GFRnya.

Tes Darah
o Kreatinin dan urea ( BUN ), dalam darah Dilakukan untuk screening dan
o

memantau penyakit ginjal.


Perkiraan (estimasi) GFR ( eGFR ), Dari sini dokter biasanya akan menggunakan
staging penyakit ginjal yang diderita pasien untuk merekomendasikan pengujian

tambahan dan memberikan saran tentang manajemen selanjutnya.


Kadar elektrolit dan keseimbangan asam-basa, Kadar kalium yang tinggi
(hiperkalemia) butuh perhatian yang khusus. Karena keseimbangan asam-basa
darah biasanya akan terganggu juga. Sel darah merah dan hemoglobin mungkin
akan rendah (anemia). Beberapa pasien juga mungkin memiliki kekurangan zat
besi karena kehilangan darah. Kekurangan nutrisi lainnya juga dapat mengganggu

produksi sel darah merah (Kathuria, 2014).


Pemeriksaan Lain
o Foto polos abdomen: dapat terlihat batu radio opak
o Pielografi intravena: saat ini sudah jarang digunakan
o USG: sering digunakan untuk mendiagnosis penyakit ginjal. Secara umum, ginjal
o

akan mengalami penyusutan ukuran.


Biopsi: terkadang diperlukan dalam kasus dimana penyebab penyakit ginjal
masih belum jelas dengan menggunakan sample jaringan ginjal (NKDEP, 2015).

G. Penatalaksanaan
1. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara
progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki
metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit.
a. Peranan diet
10

Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau


mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama
gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
b. Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk PGK harus adekuat dengan
tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara
status nutrisi dan memelihara status gizi.
c. Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah
diuresis mencapai 2 L per hari.
d. Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari
LFG dan penyebab dasar penyakit ginjal tersebut (underlying renal disease).
2. Terapi simtomatik
a. Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan
suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena
bila pH 7,35 atau serum bikarbonat 20 mEq/L.
b. Anemia
Dapat diberikan eritropoetin pada pasien gagal ginjal kronik. Dosis inisial 50
u/kg IV 3 kali dalam seminggu. Jika Hb meningkat >2 gr/dL kurangi dosis pemberian
menjadi 2 kali seminggu. Maksimum pemberian 200 u/kg dan tidak lebih dari tiga
kali dalam seminggu.
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu
pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus
hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak. Sasaran hemoglobin adalah
11-12 gr/dL.
c. Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan utama yang sering
dijumpai pada PGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai
dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis
adekuat dan obat-obatan simtomatik.

11

d. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
e. Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis
reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.
f. Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi terutama

penghambat enzim

pengkonversi angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme inhibitor/ ACE inhibitor).


Melalui

berbagai

studi

terbukti

dapat

memperlambat

proses

pemburukan

antihipertensi dan antiproteinuria.


g. Kelainan sistem kardiovaskular
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal yang
penting, karena 40-50% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh
penyakit kardiovaskular. Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan
kardiovaskular

yang

diderita,

termasuk

pengendalian

diabetes,

hipertensi,

dislipidemia, hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan


keseimbanagan elektrolit.
3. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5,
yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis,
dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal.
a. Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik
azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien
yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi
dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi selektif. Beberapa yang termasuk dalam
indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru
dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter,
muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10
mg%.
Indikasi selektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m, mual,
anoreksia, muntah, dan astenia berat.
b. Dialisis peritoneal (DP)

12

Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis


(CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu
pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah
menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien- pasien yang cenderung akan
mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV
shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual
urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan comortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual
tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal.
c. Transplantasi ginjal (Hogg, et al., 2003 dan KDOQI, 2014)

H. Komplikasi
Komplikasi penyakit ginjal kronik, antarai lain: 1) penyakit tulang dan mineral terkait PGK
(CKD-MBD/chronic kidney disease-mineral bone disease), 2) asidosis metabolik, 3) kejadian
kardiovaskular (perikarditis, penyakit jantung koroner, henti jantung), 4) komplikasi neurologis,
5) infeksi, 6) komplikasi nutrisi (kekurangan gizi), 7) anemia.

Penyakit kardiovaskular

merupakan penyebab kematian terbanyak pada pasien-pasien PGK.

BAB 3
LAPORAN KASUS

I.

IDENTITAS
Nama

: Anwar

Usia

: 41 tahun

Alamat

: Kabupaten Sumbawa

JenisKelamin

: Laki laki

Pekerjaan

: Petani

Status

: Menikah

Suku

: Sumbawa

II. HETEROANAMNESIS
a. Keluhan utama
Sakit kepala seperti ditusuk tusuk di seluruh bagian kepala

13

b. Riwayat penyakit sekarang


Pasien dengan keluhan penyerta mual, kencing di malam hari yang mengganggu
(nokturia), dan tekanan darah yang tinggi yaitu 200 mmHg sehingga pasien tidak
dapat tidur. Untuk pengobatannya di rumah sakit, pasien telah melakukan hemodialisa
2x seminggu.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit dahulu seperti hipertensi. Saat sakit
kepala sebelum masuk rumah sakit, pasien sering membeli obat sakit kepala untuk
meringankannya.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga pasien memiliki penyakit yang sama dengan pasien.
e. Riwayat Sosial
Berdasarkan pengakuan pasien, pasien mengaku jarang mengonsumsi air putih
dan hanya minum air saat makan saja. Lebih suka mengonsumsi minuman extrajoss
dibandingkan air putih. Buang air kecil pasien sekitar 2x sehari dan buang air besar,
sejak masuk rumah sakit pada tanggal 13 september, baru 1x saja. Nafsu makan
menurun.
III. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Sedang
Kesadaran

: Composmentis

Vital Sign

- TD

: 180/100 mmHg (hipertensi grade II)

- Nadi

: 88x/menit

-T

: 36,5O C

- RR

: 26x/menit

Status Generalis:

Kepala :
1.

Ekspresi wajah

: Normal

2.

Bentuk dan ukuran : normochepali

3.

Rambut

: normal
14

4.

Udema (+)

Mata :
1.

Simetris

2.

Udema palpebra (-/-)

3.

Konjungtiva : anemia (+/+)

4.

Sklera : ikterus (-)

5.

Penglihatan : normal

Telinga :
1.

Simetris

2.

Sekret (-)

3.

Pendengaran : normal

Hidung :
1.

Simetris, deviasi septum (-)

2.

Perdarahan (-), secret (-)

Mulut :
1.

Sianosis (-)

2.

Pigmentasi (-)

3.

Mukosa : kering

Leher :
1.

Massa (-)

2.

Pembesaran KGB (-)

3.

Pembesaran kelenjar tiroid (-)


Kulit dan Selaput Lendir : Normal

Abdomen- Pelvic- Inguinal :


Inspeksi :
Distensi (+), massa (-), bentuk datar, schapoid (-), striae (-), hernia (-),
pelebaran vena (-), lesi (+), jejas (+), pulsasi (-), warna kulit abdomen
normal.
Auskultasi:
Jumlah bising usus: 6x/ menit
Perkusi : nyeri (+)

Palpasi: nyeri (+)


15

Ekstremitas :
Hangat (+), Edema (+)

IV. RESUME
Pasien laki-laki yang merupakan seorang petani berusia 41 tahun datang ke Rumah Sakit
Umum Provinsi Nusa Tenggara Barat, dengan sakit kepala sejak 1 minggu yang lalu. Sakit
kepala dirasakan oleh pasien seperti ditusuk-tusuk dan sangat hebat sehingga kerap membuat
pasien tidak bisa tidur. Sakit kepala juga dirasakan diseluruh bagian kepala. Keluhan lain yang
dirasakan oleh pasien yakni mual dan muntah. Berdasarkan hasil heteroanamnesis yang
dilakukan oleh istri pasien (Ibu S), mengatakan bahwa pasien sudah sering melakukan
hemodialisa. Sebelum sering dilakukannya hemodialisa, tekanan darah pasien masih dalam
kategori normal, namun setelah seringnya pasien melakukan hemodialisa tekanan darah pasien
mengalami peningkatan. Pada hari Jumat, 25 September 2015 tepatnya saat malam, tekanan
darah sistol pasien 200 mmHg. Kehidupan sosial pasien dapat dikatakan kurang sehat karena
pasien sering mengonsumsi minumanan seperti extra joss dibandingkan

dengan

air.

Dilakukannya heteroanamesis karena pasien sangat terlihat dan kesakitan sehingga membuat
pasien enggan untuk banyak bicara.
Pasien menjalani rawat inap sudah dari hari Rabu, 23 September lalu. Selama menjalani rawat
inap di Rumah Sakit Umum Provinsi Nusa Tenggara Barat, dokter memberikan obat
antihipertensi dan juga memasang Infus Ecosol NaCl 0,9%. Sampai saat ini pun pasien terlihat
masih sangat kesakitan (merintih) oleh karena sakit kepala yang dirasakannya.

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pre-Operasi
Hasil Laboratorium:
Hematologi
Hb

: 6,5 gr/dl

WBC

: 8,34 x 103/uL

RBC

: 2,20 x 106/uL

Hematokrit

: 20,8 %

Trombosit

: 337 x 103 /uL

MCV

: 94,5 fL
16

MCHC

: 31,3 g/dl

MCH

: 29,5 pg

Faal Ginjal
Kreatinin

: 8,4 mgl/dl

Ureum

: 84 mgl/dl

Faal Hati
SGPT

: 8 mgl/dl

SGOT

: 13 mgl/dl

Glukosa sewaktu

: 115 mgl/dl

Elektrolit
Na

: 134 mmol/L

Kalium

: 4,0 mmol/L

Chlorida

: 100 mmol/L

VI. DIAGNOSIS
Chronic Kidney Disease (CKD)

VII. USULAN PEMERIKSAAN

Kreatinin dan urea ( BUN ) dalam darah


Dilakukan untuk screening dan memantau penyakit ginjal. Tingkat dari zat-zat ini
biasanya akan meningkat jika fungsi ginjal yang memburuk.

Kadar elektrolit dan keseimbangan asam-basa


Kadar kalium yang tinggi (hiperkalemia) butuh perhatian yang khusus. Begitu juga
keadaan asidosis juga membutuhkan perhatian khusus juga karena bisa menyebabkan
gangguan yang dapat mengakibatkan kematian.

Biopsi
17

Terkadang diperlukan dalam kasus dimana penyebab penyakit ginjal masih belum jelas
dengan menggunakan sample jaringan ginjal.

VIII. PLANNING

Infus ecosol NaCl 0,9%

Diberi obat anti hipertensi

Pembatasan asupan cairan

Diet rendah garam

Hemodialisa

IX. PROGNOSIS
Gagal ginjal kronik tidak dapat disembuhkan, perjalanan penyakit secara alamiah
terjadi

sampai

pasien

memerlukan

dialisis

atau

transplantasi

ginjal.

Pasien dengan CKD berisiko terkena stroke dan serangan jantung. Pasien yang menjalani
dialisis mempunyai 5-year survival rate 32%, orang tua dan adanya penyakit penyerta
diabetes mempunyai risiko lebih besar.
BAB 4
PEMBAHASAN

Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan penurunan
fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif yang akhirnya akan mencapai
gagal ginjal terminal. Terdapat banyak hal yang dapat menjadi etiologi dari sindroma ini,
beberapa diantaranya adalah: diabetes, hipertensi, glomerulonefritis, policystic renal disease,
pyelonefritis kronis, dan etiologi yang tidak diketahui. Kasus ini merupakan kasus yang
banyak ditemukan di dunia termasuk di Indonesia dan terus meningkat setiap tahunnya.
Beberapa faktor resiko gagal ginjal kronis diantaranya pertambahan usia, ras, genetik, dan
jenis kelamin yang mana laki-laki lebih rentan terkena penyakit ini daripada perempuan. Pada
kasus ini, kami mendapatkan pasien berjenis kelamin laki-laki berusia 41 tahun yang
merupakan faktor resiko terjadinya gagal ginjal kronis. Selain itu, faktor resiko yang bisa
diubah yang dilakukan pasien kami ini diantaranya merokok dan sering minum minuman
bersoda.
18

Pada umumnya penderita gagal ginjal kronik stadium 1-3 tidak mengalami gejala
apapun atau tidak mengalami gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, endokrin dan
metabolik yang tampak secara klinis (asimtomatik). Gangguan yang tampak secara klinis
biasanya baru terlihat pada gagal ginjal kronik stadium 4 dan 5. Beberapa gangguan yang
sering muncul pada pasien gagal ginjal kronik adalah: gangguan cairan dan elektrolit,
asidosis metabolik, anemia, hipertensi dan hipertensi ensefalopati. Pada pasien ini pada waktu
itu didapatkan tekanan darahnya 180/110 mmHg, bahkan saat malam sebelumnya tekanan
darah sistolik pasien ini mencapai 200 mmHg.
Dari hasil anamnesis, pasien datang dengan keluhan utama nyeri kepala dengan
keluhan penyerta mual dan muntah. Pasien ini memiliki riwayat telah sering melakukan
hemodialisa. Didapatkan pula informasi bahwa tekanan darah pasien selalu normal sebelum
dilakukan hemodialisa, yang artinya etiologi hipertensi sebagai penyebab gagal ginjal kronik
pasien ini bisa disingkirkan. Dari pemeriksaan umum dan vital sign, didapatkan kesadaran
komposmentis, konjungtiva anemis, asites, edema tungkai, dan hipertensi. Dari pemeriksaan
ini, kami mendapatkan 3 gejala yang dapat membuat seseorang dikatakan suspek gagal ginjal
kronis yaitu anemia, edema, dan hipertensi. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada
pasien ini meliputi

pemeriksaan hematologi, urinalisis, kimia klinik,

dan elektrolit.

Didapatkan kadar ureum dan kreatinin dari hasil pemeriksaan penunjang tersebut sangat
tinggi dibandingkan nilai normal yang artinya LFG mengalami penurunan.
Terapi yang diberikan pada pasien ini berupa terapi konservatif, simptomatik, dan
terapi pengganti fungsi ginjal bahkan bisa sampai transplantasi ginjal. Terapi konservatif
meliputi perbaikan dan kontrol diet harian, meliputi asupan protein, jumlah kalori yang
dibutuhkan. Keseimbangan cairan, mineral, dan elektrolit juga harus dikontrol. Pada pasien
ini diberikan infus NaCl 0,9% dan diet rendah protein untuk mengurangi keracunan ureum.
Untuk terapi simptomatis, pasien diberikan suplemen alkali untuk mencegah asidosis
metabolik, dan diberikan juga eritropoetin dengan target Hb adalah 11-12 g/dl. Untuk terapi
pengganti fungsi ginjal, karena gagal ginjal kronik pada pasien ini terjadi bilateral, tetap
dilakukan hemodialisa selama belum dilakukan transplantasi ginjal.

19

DAFTAR PUSTAKA

Hogg, R.J., et al. 2003. National Kidney Foundations Kidney Disease Outcomes Quality
Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease in
Evaluation, Classification, and Stratification.
Kathuria,

P.

2014.

Chronic

Children

and

Initiative
Adolescents:

Pediatrics 111:1416-1421.

Kidney

Disease:

Diagnosis.

Available

<www.emedicinehealth.com/script/main/mobileartemh.asp?articlekey58887&

at:

page=1>

Kidney, C., et al. 2014. Management of Chronic Kidney Disease Objectives: Key points. (March).
Levin, A., et al. 2008. Guidelines for the management of chronic kidney disease. Canadian

Medical

Association journal 179(11), pp.11541162.


Matovinovi, M.S. 2009. Pathophysiology and Classificatrion of Kidney Diseases.

Available

at: <http://www.ifcc.org>
NKDEP (National Kidney Disease Education Program). 2015. Chronic Kidney

Disease (CKD) and

Diet: Assessment, Management, and Treatment.


Sekarwana, N. 2004. Gagal Ginjal Kronik pada Anak. Sari Pediatri Vol. 6 No 1. Available

at:

<saripediatri.idai.or.id/pdfile/6-1-8s.pdf>
Sudoyo A.W., et.al. editor. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Ed.V. Jakarta:
Publishing
20

Interna

Suhardjono. 2010. Penyakit Ginjal Kronik, suatu epidemiologi global baru: protect your kidney save
your heart. Perhimpunan Nefrologi Indonesia

21

Anda mungkin juga menyukai