Anda di halaman 1dari 14

KELEMBAGAAN NEGARA

MAHKAMAH AGUNG DALAM KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA

OLEH:
RANIANSYAH
B111 13 082

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM, FAKULTAS HUKUM


UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2016

KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT karena dengan berkat, rahmat, hidayah, dan
karunia-Nya sehingga Tim penulis dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Hukum
Kelembagaan

Negara

dengan

judul

Mahkamah

Agung

dalam

Kekuasaan

Kehakiman di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar ini tepat pada


waktunya.
Dalam penulisan Makalah ini, Penulis mendapatkan masukan dari sejumlahi
pihak, oleh karena itu penulis ingin menghaturkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah memberikan bantuannya dalam penulisan ini terutama kepada :

1. Kedua orangtua penulis dan segenap keluarga tercinta atas segala bantuan,
dukungan, semangat, dan doa yang terus menyertai;

2. Dosen-dosen Pengasuh Mata Kuliah Hukum Kelembagaan Negara;


3. Dekan dan segenap jajaran Pembantu Dekan

yang telah membantu

menyediakan fasilitas pembelajaran yang cukup memadai;

4. Pihak-pihak lain yang telah membantu dan tidak dapat disebutkan satu per
satu.
Akhir kata, tim penulis mengucapkan terima kasih atas segala dukungan dan
perhatiannya, Besar harapan tulisan ini dapat bermanfaat khususnya bagi
pembaca dalam memahami Hukum Sumber Daya Alam ini.

Tim Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................... 2
DAFTAR ISI............................................................................................................... 3
PEMBAHASAN.......................................................................................................... 4
1. KEKUASAAN KEHAKIMAN.............................................................................4
2. PEMBAGIAN KEKUASAAN MAHKAMAH AGUNG DAN MAHKAMAH
KONSTITUSI YANG IDEAL............................................................................. 6
3. MAHKAMAH AGUNG DAN KOMISI YUDISIAL..............................................9
4. KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG DALAM UUD NRI 1945..................10
5. PEREKRUTAN HAKIM AGUNG......................................................................10
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................. 12

PEMBAHASAN
1. KEKUASAAN KEHAKIMAN
Sistem penyelenggaraan pemerintahan
kekuasaan

Indonesia, dikenal pemisahan

yang terdiri dari Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif, ketiga sistem

pemerintahan tersebut dijalankan oleh masing-masing pemegang kekuasaannya,


misalnya salah satunya Yudikatif sepenuhnya dilaksanakan oleh peradilan, dalam
hal ini dalam UUD NRI 1945 disebut kekuasaan kehakiman. Kehakiman menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah urusan hakim dan pengadilan
atau segal a yang berkenaan dengan hukum (hukum dan undang-undang). 1
Sedangkan hakim dapat diartikan secara umum dan khusus, hakim secara
umum

adalah

penyelesaian

setiap orang
suatu

dilingkungan

atau

sengketa.

peradilan

yang

pejabat
Hakim

diangkat

yang

melakukan pemutusan

secara
dan

khusus

diberi

adalah

wewenang

atau

pejabat

memutuskan

sengketa hukum dan membuat ketetapan hukum di bidang-bidang tertentu.


Kekuasaan kehakiman secara
merdeka.

Artinya

independen tanpa

hakim

konstitusional

merupakan

kekuasaan

dalam menjalankan kekuasaannya

campur tangan dari pihak mana

pun,

baik

yang

harus bersifat
itu

Presiden

sebagai kekuasaan eksekutif maupun DPR dan DPD sebagai kekuasaan legislatif.
Hal ini dipertegas pada pasal 24 ayat (1)

UUD NRI 1945bahwa kekuasaan

kehakiman adalah kekuasaan yang mandiri. Hal ini lebih meguatkan konsep negara
hukum Indonesia.Pasca
perubahan

amademen

UUD

NRI

1945

telah

memberikan

mendasar, khususnya BAB IX tentang kekuasaan kehakiman, secara

kuantitatif perubahan tersebut dapat dilihat dari penambahan butir ketentuan.


Sebelum

perubahan,

ketentuan kekuasaan

kehakiman

dan

UUD

NRI

1945

hanya diatur dalam dua pasal yang terdiri atas tiga ayat. Sedangkan setelah
perubahan, ketentuan tersebut menjadi lima pasal yang terdiri
melahirkan

dua

lembaga

kekuasaan

yudikatif

yaitu

dari

19

Mahkamah Agung

ayat
dan

Mahkamah Konstitusi. Sebagaimana dalam pasal 24 ayat (2) UUD NRI 1945
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah dan bada peradilan
yang

berada

di

bawahnya

dalam

lingkungan

peradilan

umum,

lingkungan

1Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Keyword


Kekuasaan Kehakiman.
4

peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha


negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Sebelum perubahan UUD NRI
1945 kekuasaan kehakiman atau fungsi yudikatif (yudicial) hanya terdiri atas
badan-badan pengadilan yang berpuncak pada Mahkamah Agung. Lembaga
Mahkamah Agung tersebut, sesuai dengan prinsip Independent of Judiciary diakui
bersifat mandiri dalam arti

tidak

boleh

cabang-cabang kekuasaan lainnya.

diintervensi

atau

dipengaruhi

oleh

Hadirnya Mahkamah Konstitusi mendampingi

Mahkamah Agung dalam kekuasaan kehakiman merupakan fenomena baru dalam


ketatanegaraan.

Sebagian

besar

demokrasi

yang

sudah

mapan,

tidak

mengenal lembaga Mahkamah Konstitusi yang berdiri sendiri. Sampai sekarang


baru ada 78 negara yang membentuk mahkamah ini secara tersendiri. 3 Fungsinya
biasanya dicakup dalam fungsi Supreme Court yang ada di setiap negara.
Salah

satu

contohnya

dibayangkan

sebagai

ialah Amerika

fungsi

Serikat.

Fungsi-fungsi

yang

dapat

Mahkamah Konstitusi dikaitkan langsung dengan

kewenangan Mahkamah Agung (Supreme Court).

Akan

tetapi,

di

lingkungan

negara-negara yang mengalami perubahan yang ototarian menjadi demokrasi,


pembentukan Mahkamah Konstitusi itu dinilai cukup popular. Misalnya: Afrika
Selatan, Korea Selatan, Thailand, Lithuana, Ceko, dan sebagainya memandang
perlu adanya Mahkamah Konstitusi. Kekuasaan yudikatif atau kehakiman berada
ditangan

Mahkamah

Agung

yang

terdiri dari dua pintu, yaitu Mahkamah

Konstitusi dan Mahkamah Kasasi. Mahkamah Kasasi adalah Mahkamah Agung


dalam pengertian Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945. Akan
tetapi, dengan dibentuknya

Mahkamah

Konstitusi,

maka

Mahkamah

Agung

menurut pengertian Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun1945 itu di


ubah

namanya

Agung

dapat

menjadi Mahkamah Kasasi,


dipergunakan

agar

untuk pengertian

nomenklatur

yang

mencakup

Mahkamah
Mahkamah

Konstitusi. Mahkamah Konstitusi berfungsi sebagai Mahkamah yang menjamin


tegaknya

supremasi

konstitusi

dan

menjamin harmonisnya

sistem

hirarki

2 Lihat pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

3 Lihat Jimly Asshiddiqie dan Mustafa Fakhry, Mahkamah Konstitusi: Kompilasi Ketentuan
UUD, UU, dan Peraturan di 78 Negara, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI dan
Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Indonesia, 2002

semua

ketentuan

peraturan

Dasar (Pasal 32 ayat

perundang-undangan

d ibawah Undang-Undang

(1)). Di samping itu, Mahkamah Konstitusi juga berperan

penting dalam menyelesaikan setiap persengketaan lembaga-lembaga negara


atau persengketaan antara pemerintah pusat dan daerah, serta persengketaan
antar pemerintah daerah dalam menjalankan peraturan perundang-undangan
dibawah Undang-Undang Dasar (Pasal 32 ayat (5)). Gugatan judicial review
atas materi undang-undang ataupun tuntutan penyelesaian sengketa di antara
lembaga

negara tingkat pusat, dapat langsung diajukan kepada Mahkamah

Konstitusi, sedangkan

yang lainnya

diajukan

pada

tingkat

pertama

kepada

pengadilan tinggi di daerah masing masing. Sementara itu, Mahkamah Kasasi


merupakan Mahkamah yang akan memutus pada tingkat terakhir semua perkara
dalam rangka mewujudkan keadilan bagi warga negara dan masyarakat luas
(Pasal 32 ayat (6)).
Perubahan ketiga, pasal 24B UUD NRI 1945
komisi yang
lebih

bertugas

mengawasi

pelaksanaan

menyebutkan adanya suatu


kekuasaan

kehakiman,

yang

dikenal Komisi Yudisial (KY). Hal itu terkait dengan kondisi peradilan di

Indonesia

pada

masa

lalu

yang

dinilai

sarat

dengan

KKN

serta

mafia

peradilan.sehingga menuai perdebatan dalam perubahan UUD NRI 1945, di suatu


sisi kekuasaan kehakiman bersifat merdeka, kata merdeka dalam arti luas dapat
dianggap

tanpa

intervensi

dari

lembaga

luar

dari kehakiman. Di sisi lain,

pengawasan juga dianggap perlu agar kemerdekaan hakim tidak disalahgunakan.


Sebenarnya, awalnya usulan badan pengawasan adalah perlunya pengaturan
Dewan

Kehormatan

Hakim

atau

Dewan

Kehormatan

MA

saja.

Namun

pengawasan internal semacam itu biasanya tidak efektif karena cenderung


muncul semangat
putusan

korps,

Judicial Review

mengawasi

perilaku

karena
MK

berada

yang

lingkup

MA

membatalkan

sendiri.

Terlebih

kewenangan

KY

pada
untuk

hakim, karena KY bukan lembaga negara yang secara

fungsional setingkat dengan MA dan MK (meskipun

dimuat

dam

satu

Bab

Kekuasaan Kehakiman). Jadi, dalam konstitusi Indonesia pasca perubahan ada


tiga lembaga yang dimuat dalam bab kekuasaan kehakiman adalah MA, MK, dan
KY.

2. PEMBAGIAN KEKUASAAN MAHKAMAH AGUNG DAN MAHKAMAH


KONSTITUSI YANG IDEAL
Untuk lebih memahami wewenang antara kedua lembaga
kekuasaan kehakiman tersebut, akan disajikan dalam tabel berikut,
dengan menggunakan sistem comparing yang berdasar sistem bifurkasi
(bifurcation system) yang dianut, dimana MA sebagai ordinary court dan
MK sebagai constitutional review.

Tabel 5.1 Kewenangan MA dan MK dalam konstitusi pasca amandemen


keempat

No Mahkamah Agung

Mahkamah Konstitusi

.
1.

Mengadili pada tingkat

Menguji undang-undang

kasasi.

terhadap undang-undang

Menguji peraturan

dasar
Memutus sengketa

perundangundangan

kewenangan lembaga

dibawah undang-undang

negara yang

terhadap undang-undang

kewenangannya diberikan

2.

oleh undang-undang
3.

Wewenang lain yang


diberikan oleh undang-

4.

dasar.
Memutus pembubaran
partai politik

undang.
Mengajukan tiga hakim

Memutus perselisihan

konstitusi dari sembilan

tentang hasil pemilihan

hakim konstitusi yang

umum

diajukan bersama DPR,


dan presiden.

4 Abdul Hakim Garuda Nusantara, Mahkamah Konstitusi: Perspektif Politik dan


Hukum, Kompas, 24 September 2002
7

5.

Memeriksa, mengadili,
dan memutus mengenai
pendapat DPR bahwa
Presiden dan/atau wakil
presiden telah melakukan
pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana
berat lainnya, atau
perbuatan tercela,
dan/atau pendapat
presiden dan/atau wakil
presiden tidak lagi
memenuhi syarat sebagai
presiden dan/atau wakil
presiden

Secara kuantitatif tabel diatas, MK memiliki wewenang lebih


dibanding MA, akan tetapi jika ditarik benang merah dari kewenangan MA
dengan melihat kewenangan-kewenangan badan peradilan yang ada
dibawahnya, MA secara proporsional kewenangannya lebih luas. Terlebih
pada frase wewenang lain yang diberikan oleh undang-undang yang
cakupannya unlimitatif, mengingat MA adalah lembaga peradilan penegak
keadilan (Court of Justice). Salah satunya wewenang melalui UU No. 32
Tahun 2004, yakni menyelesaikan perselisihan hasil Pilkada.
Mengingat MA telah memiliki tugas dan beban kerja yang berat,
maka perlu adanya separation kekuasaan. seharusnya, kewenangan
Judicial Review (JR) yang sebelumnya berada di tangan MA, dialihkan ke
MK. MK berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) ditentukan berwenang
8

mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat


final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Ada
pun dalam pasal 24A ayat (1) UUD NRI 1945 dinyatakan: Mahkamah
Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan
perundang-undangan

di

bawah

undang-undang

terhadap

undang-

undang.. Pembagian demikian sama sekali tidak ideal, karena dapat


menimbulkan perbedaan atau putusan yang saling bertentangan antara
Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung. Contoh hipotesis adalah
berkenaan

dengan

keabsahan

materiel

PP

No.

110

Tahun

2000

dibandingkan dengan UU No. 22 Tahun 1999 d satu pihak, dan keabsahan


UU No. 22 Tahun 1999 dibandingkan dengan pasal 18 UUD NRI 1945 di
pihak lain. Misalnya, dapat saja terjadi Mahkamah Agung memutuskan
bahwa PP No. 110 Tahun 2000 tersebut bertentangan dengan UU No. 22
Tahun

1999,

sementara

saat

yang

sama

Mahkamah

Konstitusi

memutuskan UU No. 22 tahun 1999 itu bertentangan dengan UUD NRI


1945. Dari hipotesis tersebut, maka dipandang perlu setiap pengujian
peraturan

perudang-undangan

disatuatapkan

dalam

kewenangan

Mahkamah Konstitusi sesuai dengan doktrin Court of Law. Dengan


demikian, nantinya MK akan berperan sebagai mahkamah sistem hukum
(court of law) dan MA sebagai mahkamah keadilan (court of justice). Jadi,
seluruh kegiatan Judicial Review diserahkan ke MK, sehingga MA
berkonsentrasi dalam menangani perkara-perkara yang diharapkan dapat
mewujudkan rasa keadilan bagi setiap warga negara.
Kewenangan Mahkamah Agung yang sejatinya perlu ditambahkan
yaitu mengadili pada tingkat pertama dan terakhir pejabat negara, selain
Presiden dan Wakil Presiden yang melakukan tindak pidana berat dalam
masa jabatan, pengadilan ini dikenal dengan forum prevelegiatum.
forum prevelegiatum ini adalah hak khusus yang dimiliki oleh pejabatpejabat tinggi untuk diadili oleh suatu pengadilan yang khusus/tinggi dan

bukan oleh pengadilan negeri.5 Sedangkan Saldi Isra mendefinisikan


sebagai Pemberhentian pejabat tinggi negara, termasuk presiden,
melalui proses peradilan khusus (special legal proceedings). Pejabat yang
dianggap melanggar hukum diberhentikan melalui mekanisme pengadilan
yang dipercepat tanpa melalui proses dari tingkat bawah (konvensional)
Hak-hak khusus ini berlaku untuk pejabat-pejabat tinggi tertentu
dan diadili Mahkamah Agung (MA) yang dikenal saat berlakunya UUDS
1950 dan Konstitusi RIS. Pasal 106 UUS 1950 menyatakan: Presiden,
Wakil Presiden, Menteri-menteri, Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Mahkamah Agung,
Djaksa Agung pada Mahkamah Agung, Ketua, Wakil Ketua dan Anggota
Dewan Pengawas Keuangan, Presiden Bank-Sirkulasi dan juga pegawaipegawai, anggota-anggota majelis-majelis tinggi dan pejabat-pejabat lain
yang ditunjuk dengan undang-undang, diadili dalam tingkat pertama dan
tertinggi juga oleh Mahkamah Agung, pun sesudah mereka berhenti,
berhubung dengan kejahatan dan pelanggaran lain yang ditentukan
dengan

undang-undang

dan

yang

dilakukkannya

dalam

masa

pekerjaannya, kecuali jika ditetapkan lain dengan undang-undang.


Menurut Soepomo (1950) pasal UUDS 1950 diambil begitu saja dari
Konstitusi RIS dan berdasar dokumen resmi atau pembicaraan di
parlemen menurutnya tidak disinggung sebab-sebabnya.
3. MAHKAMAH AGUNG DAN KOMISI YUDISIAL
Ide perlunya sutau komisi khusus untuk menjalankan fungsi-fungsi
tertentu yang berhubungan dengan kekuasaan kehakiman bukanlah hal
yang baru. Ide tersebut muncul sejak adanya desakan penyatuatapan
bagi hakim pada era- reformasi. Selain itu muncul kekhawatiran baru
dikalangan pemerhati

hukum

dan

organisasi

nonpemerintah,

yaitu

kekhawatiran lahirnya monopoli kekuasaan kehakiman oleh MA. Bukan


5 J. C. T. Simorangkir (et.al), Kamus Hukum, Aksara Baru, 1983, hal. 62-63
10

hanya itu, ada kekhawatiran pula bahwa MA tidak akan mampu


menjalankan tugas barunya itu dan hanya mengulangi kelemahan yang
selama ini dilakukan oleh departemen. 6

Maka untuk menghindari

kekhawatiran tersebut maka dibentuklah suatu komisi yang nantinya


diharapkan dapat memainkan fungsi-fungsi tertentu dalam sistem yang
baru, khususnya rekrutmen hakim agung dan pengawasan terhadap
hakim, yang disebut Komisi Yudisial.
Menurut Jimly Asshiddiqie, maksud dibentuknya Komisi Yudisial dalam struktur
kekuasaan kehakiman Indonesia adalah agar warga masyarakat di luar struktur resmi lembaga
permanen dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan, penilaian kinerja, dan kemungkinan
pemberhentian hakim. Semua ini dimaksudkan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serat perilaku hakim dalam rangka mewujudkan kebenaran dan keadilan
berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Dengan kehormatan dan keluhuran martabatnya itu
kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bersifat imparsial (Independent and impartial
judiciary) diharapkan dapat diwujudkan dengan sekaligus diimbangi oleh prinsip
akuntabilitas kekuasaan kehakiman, baik dari segi hukum maupun dari segi etika. Untuk itu,
diperlukan institusi pengawasan yang independen terhadap para hakim itu sendiri. Maka
secara harfiah jelas sekali artinya, yaitu Komisi Yudisial bertugas menjaga (preventif) dan
menegakkan (korektif dan represif) kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku semua
hakim di Indonesia. Tugas-tugas tersebut termaktub dalam pasal 24B UUD NRI 1945.
4. KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG DALAM UUD NRI 1945
Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi,
menguji peraturan perundang undangan di bawah undang-undang
terhadap undang-undang dan wewenang lainnya yang diberikan oleh
Undang-undang.

6 Wim Voermans, Komisi Yudisial di Beberapa Negara Uni Eropa (Council for the
Judiciary in EU Countries), diterjemahkan oleh Adi Nugroho dan M. Zaki Hussein,
Jakarta: Lembaga Kajian dan Advokasi untuk independensi Peradilan-LeIP 2002, hlm.
IX.
11

Dalam

Hal

pemberian

grasi

dan

rehabilitasi

oleh

Presiden,

Mahkamah Agung juga berwenang memberikan pertimbangan. 7 Pimpinan


Mahkamah

Agung

juga

berwenang

menyaksikan

proses

penyumpahan/pengucapan janji Presiden dan Wakil Presiden yang akan


dilantik apabila MPR atau DPR tidak dapat mengadakan sidang.8
5. PEREKRUTAN HAKIM AGUNG
Menyangkut proses rekrutmen hakim agung. Selama ini, untuk hakim agung, UUD NRI
1945 menyatakan bahwa hakim agung diusulkan oleh Komisi Yudisial (KY) kepada DPR
sebanyak tiga kali dari jumlah yang dibutuhkan. DPR kemudian akan mengadakan seleksi untuk
memilih sejumlah hakim agung yang dibutuhkan dan selanjutnya penetapan hakim agung
dilakukan oleh Presiden.9
Hakim Agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil,
professional, dan berpengalaman di bidang hukum. Ketua dan wakil Ketua Mahkamah Agung
dipilih dari dan oleh hakim Agung.
Konsep Ideal dalam pemilihan Hakim Agung sejatinya DPR seharusnya tidak
memilih melainkan hanya memberi persetujuan hal ini dimaksukan agar terjadi
check and balances diantara kekuasaan negara sehingga bukan cuman DPR yang
menjadi penentu akhir dari Hakim Agung tetapi seluruh cabang kekuasaan yang lain
.Jadi Komisi Yudisial tetap diberikan kewenangan untuk menyeleksi hakim agung. Hasil seleksi

tersebut kemudian disampaikan kepada presiden. Presiden kemudian akan menyampaikan caloncalon hakim agung tersebut kepada DPR untuk dimintai persetujuan. Presiden menyampaikan
jumlah hakim agung sebanyak yang dibutuhkan sehingga DPR tidak melakukan pemilihan,
melainkan hanya menyetujui atau tidak menyetujui. Bila DPR tidak menyetujui, presiden harus
mengajukan calon-calon hakim yang lain sebanyak yang tidak disetujui. Untuk mengantisipasi

7 Lihat Pasal 14 ayat (1) UUD NRI 1945 Presiden Memberi Grasi dan rehabilitasi
dengan memerhatikan pertimbangan Mahkamah Agung
8 Lihat Pasal 9 ayat (2) Undang-undang Dasar NRI 1945.
9 Lihat pasal 24A ayat (3) UUD NRI 1945
12

hal ini, KY harus menyampaikan jumlah hakim agung lebih banyak dari yang diperlukan,
misalnya dua kali dari yang dibutuhkan.

13

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hakim Garuda Nusantara, Mahkamah Konstitusi: Perspektif Politik dan
Hukum, Kompas, 24 September 2002
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Keyword
Kekuasaan Kehakiman.
J. C. T. Simorangkir (et.al), Kamus Hukum, Aksara Baru, 1983
Mustafa Fakhry, Mahkamah Konstitusi: Kompilasi Ketentuan UUD, UU, dan Peraturan
di 78 Negara, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI dan Asosiasi
Pengajar HTN dan HAN Indonesia, 2002.
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Wim Voermans, Komisi Yudisial di Beberapa Negara Uni Eropa (Council for the
Judiciary in EU Countries), diterjemahkan oleh Adi Nugroho dan M. Zaki
Hussein, Jakarta: Lembaga Kajian dan Advokasi untuk independensi PeradilanLeIP 2002, hlm. IX.

14

Anda mungkin juga menyukai