Resume Akuntansi Pajak
Resume Akuntansi Pajak
sedangkan Pasal 11A UU PPh berisi ketentuan mengenai amortisasi atas pengeluaran untuk
memperoleh harta tak berwujud termasuk HGB, HGU, Hak Pakai, Goodwill, dan harta atau
asset tak berwujud lainnya.
Namun perlu diketahui bahwa terkait dengan masalah penghitungan penyusutan dan
amortisasi fiskal ini, ketentuan pajak atau ketentuan fiskal tidak seluruhnya mengadopsi
ketentuan-ketentuan yang ada dalam prinsip akuntansi umum (Standar Akuntansi
Keuangan/SAK). Secara khusus, otoritas pajak telah menetapkan beberapa ketentuan
khusus yang diatur dalam peraturan-peraturan berikut (yang masih berlaku sampai saat
artikel ini ditulis):
1. Pasal 11 dan Pasal 11A UU PPh;
2. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 96/PMK.03/2009; dan
3. PMK Nomor 249/PMK.03/2008 stdd PMK Nomor 126/PMK.03/2012;
Sebagai contoh misalnya pada tahun 2012 Wajib Pajak membeli ordner, whiteboard, dan
perkakas kecil lainnya untuk dipakai dalam kegiatan operasional usaha sehari-hari. Menurut
SAK, karena nilai dari perkakas kantor tersebut tidak terlalu besar, maka seluruh harga
pembelian perkakas itu boleh dibebankan sekaligus pada tahun 2012. Akan tetapi secara
fiskal, harga beli perkakas tersebut seharusnya tidak dibebankan sekaligus sebagai biaya di
tahun 2012 tetapi dibebankan secara bertahap sesuai dengan umur atau masa manfaat
perkakas yang bersangkutan.
Pengelompokkan Harta
Untuk mengetahui di kelompok berapa aktiva atau harta yang kita gunakan, kitaWajib
Pajakharus melihat pada Lampiran I s.d. Lampiran IV yang ada di PMK Nomor
96/PMK.03/2009. Di lampiran tersebut sudah ditentukan jenis-jenis aktiva untuk masingkelompok harta yang disebutkan di tabel di atas, sesuai dengan jenis usaha dan kegiatan
Wajib Pajak. PMK ini berlaku umum untuk seluruh Wajib Pajak, kecuali bagi Wajib Pajak yang
disebutkan dalam PMK Nomor 249/PMK.03/2008.
Kemudian jika misalnya kita punya aktiva tetapi aktiva kita tidak tercantum dalam Lampiran
I hingga Lampiran IV PMK tersebut, maka aktiva kita itu dianggap masuk Kelompok 3. Itu
artinya aktiva kita tadi harus disusutkan selama 16 tahun [Pasal 2 ayat (1) PMK Nomor
96/PMK.03/2009).
Namun jika kita bisa menunjukkan bahwa aktiva kita yang tidak tercantum dalam lampiranlampiran PMK tersebut bukan termasuk Kelompok 3, maka kita bisa mengajukan
permohonan untuk penetapan kelompok atas aktiva kita tersebut sesuai dengan masa
manfaat yang sebenarnya. Permohonan ini harus diajukan kepada Kepala Kantor Wilayah
DJP setempat, sesuai dengan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-55/PJ./2009. Tanpa ada surat
persetujuan dari Kepala Kantor Wilayah DJP, aktiva kita yang tidak tercantum dalam
Lampiran I hingga Lampiran IV akan tetap dianggap masuk Kelompok 3.
Khusus bagi Wajib Pajak bidang usaha tertentu, ketentuan mengenai penyusutan aktiva atau
hartanya diatur secara khusus melalui PMK Nomor 249/PMK.03/2008 tanggal 31 Desember
2008 tentang Penyusutan Atas Pengeluaran Untuk Memperoleh Harta Berwujud Yang Dimiliki
Dan Digunakan Dalam Bidang Usaha Tertentu.
Non-Depreciable Assets
Dalam ketentuan fiskal, ada aktiva yang digolongkan sebagai aktiva yang tidak boleh
disusutkan(non-depreciable assets) yaitu tanah hak milik, termasuk tanah yang berstatus
hak guna bangun, hak guna usaha, dan hak pakai yang pertama kali. Terkait dengan tanah,
hanya perpanjangan hak guna bangun, hak guna usaha, atau hak pakai saja yang boleh
disusutkan melalui mekanisme amortisasi sesuai Pasal 11A UU PPh.
Misalnya di tahun 2012 ini kita membeli sebidang tanah seharga Rp 1.500,- dengan rincian
Rp 1.000,- sebagai harga pokok tanah, Rp 300,- sebagai penggantian hak guna bangun yang
tersisa dan Rp 200,- sebagai biaya notaris dan biaya perolehan lainnya. Dalam hal ini
seluruh biaya pembelian tanah Rp 1.500,- tidak boleh disusutkan yang artinya tidak akan
pernah ada biaya terkait dengan tanah tersebut.
Jika misalnya terhadap tanah tadi kita perpanjang hak guna bangunnya dengan biaya Rp
500,- untuk masa hak guna bangun 20 tahun, maka terhadap biaya perpanjangan ini bisa
disusutkan melalui mekanisme amortisasi seperti yang diisyaratkan Pasal 11A UU PPh.
Menurut penjelasan Pasal 11 ayat (1) UU PPh, tanah bisa saja disusutkan dan dibebankan
menjadi biaya usaha apabila tanah tersebut berkurang karena penggunaannya untuk
memperoleh penghasilan. Misalnya tanah yang dipergunakan oleh perusahaan genteng,
keramik atau batu bata untuk memproduksi genteng, keramik dan batu batanya.
Depreciable-Not-Deductible
Aktiva atau harta yang tergolong depreciable-not-deductible-assets adalah aktiva-aktiva
yang oleh ketentuan dan peraturan pajak dianggap tidak memilki hubungan dengan
kegiatan usaha untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan/3M.
Misalnya saja asset berupa perumahan atau mess karyawan bagi Wajib Pajak yang tidak
mendapat penetapan sebagai pengusaha di daerah terpencil. Dalam hal ini, kita boleh saja
menghitung penyusutan atas mess atau perumahan tersebut untuk kepentingan
penyusunan laporan laba rugi komersial kita. Tetapi saat akan membuat SPT Tahunan PPh,
biaya penyusutan mess atau perumahan itu harus dikoreksi positif.
Meski asset yang kita miliki kita gunakan dalam kegiatan usaha atau terkait 3M, tetapi
apabila penghasilan dari kegiatan usaha kita itu dikenakan PPh bersifat final, maka
penyusutan asset itu pun tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Misalnya jika kita bergerak
di bidang usaha jasa konstruksi dan kita memiliki alat-alat berat konstruksi. Dalam hal ini,
karena penghasilan dari usaha jasa konstruksi sudah dikenakan PPh Final Pasal 4 ayat (2),
maka penyusutan atas alat-alat konstruksi itu tidak boleh dibiayakan lagi.
Metode Penyusutan
Metode penyusutan yang diperbolehkan oleh UU PPh hanya ada dua, yaitu Metode Garis
Lurus/GL (Straight Line Method) dan Metode Saldo Menurun/SM (Declining Balance
Method).
Khusus untuk asset atau aktiva berupa bangunan, metode penyusutan yang diperkenankan
oleh UU PPh hanyalah Metode Garis Lurus/GL.
Dengan Metode Garis Lurus, biaya penyusutan untuk setiap tahun dihitung dengan cara
membagi jumlah biaya perolehan asset dengan masa manfaat asset yang sudah ditentukan
oleh Pasal 11 UU PPh. Misalnya kita membeli komputer dengan total harga perolehan Rp
10.000.000,-. Kemudian jika misalnya komputer itu menurut PMK 96/PMK.03/2009 tergolong
sebagai asset Kelompok 1 dengan masa manfaat 4 tahun, maka dengan menggunakan
Metode Garis Lurus, biaya penyusutan per tahunnya = Rp 10.000.000,00/4 tahun = Rp
2.500.000,00/tahun.
Jika penyusutan komputer dihitung dengan Metode Saldo Menurun (SM), maka besarnya
penyusutan untuk masing-masing tahun akan berbeda. Penyusutan pada awal-awal tahun
akan lebih besar dibandingkan dengan akhir tahun.
Penyusutan Tahun ke-4: = seluruh nilai sisa buku fiskal (Rp 10.000.000,00 Rp
5.000.000,00 Rp 2.500.000,00 Rp 1.250.000,00 = Rp 1.250.000,00) disusutkan
sekaligus pada tahun ke-4 (tahun terakhir).
Untuk satu aktiva, Wajib Pajak hanya boleh memilih satu metode penyusutan dan metode
itu harus diterapkan secara konsisten atau taat azas. Jika Wajib Pajak memiliki dua aktiva
berbeda, maka kedua asset itu bisa dipilih metode yang berbeda-beda. Misalnya untuk asset
A dipilih Metode Garis Lurus, sedangkan untuk asset B dipilih Metode Saldo Menurun. Jika
Wajib Pajak hendak mengubah metode penyusutannya, Wajib Pajak terlebih dahulu harus
mendapat persetujuan dari Dirjen Pajak sesuai ketentuan Pasal 28 ayat (6) UU KUP. Lihat
juga SE-40/PJ.42/1998 dan SE-14/PJ.313/1991.