Alam yang indah nan mempesona. Puluhan gunung berdiri kokoh menjulang tinggi ke langit. Hamparan lautan yang luas dari sabang sampai merauke. Tanah yang subur dan perut bumi yang melimpah kekayaannya. Laksana serpihan surga yang jatuh tersangkut dibumi yang menenangkan hati ketika manusia hidup di atasnya. Itulah gambaran negeri ku, Indonesia. Indonesia, negeri yang genap tujuh puluh tahun usianya. Layaknya seorang anak manusia yang terlahir dengan segenggam cita-cita, Indonesia pun seperti itu. Cita-cita mulia negeri Indonesia tertuang dalam pembukaan undangundang dasar republik Indonesia alinea keempat yaitu 1) Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, 2) Memajukan kesejahteraan umum, 3) Mencerdaskan kehidupan bangsa, 4) Melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Tujuh puluh tahun merdeka, tujuh kali berganti rezim kepemimpinan. Namun cita-cita itu hanya sebatas goresan pena di atas kertas biasa yang dibaca seminggu sekali ketika upacara. Bagaimana tidak, katanya ingin memajukan kesejahteraan umum, tapi nyatanya 27,73 juta penduduk Indonesia hidup dibawah garis kemiskan (kemenkopmk,2015). Katanya ingin mencerdaskan kehidupan bangsa, tapi nyatanya 4,9 juta anak Indonesia harus putus sekolah (kompas,2015). Cita-cita itu serasa sulit untuk di wujudkan, mengingat dewasa ini kita selalu dihadapkan dengan sebuah pernyataan dan kenyataan, bahwa bangsa Indonesia ini sedang menghadapi krisis Multi Dimensional. Begitu parah krisis yang dihadapi, sehingga sangat sulit mengambil benang merahnya, sisi mana yang lebih dominan dan mana yang harus didahulukan, bahkan belum ditemukan solusi yang jitu dalam penyelesaiannya. Selain itu pada saat ini Indonesia juga mengalami krisis pemimpin. Figur-figur negarawan teladan yang bisa dijadikan panutan anak-anak serta remaja semakin sulit ditemukan. Salah satu bukti nyatanya adalah semakin banyaknya kekerasan,
korupsi yang di pertontonkan oleh para pemimpin Indonesia di beberapa wilayah
di nusantara baik di wilayah pusat maupun di daerah. Budaya korupsi sudah mewabah di kalangan birokrasi kita, dimana wilayah tersebut dihuni para pemimpin rakyat serta perwakilan rakyat. Layaknya sebuah virus yang sulit untuk divaksinasi sehingga merusak dan menggerogoti setiap sendi birokrasi negara sampai pelosok nusantara baik dalam wilayah pemerintahan,
pelayanan,
pendidikan,
kesehatan
maupun
pembangunan.
Fenomena krisis pemimpin ini nyata-nyata juga telah membentuk pemahaman di
masyarakat bahwa tidak ada lagi birokrasi di bumi pertiwi Indonesia yang tidak digerogoti virus korupsi ini. Hal ini merupakan bentuk nyata, krisis kepemimpinan di Indonesia.