Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH IPM

HALITOSIS

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS MAHASARASWATI
DENPASAR
2012

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini masyarakat sudah semakin memperhatikan penampilan fisiknya. Setiap
orang berupaya untuk selalu tampil maksimal di depan orang lain maupun depan umum.
Termasuk di dalamnya mengenai estetika dalam kesehatan gigi dan mulut maupun bau
napas. Selalu menjaga napas agar tetap segar merupakan upaya setiap orang. Hal sering
dilakukan yaitu dengan minum air putih atau makan permen dan permen karet. Hal
tersebut melatarbelakangi kami untuk membuat makalah mengenai halitosis.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa pengertian dari halitosis?
1.2.2 Apa saja etiologi terjadinya halitosis?
1.2.3 Bagaimana klasifikasi halitosis?
1.2.4 Bagaimana mekanisme terjadinya halitosis?
1.2.5 Apa saja gejala halitosis?
1.2.6 Bagaimana menentukan diagnosis dan pengukuran halitosis?
1.2.7 Apa saja cara pencegahan dan perawatan halitosis?
1.3 Tujuan
1.3.1
1.3.2
1.3.3
1.3.4
1.3.5
1.3.6
1.3.7

Untuk mengetahui pengertian dari halitosis


Untuk mengetahui etiologi terjadinya halitosis
Untuk mengetahui klasifikasi halitosis
Untuk mengetahui mekanisme terjadinya halitosis
Untuk mengetahui gejala halitosis
Untuk mengetahui cara menetukan diagnosis dan pengukuran halitosis
Untuk mengetahui cara pencegahan dan perawatan halitosis

1.4 Manfaat
Makalah ini dibuat untuk menambah informasi di bidang kesehatan gigi departemen
periodonsia. Diharapkan dengan adanya makalah ini, dapat menambah ilmu pengetahuan
masyarakat mengenai kesehatan gigi dan mulut.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Halitosis
Halitosis berasal dari bahasa latin halitus (nafas) dan Yunani osis (keadaan). Jadi
halitosis merupakan keadaan dari bau nafas. Umumnya istilah ini mengacu pada suatu
keadaan bau mulut yang berasal dari keadaan metabolic secara sistemik termasuk saluran
pencernaan. Halitosis dapat berupa halitosis fisiologi maupun patologis. Halitosis
fisiologis adalah halitosis yang bersifat sementara dan terjadi bila substansi yang
menimbulkan bau tersebut secara hematologi menuju paru-paru dan biasanya berasal dari
makanan, seperti bawang dan lobak dan bisa juga berasal dari minuman, seperti the,
kopi, serta minuman beralkohol. Halitosis fisiologis adalah halitosis yang dasarnya
terjadi dalam suatu mekanisme yang sama dengan halitosis fisiologis, dalam hal ini
bahan-bahan yang secara hematologis menuju paru-paru. Penyebab utama keadaan
keadaan ini karena adanya kelainan yang bersifat lokal maupun sistemik seperti diabetes
mellitus, uremia, gastritis, tukak lambung, dan hepatitis (Jurnal Kedokteran Gigi
Mahasaraswati Volume 2).
Halitosis adalah kondisi kesehatan mulut yang ditandai dengan napas yang berbau
konsisten. Meskipun rongga mulut terjaga, sudah menghindari makanan yang berbau
tidak sedap (Warianto, 2009).
2.2 Etiologi Terjadinya Halitosis
Halitosis dapat disebabkan oleh faktor-faktor fisiologis dan patologis yang
berasal dari rongga mulut atau intra oral dan faktor- faktor sistemik atau ekstra oral.
Berdasarkan survei yang telah dilakukan di Amerika Serikat, penyebab utama halitosis
sebagian besar (90%) adalah karena faktor-faktor yang melibatkan rongga mulut. Perlu
ditekankan bahwa halitosis bukanlah suatu penyakit, tetapi dianggap sebagai gejala dari
penyakit sistemik tertentu. Namun bukan berarti bahwa setiap bau yang tidak sedap
menandakan adanya suatu penyakit tertentu.
2.2.1 Faktor Fisiologis Intra Oral
Dalam rongga mulut seseorang, terdapat substrat-substrat protein eksogen
(sisa makanan) dan protein endogen (deskuamasi epitel mulut, protein saliva dan
darah) yang banyak mengandung asam amino yang mengandung sulfur (S).
(Soeprapto, 2003) Selain itu halitosis juga dihasilkan oleh bakteri yang secara
normal hidup di permukaan lidah dan dalam kerongkongan yang membantu proses
pencernaan makanan dengan memecah protein. Spesies bakteri yang terdapat pada
permukaan oral dapat bersifat sakarolitik, yaitu menggunakan karbohidrat sebagai
sumber energi. Spesies lain bersifat asakarolitik atau proteoliti, yaitu menggunakan
protein, peptida, asam amino sebagai sumber utamanya. Kebanyakan bakteri gram
positif bersifat sakarolitik dan bakteri gram negatif bersifat proteolitik. (Djaya,
2000) Menurut penelitian yang dipelopori oleh Prof. Dr. Joseph.Tozentich dari
Universitas of British Columbia, Vancouver, berhasil mendeteksi bahwa terdapat
suatu senyawa sulfur yang mudah menguap dan berbau tak sedap sebagai hasil

produksi penguraian protein oleh bakteri anaerob gram negatif di dalam mulut.
Senyawa sulfur yang mudah menguap ini disebut sebagai Volatile Sulfur
Compounds (VSCs)
yang
mengandung Hidrogen
sulfida (H2S),Methil
mercaptan (CH3SH) dan Dimetil sulfida (CH3SCH3) yang merupakan penyebab
utama halitosis yang berasal dari rongga mulut.
Kondisi mulut yang dapat memicu terjadinya bau mulut ialah kurang atau
berhentinya flow (aliran) saliva, meningkatnya bakteri gram negatif anaerob,
meningkatnya jumlah protein makanan, pH rongga mulut yang lebih
bersifat alkali dan meningkatnya jumlah sel-sel mati dan sel epitel nekrotik di dalam
mulut. (Ravel, 2006) Walaupun penyebab halitosis belum diketahui sepenuhnya,
sebagian besar penyebab diketahui berasal dari sisa makanan yang tertinggal di
dalam rongga mulut yang diproses oleh flora normal rongga mulut. Beberapa faktor
rongga mulut yang perlu mendapat perhatian khusus karena mempunyai peranan
serta pengaruh besar terhadap timbulnya halitosis pada seseorang diantaranya adalah
saliva, lidah, ruang interdental, dan gigi geligi. (Widagdo, 2007).
2.2.2 Faktor Fisiologis Ekstra Oral
Beberapa jenis masakan dan substansi makanan yang dikonsumsi sehari-hari
juga dapat menimbulkan bau nafas yang kurang sedap. Makanan yang digoreng dan
dan banyak mengandung bumbu seperti bawang dapat menimbulkan bau yang
bertahan di mulut selama 10-12 jam. Bahkan bau tersebut masih tetap terasa setelah
gigi-gigi dibersihkan. Bau ini timbul karena substansi makanan tersebut diserap oleh
saluran pencernaan dan dikeluarkan dengan lambat melalui paru-paru. Keadaan ini
telah dibuktikan oleh Morris dan Read dengan memberikan suatu kapsul yang
mengandung bawang putih kepada pasien yang diteliti dan menghasilkan bau yang
bertahan lama pada udara pernafasan. Peneliti lainnya juga membuktikan bahwa bau
bawang putih tersebut dalam waktu singkat telah dapat dirasakan pada pernafasan
dan bertahan selama beberapa jam walaupun saluran pencernaan
seperti jejunum merupakan bagian yang terpisah dari perut. (Simorangkir, 2001).
2.2.3 Faktor Patologis Intra Oral
Faktor penyebab halitosis yang paling sering terlihat adalah disebabkan karena
kurang terjaganya kebersihan dan kesehatan rongga mulut. Pada pasien yang
oral higienenya buruk cenderung terjadi pembusukan sisa-sisa makanan yang
menumpuk di sela-sela gigi oleh bakteri yang ada di dalam rongga mulut. Keadaan
ini akan bertambah parah pada pasien yang memiliki kecenderungan untuk
membentuk kalkulus dengan cepat.
Gingivitis dan periodontitis adalah penyakit inflamasi yang paling umum
terjadi dan memicu terjadinya halitosis disebabkan bakteri gram negatif
seperti veilonella,
fusobacterium
nucleatum dan porphyromonas
gingivalis tersembunyi di dalam jaringan periodontal yang sakit dan menimbulkan
gas yang bau. (Ravel, 2006) Selain karena pembusukan sisa-sisa makanan yang
terperangkap di dalam poket, pada kondisi ini saliva juga dapat cepat membusuk
sehingga
menambah
parah
bau
mulut
individu.
Disamping
itu,

jaringan nekrotik yang terbentuk dan suplai darah yang berkurang menyebabkan
kadar oksigen di daerah infeksi juga berkurang. Dengan demikian bakteri akan
berkembang terus dan membebaskan zat-zat yang berfungsi sebagai virulensi serta
dapat menimbulkan eksudat purulen yang keluar melalui sulkus gingiva. Reaksi
metabolik timbul menghasilkan gas H2S dan NH2 (Amino) sehingga terjadi
peninggian konsentrasi sulfur yang mudah menguap dalam udara di rongga mulut.
(Gayford dan Haskell, 1990).
2.2.4 Faktor Patologis Ekstra Oral
Keadaan septik hidung dan struktur-struktur yang berhubungan dengannya
menimbulkan ozena atau rinitis atropik yang ditandai dengan rasa kering dan atrofi
membrane sehingga rongga hidung menjadi besar, bergerak, dan menimbulkan bau.
Hanya saja rinitis atropik jarang dijumpai, sedang sinusitis kronis sering disertai
dengan nafas yang bau. Hal ini terlihat nyata pada kasus sinusitis maxilaris kronis,
terutama karena disebabkan gigi terinfeksi oleh bakteri Streptokokus viridans yang
mampu mengeluarkan bau tidak sedap. Septik adenoid dan tonsilitis dapat
menyebabkan menyumbatan pada hidung yang disertai dengan fetor ex ore. Bedah
tonsilektomi sendiri dapat menghasilkan bau yang serupa dengan bau darah busuk
yang terjadi setelah dilakukan operasi mulut. (Gayford dan Haskell, 1990).
2.3 Klasifikasi Halitosis
Berdasarkan faktor etiologinya, halitosis dibedakan atasa halitosis sejati,
(genuine) pseudohalitosis dan halitophobia. Halitosis sejati dibedakan lagi atas fisiologis
dan patologis. Halitosis fisiologis merupakan bersifat sementara dan tidak membutuhkan
perawatan, sebaliknya halitosis patologis merupakan halitosis bersifat permanen dan
tidak dapat diatasi hanya dengan pemeliharaan oral hygiene saja, tetapi membutuhkan
suatu penanganan dan perawatan sesuai dengan sumber penyebab halitosis.
(http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/131087479.pdf)
2.3.1 Genuine Halitosis (halitosis sejati)
a. Halitosis Fisiologis
Halitosis fisiologis merupakan halitosis yang bersifat sementara dan tidak
membutuhkan perawatan. Pada halitosis tipe ini tidak ditemukan adanya kondisi
patologis yang menyebabkan halitosis. Contohnya adalah morning breath, yaitu bau
nafas pada waktu bangun pagi. Keadaan ini disebabkan tidak aktifnya otot pipi dan
lidah serta berkurangnya aliran saliva selama tidur. Bau nafas ini dapat diatasi
dengan merangsang aliran saliva dan menyingkirkan sisa makanan di dalam mulut
dengan mengunyah, menyikat gigi atau berkumur.
b. Halitosis Patologis
Halitosis patologis merupakan halitosis yang bersifat permanen dan tidak
dapat diatasi hanya dengan pemeliharaan oral higiene saja, tetapi membutuhkan
suatu penanganan dan perawatan sesuai dengan sumber penyebab halitosis. Adanya
pertumbuhan bakteri yang dikaitkan dengan kondisi oral higiene yang buruk
merupakan penyebab halitosis patologis intraoral yang paling sering

dijumpai. Tongue coating, karies dan penyakit periodontal merupakan penyebab


utama halitosis berkaitan dengan kondisi tersebut.Infeksi kronis pada rongga nasal
dan sinus paranasal, infeksi tonsil(tonsilhlith), gangguan pencernaan, tukak lambung
juga dapat menghasilkan gas berbau. Selain itu, penyakit sistemik seperti diabetes
ketoasidosir, gagal ginjal, dan gangguan hati juga dapat menimbulkan bau nafas
yang khas. Penderita diabetes ketoasidosis mengeluartan nafas berbau aseton. Udara
pernafasan pada penderita kerusakan ginjal berbau amonia dan disertai dengan
keluhan dysgeusi, sedangkan pada penderita gangguan hati dan kantung empedu
seperti sirosis hepatis akan tercium bau nafas yang khas, dikenal dengan
istilah foetor hepaticus.
2.3.2 Pseudo Halitosis (Halitosis Semu)
Pada kondisi ini, pasien merasakan dirinya memilki bau nafas yang buruk, namun
hal ini tidak dirasakan oleh orang lain disekitarnya ataupun tidak dapat terdeteksi dengan
tes ilmiah. Oleh karena tidak ada masalah pernapasan yang nyata, maka perawatan yang
perlu diberikan pada pasien berupa konseling untuk memperbaiki kesalahan konsep yang
ada (menggunakan dukungan literature, pendidikan dan penjelasan hasil pemeriksaan)
dan mengingatkan perawatan oral hygiene yang sederhana.
2.3.3 Halitophobia
Pada kondisi ini, walaupun telah berhasil mengikuti perawatan genuine
halitosis maupun telah mendapat konseling pada kasus pseudo halitosis, pasien masih
kuatir dan terganggu oleh adanya halitosis. Padahal setelah dilakukan pemeriksaan yang
teliti baik kesehatan gigi dan mulut maupun kesehatan umumnya ternyata baik dan tidak
ditemukan suatu kelainan yang berhubungan dengan halitosis, begitu pula dengan tes
ilmiah yang ada tidak menunjukkan hasil bahwa orang tersebut menderita halitosis.
Pasien juga dapat menutup diri dari pergaulan sosial, sangat sensitif terhadap komentar
dan tingkah laku orang lain. Maka dari itu, diperlukan pendekatan psikologis untuk
mengatasi masalah kejiwaan yang melatar belakangi keluhan ini yang biasanya dapat
dilakukan oleh seorang ahli seperti psikiater ataupun psikolog.
2.4 Mekanisme Terjadinya Halitosis
Mekanisme terjadinya halitosis sangat dipengaruhi oleh penyebab yang
mendasari keadaan tersebut. Pada halitosis yang disebabkan oleh makanan tertentu, bau
nafas berasal dari makanan yang oleh darah ditransmisikan menuju paru-paru yang
selanjutnya dikeluarkan melalui pernafasan. Secara khusus, bakteri memiliki peranan
yang penting pada terjadinya bau mulut yang tak sedap atau halitosis. Bakteri dapat
berasal dari rongga mulut sendiri seperti plak, bakteri yang berasal dari poket yang dalam
dan bakteri yang berasal dari lidah memiliki potensi yang sangat besar menimbulkan
halitosis (Jurnal Kedokteran Gigi Mahasaraswati Volume 2).
VSC (Volatile Sulfur Compounds) merupakan unsure utama penyebab halitosis.
VPC merupakan hasil produksi dari akrivitas bakteri-bakteri anaerob di dalam mulut
yang berupa senyawa berbau yang tidak sedap dan mudah menguap sehingga
menimbulkan bau yang mudah tercium oleh orang lain disekitarnya. Di dalam
aktivitasnya di dalam mulut, bakteri anaerob bereaksi dengan protein-protein yang ada,
protein di dalam mulut dapat diperoleh dari sisa-sisa makanan yang mengandung protein,

sel-sel darah yang telah mati, bakteri-bakteri yang mati ataupun sel-sel epitel yang
terkelupas dari mukosa mulut. Seperti yang telah diketahui, di dalam mulut banyak
terdapat bakteri baik gram positif maupun gram negatif. Kebanyakan bakteri gram positif
adalah bakteri sakarolitik artinya di dalam aktivitas hidupnya banyak memerlukan
karbohidrat, sedangkan kebanyakan bakteri gram negatif adalah bakteri proteolitik
dimana untuk kelangsungan hidupnya banyak memerlukan protein. Protein akan dipecah
oleh bakteri menjadi asam-asam amino ( Agus Djaya, 2000).
Sebenarnya terdapat beberapa macam VSC serta senyawa yang berbau lainnya di
dalam rongga mulut, akan tetapi hanya terdapat 3 jenis VSC penting yang merupakan
penyebab utama halitosis, diantaranya metal mercaptan (CH3SH), dimetil mercaptan
(CH3)2S, dan hidrogen sulfide (H2S). Ketiga macam VSC tersebut menonjol karena
jumlahnya cukup banyak dan mudah sekali menguap sehingga menimbulkan bau.
Sedangkan VSC lain hanya berpengaruh sedikit, seperti skatole, amino, cadaverin dan
putrescine (Agus Djaya, 2000).
2.5 Gejala Halitosis
Kita sering tidak menyadari bahwa diri kita mengidap halitosis. Kalaupun tahu bau
mulut sering membuat kita rendah diri. Karena itu, kita perlu mengenali beberapa gejala
tersebut :
1. Sering merasa tidak enak dalam mulut.
2. Orang lain berkomentar mengenai bau nafas anda kemudin menawarkan sejenis
permen atau obat penyedap bau nafas.
3. Tanpa sadar anda sering menggunakan produk penghilang bau mulut, penyegar
nafas.
4. Orang lain tidak mau berdekatan saat berbicara dengan anda.
5. Anda merasakan mulut kering atau kondisi air liur lebih kental daripada biasanya.
Kondisi ini tidak dapat diperbaiki walau dengan segala usaha yang anda lakukan.
2.6 Diagnosis dan Pengukuran Halitosis
Diagnosis halitosis sangat penting dilakukan untuk mengetahui penyebab dan
mencegah terjadinya halitosis sehingga memungkinkan untuk melakukan evaluasi
terhadap keberhasilan pencegahan yang telah dilakukan. Kondisi umum pasien,
pemeriksaan kondisi oral hygiene, karies, status periodontal diperlukan untuk
mendukung diagnosa yang tepat. Metode diagnosis dibedakan atas metode langsung dan
tidak langsung
2.6.1 Metode Langsung
Metode langsung dilakukan dengan menghirup langsung bau yang terpancar atau
mengakur gas-gas yang mengandung sulfur penyebab timbulnya halitosis. Metode
langsung meliputi self diagnosis and home diagnosis pengukuran organoleptik,
pengukuran dengan menggunaknan instrument seperti gas Kharomatografi, monitor
sulfide/portable (halimeter) dan elektronik nose.

2.6.2 Metode Tidak Langsung


Metode ini biasanya dilakukan di laboratorium dengan mengidentifikasi
mikroorganisme yang berperan menghasilkan VSC secara secara invivo atau
mengidentifikasi produk-produk yang dihasilkan oleh mikroorganisme tersebut secara
invitro. Yang termasuk ke dalam metode tidak langsung antara lain pengujian enzim
yaitu tes BANA dan tes -galaktosidase
2.7 Pencegahan dan Perawatan Halitosis
Penanganan halitosis tergantung pada faktor penyebabnya, yang penting dokter
gigi dapat membedakan penyebab bau mulut sebagai kelainan di dalam atau di luar
mulut. Umumnya halitosis bisa dikurangi atau dihilangkan sama sekali dengan menjaga
kebersihan mulut seperti menyikat gigi, menggunakan benang gigi, membersihkan lidah,
menggunakan obat kumur dan diet sehat, namun kadang-kadang diperlukan penangganan
oleh tenaga profesional untuk melakukan rujukan. Untuk dapat mengatasi halitosis
secara efektif, diperlukan pemeriksaan secara menyeluruh dan diagnosa yang tepat.
Tindakan pencegahan dan perawatan pada halitosis antara lain,
a. Menyikat Gigi
Sebaiknya gigi disikat dua kali sehari. Gigi disikat dengan bulu sikat yang
lembut dan kepala sikat yang kecil. Hindarkan pemakaian bulu sikat yang kasar
karena bulu sikat yang kasar dapat menyebabkan resesi gingiva.Penyikatan gigi
sebaiknya menggunakan pasta gigi yang mengandung fluor untuk mencegah karies
gigi sekaligus. ( Dentika Dental Journal, Vol 13 )
b. Menggunakan Benang Gigi ( Dental Floss )
Benang gigi (dental floss) digunakan untuk membersihkan celah gigi yang
sempit yang tidak dapat dicapai dengan sikat gigi. Hal ini dilakukan dengan cara
memotong benang kira-kira sepanjang 40 cm, kemudian diputarkan di kedua jari
tengah kanan dan kiri. Benang dimasukkan ke celah diantara gigi dan ditahan dengan
ibu jari agar kuat dan tidak lepas ketika dilakukan gerakan seperti menggergaji.
Tindakan ini sebaiknya dilakukan satu kali sehari, namun bila memungkinkan
dilakukan dua kali sehari. Setelah tahap ini diperbolehkan kumur sampai bersih atau
dibilas dengan air. ( Dentika Dental Journal, Vol 13)
c. Membersihkan Lidah
Permukaan lidah dibersihkan dengan cara menyikat lidah dua kali sehari
menggunakan sikat gigi atau alat khusus pembersih lidah (tongue scrapper).
Permukaan lidah disikat dengan lembut dan perlahan agar lidah tidak luka. Sambil
lidah dijulurkan ke depan, tempatkan tongue scrapper sejauh mungkin ke belakang
lidah, selama masih tahan, sambil ditarik ke depan dan ke bawah dengan tekanan
ringan. Gunakan kain/kertas tissue bersih atau air mengalir untuk
membersihkan tongue scrapper. Ulangi prosedur ini 2-4 kali sampai seluruh
permukaan dibersihkan. (Djaya, 2000)
d. Penggunaan Obat Kumur
Obat kumur digunakan paling sedikit sekali sehari. Waktu yang paling tepat
menggunakan obat kumur adalah sebelum tidur karena obat kumur memberikan efek
antibakteri selama tidur saat aktivitas bakteri penyebab bau mulut meningkat. Obat

kumur yang mengandung alkohol dapat mengakibatkan mulut kering dan apabila
digunakan dalam waktu lama dapat menyebabkan mukosa mulut terkelupas. Oleh
karena itu, sebaiknya menggunakan obat kumur non-alkohol seperti yang
mengandung sodium sakarin. Penggunaan tidak perlu terlalu berlebihan, kurang lebih
10-15 ml sudah cukup untuk membasahi seluruh permukaan mulut. Kumur sekurangkurangnya 1-2 menit. Jangan kumur langsung dari botol, karena apabila tersentuh
ludah, bahan akan terkontaminasi, sehingga bahan aktif selebihnya di dalam botol
dapat menjadi rusak, akibatnya tidak berguna lagi untuk pemakaian selanjutnya.
(Pintauli, 2008)
e. Diet Sehat
Diet sehat dilakukan dengan memakan makanan segar berserat seperti sayuran
dan mempunyai konsistensi kasar yang dapat membantu membersihkan dorsum lidah,
menghindari memakan makanan yang menimbulkan bau, serta banyak minum air
putih setiap hari. Baru-baru ini, penelitian di Jepang melaporkan bahwa yogurt tanpa
gula dapat mengurangi senyawa penyebab halitosis. Hal ini dibuktikan dengan
dijumpai penurunan level senyawa hidrogen sulfida sampai 80% setelah
mengkonsumsi 90 gram yogurt setiap hari selama 6 minggu. Selain itu, hasil
penelitian di Amerika menunjukan bahwa polifenol (seperti catechin dan theaflavin),
senyawa yang terkandung dalam teh juga dapat menghambat pertumbuhan bakkteri
penyebab halitosis. Catechin terkandung dalam teh hijau maupun teh hitam
sedangkantheaflavin lebih dominan pada teh hitam. Mengurangi konsumsi makanan
dengan protein tinggi. Kunyahlah permen bebas gula (non-kariogenik) khususnya
apabila mulut terasa kering. Banyak minum air dalam sehari. Menghindari konsumsi
alkohol, rokok, obat-obatan yang dapat menurunkan aliran saliva. ( Dentika Dental
Journal, Vol 13 )
f. Penanganan Oleh Tenaga Profesional
Apabila karies, penyakit periodontal atau infeksi mulut lainnya yang
menyebabkan timbulnya halitosis, maka diperlukan penanganan khusus oleh tenaga
profesional, misalnya melakukan penambalan, skeling atau tindakan penyerutan akar
gigi (root planning). Selain itu, dokter gigi akan mencabut sisa akar bila radiks atau
akar gigi yang menyebabkan timbulnya halitosis. (Pintauli, 2008)
g. Rujukan
Jika kecurigaan penyebab di dalam mulut sudah diatasi, tetapi halitosis masih
ada, maka perlu diwaspadai kemungkinan adanya penyakit yang tidak berkaitan
dengan masalah gigi dan mulut seperti penyakit sistemik. Dalam hal ini, dokter gigi
akan
merujuk
pasien
ke
dokter
spesialis
untuk
menanganinya
(http://repository.usu.ac.id).

BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Jadi halitosis merupakan keadaan dari bau nafas. Umumnya istilah ini mengacu pada
suatu keadaan bau mulut yang berasal dari keadaan metabolic secara sistemik termasuk
saluran pencernaan. Halitosis dapat berupa halitosis fisiologi maupun patologis. Halitosis
dapat disebabkan oleh faktor-faktor fisiologis dan patologis yang berasal dari rongga mulut
atau intra oral dan faktor- faktor sistemik atau ekstra oral. Berdasarkan faktor etiologinya,
halitosis dibedakan atasa halitosis sejati, (genuine) pseudohalitosis dan halitophobia.
Halitosis sejati dibedakan lagi atas fisiologis dan patologis. Halitosis fisiologis merupakan
bersifat sementara dan tidak membutuhkan perawatan, sebaliknya halitosis patologis
merupakan halitosis bersifat permanen dan tidak dapat diatasi hanya dengan pemeliharaan
oral hygiene saja, tetapi membutuhkan suatu penanganan dan perawatan sesuai dengan
sumber penyebab halitosis.
VSC (Volatile Sulfur Compounds) merupakan unsure utama penyebab halitosis. VPC
merupakan hasil produksi dari akrivitas bekteri-bakteri anaerob di dalam mulut yang berupa
senyawa berbau yang tidak sedap dan mudah menguap sehingga menimbulkan bau yang
mudah tercium oleh orang lain disekitarnya. Diagnosis halitosis sangat penting dilakukan
untuk mengetahui penyebab dan mencegah terjadinya halitosis sehingga memungkinkan
untuk melakukan evaluasi terhadap keberhasilan pencegahan yang telah dilakukan. Metode
diagnosis dibedakan atas metode langsung dan tidak langsung.
Tindakan pencegahan dan perawatan pada halitosis antara lain,
a. Menyikat Gigi
b. Menggunakan Benang Gigi ( Dental Floss )
c. Membersihkan Lidah
d. Penggunaan Obat Kumur
e. Diet Sehat
f. Penanganan Oleh Tenaga Profesional
g. Rujukan
3.2 Saran
Diharapkan kepada masyarakat,untuk lebih menjaga oral hygiene masing-masing
karena dengan menjaga oral hygiene maka kita sudah melakukan tindakan preventif dalam
memperkecil probability terjadinya masalah dalam tubuh khususnya pada rongga mulut.

Anda mungkin juga menyukai