DISUSUN OLEH :
A.A.A. Lie Lhianna. M.P.
(H1A013001)
Aditya Agung P.
(H1A013002)
(H1A013003)
Ahmad Haviz
(H1A013004)
BAB 1
PENDAHULUAN
Penyakit Ginjal Kronik atau Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu
patofisiologis dengan etiologi yang beragam, kemudian dapat mengakibatkan penurunan
fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Penyakit
Ginjal Kronik ini mempengaruhi 10-15% populasi orang dewasa di negara-negara barat. Hal
ini diakui sebagai kondisi umum yang berkaitan dengan peningkatan risiko penyakit
kardiovaskular dan kematian.
Uremia adalah suatu sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua oran,
akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik. . Perawatan medis pada pasien
dengan penyakit ginjal kronik (CKD) harus berfokus pada pengendalian gangguan yang
mendasari, memperlambat perkembangan penyakit, dan mengobati komplikasi dari penyakit.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2
A.
Definisi
Penyakit Ginjal Kronik diartikan sebagai adanya kelainan structural atau fungsional pada
ginjal yang berlangsung minimal 3 bulan, dapat berupa :
1. Kelainan structural yang dapat dideteksi melalui pemeriksaan laboratorium (albuminuria,
sedimen urin, kelainan elektrolit akibat ginjal), pemeriksaan histology, pencitraan, atau
riwayat transplantasi ginjal (Sudoyo, et.al., 2009)
2. Gangguan fungsi ginjal dengan laju filtrasi glomerulus (LFG) <60 mL/menit/1,73 m 2
(Kidney, et al., 2014).
Klasifikasi CKD dapat dilihat pada gambar sebagai berikut :
B. Epidemiologi
Penyakit ginjal kronik merupakan penyakit yang sering ditemui pada praktik klinik seharisehari. Perhimpunan Nefrologi Indonesia melaporkan bahwa sebanyak 12,5% populasi di
Indonesia mengalami penurunan fungsi ginjal. Penyakit ginjal kronis jauh lebih banyak di seluruh
dunia dari yang di perkiraan sebelumnya. Dimana ini mempengaruhi 10 - 15 % dari populasi
orang dewasa di negara-negara barat, banyak dari mereka memerlukan perawatan yang mahal
atau terapi pengganti ginjal (transplantasi) (Suhardjono, 2010). Di negara-negara berkembang
lainnya, insidens penyakit ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus/juta penduduk/tahun (Sudoyo,
et.al., 2009).
Faktor resiko yang dapat memperberat perjalanan penyakit ini dikenal sebagai faktor
progesivitas PGK, yang tertera pada tabel dibawah ini :
DAPAT DIMODIFIKASI
Hipertensi
Proteinuria
Albuminuria
Genetik
Glikemia
Obesitas
Dislipidemia
C.
Merokok
Kadar asam urat
Etiologi
Penyakit ginjal kronik disebabkan oleh bermacam-macam hal, seperti :
1. Glomerulonefritis, akibat infeksi (endokarditis bacterial, hepatitis C, hepatitis B, HIV)
2.
3.
4.
5.
6.
D. Patofisiologi
Penyakit ginjal kronik terjadi oleh karena terjadinya gangguan atau adanya kerusakan
pada ginjal, terutama komponen filtrasi ginjal, seperti membran basal glomerulus, sel
endotel, dan sel podosit. Kerusakan komponen ini disebabkan oleh mekanisme progrresif
yang berlangsung dalam jangka panjang.
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya. Pengurangan massa pada ginjal mengakibatkan hipertrofi structural dan
fungsional nefron yang masih tersisa sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai olh
4
molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factor sehingga nantinya akan mengakibatkan
hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus.
Proses adaptasi ini berlangsung singkat dan kemudian diikuti oleh proses maladaptasi berupa
sklerosis nefron yang masih tersisa. Pada akhirnya akan terjadi penurunan fungsi nefron yang
progresif, walaupun penyakit dasar sudah tidak aktif.
Adanya peningkatan aktivitas aksis renin angiotensin-aldosteron intrarenal juga
berperan terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut. Aktifasi
jangka panjang aksis renin angiotensin-aldosteron intrarenal, sebagian diperantai oleh growth
factor, seperti transforming growth factor (TGF-). Albuminuria, hipertensi, hiperglikemia,
dislipidemia juga diduga memilki peranan terkait progesifitas penyakit ginjal kronik.
Pada stadium dini, terjadi kehilangan daya cadang ginjal, pada keadaan dimana LFG
masih normal atau justru meningkat. Kemudian, secara perlahan akan terjadi penurunan
fungsi nefron yang progresif yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin
serum (Sudoyo, et.al., 2009).
Mekanisme Kerusakan Glomerulus
Penyakit herediter seperti Sindrom Alport sering menjadi penyebab
munculnya CKD. Sindrom Alport merupakan penyakit terkait kromosom X, dimana
terjadi mutasi di gen COL4A5 yang mengkode rantai 5 dari kolagen tipe IV di
kromosom X. Hal ini menyebabkan membran basalis glomerulus menjadi ireguler,
berpisah, atau menebal, yang dapat menyebabkan glomerulosklerosis.
Kompleks imun yang terbentuk dapat terdeposit di mesangium (seperti pada
nefropati IgA, purpura Henoch Schonlein, lupus nefritis kelas II, glomerulonefritis
postinfeksi), di subendotel (seperti pada lupus nefritis kelas III, glomerulonefritis
membranaproliferatif), di subepitel (seperti pada nefropati membranosa idiopatik,
lupus nefritis kelas V), atau di membran basalis glomerulus (seperti pada penyakit
anti-GBM).
Tempat terdepositnya kompleks imun menentukan respon dan manifestasi
klinis. Inflamasi pada glomerulus dapat mengalami resolusi dengan derajat fibrosis
yang bervariasi. Proses resolusi ini berjalan bila tidak terjadi produksi antibodi dan
tidak ada kompleks imun yang bersirkulasi. Selain itu, harus ada pembersihan sel
dan mediator inflamasi, normalisasi permeabilitas pembuluh darah, serta
glomerulus
menyebabkan
perubahan
lokal
pada
hemodinamika
Hipertensi Glomerulus
Hal ini merupakan mekanisme adaptif untuk memberi peringatan kepada
nefron terhadap peningkatan beban kerja akibat hilangnya sejumlah nefron, apapun
penyebabnya. Hipertensi intraglomerulus meningkatkan produksi matriks dan
memicu glomerulosklerosis karena akumulasi matriks ekstraseluler. Proses ini
dimediasi terutama oleh TGF-, angiotensin II, PDGF, CSGF, dan endotelin.
Hipertensi glomerulus dapat mendahului hipertensi sistemik pada penyakit ginjal
(Matovinovi, 2009).
Beberapa
penelitian
menjelaskan
bahwa
kerusakan
fosfat, asidosis metabolik, asam urat, lipid, hipoksia, dan agen reaktif oksigen.
Infiltrat inflamasi
Sel inflamasi mononuklear terdiri dari monosit/makrofag dan limfosit,
terutama limfosit T. Sel T CD4 dan sel T CD3 membawa reseptor kemokin CCR5 dan
CXCR3 yang terkait erat dengan fungsi ginjal. Sel-sel inflamasi ini mensekresi
-
sitokin profibrotik.
Sitokin profibrotik
Infiltrasi sel-sel inflamasi merangsang fibroblas menjadi miofibroblas. Faktor
profibrotik yang paling penting terlibat dalam fibrogenesis ginjal adalah angiotensin
II, TGF-1, CTGF, PDGF, FGF-2 (Fibroblast Growth Factor-2), EGF, ET-1, dan sel
mast triptase. Angiotensin II menginduksi sintesis TGF-1 di sel epitel tubular dan
fibroblas. Angiotensisn II dan CTGF menginduksi hipertrofi pada sel epitel tubular
yang bergantung pada TGF-1. Saat ini diasumsikan bahwa TGF-1 adalah kunci
Mitogen yang penting bagi fibroblas ginjal adalah PDGF, bFGF-2, dan lain-lain.
Ephitelial-mesencymal Transition (EMT)
Konversi fenotip sel epitel ke dalam sel mesenkim dikenal sebagai Ephitelialmesencymal Transition (EMT). Bukti untuk EMT pada penyakit berasal dari
pemanfaatan protein penanda mesenkimal seperti vimentin atau S1004A. Protein
penanda mesenkimal dalam sel epitel tubular berkorelasi baik dengan fungsi ginjal
pada IgA nefropati, lupus nefritis dan kegagalan allograft kronis.
Telah terbukti akhir-akhir ini bahwa hipoksia yang diinduksi oleh faktor 1
(HIF-1), dianggap mengendalikan ekspresi ratusan gen, juga merangsang EMT, yang
menjelaskan bagaimana hipoksia dapat menimbulkan fibrosis dan kerusakan ginjal
yang progresif. Hipoksia mengubah metabolisme matriks proksimal tubular epitelial
(PTE), menyebabkan akumulasi matriks ekstraseluler berupa kolagen interstisial serta
supresi matriks pendegradasi. Paparan hipoksia terhadap PTE menginduksi transisi
menjadi miofibroblas, selanjutnya, paparan yang lebih lama menyebabkan cedera
mitokondria dan apoptosis. Pada PTE, hipoksia juga menginduksi ekspresi faktor
fibrogenik.
Proteinuria dan kerusakan tubulointersitial
Proteinuria dapat merusak tubulointerstisium melalui beberapa jalur termasuk
toksisitas langsung ke tubular, perubahan dalam metabolisme epitel tubular,
menginduksi sintesis sitokin dan kemokin, dan peningkatan ekspresi molekul adesi.
Kelebihan reabsorbsi protein di tubulus proksimal dapat melebihi kapasitas
pengolahan lisosomal, menyebabkan lisosom pecah dan mengakibatkan toksisitas
tubular secara langsung. Protein yang dapat menembus area filtrasi glomerulus akan
terlihat dalam urin yang dikelurakan atau disebut proteinuria (Matovinovi, 2009).
E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis PGK tidak spesifik danbiasanya ditemukan pada tahap akhir penyakit.
Pada stadium awal, penyakit ginjal kronik biasanya asimptomatis. Tanda dan gejalanya
melibatkan berbagai sistem organ, diantaranya :
Gangguan elektrolit dan asam basa: tanda dan gejala hiperkalemia, asidosis
metabolic (nafas Kussmaul), hipertfosfatemia
Gangguan gastrointestinal dan nutrisi: metallic taste, mual, muntah, gastritis, ulkus
peptikum, malnutrisi
Kelainan kulit: kulit terkihat pucat, kering, pruritus, pigmentasi kulit, ekimosis
Gangguan
neuromuscular:
kelemahan
otot,
fasikulasi,
gangguanmemori,
ensefalopati, uremikum
Ensefalopati Hipertensi: Peningkatan tekanan darah yang ekstrim dan tiba-tiba dapat
menyebabkan nekrosis arteri intrakranial dan edema serebri dengan gejala sakit
kepala, penurunan kesadaran dan kejang (Sekarwana, 2004).
F. Diagnosis
Anamnesis
Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang berhubungan
dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi Penyakit Ginjal Kronik, dan perjalanan
penyakit termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal (LFG) (Hogg, et al., 2003
dan KDOQI, 2014).
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi:
o
o
Pemeriksaan Fisik
o
Vital sign
Paru
Jantung
Abdomen
Terdapat tiga gejala penyakit ginjal kronis yang biasanya dapat dipakai untuk
menentukan diagnosis suspect yakni anemia, hipertensi, dan edema.
Pemeriksaan Penunjang
Pada stadium awal, biasanya penyakit ginjal kronis tidak menimbulkan gejala. Tes
laboratorium dapat mendeteksi masalah yang berkembang terkait penyakit ini.
Pemeriksaan laboratorium
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik sesuai dengan penyakit yang
mendasarinya, penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan ureum dan kreatinin serum,
dan penurunan laju filtrasi glomerolus (LFG) yang dapat dihitung menggunakan rumus
Kockcroft-Gault, serta kelainan biokimia darah lainnya, seperti penurunan kadar
hemoglobin, hiper atau hipokalemia, hiperfosfatemia, hipokalsemia. Kelainan urinalisis
meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria, dan silinder.
Tes Urin
o Urinalisis
Pada pemeriksaan, pertama-tama yang dilakukan adalah tes dipstick untuk
mengetahui ada atau tidaknya berbagai zat atau molekul yang normal maupun
abnormal, seperti protein, sel darah merah, dsb, lalu untuk mencari apakah
terdapat kristal ( padatan ), maupun sel-sel epitel dan sel-sel di luar tubuh yang
lain.
9
Dalam urin dapat dijumpai adanya albumin (protein) namun dalam jumlah yang
sangat minimal. Hasil positif pada tes dipstick untuk protein menunjukkan
terdapat keadaan yang abnormal. Pengujian yang lebih sensitif daripada tes
dipstick untuk mengetahui jumlah protein dalam urin adalah estimasi
laboratorium albumin urin ( protein ) dan kreatinin dalam urin. Rasio albumin
(protein) dan kreatinin dalam urin memberikan perkiraan yang baik dari albumin
(protein) yang diekskresi per hari.
o
Tes Darah
o Kreatinin dan urea ( BUN ), dalam darah Dilakukan untuk screening dan
o
G. Penatalaksanaan
1. Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara
progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki
metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit.
a. Peranan diet
10
11
d. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
e. Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis
reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.
f. Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi terutama
penghambat enzim
berbagai
studi
terbukti
dapat
memperlambat
proses
pemburukan
yang
diderita,
termasuk
pengendalian
diabetes,
hipertensi,
12
H. Komplikasi
Komplikasi penyakit ginjal kronik, antarai lain: 1) penyakit tulang dan mineral terkait PGK
(CKD-MBD/chronic kidney disease-mineral bone disease), 2) asidosis metabolik, 3) kejadian
kardiovaskular (perikarditis, penyakit jantung koroner, henti jantung), 4) komplikasi neurologis,
5) infeksi, 6) komplikasi nutrisi (kekurangan gizi), 7) anemia.
Penyakit kardiovaskular
BAB 3
LAPORAN KASUS
I.
IDENTITAS
Nama
: Anwar
Usia
: 41 tahun
Alamat
: Kabupaten Sumbawa
JenisKelamin
: Laki laki
Pekerjaan
: Petani
Status
: Menikah
Suku
: Sumbawa
II. HETEROANAMNESIS
a. Keluhan utama
Sakit kepala seperti ditusuk tusuk di seluruh bagian kepala
13
: Composmentis
Vital Sign
- TD
- Nadi
: 88x/menit
-T
: 36,5O C
- RR
: 26x/menit
Status Generalis:
Kepala :
1.
Ekspresi wajah
: Normal
2.
3.
Rambut
: normal
14
4.
Udema (+)
Mata :
1.
Simetris
2.
3.
4.
5.
Penglihatan : normal
Telinga :
1.
Simetris
2.
Sekret (-)
3.
Pendengaran : normal
Hidung :
1.
2.
Mulut :
1.
Sianosis (-)
2.
Pigmentasi (-)
3.
Mukosa : kering
Leher :
1.
Massa (-)
2.
3.
Ekstremitas :
Hangat (+), Edema (+)
IV. RESUME
Pasien laki-laki yang merupakan seorang petani berusia 41 tahun datang ke Rumah Sakit
Umum Provinsi Nusa Tenggara Barat, dengan sakit kepala sejak 1 minggu yang lalu. Sakit
kepala dirasakan oleh pasien seperti ditusuk-tusuk dan sangat hebat sehingga kerap membuat
pasien tidak bisa tidur. Sakit kepala juga dirasakan diseluruh bagian kepala. Keluhan lain yang
dirasakan oleh pasien yakni mual dan muntah. Berdasarkan hasil heteroanamnesis yang
dilakukan oleh istri pasien (Ibu S), mengatakan bahwa pasien sudah sering melakukan
hemodialisa. Sebelum sering dilakukannya hemodialisa, tekanan darah pasien masih dalam
kategori normal, namun setelah seringnya pasien melakukan hemodialisa tekanan darah pasien
mengalami peningkatan. Pada hari Jumat, 25 September 2015 tepatnya saat malam, tekanan
darah sistol pasien 200 mmHg. Kehidupan sosial pasien dapat dikatakan kurang sehat karena
pasien sering mengonsumsi minumanan seperti extra joss dibandingkan
dengan
air.
Dilakukannya heteroanamesis karena pasien sangat terlihat dan kesakitan sehingga membuat
pasien enggan untuk banyak bicara.
Pasien menjalani rawat inap sudah dari hari Rabu, 23 September lalu. Selama menjalani rawat
inap di Rumah Sakit Umum Provinsi Nusa Tenggara Barat, dokter memberikan obat
antihipertensi dan juga memasang Infus Ecosol NaCl 0,9%. Sampai saat ini pun pasien terlihat
masih sangat kesakitan (merintih) oleh karena sakit kepala yang dirasakannya.
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pre-Operasi
Hasil Laboratorium:
Hematologi
Hb
: 6,5 gr/dl
WBC
: 8,34 x 103/uL
RBC
: 2,20 x 106/uL
Hematokrit
: 20,8 %
Trombosit
MCV
: 94,5 fL
16
MCHC
: 31,3 g/dl
MCH
: 29,5 pg
Faal Ginjal
Kreatinin
: 8,4 mgl/dl
Ureum
: 84 mgl/dl
Faal Hati
SGPT
: 8 mgl/dl
SGOT
: 13 mgl/dl
Glukosa sewaktu
: 115 mgl/dl
Elektrolit
Na
: 134 mmol/L
Kalium
: 4,0 mmol/L
Chlorida
: 100 mmol/L
VI. DIAGNOSIS
Chronic Kidney Disease (CKD)
Biopsi
17
Terkadang diperlukan dalam kasus dimana penyebab penyakit ginjal masih belum jelas
dengan menggunakan sample jaringan ginjal.
VIII. PLANNING
Hemodialisa
IX. PROGNOSIS
Gagal ginjal kronik tidak dapat disembuhkan, perjalanan penyakit secara alamiah
terjadi
sampai
pasien
memerlukan
dialisis
atau
transplantasi
ginjal.
Pasien dengan CKD berisiko terkena stroke dan serangan jantung. Pasien yang menjalani
dialisis mempunyai 5-year survival rate 32%, orang tua dan adanya penyakit penyerta
diabetes mempunyai risiko lebih besar.
BAB 4
PEMBAHASAN
Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan penurunan
fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif yang akhirnya akan mencapai
gagal ginjal terminal. Terdapat banyak hal yang dapat menjadi etiologi dari sindroma ini,
beberapa diantaranya adalah: diabetes, hipertensi, glomerulonefritis, policystic renal disease,
pyelonefritis kronis, dan etiologi yang tidak diketahui. Kasus ini merupakan kasus yang
banyak ditemukan di dunia termasuk di Indonesia dan terus meningkat setiap tahunnya.
Beberapa faktor resiko gagal ginjal kronis diantaranya pertambahan usia, ras, genetik, dan
jenis kelamin yang mana laki-laki lebih rentan terkena penyakit ini daripada perempuan. Pada
kasus ini, kami mendapatkan pasien berjenis kelamin laki-laki berusia 41 tahun yang
merupakan faktor resiko terjadinya gagal ginjal kronis. Selain itu, faktor resiko yang bisa
diubah yang dilakukan pasien kami ini diantaranya merokok dan sering minum minuman
bersoda.
18
Pada umumnya penderita gagal ginjal kronik stadium 1-3 tidak mengalami gejala
apapun atau tidak mengalami gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, endokrin dan
metabolik yang tampak secara klinis (asimtomatik). Gangguan yang tampak secara klinis
biasanya baru terlihat pada gagal ginjal kronik stadium 4 dan 5. Beberapa gangguan yang
sering muncul pada pasien gagal ginjal kronik adalah: gangguan cairan dan elektrolit,
asidosis metabolik, anemia, hipertensi dan hipertensi ensefalopati. Pada pasien ini pada waktu
itu didapatkan tekanan darahnya 180/110 mmHg, bahkan saat malam sebelumnya tekanan
darah sistolik pasien ini mencapai 200 mmHg.
Dari hasil anamnesis, pasien datang dengan keluhan utama nyeri kepala dengan
keluhan penyerta mual dan muntah. Pasien ini memiliki riwayat telah sering melakukan
hemodialisa. Didapatkan pula informasi bahwa tekanan darah pasien selalu normal sebelum
dilakukan hemodialisa, yang artinya etiologi hipertensi sebagai penyebab gagal ginjal kronik
pasien ini bisa disingkirkan. Dari pemeriksaan umum dan vital sign, didapatkan kesadaran
komposmentis, konjungtiva anemis, asites, edema tungkai, dan hipertensi. Dari pemeriksaan
ini, kami mendapatkan 3 gejala yang dapat membuat seseorang dikatakan suspek gagal ginjal
kronis yaitu anemia, edema, dan hipertensi. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada
pasien ini meliputi
dan elektrolit.
Didapatkan kadar ureum dan kreatinin dari hasil pemeriksaan penunjang tersebut sangat
tinggi dibandingkan nilai normal yang artinya LFG mengalami penurunan.
Terapi yang diberikan pada pasien ini berupa terapi konservatif, simptomatik, dan
terapi pengganti fungsi ginjal bahkan bisa sampai transplantasi ginjal. Terapi konservatif
meliputi perbaikan dan kontrol diet harian, meliputi asupan protein, jumlah kalori yang
dibutuhkan. Keseimbangan cairan, mineral, dan elektrolit juga harus dikontrol. Pada pasien
ini diberikan infus NaCl 0,9% dan diet rendah protein untuk mengurangi keracunan ureum.
Untuk terapi simptomatis, pasien diberikan suplemen alkali untuk mencegah asidosis
metabolik, dan diberikan juga eritropoetin dengan target Hb adalah 11-12 g/dl. Untuk terapi
pengganti fungsi ginjal, karena gagal ginjal kronik pada pasien ini terjadi bilateral, tetap
dilakukan hemodialisa selama belum dilakukan transplantasi ginjal.
19
DAFTAR PUSTAKA
Hogg, R.J., et al. 2003. National Kidney Foundations Kidney Disease Outcomes Quality
Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease in
Evaluation, Classification, and Stratification.
Kathuria,
P.
2014.
Chronic
Children
and
Initiative
Adolescents:
Pediatrics 111:1416-1421.
Kidney
Disease:
Diagnosis.
Available
<www.emedicinehealth.com/script/main/mobileartemh.asp?articlekey58887&
at:
page=1>
Kidney, C., et al. 2014. Management of Chronic Kidney Disease Objectives: Key points. (March).
Levin, A., et al. 2008. Guidelines for the management of chronic kidney disease. Canadian
Medical
Available
at: <http://www.ifcc.org>
NKDEP (National Kidney Disease Education Program). 2015. Chronic Kidney
at:
<saripediatri.idai.or.id/pdfile/6-1-8s.pdf>
Sudoyo A.W., et.al. editor. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Ed.V. Jakarta:
Publishing
20
Interna
Suhardjono. 2010. Penyakit Ginjal Kronik, suatu epidemiologi global baru: protect your kidney save
your heart. Perhimpunan Nefrologi Indonesia
21