Anda di halaman 1dari 7

`RUU Pilpres dan Korupsi Politik

Diterbitkan Oktober 6, 2008 Artikel Pengamat Ditutup


Tag:Hananto Widodo, RUU Pilpres dan Korupsi Politik
Oleh Hananto Widodo
Dibandingkan dengan RUU politik yang lain, pembicaraan mengenai RUU
Kepresidenan lebih menarik untuk diamati. Sebenarnya pembicaraan mengenai RUU
politik lainnya, seperti RUU Pemilu, masih berada pada hulu, sementara hilirnya ada
pada RUU Kepresidenan.
Mengapa masalah dalam RUU Kepresidenan lebih krusial dibandingkan dengan RUU
politik yang lain? Pertama, secara konvensional, mulai masa orla sampai orba, telah
terjadi sakralisasi jabatan presiden. Kebiasaan yang sudah tertanam dalam pola pikir
masyarakat Indonesia, terutama para elite politik, terus berlanjut hingga sekarang.
Coba kita tengok bagaimana Amien Rais begitu getol untuk menggulingkan Soeharto
dari kekuasaannya. Lalu, apa yang dilakukan Amien Rais setelah Soeharto tumbang?
Dia terang-terangan mengatakan punya minat untuk menjadi presiden. Meskipun
akhirnya pada 1999 Amien tidak maju sebagai calon presiden, itu bukan karena
ambisinya pudar, tapi karena perolehan suara PAN tidak signifikan untuk mengusung
Amien sebagai calon presiden.
Contoh lain dapat kita lihat pada beberapa tokoh yang mempunyai ambisi menjadi
presiden, seperti Wiranto dan Prabowo.
Kedua, salah satu tujuan dari perubahan UUD 1945 adalah untuk memperkuat sistem
presidensial. Ciri-ciri paling substansial sistem presidensial adalah pemerintahan yang
kuat. Artinya, pemerintah (presiden) tidak dapat dijatuhkan sebelum masa jabatannya
berakhir dengan alasan politis.

Dalam amandemen III UUD 1945, presiden dan Wapres hanya dapat diberhentikan
dari jabatannya sebelum masa jabatannya berakhir jika presiden dan Wapres
melakukan pelanggaran hukum (vide Pasal 7A amandemen III UUD 1945).
Karena presiden merupakan jabatan prestisius, maka persoalan-persoalan yang
diangkat dalam wacana RUU Kepresiden adalah persoalan-persoalan yang tidak jauh
dari persoalan agar calon dari masing-masing parpol di parlemen bisa gol.
Bahkan, para anggota fraksi tersebut berusaha menjegal calon parpol lain agar rival
dari calonnya berkurang. Usaha menjegal calon lainnya itu dapat kita lihat pada
adanya syarat pendidikan sarjana bagi capres/cawapres. Syarat pendidikan sarjana
bagi capres/cawapres akhirnya didrop.
Persoalannya kemudian mulai bergeser ke arah suara minimal atau persentase
perolehan secara nasional bagi parpol-parpol yang berhak mengajukan
capres/cawapres.
Partai Golkar menginginkan 20-25 persen, PDIP menginginkan 25 persen, PKB
menginginkan 15 persen, PPP 15 persen, Partai Demokrat 15 persen, PKS 15 persen,
PDS 15 persen, dan PAN 2,5 persen (Jawa Pos, 30/09/08).
Korupsi Politik
Perdebatan mengenai persentase minimal parpol yang dapat mengajukan capres dan
cawapres juga tidak bisa lepas dari kepentingan-kepentingan parpol agar mereka
dapat mengegolkan calonnya. Kalau kita lihat secara saksama, sebenarnya masalah
persentase yang diatur dalam UU No. 23/2003 tentang Pilpres tidak mengundang
masalah yang signifikan hingga sekarang.

Dalam Pasal 5 ayat 4 UU tersebut dinyatakan bahwa pasangan calon sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol yang
memperoleh sekurang-kurangnya 15% dari jumlah kursi DPR atau 20% dari
perolehan suara sah secara nasional.
Lalu, apa yang menjadi masalah dalam UU Pilpres sekarang? Tidak lain adalah
masalah pendanaan kampanye pilpres. Persoalan ini muncul berkaitan dengan
munculnya kasus korupsi di Departemen Perikanan dan Kelautan yang telah
menyeret dan menjebloskan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin
Dahuri ke dalam penjara.
Sebagaimana diketahui, selaku menteri, Rokhmin Dahuri mengucurkan sejumlah
uang dari dana nonbujeter ke beberapa capres beserta tim suksesnya. Salah seorang
dari mereka yang terang-terangan menerima uang dari Rokhmin adalah Amien Rais.
Memang lolosnya capres-cawapres beserta tim suksesnya tidak bisa dilepaskan dari
kemauan aparat penegak hukum untuk memeriksa mereka. Tetapi, jika kita lihat
secara lebih cermat dalam UU Pilpres sekarang, ancaman hukuman bagi pelaku
kampanye yang menerima uang di luar yang ditentukan dalam UU masih terlalu
ringan. Ancaman hukuman bagi orang yang telah menerima baik dari pemerintah
maupun BUMN hanya paling singkat 4 bulan dan paling lama 24 bulan.
Paling tidak ada dua opsi agar pemerintah dan BUMN/BUMD tidak menjadi sapi
perahan bagi para pelaku politik, terutama pelaku kampanye pilpres. Pertama,
masalah tersebut lebih baik diatur dalam UU Korupsi dan merupakan kewenangan
KPK untuk menanganinya.
Persoalan ini layak dimasukkan dalam UU Korupsi karena masalah dana pemerintah
dan BUMN/BUMD akan selalu mengarah pada unsur kerugian negara.

Kedua, masalah tersebut diatur dalam UU Pilpres, tetapi dengan menambah kuantitas
ancaman hukumannya agar timbul efek jera bagi para pelaku kampanye pilpres.
Namun, alangkah bijaknya jika kita memilih opsi pertama, yaitu dimasukkan ke
dalam RUU Korupsi. Sebab, sebagaimana yang telah tampak dalam kasus Rokhmin
Dahuri, uang negara banyak dihamburkan untuk kepentingan capres/cawapres.
(Sumber: Jawa Pos, 4 Oktober 2008).
Tentang penulis:
Hananto Widodo, dosen Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Surabaya (Unesa)
http://gagasanhukum.wordpress.com/2008/10/06/ruu-pilpres-dan-korupsi-politik/

RUU Pilpres Matikan Regenerasi Politik

Imam Prihadiyoko | Selasa, 11 November 2008 | 15:24 WIB


Dibaca: 32
Komentar: 0
|
Share:
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Grafik hasil survei diperlihatkan Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia Saiful
Mujani saat memaparkan hasil survei bertema "Evaluasi Pemilih atas Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono Menjelang Pemilu Presiden" di Jakarta, Minggu (19/10). Acara
itu dihadiri sejumlah pengurus partai.
TERKAIT:

Tak Ada Figur Pemimpin Ideal, Golput akan Capai 40 Persen

Jajak Pendapat, Publik Menyoal Syarat Pencalonan Presiden

Ferry: Mari Berjuang di Pemilu

Ketok Palu RUU Pilpres Tutup Peluang Calon Muda

Soal Rangkap Jabatan, Tiga Fraksi Layangkan Nota Keberatan

JAKARTA,SELASA-Proses regenerasi macet total disebabkan UU Pilpres. Padahal,


amanat reformasi adalah terjaminnya regenerasi.
"Bayangkan Partai Golkar yang berkuasa selama 32 tahun pada masa orde baru, dan
10 tahun reformasi hanya melahirkan tiga pemimpin nasional, Soeharto, BJ Habibie
dan Jusuf Kalla. Sedangkan 42 tahun dari keberadaan PDIP hanya melahirkan satu
tokoh, Magawati Soekarnoputri," ujar Ray Rangkuti dari Lingkar Masyarakat Madani

dalam diskusi Undang-undang Pemilu Presiden di Gedung Pusat Muhammadiyah di


Jakarta, Selasa (11/11).
Ironi dari demokrasi yang dilaksanakan selama reformasi yang digulirkan dengan
darah dan air mata, menurut Ray, hanya melahirkan sedikit pemimpin baru. Padahal,
regenerasi ini merupakan amanat yang sangat penting dalam reformasi dengan jargon
yang terkenal potong satu generasi.
"Sekarang kita melihat, sebagian besar elit bangsa ini masih orang-orang lama,
anggota DPR, DPRD, bahkan calon anggota legislatif mendatang juga masih
diwarnai dengan wajah-wajah lama," ujarnya.
http://nasional.kompas.com/read/2008/11/11/15240457/RUU.Pilpres.Matikan.Regene
rasi.Politik

Pemilu presiden: RUU Pilpres Hanya Akan Jadi Lagu Lama


By fakhrurrazi amir on May 31, 2008 with Comments 0
Jakarta, Kompas Pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden atau RUU Pilpres diprediksi hanya sekadar perulangan
lagu lama. Materi yang dibahas miskin terobosan dan akhirnya perdebatan akan
didominasi perang kepentingan antarpartai politik.
Menurut Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia Ahmad Fauzi Ray
Rangkuti, Kamis (29/5), revisi UU Pilpres kehilangan orientasi besar. Revisi pada
akhirnya hanya untuk mengubah angka-angka, tetapi dengan implikasi yang sama.
Tujuannya bukan lagi untuk mencari sistem pemilu yang pas dan tepat bagi model
demokrasi Indonesia, melainkan lebih untuk kepentingan partai politik.
Dagang sapi
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari pun menilai hal serupa.
Alih-alih perbaikan, justru yang potensial muncul adalah nuansa dagang sapi untuk
memperkuat posisi tawar parpol. Susah diharapkan perbaikan sistem secara signifikan
akan muncul dari pembahasan RUU Pilpres.
Menurut Qodari, jika niatnya untuk efektivitas pemerintahan, pembenahan kekuasaan
eksekutif dan legislatif mesti dilakukan. Untuk menata kekuasaan eksekutif, jalannya
bukan dengan revisi UU Pilpres. Yang lebih pas adalah penataan lewat UU Lembaga
Kepresidenan atau sekalian lewat perubahan konstitusi. Sementara penataan legislatif
dimulai dengan pembenahan sistem kepartaian yang terfragmentasi. (DIK)
Tulisan ini dikutip dari Kompas Cetak Online, 30 Mei 2008
http://www.siwah.com/pendidikan/marketing-politik/pemilu-presiden-ruu-pilpreshanya-akan-jadi-lagu-lama.html

Anda mungkin juga menyukai