Paper Laringitis
Paper Laringitis
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Embriologi Laring
Faring, laring, trakea dan paru merupakan derivat foregut embrional yang
terbentuk sekitar 18 hari setelah terjadi konsepsi. Tidak lama sesudahnya
terbentuk alur faring medianyang berisi petunjuk-petunjuk pertama sistem
pernafasan dan benih laring. Sulkus atau alur laringotrakeal mulai nyata sekitar
hari ke 21 kehidupan embrio. Perluasan alur ke kaudal merupakan primaordial
paru. Alur menjadi lebih dalam dan berbentuk kantung dan kemudian menjadi dua
lobus pada hari ke 27 atau 28. Bangian yang paling proksimal dari tuba akan
menjadi laring. Pembesaran aritenoid dan lamina epitelial dapat dikenali pada hari
ke 33. Sedangkan kartilago, otot, dan sebagian besar pita suara terbentuk dalam 34 minggu berikutnya.
Hanya kartilago epiglotis yang tidak terbentuk hingga masa midfetal.
Banyak struktur merupakan derivat aparatus brankialis.
2.2 Anatomi Laring
Laring berada di depan dan sejajar dengan vetebre cervical 4 sampai 6,
bagian atasnya yang aka melanjutkan ke faring berbentuk seperti bentuk limas
segitiga dan bagian bawahnya yg akan melanjutkan ke trakea berbentuk seperti
sirkular.
Laring dibentuk oleh sebuah tulang yaitu tulang hioid di bagian atas dan
beberapa tulang rawan. Tulang hioid berbentuk seperti huruf U, yang permukaan
atasnya dihubungkan dengan lidah, mandibula, dan tengkorak oleh tendon dan
otot-otot. Saat menelan, konstraksi otot-otot (M.sternohioid dan M.Tirohioid) ini
akan menyebabkan laring tertarik ke atas, sedangkan bila laring diam, maka otototot ini bekerja untuk membantu menggerakan lidah.
Tulang rawan yang menyusun laring adalah kartilago tiroid, krikoid,
aritenoid, kornikulata, kuneiform, dan epiglotis. Kartilago tiroid merupakan tulang
rawan laring yang terbesar, terdiri dari dua lamina yang bersatu di bagian depan
dan mengembang ke arah belakang. Tulang rawan iniberbentuk seperti kapal,
bagian depannya mengalami penonjolan membentuk adams apple dan di
dalam tulang rawan ini terdapat pita suara, dihubungkan dengan kartilago krikoid
oleh ligamentum krikotiroid.
Kartilago krikoid terbentuk dari kartilago hialin yang berada tepat dibawah
kartilago tiroid berbentuk seperti cincin signet, pada orang dewasa kartilago
krikoid terletak setinggi dengan vetebra C6 sampai C7 dan pada anak-anak
setinggi vetebra C3 sampai C4. Kartilago aritenoid mempunyai ukuran yang lebih
kecil, bertanggung jawab untuk membuka dan menutup laring, berbentuk seperti
piramid, terdapat 2 buah (sepasang) yang terletak dekat permukaan belakang
laring dan membentuk sendi dengan kartilago krikoid, sendi ini disebut artikulasi
krikoaritenoid.
Plica vocalis adalah dua lembar membrana mukosa tipis yang terletak di
atas ligamenturn vocale, dua pita fibrosa yang teregang di antara bagian dalam
kartilago thyroidea di bagian depan dan cartilago arytenoidea di bagian belakang.
Plica vocalis palsu adalah dua lipatan membrana mukosa tepat di atas plica
vocalis sejati. Bagian ini tidak terlibat dalarn produksi suara.
Pada laring terdapat 2 buah sendi, yaitu artikulasi krikotiroid dan artikulasi
krikoaritenoid. Ligamentum yang membentuk susunan laring adalah ligamentum
seratokrikoid (anterior, lateral, dan posterior ), ligamentum krikotiroid medial,
ligamentum
ventricularis
ligamentum
vocale
yang
menghubungkan
Gerakan laring dilaksanakan oleh kelompok otot-otot ekstrinsik dan otototot instrinsik, otot-otot ekstrinsik terutama bekerja pada laring secara
keseluruhan, sedangkan otot-otot instrinsik menyebabkan gerakan bagian-bagian
laring sendiri. Otot-otot ekstrinsik laring ada yang terletak diatas tulang hyoid
(suprahioid), dan ada yang terletak dibawah tulang hyoid (infrahioid). Otot
ekstrinsik yang supra hyoid ialah M. Digastricus, M.Geniohioid, M.Stylohioid,
dan M.Milohioid. Otot yang infrahioid ialah M.sternohioid dan M.Tirohioid. Otototot ekstrinsik laring yang suprahioid berfungsi menarik laring kebawah,
sedangkan yang infrahioid menarik laring keatas .Otot-otot intrinsik laring ialah
M.
Krikoaritenoid
lateral.
M.Tiroepiglotica,
M.vocalis,M.
Tiroaritenoid,
ventrikularis (pita suara palsu).Bidang antara plica vocalis kiri dan kanan, disebut
rima glottis, sedangkan antara kedua plica ventrikularis disebut rima vestibuli.
Plica vocalis dan plica ventrikularis membagi rongga laring dalam tiga
bagian, yaitu vestibulum laring , glotic dan subglotic. Vestibulum laring ialah
rongga laring yang terdapat diatas plica ventrikularis. Daerah ini disebut
supraglotic. Antara plica vocalis dan pita ventrikularis, pada tiap sisinya disebut
ventriculus laring morgagni.
Rima glottis terdiri dari dua bagian, yaitu bagian intermembran dan bagian
interkartilago. Bagian intermembran ialah ruang antara kedua plica vocalis, dan
terletak dibagian anterior, sedangkan bagian interkartilago terletak antara kedua
puncak kartilago aritenoid, dan terletak di bagian posterioir. Daerah subglotic
adalah rongga laring yang terletak di bawah pita suara (plicavocalis).
Persyarafan
Laring dipersarafi oleh cabang-cabang nervus vagus, yaitu n.laringeus
superior dan laringeus inferior (recurrent). Kedua saraf ini merupakan campuran
saraf
motorik
dan
sensorik.
Nervus
laryngeus
superior
mempersarafi
10
11
12
Fungsi respirasi dan laring ialah dengan mengatur besar kecilnya rima
glottis. Bila m.krikoaritenoid posterior berkontraksi akan menyebabkan prosesus
vokalis kartilago aritenoid bergerak ke lateral, sehingga rima glottis terbuka.
Dengan terjadinya perubahan tekanan udara di dalam traktus trakeobronkial akan dapat mempengaruhi sirkulasi darah dari alveolus, sehingga
mempengaruhi sirkulasi darah tubuh. Dengan demikian laring berfungsi juga
sebagai alat pengatur sirkulasi darah.
Fungsi laring dalam membantu proses menelan ialah dengan 3 mekanisme,
yaitu gerakan laring bagian bawah ke atas, menutup aditus laring dan mendorong
bolus makanan turun ke hipofaring dan tidak mungkin masuk kedalam laring.
Laring juga mempunyai fungsi untuk mengekspresikan emosi seperti
berteriak, mengeluh, menangis dan lain-lain.
Fungsi laring yang lain ialah untuk fonasi, dengan membuat suara serta
menentukan tinggi rendahnya nada. Tinggi rendahnya nada
diatur oleh
peregangan plica vokalis. Bila plica vokalis dalam aduksi, maka m.krikotiroid
akan merotasikan kartilago tiroid kebawah dan kedepan, menjauhi kartilago
aritenoid. Pada saat yang bersamaan m.krikoaritenoid posterior akan menahan
atau menarik kartilago aritenoid ke belakang. Plika vokalis kini dalam keadaan
yang efektif untuk berkontraksi. Sebaliknya kontraksi m. Krikoaritenoid akan
mendorong kartilago aritenoid ke depan, sehingga plika vokalis akan mengendor.
Kontraksi serta mengendornya plika vokalis akan menentukan tinggi rendahnya
nada.
13
2.4 Laringitis
Laringitis merupakan salah satu penyakit yang sering dijumpai pada
daerah laring. Laringitis merupakan suatu proses inflamasi pada laring yang dapat
terjadi baik akut maupun kronik.1
Laringitis akut biasanya terjadi mendadak dan berlangsung dalam kurun
waktu kurang lebih 3 minggu. Bila gejala telah lebih dari 3 minggu dinamakan
laringitis kronis.2
Penyebab dari laringitis akut dan kronis dapat bermacam-macam bisa
disebabkan karena kelelahan yang berhubungan dengan pekerjaan maupun infeksi
virus.2
2.5 Laringitis Akut
Laringitis akut adalah radang akut laring yang disebabkan oleh virus dan
bakteri yang berlangsung kurang dari 3 minggu. Pada umumnya merupakan
lanjutan dari rinofaringitis.
Patofisiologi
Laringitis akut merupakan inflamasi dari mukosa laring dan pita suara
yang berlangsung kurang dari 3 minggu. Parainfluenza virus, yang merupakan
penyebab terbanyak dari laringitis, masuk melalui inhalasi dan menginfeksi sel
dari epitelium saluran nafas lokal yang bersilia, ditandai dengan edema
dari lamina propria, submukosa, dan adventitia, diikuti dengan infitrasi selular
dengan histosit, limfosit, sel plasma dan lekosit polimorfonuklear (PMN). Terjadi
14
biasanya
15
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan dengan laringoskop direk atau indirek dapat membantu
menegakkan diagnosis. Dari pemeriksaan ini plika vokalis berwarna merah dan
tampak edema terutama dibagian atas dan bawah glotis
16
17
stridor inspirasi, sianosis, sesak nafas yang ditandai dengan nafas cuping hidung
dan/atau retraksi dinding dada, frekuensi nafas dapat meningkat, dan adanya
takikardi yang tidak sesuai dengan peningkatan suhu badan merupakan tanda
hipoksia1
Pemeriksaan dengan laringoskop direk atau indirek dapat membantu
menegakkan diagnosis. Dari pemeriksaan ini plika vokalis berwarna merah dan
tampak edema terutama dibagian atas dan bawah glotis. Pemeriksaan darah rutin
tidak memberikan hasil yang khas, namun biasanya ditemui leukositosis.
pemeriksaan usapan sekret tenggorok dan kultur dapat dilakukan untuk
mengetahui kuman penyebab, namun pada anak seringkali tidak ditemukan
kuman patogen penyebab1
Proses peradangan pada laring seringkali juga melibatkan seluruh saluran
nafas baik hidung, sinus, faring, trakea dan bronkus, sehingga perlu dilakukan
pemeriksaan foto.
Penatalaksanaan
Istirahat berbicara dan bersuara selama 2-3 hari. Menghirup udara lembab.
Menghindari iritasi pada faring dan laring, misalnya merokok, makanan pedas
atau minum es.
Antibiotik diberikan apabila peradangan berasal dari paru. Bila terdapat
sumbatan laring, dilakukan pemasangan pipa endotrakea atau trakeostomi.
Pencegahan
Jangan merokok, hindari asap rokok karena rokok akan membuat
tenggorokan kering dan mengakibatkan iritasi pada pita suara, minum banyak air
18
karena cairan akan membantu menjaga agar lendir yang terdapat pada
tenggorokan tidak terlalu banyak dan mudah untuk dibersihkan, batasi
penggunaan alkohol dan kafein untuk mencegah tenggorokan kering. jangan
berdehem untuk membersihkan tenggorokan karena berdehem akan menyebabkan
terjadinya vibrasi abnormal pada pita suara, meningkatkan pembengkakan dan
berdehem juga akan menyebabkan tenggorokan memproduksi lebih banyak
lendir.8
Prognosis
Prognosis untuk penderita laringitis akut ini umumnya baik dan
pemulihannya selama satu minggu. Namun pada anak khususnya pada usia 1-3
tahun penyakit ini dapat menyebabkan udem laring dan udem subglotis sehingga
dapat menimbulkan obstruksi jalan nafas dan bila hal ini terjadi dapat dilakukan
pemasangan endotrakeal atau trakeostomiaik
2.6 Laringitis Kronis
Etiologi
Biasanya infeksi virus menyebabkan laringitis kronis. Infeksi bakteri
seperti difteri juga dapat menjadi penyebabnya, tapi hal ini jarang terjadi.
Laringitis dapat juga terjadi saat menderita suatu penyakit atau setelah sembuh
dari suatu penyakit, seperti salesma, flu atau radang paru-paru (pnemonia).(5)
Kasus yang sering terjadi pada laringitis kronis termasuk juga iritasi yang
terus menerus terjadi karena penggunaan alkohol yang berlebihan, banyak
merokok atau asam dari perut yang mengalir kembali ke dalam kerongkongan dan
19
20
berindikasi
karahcroup,
bisa
digunakan
kortikosteroid
seperti
21
22
23
Obat
primer :
INH
(isoniazid),
Rifampisin,
Etambutol,
Sikloserin,
24
Gejala klinis yang ditemukan adalah suara parau dan batuk yang kronis.
Disfagia timbul bila gumma terdapat dekat introitus esofagus. Pada penyakit ini,
pasien tidak merasakan nyeri, mengingat kuman ini juga menyerang saraf-saraf di
perifer.
Pada pemeriksaan, bila guma pecah, maka ditemukan ulkus yang sangat
dalam, bertepi dengan dasar yang keras, berwarna merah tua serta mengeluarkan
eksudat yang berwarna kekuningan. Ulkus ini tidak menyebabkan nyeri dan
menjalar sagat cepat, sehingga bila tidak terbentuk proses ini akan menjadi
perikondritis.
Diagnosis dapat ditegakkan dengan tes serologi (RPR,VDRL, dan FTAABS) dan biopsi.
Penatalaksanaan dengen pemberian antibiotika golongan penicilin dosis
tinggi, pengengkatan sekuester, bila terdapat sumbatan laring karena stenosis
dapat dilakukan trakeostomi dan operasi rekonstruksi(8)
Prognosis pada penyakit ini kurang bagus pada gumma yang sudah pecah,
karena menyebabkan destruksi pada kartilago dan bersifat permanen
25
BAB III
KESIMPULAN
Laringitis akut banyak diderita pada anak anak, proses penyakit berjalan
cepat dan tidak jarang menimbulkan sumbatan jalan nafas
Dalam menangani laringitis akut atau kronis, ada tiga hal yang perlu
dilakukan : progresifitas dari gejala terutama yang berkaitan dengan
dispneu, gejala yang berkaitan dengan gejala sistemik dan faktor
predisposisi
26
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Roezin
A. Sistem
Aliran
Limfa Leher.
Dalam:Soepardi
EA. Buku
Ajar llmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi ke6. Jakarta. Balai Penerbit FKUI . 2007. h. 174-177.
2. Cohen James . Anatomi dan Fisiologi laring. Boies Buku Ajar Penyakit
THT. Edisi ke-6. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran.EGC. 1997. h. 369-376
3. Lee KJ. Essential Otolaryngology. Head and Neck Surgery, 6th ed.
Appleton & Lange Stamfort,Connecticut P
4. Hermani B, Abdurrachman H, Cahyono A. Kelainan Laring. Dalam:
Soepardi
EA. Buku
Ajar llmu
Kesehatan
Telinga
Hidung
Tenggorok Kepala & Leher. Edisi ke-6. Jakarta. Balai Penerbit FKUI .
2007.h. 237-242
5. Berlliti S, Omidi M. Chronic Laryngitis, Infectious or Allergic. Didapatkan
dari url : http://www.emedicine.com/ent/topics354.htm. Diunduh pada
tanggal 7 Oktober 2015.
6. Lalwani AK : Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology Head
& Neck Surgery, 2nd Edition. New York:The McGraw-Hill.2007.
7. Dhillon, R.S. ,East C.A.. Ear, Nose, and Throat and Head and Neck
Surgery. 2nd Edition. Churcill Livingstone. 2000. Hal. 56-68
8. Brandwein-Gensler, Majorie. Laryngeal Pathology. In: Van De Water
Thomas R. , Staecker H. Otolaryngology Clinical review. New
York:Thieme. 2008. Hal. 574-591
28
29