Modul 1
Modul 1
1.
Pendahuluan
Mata Kuliah
:
Kepemimpinan Sektor Publik
SKS
:
3 SKS
Jurusan :
Administrasi Publik
Tujuan Pembelajaran
:
Penguasaan
materi
dalam modul ini, dirancang sebagai landasan dasar akan
dapat memahami dan mengerti tentang kebutuhan dan
tantangan akan leadership disemua level dan
peningkatan terhadap leadership.
2. Perspektif Kepemimpinan Sektor
Publik
1. PENDAHULUAN
Bagaimana bisa meningkatkan kepemimpinan di sektor publik,
dan apa peran kepemimpinan politik dan administratif dalam
membentuk masa depan dari sektor publik ?
Kepemimpinan sektor publik mencoba memberikan jawaban ke
pertanyaan yang dirasakan ilmu dan praktek manajemen di jaman
sekarang.
Hal sentral yang harus diperhatikan adalah perlunya
kepemimpinan yang cukup di sektor publik, private dan non-profit.
Banyak orang setuju bahwa kita memerlukan kepemimpinan yang
kuat dan efektif karena ada sesuatu yang ingin kita capai dan kita
perlu memahami apa yang terjadi.
Di banyak kasus hidup seperti diluar kontrol, kekuatan globalisasi,
penyesuaian politis dan terror internasional sepertinya terjadi
dalam skala besar.
Korporasi, organisasi publik, dan non-profit saling bermunculan di
dunia yang kompleks dan di tengah perkembangan dunia
Kita perlu sadar bahwa managing dan leading adalah aktivitas
berbeda, bahwa ketika anda melakukan managing, anda
melakukan sesuatu, dan ketika anda melakukan leading anda
melakukan sesuatu yang lainnya.
Tapi bidang administrasi publik dikembangkan untuk Menyiapkan
dan memandu manager publik, bukan leader publik.
Apa arti dari perubahan peran dan tanggung jawabnya?
Persamaan stream difokuskan ke manajemen, dan ke situasi saat
manajemen sulit bertindak konsisten dengan panduan yang dibuat
leader politik.
[1]
[1]
MODUL O
N
S
E
P
K
E
P
E
M
I
M
P
I
N
A
N
S
E
K
T
O
R
P
U
B
L
I
K
Tapi jika kita meminta manajer untuk melakukan leading, bagaimana dengan perannya
yang berisi inisiatif dan respon langsung ke kebutuhan politik?
Apa perbedaan
antara
leadership
publikSektor
dan Publik
leadership sipil? Yang dibutuhkan
Kepemimpinan
Sektor Publik
/ Konsep
Kepemimpinan
sekarang ini adalah leadership disemua level, ini bukan berarti meningkatkan
kapasitas leadership dari badan pemerintah, yang umumnya diartikan begitu, ini
melibatkan organisasi masyarakat dan organisasi sipil untuk mencari solusi ke
masalah yang ditemukan di level ini, khususnya di level komunitas.
Ini berarti bahwa kita perlu memahami ide leadership sipil Bagaimana kita
mengembangkan rakyat menjadi leader, bagaimana administrator publik berinteraksi
secara efektif dan bertanggung jawab dengan leader rakyat? Apa hubungan antara
leadership sipil, leadership politik dan leader didalam administrasi ?
Dalam negara ini, leadership terbesar di segala sekmen masyarakat dan turun sampai
semua level, dan sistem tidak akan berjalan apa adanya kecuali ada banyak orang di
masyarakat yang siap mengambil tindakan seperti leader agar urusan dilevelnya
berjalan semestinya.
Kebutuhan akan peningkatan leadership bukan hanya kebutuhan meningkatkan
leadership di korporasi, pemerintah, dan non profit, bukan leadership di komunitas,
organisasi agama, dan organisasi sipil, atau kelompok teman, tetangga dan keluarga.
Perspektif ini memberikan tantangan ke pihak yang ingin meningkatkan kapasitas
leadership di dalam organisasi publik.
Raffle, Leisink dan Middlebrooks, mengemukakan rendahnya perhatian ke leadership
publik dan perlunya perhatian besar ke area ini.
Tapi, leadership sektor publik, atau leadership di pemerintah, memberi beberapa
tantangan, ada tiga isu yang perlu dipertimbangkan.
Apa perbedaan antara managing dan leading. Apa implikasi tersebut ke etika publik
service?
Kepercayaan ke pemerintah, ke bisnis dan ke institusi sosial telah menurun drastis di
beberapa dekade sebelumnya.
Sinisme ke leader terkesan besar, dan banyak leader dianggap tidak membantu, meski
bisa mengurangi masalah.
Kita dibuat frustasi oleh kurangnya leadership di pemerintah, di korporasi dan di
masyarakat, tetapi juga sulit mengindentifikasi apa masalahnya.
Warren Bennis (1997) mengatakan sebuah krisis leadership di USA dan seluruh dunia,
tetapi krisis tersebut sulit diidentifikasi.
Menurut Bennis krisis leadership ini adalah ancaman yang paling urgen dan bahaya
karena ini jarang diperhatikan dan dipahami.
Untuk memudahkan pengertiannya, kita perlu meningkatkan leadership, tapi bukan
hanya meningkatkan leadership di bagian atas organisasi atau masyarakat. Kita perlu
meningkatkan leadership di semua level.
Bila kita berpikir tentang leader, kita berpikir tentang orang dengan posisi power di
masyarakat. Contoh bisa raja, presiden, ratu, perdana menteri, gubernur, legislator,
dan semua pimpinan di masyarakat.
Kita jarang berpikir tentang fakta bahwa kita melakukan tindakan leadership setiap
harinya, baik di keluarga, kelompok kecil, pekerjaan dan perkumpulan sosial.
John Gardner (1987) mengatakan apa yang kita rasakan sekarang adalah perlunya
leadership di seluruh masyarakat. Turbulensi yang lebih ramai dibanding sebelumnya,
bahkan di dunia personal, perjuangan bisa memberikan fokus kehidupan kita,
[2]
[3]
[4]
2008 tentang Public Sector Competencies and Curricula yang diselenggarakan oleh
James McGregor Burns Academy for Leadership di University of Maryland, seorang
partisipan Sektor
mengatakan:
New York
Library memiliki
jutaan volume leadership tapi tidak
Kepemimpinan
Publik / Konsep
Kepemimpinan
Sektor Publik
satu pun buku menunjukkan leadership sektor publik. Van Wart (2003) dalam reviewnya
tentang leadership sektor publik memberikan kesimpulan yang lebih analitik, Literatur
tentang leadership dengan fokus sektor publik adalah sebuah fraksi dari literatur sektor
privat. Morse dan Buss (2008) mengukur dominansi sektor privat dibanding literatur
leadership sektor publik, dan hasilnya adalah 27 ribu hit dari Google untuk buku
leadership tapi hanya 148 yang muncul untuk sub-kategori urusan publik dan
administrasi (Van Wart, 2003). Secara tradisional, sektor publik dan non-profit
menggunakan model sektor privat untuk mencari ide dan solusi leadership ke masalah
leadership. Sektor privat selalu memiliki masalahnya sendiri, meski begitu, dan tetap
begitu sampai sekarang (Ingraham, 2006b). Tantangan yang ada adalah membuat model
dan penelitian leadership yang tepat bagi sektor publik.
Banyak literatur sektor publik cenderung difokuskan ke leadership politik orang
besar (great men) yang menjadi leader politik, dan ke sifat atau karakteristik individualnya.
Literatur leadership sektor publik difokuskan ke presiden dan juga ke Kongres seperti
yang ditunjukkan di Encyclopedia of Leadership (Goethals, dkk, 2004) yang berisi FDR,
JKF dan leadership politik, bersama dengan Adolf Hitler, Ibu Theresa, Gandhi dan
Genghis Khan, tapi bukan leadership sektor publik atau leadership pemerintah.
Leadership sektor publik jauh lebih spesifik dibanding leadership general dan
bahkan lebih ekspansif dibanding leadership politik, seperti yang ditunjukkan beberapa
publikasi terbaru. Van Wart dan Dicke (2007) mengemukakan beberapa tipe leadership
sektor publik, yaitu organisasi (yang telah diabaikan dan dijadikan fokus), politik, dan
gerakan (peran Martin Luther King dalam gerakan hak sipil). Kategorisasi Morse dkk
(2007) berisi leadership politik (terpilih atau angkatan tinggi, leader top government),
leadership organisasi (leadership formal di dalam organisasi publik, dari supervisor lini
sampai ke atas); dan leadership nilai publik keluar dari pemerintah dan masuk ke
governance, yang difokuskan ke penyelesaian masalah publik dan meliputi leadership
on-the-ground.
Literatur leadership sektor publik difokuskan ke leader politik, dan tidak heran,
fokusnya mengabaikan perbedaan (kritis dalam sektor publik) antara leader sebagai
individu dan leadership sebagai proses. Lawler (2008) menyimpulkan bahwa fokus dari
literatur leadership mengindividukan leadership, tepatnya, melihat leadership sebagai
individu yang mempengaruhi individu/kelompok lain. Leader dianggap sebagai visioner,
heroik, transformasional, transaksional, karismatik, inspirasional, fleksibel, sensitif,
inovatif, tapi tema yang sering dijaga adalah bahwa leadership adalah individualis. Van
Wart dan Dicke berisi beberapa karakteristik leadership yang terangkum dalam Skill, yaitu
skill teknis, komunikasi, sosial pengaruh dan negosiasi, analitik, dan pembelajaran
kontinyu; Sifat; dan Gaya, yang bisa manajer transaksional berorientasi-tugas versus
leader transformasional yang merubah sistem teknis secara radikal dan leader
entrepreneurial; dan Teknik fungsional dari leader.
Teori dan praktek leadership telah berkembang selama beberapa dekade lampau,
bahkan di luar karakteristik leader individu (meski itu masih dipertimbangkan). Seperti
yang dikatakan Crosby dan Kiedrowski (2006) dalam review literatur, Bidang leadership
bergerak dari fokus ke leadership yaitu dari individu sebagai leader ke hubungan antara
leader dan follower (atau konstituen, kolega, kolaborator). Yang berhubungan dengan
[5]
perubahan konseptualisasi ini adalah rekognisi bahwa potensi leadership bisa lebih besar
dibanding yang dipikirkan, dan kebutuhan akan itu juga lebih besar. Leader otoriter yang
kuat dan Sektor
tunggal,
meski
imejnya
sering terlihat
di Publik
dalam budaya, tidak cocok dengan
Kepemimpinan
Publik
/ Konsep
Kepemimpinan
Sektor
kebutuhan modern akan leadership dan perubahan (Holzer, 2008).
Selain perbedaan antara leader dan leadership, keilmuwan leadership sektor publik
hanya berisi perbedaan antara manajemen dan leadership. John Kotter (1990)
menjelaskan perbedaan antara manajemen (membuat perintah dan efisiensi) dan
leadership (melakukan perubahan dan gerakan). Perbedaan ini sering digambarkan
dalam cara berikut. Manajer memastikan bahwa kereta berjalan tepat waktu dan bahwa
tidak ada jalur yang memotong ketika leader menentukan arah yang harus dituju kereta.
Karena memahami perbedaan dalam skill dan proses adalah hal penting, maka
leadership sektor publik yang efektif membutuhkan manajemen dan leadership yang baik
(Yukl dan Lepsinger, 2004). Dalam keilmuwan administrasi publik, Denhardt dan Denhardt
(2006) melihat leadership sebagai proses perubahan, yang menggerakkan orang ke arah
baru, mencapai visi baru, atau sekadar melakukan sesuatu yang berbeda atau lebih baik.
Manajemen adalah tentang proses rasional. Manajemen bekerja di dalam dunia yang
penuh tatanan dan regulasi, sedangkan leadership dijalankan dalam dunia keterbukaan
dan perubahan. Ketika leader sektor publik harus melawan tantangan yang ada, mereka
perlu tahu dan berkinerja sebagai manajer dan leader jika ingin secara efektif memahami
facet substansi dan proses di dalam isu yang dimaksud.
Di dalam literatur administrasi publik Eropa, interest di manajemen publik lebih kuat
dibanding leadership. Proses reformasi manajemen publik (Pollitt dan Bouckaert, 2000)
membentuk interest di bidang manajemen (Clarke dan Newman, 1997; Ferlie dkk, 1996;
Noordegraaf, 2000). Secara simultan, beberapa peneliti mempelajari leadership
organisasi dan peran leader dalam melindungi misi dan nilai organisasi (Boin, 1998; Hart,
1999). Tantangan global baru yang membutuhkan leadership di luar batasan organisasi
publik hanya menarik interest dari peneliti administrasi publik (Boin dan Hart, 2003; Boin
dkk, 2005). Analisis mereka memberikan pesan penting ke siswa tentang aksi leadership
publik seputar tantangan kompleks yang mereka hadapi. Aksi leadership untuk mengatasi
bahaya krisis public safety dimaksudkan untuk tindak lanjut, menenangkan publik bahwa
segalanya telah terkontrol, dan membangun situasi yang familiar sebelum krisis
selanjutnya muncul. Ini berbeda dari skill dan aksi yang dibutuhkan untuk menarik
pelajaran dari krisis, yang mengharuskan leadership publik untuk menunjukkan sikap
terbuka ke pihak lain dan melakukan debat tentang apa yang salah agar bisa melakukan
reformasi yang mempermudah tindak lanjut ke tantangan masa depan secara lebih
efektif. Meski studi ini memberikan wawasan yang relevan, ini terbatas ke leader dalam
artian orang di posisi senior di pemerintah dan organisasi publik. Perspektif pemerintah
internal kurang memberikan penjelasan kapan leadership kolaboratif dibutuhkan di
organisasi publik, non-profit dan profit.
Arah Sekarang
Satu abad sejauh ini hanya berisi keilmuwan tentang leadership sektor publik.
Karya baru yang ada berisi review literatur dan analisis, kumpulan paper dan
beberapa perspektif baru tentang leadership sektor publik. Tapi seperti yang
ditunjukkan, ada batasan di literatur.
Karena emphasis literatur leadership diberikan ke sektor privat, maka tidak
heran beberapa review mengemukakan pertanyaan tentang bagaimana leadership
sektor publik bisa berbeda dari leadership sektor privat. Van Slyke dan Alexander
[6]
(2006) bertanya: seberapa signifikan perbedaan itu bagi leadership sektor publik (dan
non-profit)? Beberapa perbedaan sektor publik dijelaskan sebagai berikut:
Perbedaan
dalam
ukuran
kinerja dari
marjin
profit dan harga saham menjadi
Kepemimpinan
Sektor Publik
/ Konsep
Kepemimpinan
Sektor
Publik
ukuran yang lebih ambigu, yang berkaitan dengan beberapa tujuan.
Mekanisme otoritas sektoral yang berisi transparansi, akuntabilitas, dan batasan
hukum yang menghubungkan kontrol administratif, due process, dan pembuatan
aturan; perbedaan kapital manusia berdasarkan reward dan diskresion.
Akuntabilitas ke stakeholder dari shareholder, dewan, konsumen partner network,
analis finansial, dan badan regulasi versus rakyat, kelompok kepentingan,
pejabat terpilih, mahkamah, klien layanan langsung, dan media antar level
pemerintah, organisasi dan batasan politik.
Van Wart dan Dicke (2008) melihat batasan sebagai yang berbeda dari yang
dihadapi sektor privat. Van Slyke dan Alexander (2006) berpendapat bahwa meski
banyak skill leadership yang dibutuhkan ternyata sama antar sektor publik dan privat,
kita bisa katakan bahwa leader sektor publik membutuhkan paket skill berbeda untuk
memimpin dan mengurus sifat organisasi sektor publik.
Leadership sektor publik dengan emphasis ke sebuah leadership organisasi
dan perspektif administrasi publik baru saja muncul sebagai sebuah bidang, dan
jarang ada buku terbaru tentang topik ini. Masih sedikit karya tentang leadership
sektor publik. Stimulus terbaru adalah tulisan Montgomery Van Wart, dalam artikelnya
di Public Administration Review (PAR) (Van Wart, 2003) dan buku komprehensifnya,
Dynamics of Leadership in Public Service: Theory and Practice (2005). Review awal
dari buku tersebut menunjukkan bahwa ini adalah sebuah prestasi signifikan. Ini
adalah tambahan penting bagi literatur tentang leadership di sektor publik. Akan baik
bila punya teks tentang tujuan leadership sektor publik.
Buku itu difokuskan ke leadership organisasi di dalam sektor publik dan nonpublik. Meski Van Wart menggunakan kearifan kuno, rakyat dan sastra dalam
teksnya, dan mengambil gambaran dari leader historis di luar USA seperti Alexander
the Great, Napoleon Bonaparte, dan Catherine the Great, buku ini cenderung
Amerika-sentris dengan sedikit referensi di luar USA.
Van Wart meneruskan ini dengan dua catatan. Bersama Lisa Dicke, Van Wart
mengedit Administrative Leadership in the Public Sector (2007) untuk American
Society for Public Administration Classics Series. Volume ini berisi sembilan bagian
yang disusun berdasarkan kerangka Van Wart, yaitu, yang terkait dengan penetapan
tujuan, sifat personal dan leadership situasional. Hampir semua dikemukakan
sebagai pertanyaan: Apa tujuan dan prioritas leader administratif? Apa sifat dan skill
terbaik bagi leader dalam public service? Apa gaya terbaik yang harus dilakukan
leader sektor publik? Apa teknik terbaik yang harus digunakan leader administratif?
Bagaimana kita mengevaluasi leadership dalam sektor publik? Bagaimana kita
mengembangkan leader? Van Wart (dengan Suino, 2008) juga menyingkat buku
Dynamics menjadi teks 300 halaman.
National Academy of Public Administration menggambarkan sebuah usaha
yang melahirkan publikasi Morse dkk Transforming Public Leadership for the 21st
Century (2007) yang melihat apa tampilan dari perubahan (dari hirarki dan commandand-control ke kolaborasi dan network) dan juga memberikan panduan tentang
bagaimana tampilannya seharusnya. Secara spesifik, buku ini difokuskan ke peran
leader karir yang ada di public service yang menjadi agen perubahan bukan
[7]
hanya di organisasinya sendiri, tapi juga di komunitas dan domain kebijakan. Leader
bekerja di setting network, membuat koneksi dan berkolaborasi untuk menciptakan
nilai publik
kebaikan
umum.
Kepemimpinan
Sektordan
Publik
/ Konsep
Kepemimpinan Sektor Publik
Modul ini diawali dengan pendahuluan yang menekankan kurangnya karya
tentang leadership publik, dan editor berpendapat bahwa banyak karya tersebut
difokuskan ke leadership politik, bukan leadership administratif. Editor menyayangkan
kurangnya keilmuwan dari dilema leadership new governance, dan essay ini
difokuskan ke perubahan lansekap leadership publik. Kesimpulan Morse dan Buss
mendefinisikan sebuah masalah di literatur, yaitu terlalu sedikit keilmuwan pada
dimensi leadership dari new governance. Bahasa leadership masih cenderung
didominasi oleh paradigma posisi organisasi hirarkis dan tidak bersentuhan dengan
prinsip baru governance, network dan kolaborasi.
Di tahun 2008, Morse dan Buss menerbitkan buku lainnya, Innovations in
Public Leadership Development, yang menyatakan ada sedikit karya tentang level
manajemen sektor publik dibanding leadership politik dan militer. Meski ada fakta
bahwa ini adalah bidang yang jarang dipelajari, ada program pelatihan dalam
pengembangan leadership yang ditawarkan oleh pemerintah federal dan negara
bagian, asosiasi profesional seperti ICMA, dan universitas. Bagian pendahuluannya
menerangkan bahwa model hirarkis top-down dalam manajemen dan leadership
memberikan jalan ke model kolaborasi dan network (Goldsmith dan Eggers, 2004
seperti yang dikutip dalam Morse dan Buss, 2008). Mereka mengatakan bahwa ini
adalah masa kritis bagi pengembangan leadership. Hancurnya dikotomi kebijakan/
administrasi, yang berarti bahwa principal politik memimpin, dan agen administratif
mengurus, menghasilkan rekognisi bahwa leadership juga menjadi tanggungjawab
manajer publik. Mereka mendeskripsikan krisis diam dalam pemerintah, termasuk
kurangnya persiapan leader, kurangnya konfidensi publik ke pemerintah, age
bubble, dan meningkatnya leadership politik di atas civil service. Terakhir, leadership
publik dirubah dari konsepsi command-and-control menuju partnership dan network.
Paper dari Symposium on the Path Ahead for Public Service Leadership tahun
2005 diedit oleh Patricia Ingraham dan diterbitkan sebagai simposium jurnal di dalam
American Review of Public Administration setahun kemudian. Simposium dipusatkan
ke pandangan leader tentang tantangan dan masalah leadership. Ingraham (2006b)
menemukan bahwa ada banyak literatur tentang analisis studi kasus tentang
leadership, tapi minim karya sistematik yang menghubungkan leadership ke
efektivitas. Dia bertanya Kapan leadership menjadi penting? Bagaimana leadership
menjadi penting? Dalam kesimpulannya, Ingraham dan Van Slyke (2006)
menjelaskan implikasi simposium, yaitu bahwa bakat penting yang muncul dari
simposium ini bukanlah memimpin orang dan berkomunikasi efektif. Tapi, hasilnya
adalah bakat untuk menggunakan dan memahami kerangka baru bagi integrasi
leadership yaitu leadership antar batasan, organisasi dan budaya. Mereka juga
menjelaskan kapasitas leadership etika. Humphrey School di University of Minnesota
mendirikan Center for Integrative Leadership untuk menjalankan penelitian
leadership multidisipliner, pendidikan kelas formal, pendidikan publik, dan
pengembangan leadership berdasarkan dalil bahwa leader perlu memadukan
pengetahuan dan bakat dari individu, unit, dan organisasi di dalam sektor bisnis, nonprofit dan pemerintah (Crosby dan Kiedrowski, 2007).
[8]
[9]
seluruh dunia semua menulis leadership dari berbagai perspektif budaya dan
organisasi (Crosby dan Kiedrowski, 2006). Seperti yang ditunjukkan di review literatur
US, beberapa
publikasi
berisi
hasil penelitian
internasional.
Kepemimpinan
Sektor Publik
/ Konsep
Kepemimpinan
Sektor
Publik
Selain itu, kebutuhan untuk mempelajari leadership di dalam konteks
governance atau network membutuhkan pemahaman tentang karakteristik dan
kondisi leadership (kolaboratif). Faktanya, baik pakar administrasi publik US (seperti
Mandell, 2001) dan Eropa (seperti Kickert, dkk, 1997; Klijn dan Koppenjan, 2000)
telah membuat network dan menjelaskan manajemen network, tapi kecil perhatian
yang diberikan ke leadership kolaboratif di situasi yang membutuhkan keterkaitan,
dan ternyata, asumsi pendekatan terpusat-negara ke governance tidak bisa bertahan.
Di lain pihak, interest baru di dalam leadership publik kolaboratif bisa mendapat
manfaat dari wawasan yang dihasilkan oleh studi tentang leadership kolaboratif dari
sebuah perspektif generik, seperti Balkundi dan Kilduff (2005), Grint (1997), Reicher
dkk (2005) dan Schruijer dan Vansina (2002) di seluruh Eropa. Mereka sepakat
bahwa leadership adalah sebuah proses pengaruh dinamis antara dua atau lebih
pihak. Emphasis ke proses leadership tidak berarti bahwa leader tidak ada mereka
identifikasi sebagai pihak yang memberikan kontribusi kuat (Hosking, 1997), tapi
leadership tidak bisa diidentifikasi dari karakteristik orang yang hebat. Di level analisis
generala, dua karakteristik ini membentuk inti dari proses leadership, yang mana ini
menciptakan persamaan tujuan dan mewujudkan sesuatu. Prinsip menciptakan
persamaan tujuan menunjukkan bahwa leadership adalah sebuah proses dimana
tatanan sosial dinegosiasikan, dan bahwa partisipan tidak menganut nilai yang sama
(Hosking, 1997). Dalam sebuah setting leadership kolaboratif, proses kesepakatan
tujuan umum bisa saja sangat sulit, seperti yang dikatakan Huxham dan Vangen
(2000), karena organisasi berbeda dan wakilnya bisa memiliki beragam tujuan dan
batasan proses. Saran agar leadership melakukan penciptaan tujuan secara bersama
menghasilkan rekognisi bahwa partisipan berbeda bisa mencari nilai dan interest
yang berbeda, dan kadang berkonflik, dan bahwa di akhir pertimbangan ini, nilai
dan interest cenderung ditingkatkan dengan mengurangi lainnya sehingga
leadership menjadi ibaratnya proses politik (Hosking, 1997).
Bagi studi tentang leadership publik kolaboratif, sifat hubungan dependensi
antar pihak yang terlibat adalah sebuah topik yang sangat relevan. Huxham dan
Vangen (2000; Keast dkk, 2004) berpendapat bahwa studi tentang leadership dalam
organisasi beranggapan bahwa ada leader formal dengan otoritas dan sebuah
hubungan hirarkis, dan bahwa presumsi ini adalah problematik dalam setting
kolaboratif karena individu yang terlibat berasal dari organisasi atau kelompok
berbeda. Meski begitu, fitur hubungan dependensi ini jarang dipahami bila hubungan
antara organisasi negara bagian dan organisasi lainnya di situasi governance
didiskusikan lebih jauh, karena peneliti ilmu politik (seperti Pierre dan Peters, 2000)
cenderung menggunakan pendekatan negara-sentris ke governance, yang
dihubungkan dengan prinsip keutamaan politik.
Pertanyaan Terbaru
Review status bidang leadership sektor publik melahirkan beberapa set
pertanyaan, yang masing-masing diulas di satu bagian dari buku.
-
[10]
Bagaimana sifat leadership sektor publik bisa berubah ketika leader mengatasi
isu substantif tentang terorisme, bencana alam dan global warming, perubahan
demografik
yang
berisiKepemimpinan
ageing dan Sektor
imigrasi,
dan isu proses dari leadership
Kepemimpinan
Sektor Publik
/ Konsep
Publik
hirarkis sampai leadership kolaboratif, yaitu government to governance ?
Bagaimana leader bisa menindaklanjuti kebutuhan transparansi, partnership
publik-privat, dan new public management (NPM) secara lebih general?
-
2.3 Tujuan
Tujuan tulisan ini adalah mendefinisikan isu yang dirasakan otoritas dan organisasi
publik di berbagai negara maju ketika mereka dihadapkan dengan tantangan abad 21.
Tulisan juga memeriksa berbagai cara yang digunakan leader dalam melawan tantangan
tersebut. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana leadership publik di dunia bisa
mengatasi tantangan baru (contohnya, keamanan, finansial, demografi), harapan leader
yang baru (contohnya, new public management, kolaborasi inter-organisasi dalam
memberikan layanan, dan membicarakan isu publik), dan apa maksud leadership di
dalam sektor publik baru.
Pertimbangan tentang globalisasi dan interest di pekerjaan internasional
memunculkan perlunya meng-internasional-kan kurikulum administrasi publik dan
leadership di USA. Banyak program mencoba lebih global, tapi textbook cenderung
sangat fokus ke US. Di Eropa dan seluruh dunia, contohnya, China, ada ekspansi
program administrasi publik, yang sepertinya lebih mencari perspektif internasional
dibanding textbook US. Selain itu, ada interest lebih besar ke dalam leadership di dalam
[11]
sektor publik, mungkin karena kecewa dengan leader sekarang atau ada peningkatan
tantangan, seperti konflik keamanan, keuangan, ras dan etnis. Volume ini memadukan
bidang leadership
dan/ administrasi
publik, dan
skopnya
Kepemimpinan
Sektor Publik
Konsep Kepemimpinan
Sektor
Publik adalah internasional. Trend ke
arah integrasi bidang ini dan kebutuhan akan perspektif lebih luas tetap berlanjut ketika
standar akreditasi dari National Association of Schools of Public Affairs and Administration
(NASPAA) mengalami perubahan, seperti saat membuka akreditasi bagi program nonUS, meningkatkan spread program administrasi publik ke seluruh dunia, dan
meningkatkan interest di leadership dan sektor publik.
Pakar leadership menyimpulkan bahwa leadership adalah lebih dari set sifat atau
aktivitas. Ini memiliki banyak pemain, proses dan konteks. Kondisi bisa mempengaruhi
kesuksesan leader. Berdasarkan definisi general dari leadership seperti Northouse
(2007), yaitu sebuah proses dimana individu mempengaruhi sekelompok individu untuk
meraih tujuan umum, orang bisa menemukan banyak perspektif yang ada di dalam
leadership, yaitu leadership sebagai orang dan proses, berbagai sarana (dan etika) dari
pengaruh, bekerjasama dengan orang lain (beragam), dan menentukan tujuan umum
yang spesifik. Kita perlu mengkonsepkan leadership sebagai lebih daripada set sifat atau
aksi individu, yaitu sebagai sebuah proses, yang bisa diwujudkan pada hubungan,
struktur dan sistem kreatif, budaya di berbagai level, dan tujuan untuk mengatasi
substansi dan proses. Volume ini mempermudah pembaca melihat banyak situasi di dunia
agar bisa memahami hubungan antara konteks dan leadership. Instruktur yang
bermaksud membantu siswa mengembangkan skill leadershipnya bisa menggunakan
buku ini untuk bertanya bagaimana teori leadership yang dipelajari siswa bisa diterapkan
dalam konteks yang ada, dan hasil apa yang diberikan. Konteks, kolaborasi dan
tantangan baru membutuhkan model leadership baru, yang beberapa di antaranya
diterangkan di sini.
Van Wart (2005) tentang leadership sektor publik menjadi sebuah langkah signifikan
untuk memadukan leadership dan administrasi publik, dan volume ini mendukung itu. Ini
memberikan konteks empiris di berbagai kondisi dan isu leadership, yang melibatkan teori
dan konsep dalam satu teks.
Beberapa tulisan ini menjelaskan analisis negara-sentris dan menerangkan isu
kolaborasi antar sektor, yang merubah peran dalam paradigma new public management,
dan visi baru tentang leadership. Seperti yang dikatakan peserta dalam simposium
Maxwell School, Bagaimana saya memimpin pegawai yang tidak bekerja bagi saya atau
tidak memiliki ownership ke ethos organisasi? (Ingraham dan Van Slyke, 2006). Kita
perlu memperluas perspektif negara-sentris (hirarkis) termasuk perkembangan baru
seperti governance dan kolaborasi sektor publik-privat sekaligus menjaga fokus publik
dengan memberikan konsentrasi ke nilai publik yang ada.
2.4 Susunan Tulisan
Seperti yang ditunjukkan, tulisan ini ditata menjadi lima bagian. New Public
Management dan Tantangan Perubahan; Frontier Hubungan Politik-Administratif; Proses
Leadership dalam Network Lintas Organisasi; Etika, Nilai dan Keragaman; Pelatihan dan
Pengembangan Leadership.
1. New Public Management dan Tantangan Perubahan
Penggunaan filosofi new public management (NPM) dan instrumen kebijakan
terkaitnya memberikan tantangan bagi leadership sektor publik, dan membutuhkan
[12]
perspektif baru untuk sukses. NPM adalah kluster ide dan praktek yang pada intinya
menggunakan pendekatan sektor-privat dan bisnis di dalam sektor publik (Denhardt
dan Denhardt,
2000).
NPM memberikan
emphasis
ke fokus konsumen, pemberdayaan
Kepemimpinan
Sektor Publik
/ Konsep
Kepemimpinan
Sektor Publik
pekerja, perampingan kerja, kolaborasi lintas-sektor, dan manajemen kinerja (Van
Wart, 2005). Dalam model NPM, proses rowing, yang merupakan produksi layanan
pemerintah terpusat-birokrasi, digantikan dengan proses steering yang menggunakan
teknik seperti privatisasi dan kontrak luar, partnership publik-privat, dan berbagai
akuntabilitas dan ukuran kinerja.
Reformasi administratif, lewat proses dan struktur yang terinspirasi NPM, mulai
tersebar luas dan sering digunakan. Berry membahas nilai yang diciptakan oleh
pemerintah dan juga gaya leadership yang digunakan manajer dalam melakukan
reformasi, dan menilai apakah reformasi NPM mengangkat nilai yang paling diinginkan
di sebuah pemerintah demokratik. Kesimpulan yang ada adalah bahwa banyak
reformasi NPM tidak konsisten dengan nilai selain efisiensi, dan karena itu, bisa gagal
memenuhi aspirasi dan nilai yang diinginkan rakyat dari pemerintah. Berry
berpendapat bahwa keputusan dalam memilih gaya leadership manajerial yang tepat
jelas dibutuhkan, karena reformasi NPM mendorong praktek sektor privat yang akan
melunakkan sektor publik.
Kontribusi Saetren menganalisa upaya mereformasi beberapa proses
pemerintah Eropa. Program pengawasan efisiensi pernah dijalankan Margaret
Thatcher ketika dia menjadi Perdana Menteri di UK tahun 1979. Program ini
merepresentasikan sebuah strategi baru untuk meningkatkan kinerja di sektor publik.
Sejumlah pengawasan dilakukan pada beberapa tahun selanjutnya, dan ada hasil
impresif di sini. Bila dikatakan bahwa program ini merevolusi sistem Civil Service
seluruh UK adalah tidak berlebihan. Di saat sama, program efisiensi dengan tujuan
sama juga diluncurkan di Denmark dan Norway. Berbeda dari UK, program
Skandinavia ternyata gagal. Tujuan investigasi Saetren adalah mempertimbangkan
pengalaman reformasi berbeda, dan juga menjelaskan kesuksesan British. Saetren
menemukan bahwa konfluensi faktor pendukung, termasuk leadership politik
entrepreneurial, bisa juga menjelaskan ini.
Marcussen menfokuskan perhatiannya ke tekanan yang diberikan NPM ke
banking sentral di Eropa. Reformasi bank sentral terkesan omnipresent, yang
menunjukkan arah ke peningkatan transparansi, kinerja hasil dan pembuatan
keputusan komite. Meski begitu, di Eropa, reformasi berbeda dalam waktu, timing dan
tempo. Dengan menginvestigasi strategi leadership di Riksbank Swedia, Nationalbank
Denmark, Banca dItrarlia dan Bank Sentral Eropa, maka perbedaan tersebut bisa
ditemukan. Marcussen menganalisa faktor di level mikro, meso dan makro untuk
menjelaskan perbedaan ini.
Steen dan Van der Meer mendiskusikan bagaimana tekanan NPM pada civil
service senior bisa berdampak ke peran ganda dari leadership birokratik, yang
mencakup sebuah aspek manja (proses) dan fungsi penilaian kebijakan (konten).
Analisis komparatif dan historis dari konteks model leadership civil service perlu
didiskusikan lebih jauh. Peneliti memeriksa kasus Belanda. Mereka mendiskusikan
kapan perkembangan Algemene Bestuursdienst (ABD, Dutch Senior Civil Service) bisa
berjalan beriringan dengan orientasi manajemen yang dominan di dalam leadership
administratif. Penulis mendiskusikan bahaya penciptaan sebuah siklus manajemen
yang berjalan yang mengabaikan pakar kebijakan generalist dan peran advisory leader
[13]
sektor publik, dan yang memberikan impetus baru dari politikisasi top-down. Karena
itu, seperti peneliti lain, Steen dan Van der Meer menganalisa dilema di perubahan
peran leader
yang
dipicu oleh Sektor
NPM. Publik
Kepemimpinan
Sektor sektor
Publik /publik
Konsep
Kepemimpinan
2. Frontier Hubungan Politik-Administratif
Meski leadership dan penelitian manajemen cenderung menggunakan
pendekatan generik, Rainey (2003) dan Van Wart (2005) menerima pandangan bahwa
leadership di sebuah setting publik menunjukkan perbedaan karena frontier hubungan
politik-administratif yang ingin dikelola oleh leadership politik dan administratif.
Dikotomi politik-birokrasi klasik mulai dikritik di paruh terakhir abad (Du Gay,
2005; Svara, 2001). Penelitian empiris menunjukkan bahwa birokrat sering terlibat
dalam pembuatan keputusan politisi dibanding memahami pembagian politikadministratif, sedangkan analis berpendapat bahwa perubahan bisa mengaburkan
peran (Aberbach dkk, 1981; Aberbach dan Rockman, 2006). Kehidupan setiap hari
bisa mengakomodasi politik dan birokrat, tapi di saat reformasi, frontier tersebut
dipertanyakan. Reformasi ini adalah sebuah fenomena umum di semua level
pemerintah, sebagian karena ide politik dan reformasi manajemen publik yang sama,
dan sebagian karena kondisi lokalnya. Bagaimana hubungan antara leader politik dan
administratif bisa berubah, dan apa imbas perubahan ini ke akuntabilitas. Menunjukkan
gambaran global, yang beragam dari pemerintah lokal di USA sampai Komisi Eropa
hingga birokrasi Rusia.
Frontier politik-administratif klasik berada di jantung debat tentang perbedaan
pendekatan ke peningkatan akuntabilitas di pemerintah lokal US. USA memiliki sejarah
panjang dalam dua bentuk pemerintah, yaitu bentuk council-manager yang mana
manajer bisa dihentikan oleh council, dan bentuk mayor-council yang mana strong
mayor dan council bisa berkonflik dan menghambat akuntabilitas. Karena itu, Svara
terkejut bahwa di sejumlah kota bertipe council-manager, kebutuhan akan bentuk
mayor-council berawal dari argumen peningkatan akuntabilitas.
Konsep akuntabilitas dipetakan dengan membedakan antara akuntabilitas untuk
agenda kebijakan dan untuk kinerja administratif, dan antara horison waktu jangka
pendek dan jangka panjang. Berdasarkan bukti empiris yang ada, Svara
menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara satu bentuk pemerintah dan
peningkatan akuntabilitas. Klaim tentang peningkatan akuntabilitas berhubungan
dengan pendekatan berbeda ke konsep akuntabilitas. Satu pendekatan, yang didukung
kota mayor-council dengan eksekutif terpilih, melihat peningkatan akuntabilitas hanya
bisa dilakukan lewat atasan, dan ini adalah orientasi unidireksional dan jangka
pendekatan. Dalam pendekatan ini, leader politik mengontrol birokrasi. Pendekatan
lain ke peningkatan akuntabilitas, yang didukung kota council-manager dengan
walikota yang visioner dan fasilitatif, mempertimbangkan karakteristik multi-direksional
dan jangka panjang. Di beberapa kota yang menggunakan pendekatan ini, ada
tanggungjawab bersama, dan otoritas politik yang meminta pejabat birokratik akuntabel
disuplemen oleh komitmen bersama ke nilai dan norma bersama. Dua bentuk
pemerintah lokal ini memberikan dua pendekatan berbeda ke penciptaan akuntabilitas
dan kinerja. Meski begitu, menurut Svara, bentuk mayor-council yang dianggap bentuk
superior dalam peningkatan akuntabilitas ternyata tidak memberikan hasil yang
superior.
[14]
[15]
(bukan memberikan layanan yang efisien). Mereka mengemukakan temuan dari dua
studi kasus yang mana partisipan diwawancara tentang skill leadership yang
dibutuhkan
kolaboratif. Sektor
Skill yang
Kepemimpinan
Sektordalam
Publik / network
Konsep Kepemimpinan
Publik dibutuhkan berkaitan dengan
pengawalan, fasilitasi dan pemikiran proses kolaborasi. Skill kunci berisi pengarahan
aksi kolektif ke arah hasil yang lebih baik atau lebih inovatif. Mandell dan Keast, karena
itu, menegaskan prinsip katalis proses untuk membedakan tipe leadership dalam
network kolaboratif.
Gil-Garcia, Pardo dan Burke memberikan sebuah kasus sebuah krisis kesehatan
publik yang membutuhkan sharing informasi multi-sektor, yang melibatkan badan
federal dan negara bagian, pemerintah lokal, dan berbagai organisasi kesehatan publik
dan privat. Dengan fokus ke peran eksekutif pemerintah, penulis membuat model
grounded tentang mekanisme ketika tiga variabel leadership yaitu keterlibatan
eksekutif, otoritas formal dan leadership informal mempengaruhi kolaborasi antar
batasan organisasi. Penulis membuat set proposisi tentang mekanisme, yang berisi
pengaruh otoritas eksekutif lewat otonomi organisasi partisipan. Karena itu, variabel
leadership bisa memberikan dampak ke skill kolaboratif seperti yang ditunjukkan oleh
Mandell dan Keast, atau ke sejumlah faktor lain (seperti sumberdaya) yang bisa
mendukung kolaborasi.
Kasus menarik dalam aksi publik kolektif dikemukakan oleh Justice dan Skelcher.
Lokus studi tatanan governance adalah di area urban yang butuh regenerasi. Interest
yang dipertimbangkan adalah pertanyaan bagaimana desain institusional dari distrik
peningkatan bisnis, baik sebagai self-governing atau sebagai desain governing
eksternal, bisa mencerminkan sikap dan aktivitas leader bisnis lokal. Empat studi
kasus yang ada menunjukkan bahwa pemerintah kota memiliki dampak besar ke aksi
publik kolektif berdasarkan desain governance yang diperkenalkannya. Desain selfgovernance menghasilkan partisipasi dan kerjasama aktif dari leader bisnis,
sedangkan desain eksternal (city governance dari jarak jauh) kurang bisa merubah
orientasi pebisnis lokal dan tidak menciptakan partisipasi luas karena kurangnya
struktur partisipasi, memberikan point bahwa leadership sektor publik yang tertarik
menciptakan aksi publik kolektif akan memberikan perhatian ke desain institusional
kerjasama dengan aktor lain.
Ingraham mempelajari leadership dan asumsi koherensi organisasi yang ada di
literatur. Dia mengatakan bahwa asumsi sebuah organisasi yang koheren dimana
leader memiliki otoritas atas sumberdaya dan mendapat kesetiaan anggotanya
menjadi terpecah akibat dampak kontrak luar. Kontrak luar berarti memimpin dan
berkolaborasi dengan organisasi yang berhubungan longgar. Dalam setting organisasi
publik, konsekuensinya adalah bahwa keterkaitan, yang tercermin dari komitmen ke
misi dan nilai organisasi, tidak melekat. Analisis dampak kontrak luar yang
memodernisasikan US Coast Guard menjadi acuannya. Ketika hasil kinerja kontraktor
dan tatanan kontrak untuk pengawasan dan akuntabilitas menjadi buruk, maka
leadership bukan hanya terpaksa merevisi kontrak, tapi juga harus menggunakan lagi
catatan Coast Guard untuk mempererat lagi organisasi dan komitmen ke misi publik
secara internal dan eksternal. Dia menyimpulkan bahwa penembusan dan
penyeberangan dinding organisasi dan juga kapasitas untuk mempererat adalah
bagian penting dari tantangan leadership.
4. Etika, Nilai dan Keragaman
[16]
[17]
orang harus memahami keragaman kebutuhan individu. Newman, Guy dan Mastracci
menyatakan bahwa pekerjaan emosi sama-sama bersifat individu seperti pekerjaan
kognitifSektor
dan Publik
karena
itu, menimbulkan
perbedaan
Kepemimpinan
/ Konsep
Kepemimpinan Sektor
Publik individu. Penulis mempelajari
pengalaman kerja dari pekerja sosial, operator 911, pejabat koreksi, detektif dan
pengasuh anak untuk memahami sentralitas pekerjaan emosi dalam pertukaran
layanan dan untuk mengetahui praktek leadership afektif. Dengan mendapatkan skill,
dan memberikan fokus ke dimensi afektif dari keragaman individu, dan melakukan
pekerjaan emosi, leader bisa menciptakan keterkaitan yang lebih berarti dengan pihak
yang dilayani dan, karena itu, memimpin dengan lebih efektif.
Membahas leadership untuk angkatan kerja yang menua (ageing), Vanmullem
dan Hondeghem memberikan bukti empiris yang mendukung kebutuhan leader untuk
menyesuaikan gayanya ke berbagai level umur. Meski umur kronologis dianggap
sebagai bentuk keragaman, Vanmullem dan Hondeghem memperluas konsepnya
dengan memeriksa kategori umur yang lebih luas yang mencakup kemajuan karir dan
efek modulasinya ke hubungan antara gaya leadership (tugas, hubungan, perubahan)
dan motivasi (diskrepansi ingin-dapat dari 16 nilai kerja). Seperti yang ditunjukkan,
penelitian menunjukkan pentingnya manajemen keragaman umur; dengan kata lain,
supervisor memiliki wawasan tentang kebutuhan dan kapabilitas kelompok umur
berbeda dan harus mengakomodasi ini, contohnya, lewat gaya leadership yang
adaptif. Agar bisa memahami kebutuhan dan kapabilitas yang berbeda, wawasan
tentang nilai kerja dari kelompok umur berbeda jelas dibutuhkan.
Di level organisasi atau mungkin di level lebih abstrak dan generalis, Johnston
dan Gudergan mempelajari sifat perjanjian public-private partnership (PPP). Mereka
mengatakan bahwa aspek rasional-teknis dari tatanan PPP jelas dibutuhkan. Meski
begitu, kondisi relasional, tepatnya bagaimana partner harus bertindak di semua
tahapan PPP, cenderung diabaikan di jaman sekarang. Aspek ini, yang disebut sebagai
kontrak sosial, adalah aspek implisit dari governance PPP, dan tidak masuk dalam
kontrak legal. Dalam aspek sosial-relasional inilah, isu etika muncul, dan ini bisa
berkembang sebagai bagian dari perjanjian. Johnston dan Gudergan mengemukakan
bukti tentang ini dengan memeriksa berbagai laporan supranasional, tapi juga
mendapat gambaran pengawasan dalam studi kasus dimana hasil yang kurang
terprediksi bisa memunculkan nilai dan aksi persaingan antara entitas privat dan
publik. Dengan tanpa panduan untuk menavigasi konflik di luar kontrak legal teknisrasional, maka pertimbangan etika muncul dengan cepat, dan publik kurang terlayani.
Etika dan keragaman adalah konstruk level individu yang, meski diabaikan di dalam
level organisasi teknis-rasional, sering menjadi kunci dari sukses atau gagalnya
leadership.
Adams dan Balfour memberikan point awal fertile untuk analisis kritis dan diskusi
pikiran dan aktivitas etika individu vis--vis milieu budaya organisasi. Mereka
berpendapat bahwa kerangka rasional teknis di banyak organisasi, dalam kasus
agensi multipel di pemerintah federal yang mengurusi Badai Katrina, membawa
pengaruh ke leader dan manajer sehingga struktur level organisasi bisa digunakan
sebagai panduan perilaku etika. Ini memunculkan hasil yang sering dipertanyakan
berdasarkan kompas moral individu. Minimnya pola pikir etika individu menciptakan
individu kompeten yang bertindak tidak kompeten, dan di banyak kasus, malah
menimbulkan perilaku tidak etis. Adams dan Balfouir berpendapat bahwa leadership
publik harus sadar dengan potensi kegagalan etika dari negara dan agendanya, dan
[18]
lewat peran masyarakat, barulah bisa dipastikan perlu atau tidaknya praktek etika dan
profesional konvensional. Karena itu, ditandai oleh pengaruh budaya dari sebuah pola
pikir rasional
teknis,/ Konsep
dan juga
budaya ideologi,
kegagalan leadership selama Badai
Kepemimpinan
Sektor Publik
Kepemimpinan
Sektor Publik
Katrina memberikan wawasan tentang hubungan etika, kompetensi dan kejahatan
administratif.
5. Pelatihan dan Pengembangan Leadership
Di bulan Mei 2008, James MacGregor Burns Academy for Leadership
mengadakan simposium tentang Public Leadership Competencies and Curricula, yang
mengundang banyak tokoh ternama dalam proses akademis dan federal untuk
menyiapkan leader sektor publik. Jeffery Raffel terlibat di sini karena perannya dalam
proses akreditasi NASPAA. Meski sepakat dengan pertanyaan bahwa Leadership
adalah area skill yang berkembang, dan semakin penting di banyak bidang, ada
persoalan bahwa sebagai topik kurikulum, leadership tidak berkembang.
Ironisnya, ada banyak upaya dalam pelatihan dan pengembangan leadership
sektor publik, meski ada batasan tentang keilmuwan leadership sektor publik dan ada
skeptikisme berbagai pakar urusan publik tentang topik ini. Seperti yang ditunjukkan
Fairholm (2004), Melatih manajer publik untuk skill dan teknik leadership dan
manajemen menjadi bagian besar dari pekerjaan sumberdaya manusia publik. Ini
tetap dianggap penting meski keilmuwan leadership sektor publik masih diabaikan di
administrasi publik. Penelitian empiris tentang leadership masih minim, tapi pelatihan
untuk peran leadership ternyata luas.
Ada beberapa program pelatihan dan pengembangan untuk pegawai pemerintah
yang difokuskan ke leadership. Contoh, Federal SES (Senior Executive Service)
menjelaskan kompetensi dasar yang berisi hal berikut: skill interpersonal, komunikasi
oral, integritas/kejujuran, komunikasi tertulis, pembelajaran kontinyu, dan motivasi
sektor publik. Di bagian Pendahuluan, disebutkan tentang The Executive Core
Qualifications (ECQ), yang didasarkan pada penelitian ekstensif tentang atribut
eksekutif sukses baik di sektor privat dan publik. Ini adalah sebuah kolaborasi yang
mencerminkan pikiran terbaik dari banyak eksekutif senior dan asosiasi, atau
profesional sumberdaya manusia agensi. ECQ adalah :
Memimpin perubahan
Memimpin orang
Basis-hasil
Akumen bisnis
Membuat koalisi
Program pelatihan dan pengembangan leadership di USA telah banyak dilakukan
termasuk di level lokal (ICMA [International City/County Management Association]
Certified Public Managers), pemerintah negara bagian (National Conference of State
Legislatures), pusat universitas (contoh, University of Maryland, University of North
Carolina, University of Richmond, University of Southern California) dan lainnya (Van
Wart dan Dicke, 2007). Meski kurang maju, ada banyak inisiatif Eropa dalam
pengembangan dan pelatihan leadership. Lawler (2008) mengidentifikasi beberapa
proses pelatihan Eropa termasuk National College for School Leadership di pendidikan
UK; National Health Service (NHS) Leadership Center (dengan NHS Leadership
Qualities Framework); dan Leadership Centre for Local Government.
[19]
[20]
[21]
[22]
[23]
Jeffrey A. Raffel, Peter Leisink dan Anthonmy e. Middlebrooks. Public Sector Leadership:
International
Challenges
and Perspectives.
Edward Elgar, Chaltenham, UK.
Kepemimpinan
Sektor Publik
/ Konsep Kepemimpinan
Sektor Publik
Northampton, Ma, USA.
John Ston and Gudergan (2009). Konsep Kepemimpinan Sektor Publik. Dalam Jeffrey A.
Raffel, Peter Leisink dan Anthonmy e. Middlebrooks. Public Sector Leadership:
International Challenges and Perspectives. Edward Elgar, Chaltenham, UK.
Northampton, Ma, USA.
Justice and Skelcher (2009). Konsep Kepemimpinan Sektor Publik. Dalam Jeffrey A. Raffel,
Peter Leisink dan Anthonmy e. Middlebrooks. Public Sector Leadership:
International Challenges and Perspectives. Edward Elgar, Chaltenham, UK.
Northampton, Ma, USA.
Keast et al., (2004). Konsep Kepemimpinan Sektor Publik. Dalam Jeffrey A. Raffel, Peter
Leisink dan Anthonmy e. Middlebrooks. Public Sector Leadership: International
Challenges and Perspectives. Edward Elgar, Chaltenham, UK. Northampton, Ma,
USA.
Kicker et al., (1997). Konsep Kepemimpinan Sektor Publik. Dalam Jeffrey A. Raffel, Peter
Leisink dan Anthonmy e. Middlebrooks. Public Sector Leadership: International
Challenges and Perspectives. Edward Elgar, Chaltenham, UK. Northampton, Ma,
USA.
King (1997). Konsep Kepemimpinan Sektor Publik. Dalam Jeffrey A. Raffel, Peter Leisink
dan Anthonmy e. Middlebrooks. Public Sector Leadership: International Challenges
and Perspectives. Edward Elgar, Chaltenham, UK. Northampton, Ma, USA.
Klijn and Koppenjan (2000). Konsep Kepemimpinan Sektor Publik. Dalam Jeffrey A. Raffel,
Peter Leisink dan Anthonmy e. Middlebrooks. Public Sector Leadership:
International Challenges and Perspectives. Edward Elgar, Chaltenham, UK.
Northampton, Ma, USA.
Kotter (1990). Konsep Kepemimpinan Sektor Publik. Dalam Jeffrey A. Raffel, Peter Leisink
dan Anthonmy e. Middlebrooks. Public Sector Leadership: International Challenges
and Perspectives. Edward Elgar, Chaltenham, UK. Northampton, Ma, USA.
Lawler (2008). Konsep Kepemimpinan Sektor Publik. Dalam Jeffrey A. Raffel, Peter Leisink
dan Anthonmy e. Middlebrooks. Public Sector Leadership: International Challenges
and Perspectives. Edward Elgar, Chaltenham, UK. Northampton, Ma, USA.
Mandell and Keast (2009). Konsep Kepemimpinan Sektor Publik. Dalam Jeffrey A. Raffel,
Peter Leisink dan Anthonmy e. Middlebrooks. Public Sector Leadership:
International Challenges and Perspectives. Edward Elgar, Chaltenham, UK.
Northampton, Ma, USA.
[24]
Me Gregor. Konsep Kepemimpinan Sektor Publik. Dalam Jeffrey A. Raffel, Peter Leisink
dan Anthonmy e. Middlebrooks. Public Sector Leadership: International Challenges
and Perspectives.
Chaltenham,
Northampton, Ma, USA.
Kepemimpinan
Sektor Publik Edward
/ KonsepElgar,
Kepemimpinan
SektorUK.
Publik
Mercussen (2009). Konsep Kepemimpinan Sektor Publik. Dalam Jeffrey A. Raffel, Peter
Leisink dan Anthonmy e. Middlebrooks. Public Sector Leadership: International
Challenges and Perspectives. Edward Elgar, Chaltenham, UK. Northampton, Ma,
USA.
Morce dan Buss (2008). Konsep Kepemimpinan Sektor Publik. Dalam Jeffrey A. Raffel,
Peter Leisink dan Anthonmy e. Middlebrooks. Public Sector Leadership:
International Challenges and Perspectives. Edward Elgar, Chaltenham, UK.
Northampton, Ma, USA.
Morse et al., (2007). Konsep Kepemimpinan Sektor Publik. Dalam Jeffrey A. Raffel, Peter
Leisink dan Anthonmy e. Middlebrooks. Public Sector Leadership: International
Challenges and Perspectives. Edward Elgar, Chaltenham, UK. Northampton, Ma,
USA.
Newman, Guy and Mastracci (2009). Konsep Kepemimpinan Sektor Publik. Dalam Jeffrey
A. Raffel, Peter Leisink dan Anthonmy e. Middlebrooks. Public Sector Leadership:
International Challenges and Perspectives. Edward Elgar, Chaltenham, UK.
Northampton, Ma, USA.
Noordegraaf (2000). Konsep Kepemimpinan Sektor Publik. Dalam Jeffrey A. Raffel, Peter
Leisink dan Anthonmy e. Middlebrooks. Public Sector Leadership: International
Challenges and Perspectives. Edward Elgar, Chaltenham, UK. Northampton, Ma,
USA.
Northouse (2007). Konsep Kepemimpinan Sektor Publik. Dalam Jeffrey A. Raffel, Peter
Leisink dan Anthonmy e. Middlebrooks. Public Sector Leadership: International
Challenges and Perspectives. Edward Elgar, Chaltenham, UK. Northampton, Ma,
USA.
Nye (2008). Konsep Kepemimpinan Sektor Publik. Dalam Jeffrey A. Raffel, Peter Leisink
dan Anthonmy e. Middlebrooks. Public Sector Leadership: International Challenges
and Perspectives. Edward Elgar, Chaltenham, UK. Northampton, Ma, USA.
Pierre and Peters (2000). Konsep Kepemimpinan Sektor Publik. Dalam Jeffrey A. Raffel,
Peter Leisink dan Anthonmy e. Middlebrooks. Public Sector Leadership:
International Challenges and Perspectives. Edward Elgar, Chaltenham, UK.
Northampton, Ma, USA.
Pollitt & Bouckaert (2000). Konsep Kepemimpinan Sektor Publik. Dalam Jeffrey A. Raffel,
Peter Leisink dan Anthonmy e. Middlebrooks. Public Sector Leadership:
International Challenges and Perspectives. Edward Elgar, Chaltenham, UK.
Northampton, Ma, USA.
[25]
Rainey (2003). Konsep Kepemimpinan Sektor Publik. Dalam Jeffrey A. Raffel, Peter Leisink
dan Anthonmy
e. Middlebrooks.
Public Sector
Leadership:
International Challenges
Kepemimpinan
Sektor Publik
/ Konsep Kepemimpinan
Sektor
Publik
and Perspectives. Edward Elgar, Chaltenham, UK. Northampton, Ma, USA.
Reicher et al., (2005). Konsep Kepemimpinan Sektor Publik. Dalam Jeffrey A. Raffel, Peter
Leisink dan Anthonmy e. Middlebrooks. Public Sector Leadership: International
Challenges and Perspectives. Edward Elgar, Chaltenham, UK. Northampton, Ma,
USA.
Sactren (2009). Konsep Kepemimpinan Sektor Publik. Dalam Jeffrey A. Raffel, Peter
Leisink dan Anthonmy e. Middlebrooks. Public Sector Leadership: International
Challenges and Perspectives. Edward Elgar, Chaltenham, UK. Northampton, Ma,
USA.
Schruijer and Vansina (2002). Konsep Kepemimpinan Sektor Publik. Dalam Jeffrey A.
Raffel, Peter Leisink dan Anthonmy e. Middlebrooks. Public Sector Leadership:
International Challenges and Perspectives. Edward Elgar, Chaltenham, UK.
Northampton, Ma, USA.
Slyke and Alexander (2006). Konsep Kepemimpinan Sektor Publik. Dalam Jeffrey A. Raffel,
Peter Leisink dan Anthonmy e. Middlebrooks. Public Sector Leadership:
International Challenges and Perspectives. Edward Elgar, Chaltenham, UK.
Northampton, Ma, USA.
Steen and Meer (2009). Konsep Kepemimpinan Sektor Publik. Dalam Jeffrey A. Raffel,
Peter Leisink dan Anthonmy e. Middlebrooks. Public Sector Leadership:
International Challenges and Perspectives. Edward Elgar, Chaltenham, UK.
Northampton, Ma, USA.
Van Mullen and Hondeghem (2009). Konsep Kepemimpinan Sektor Publik. Dalam Jeffrey
A. Raffel, Peter Leisink dan Anthonmy e. Middlebrooks. Public Sector Leadership:
International Challenges and Perspectives. Edward Elgar, Chaltenham, UK.
Northampton, Ma, USA.
Van Wart & Dicke. (2007). Konsep Kepemimpinan Sektor Publik. Dalam Jeffrey A. Raffel,
Peter Leisink dan Anthonmy e. Middlebrooks. Public Sector Leadership:
International Challenges and Perspectives. Edward Elgar, Chaltenham, UK.
Northampton, Ma, USA.
Van Wart M. (2003). Konsep Kepemimpinan Sektor Publik. Dalam Jeffrey A. Raffel, Peter
Leisink dan Anthonmy e. Middlebrooks. Public Sector Leadership: International
Challenges and Perspectives. Edward Elgar, Chaltenham, UK. Northampton, Ma,
USA.
Wart and Suino (2008). Konsep Kepemimpinan Sektor Publik. Dalam Jeffrey A. Raffel,
Peter Leisink dan Anthonmy e. Middlebrooks. Public Sector Leadership:
[26]
[27]