Anda di halaman 1dari 2

MENELISIK MEKANISME PENGISIAN JABATAN PUBLIK YANG IDEAL

Oleh : Raniansyah (B111 13 082)


(Mahasiswa Fakultas Hukum, Angkatan 2013)
Indonesia adalah negara hukum yang demokratis, sekiranya ungkapan tersebut sesuai
dengan amanah UUD NRI 1945 pada pasal 1 ayat (2) dan (3). Semakin dinamisnya hukum dan
demokrasi arus tuntutan rakyat akan hak-hak pun kian meningkat, jika terdapat hak maka
terdapat kewajiban di sisi lain. Nah yang berwenang kemudian untuk memenuhi tuntutan
tersebut adalah para pemangku jabatan Publik selaku pelayan rakyat.
Jabatan publik merupakan posisi penting yang ada di republik ini, bagaimanapun pejabat
publik merupakan pelayan rakyat yang sekiranya diisi oleh orang orang yang memiliki
kompetensi dan kredibilitas yang mantap oleh karena itu segala proses mulai dari pencalonan,
penyeleksian, dan pemilihan harus dilakukan secara mantap pula, artinya tersusun secara rapi
dan sistematis serta menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran dalam proses pengisian jabatan
publik.
Dalam proses pengisian jabatan publik yang ideal, maka pihak-pihak yang terkait dalam
proses seleksi dan pengisian haruslah pula orang-orang kredibel serta memiliki kompetensi yang
mapan sehingga bebas dari pengaruh politis atau kepentingan kelompok tertentu. Dalam
Pengisian Jabatan publik ini, tulisan dalam harian Kompas dapat dijadikan objek kajian yang
menarik, judulnya Meninjau Ulang Seleksi Pejabat Publik, Jika diperhatikan secara mendalam,
maka dapat diketahui bahwa sejatinya yang dikritisi adalah kewenangan DPR yang dinilai
kurang tepat atau terkesan berlebihan. Dewan Perwakilan Rakyat memang merupakan
refresentasi rakyat untuk kemudian memilih pelayannya namun kewenangan DPR dinilai terlalu
politis untuk kemudian sampai pada tahap seleksi dan pemilihan padahal Jimmly Assidiqie
berpandangan bahwa sejatinya mekanisme pengisian jabatan Publik telah dicontohkan oleh
Amerika Serikat yaitu hanya pada tahap DPR selaku pengawas atau sebatas hak untuk memberi
konfirmasi (the right to confirm) bukan hak untuk memilih (right to elect) apalagi untuk
menyeleksi (right to selection).
Apa yang dipaparkan oleh Pakar Tata Negara, Saldi Isra sekiranya juga dapat
dipertimbangkan di masa mendatang, yaitu pelibatan panel ahli dalam proses penyeleksian, agar
tidak muncul lagi istilah anggota DPR ada yang tamatan SMA, tapi menyeleksi dan memilih

pejabat public yang tamatan S2 hingga S3,. Secara logis istilah tersebut dapat diamini karena
itulah yang terjadi selama ini. Jadi pelibatan panel ahli ada untuk menjawab tantangan tersebut,
jadi yang menyeleksi minimal sederajat tingkatan pendidikannya dengan yang diseleksi bahkan
harusnya lebih dari yang diseleksi, secara hukum hal ini dibenarkan karena tidak ada aturan yang
mengharuskan harus DPR yang langsung memilih dan/atau menyeleksi.
Kesan politis memang senantiasa mewarnai proses pemilihan Jabatan Publik oleh karena
itu perlu ada reformasi sistem menuju mekanisme pemilihan yang lebih ideal sehingga para
pelayan public yang terpilih nantinya benar-benar merupakan orang yang memiliki kredibilitas
dan kompetensi yang mantap sehingga mampu mengarahkan pembangunan nasional dan
pemenuhan hak-hak rakyat secara lebih baik.
Secara pribadi, saya sepakat dengan usulan para ahli dalam artikel di Koran Kompas
Tersebut, menurut saya, walaupun DPR merupakan refresentasi dari rakyat tapi tidak semuaanya
harus dimasuki oleh DPR, jadi saya lebih sepakat jika DPR itu hanya sebatas memberi
pertimbangan dan/atau menyetujui atau tidak menyetujui, sementara proses seleksi dan
pemilihan itu dilakukan oleh Panel Ahli sehinggga hasil yang diperoleh benar-benar ideal, Panel
ahli ini dapat tersusun dari ahli psikologi, ahli sosiologi, ahli Hukum Tata Negara dan Ahli
Administrasi Negara, serta kalangan Akademisi, sehingga semua aspek sekiranya senantiasa
berupaya diwujudkan untuk menghasilkan pejabat public selaku pelayan rakyat yang sejati.

Anda mungkin juga menyukai