PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Meningitis
purulenta merupakan
subarakhnoid yang diikuti oleh reaksi inflamasi sistem saraf pusat yang dapat
menyebabkan koma, aktivitas kejang, peningkatan tekanan intrakranial, dan infark
iskemik. Menings, ruang subarakhnoid, dan parenkim otak dapat terlibat dalam
proses reaksi inflamasi ini. Penyakit ini dapat mengenai semua usia dengan
predileksi usia sangat muda dan sangat tua.
Meningitis purulenta merupakan penyakit di seluruh dunia dengan tingkat
mortalitas dan morbiditas yang tinggi yang berkisar antara 10-30%. Angka
mortalitasnya yaitu 5% pada anak, 25% pada neonatus, dan 25% pada dewasa. Di
Amerika Serikat, pada penelitian tahun 1995 menunjukkan bahwa insidensi
penyakit ini telah berkurang sebanyak 0,2 kasus per 100.000 populasi, terutama
disebabkan oleh peningkatan penggunaan vaksin meningokokus. Dimana saja di
seluruh dunia, angka insidensi tetap tinggi terutama di negara berkembang seperti
Afrika Barat dimana dijumpai 213.658 kasus meningitis yang menyebabkan
21.830 orang meninggal antara tahun 1996-1997.
Pada umumnya meningitis purulenta timbul sebagai komplikasi dari
septikemia. Pada meningitis meningokokus, prodrom atau gejala awalnya berupa
infeksi nasofaring, oleh karena invasi dan multiplikasi meningokokus terjadi di
nasofaring. Baik menimgokokus, hemofilis influenza maupun pneumokokus dapat
menjadi penyebab otitis media. Meningitis purulenta dapat menjadi komplikasi
dari otitis media akibat infeksi kuman-kuman tersebut.
Meningitis purulenta termasuk dalam kegawatdaruratan medis dengan
inflamasi menings sebagai bentuk respon imun tubuh tehadap infeksi bacterial.
Bila tidak ditangani, mortalitasnya sampai 100%, meskipun sudsh diobati dengan
antibiotik, insiden kematian mencapai 5-10%. Di dunia, resiko timbul sequel
neurologis pada pasien mencapai 20%. Diagnose sedini mungkin dan penanganan
tepat sangat diperlukan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Anatomi
Menings
Otak dan medulla spinalis diselimuti meningss yang melindungi struktur
saraf yang halus, membawa pembuluh darah dan sekresi cairan serebrospinal.
Meningss terdiri dari tiga lapis, yaitu:
1. Lapisan Luar (Durameter)
Durameter merupakan tempat yang tidak kenyal yang membungkus otak,
medulla spinalis, cairan serebrospinal dan pembuluh darah. Durameter terbagi
lagi atas durameter bagian luar yang disebut selaput tulang tengkorak
(periosteum) dan durameter bagian dalam (meningeal) meliputi permukaan
tengkorak untuk membentuk falks serebrum, tentorium serebelum dan
diafragma sella.
2. Lapisan Tengah (Arakhnoid)
Disebut juga selaput otak, merupakan selaput halus yang memisahkan
durameter dengan piameter, membentuk sebuah kantung atau balon berisi
cairan otak yang meliputi seluruh susunan saraf pusat. Ruangan diantara
durameter dan arakhnoid disebut ruangan subdural yang berisi sedikit cairan
jernih menyerupai getah bening. Pada ruangan ini terdapat pembuluh darah
arteri dan vena yang menghubungkan sistem otak dengan menings serta
dipenuhi oleh cairan serebrospinal.
3. Lapisan Dalam (Piameter)
Lapisan piameter merupakan selaput halus yang kaya akan pembuluh darah
kecil yang mensuplai darah ke otak dalam jumlah yang banyak. Lapisan ini
melekat erat dengan jaringan otak dan mengikuti gyrus dari otak. Ruangan
diantara arakhnoid dan piameter disebut sub arakhnoid. Pada reaksi radang
ruangan ini berisi sel radang. Disini mengalir cairan serebrospinalis dari otak
ke sumsum tulang belakang.
Gambar 1. Meningss
2.2.
Meningitis Purulenta
2.2.1. Definisi
Meningitis purulenta atau meningitis bakteri adalah meningitis yang
bersifat akut dan menghasilkan eksudat berupa pus serta bukan disebabkan oleh
bakteri spesifik maupun virus. Meningitis purulenta merupakan infeksi SSP pada
meanings dengan penyebab utama bakteri non spesifik (Haemophilus influenza
tipe B/ Hib, Streptococcus pneumonia, etc) yang ditandai dengan demam bersifat
akut (>38oC rektal atau 38oC aksilar) disertai dengan satu atau lebih gejala
misalnya kaku kuduk, penurunan kesadaran dan tanda Kernig atau Brudzinski.
2.2.2. Epidemiologi
Meningitis purulenta lebih sering terjadi pada bayi dan anak-anak karena
sistem kekebalan tubuh belum terbentuk sempurna. Puncak insidensi kasus
meningitis karena Haemophilus influenzae di negara berkembang adalah pada
anak usia kurang dari 6 bulan, sedangkan di Amerika Serikat terjadi pada anak
usia 6-12 bulan. Sebelum tahun 1990 atau sebelum adanya vaksin untuk
Haemophilus influenzae tipe b di Amerika Serikat, kira-kira 12.000 kasus
meningitis Hib dilaporkan terjadi pada umur < 5 tahun. Insidens Rate pada usia <
5 tahun sebesar 40-100 per 100.000. Setelah 10 tahun penggunaan vaksin,
Insidens Rate menjadi 2,2 per 100.000. Di Uganda (2001-2002) Insidens Rate
meningitis Hib pada usia < 5 tahun sebesar 88 per 100.000.
Di Indonesia sendiri kasus tersangka meningitis purulenta sekitar
158/100.000 per tahun, dengan etiologi Hib 16/100.000 dan bakteri lain
67/100.000, angka yang tinggi bila dibandingkan dengan negara maju.
Penyebab utama meningitis purulenta adalah Haemophilus influenzae tipe
B (Hib) dan Streptococcus pneumonia (invasive pneumococcal disease/IPD).
Insiden meningitis purulenta di negara maju sudah menurun sebagai akibat
keberhasilan imunisasi Hib dan IPD.
Risiko penularan meningitis umumnya terjadi pada keadaan sosioekonomi rendah, lingkungan yang padat (seperti asrama, kamp-kamp tentara dan
jemaah haji), dan penyakit ISPA. Penyakit meningitis banyak terjadi pada negara
yang
disebabkan
oleh
bakteri
berakibat
lebih
fatal
Gambar 2. Patogenesis
2.2.6. Diagnosis
Diagnosis
meningitis
purulenta
ditegakkan
dari
anamnesis
serta
10
pada herpes simpleks dan enterovirus. Pemeriksaan diagnotik lain yang bernilai
antara lain kultur darah, CT dan MRI dari otak, tes serologi, serta biopsy otak.
Meningitis virus akut adalah yang paling sulit dibedakan dengan meningitis
bakterial. Meskipun dari klinis memiliki gejala lebih ringan dibandingkan
meningitis purulenta, namun beberapa anak dengan meningitis purulenta juga
mungkin memiliki gejala dan tanda yang lebih ringan, sementara meningitis viral
kadang lebih berat. Sehingga pemeriksaan CSF sangat diperlukan.
sel/mm3,
tetapi
biasanya
1000-10.000
sel/mm3.
Neutrofil
mendominasi (85-95% dari total hitung jenis sel), tetapi peningkatan proporsi sel
mononuklear ditemukan pada infeksi yang berkepanjangan, khususnya pada
meningitis yang diterapi tidak adekuat. Hitung sel >50.000 sel/mm 3 meningkatkan
kemungkinan adanya abses otak yang ruptur ke ventrikel. Dapat dijumpai
peningkatan jumlah total leukosit di cairan serebrospinal dalam 18-36 jam setelah
inisiasi terapi antibiotik.
Konsentrasi glukosa cairan serebrospinal lebih rendah dibandingkan
dengan serum. Glukosa CSS normal antara 45-80 mg/dl pada pasien dengan
glukosa serum 70-120 mg/dl, atau sekitar 65% glukosa serum. Konsentrasi
glukosa CSS di bawah 40 mg/dl merupakan keadaan yang abnormal.
Hiperglikemia meningkatkan konsentrasi glukosa CSS dan keadaan ini akan
menyamarkan penurunan konsentrasi glukosa CSS. Oleh karena itu paling baik
ditentukan dengan rasio glukosa CSS:serum. Rasio glukosa CSS:serum normal
11
yaitu 0,6. Rasio glukosa CSS:serum kurang dari atau sama dengan 0,4 merupakan
prediktif tinggi terhadap meningitis purulenta.
Nilai normal konsentrasi protein di CSS sisterna dan ventrikular berkisar
dari 13-30 mg/dl pada dewasa, dan dari 20-170 mg/dl pada neonatus. Peningkatan
konsentrasi protein CSS biasanya dijumpai pada meningitis purulenta, tetapi
konsentrasi protein CSS akan meningkat pada semua proses yang merusak sawar
darah otak. Ketika punksi lumbal menyebabkan trauma konsentrasi protein CSS
akan meningkat 1 mg/dl untuk setiap 1000 eritrosit yang ada per kubik mm.
Peningkatan konsentrasi laktat pada meningitis purulenta pertama kali
diketahui pada tahun 1925. Konsentrasi asam laktat CSS telah ditunjukkan
penggunaan klinisnya untuk membantu membedakan meningitis tuberculosis dan
meningitis purulenta dengan meningitis viral. Konsentrasi asam laktat hingga 35
mg/dl merupakan prediktif yang tinggi terhadap adanya meningitis purulenta atau
meningitis tuberkulosa.
Dalam keadaan pleositosis CSS, konsentrasi C-reactive protein (CRP) >
100 ng/ml berguna untuk mengidentifikasi meningitis purulenta. CRP telah
dilaporkan memiliki sensitivitas 100% dan spesivisitas 94% dalam membedakan
meningitis purulenta dari meningitis non-purulen pada bayi (4 minggu atau lebih)
dan anak-anak.
Tabel 1. Temuan pada pemeriksaan CSS pada meningitis
12
Pemeriksaan darah
Dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin, jumlah leukosit, Laju Endap
Darah (LED), kadar glukosa, kadar ureum, elektrolit dan kultur. Pada Meningitis
Purulenta didapatkan peningkatan leukosit.
Pemeriksaan Radiologis
Pada Meningitis Purulenta dilakukan foto kepala (periksa mastoid, sinus
paranasal, gigi geligi) dan foto thoraks. Foto thoraks dapat dilakukan untuk
melihat tanda-tanda pneumonia atau cairan di dalam paru. Sebanyak 50% pasien
dengan meningitis pneumokokal dibuktikan mengalami pneumonia pada foto
thoraks.
Peran yang paling penting dari CT scan pada pasien dengan meningitis
yaitu untuk mengidentifikasi kontraindikasi punksi lumbal dan komplikasi yang
memerlukan intervensi bedah saraf segera, seperti hidrosefalus simptomatik,
empiema subdural, dan abses serebral. CT scan dengan kontras juga dapat
mendeteksi komplikasi seperti thrombosis vena, infark, dan ventrikulitis.
Ventrikulitis merupakan komplikasi meningitis purulenta yang umum dijumpai
pada neonatus. Enhancement ependimal dapat dijumpai pada CT scan dengan
kontras.
Nilai CT scan dalam diagnosis dini empiema subdural dan efusi masih
kontroversial, karena modalitas ini tidak dapat mendeteksi meningitis, khususnya
CT scan tanpa kontras pada stadium awal penyakit. Hasil yang normal dari CT
scan tidak dapat mengesampingkan adanya meningitis akut.
CT scan dapat menunjukkan penyebab infeksi meningeal. Hidrosefalus
obstruktif dapat terjadi dengan perubahan inflamasi kronik pada ruang
subarakhnoid atau pada kasus obstruksi ventricular. Defek struktur otorinologik,
kongenital, dan kalvaria pasca trauma juga dapat dievaluasi.
13
Gambar 3. Serebritis dan pembentukan abses pada pasien dengan meningitis purulenta. CT
scan dengan kontras, potongan aksial dilakukan 1 bulan setelah bedah dan menunjukkan
adanya massa kecil, ring-enhanced, hipoattenuasi (abses rekuren) di ganglia basalis (panah)
dan kumpulan cairan subdural berbentuk lentiformis dengan enhanced meningss (anak
panah)
Gambar 4. Sinusitis frontalis, empiema, dan pembentukan abses pada pasien dengan
meningitis purulenta. T2-weighted axial MRI menunjukkan sinusitis frontalis, defek tulang
(panah), dengan edema kortikal (anak panah), dan kumpulan cairan subdural
oksipitoparietal kanan (empiema).
14
2.2.9. Penatalaksanaan
Jika pemeriksaan fisik tidak menunjukkan adanya kelainan neurologis
fokal atau papiledema, punksi lmbal harus dilakukan sesegera mungkin. Jika
cairan serebrospinal tidak jernih, terapi antibiotik dimulai tanpa
penundaan.
Ketika tanda fokal atau papiledema dijumpai, pemeriksaan kultur darah sebaiknya
dilakukan, antibiotik dimulai, dan CT scan dilakukan. Jika dari CT scan tidak
dijumpai lesi fokal yang akan menyebabkan kontraindikasi untuk dilakukannya
punksi lumbal, punksi lumbal dapat dilakukan.
Pilihan antibiotik inisial yaitu secara empiris, berdasarkan pada usia dan
faktor predisposisi pasien. Terapi disesuaikan seperti yang diindikasikan jika
pewarnaan Gram atau pemeriksaan kultur dan sensitivitas telah tersedia. Punksi
lumbal dapat diulang untuk menilai respon terhadap terapi. Cairan serebrospinal
harus steril selama 24 jam. Penurunan pleositosis serta penurunan proporsi
leukosit PMN harus terjadi dalam 3 hari.
Regimen terapi empiris untuk meningitis purulenta ditunjukkan pada tabel
di bawah ini:
Tabel 2. Terapi Empiris Meningitis Purulenta
FAKTOR PASIEN
TERAPI EMPIRIS
15
8-12 jam
Vancomycin 15 mg/kgBB IV setiap
8-12 jam ditambah dengan
CSF shunt
ORGANISME
Streptococcus pneumonia
REGIMEN TERAPI
Sensitif Penisilin
Sensitif Ceftriaxone
Haemophillus influenza
Neisseria meningitides
Listeria monocytogenes
Streptococcus agalactie
Enterobacteriaceae
17
Pseudomonas aeruginosa
18
Pencegahan
Pencegahan Primer
Tujuan pencegahan primer adalah mencegah timbulnya faktor risiko
meningitis bagi individu yang belum mempunyai faktor resiko dengan
melaksanakan pola hidup sehat. Pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan
imunisasi meningitis pada bayi agar dapat membentuk kekebalan tubuh. Vaksin
yang dapat diberikan seperti Haemophilus influenzae type b (Hib), Pneumococcal
conjugate vaccine (PCV7), Pneumococcal polysaccaharide vaccine (PPV),
Meningococcal conjugate vaccine (MCV4), dan MMR (Measles dan Rubella).
Imunisasi Hib Conjugate vaccine (Hb- OC atau PRP-OMP) dimulai sejak usia 2
bulan dan dapat digunakan bersamaan dengan jadwal imunisasi lain seperti DPT,
Polio dan MMR. Vaksinasi Hib dapat melindungi bayi dari kemungkinan terkena
meningitis Hib hingga 97%. Pemberian imunisasi vaksin Hib yang telah
direkomendasikan oleh WHO, pada bayi 2-6 bulan sebanyak 3 dosis dengan
interval satu bulan, bayi 7-12 bulan di berikan 2 dosis dengan interval waktu satu
bulan, anak 1-5 tahun cukup diberikan satu dosis. Jenis imunisasi ini tidak
dianjurkan diberikan pada bayi di bawah 2 bulan karena dinilai belum dapat
membentuk antibodi.
Meningitis
Meningococcus
dapat
dicegah
dengan
pemberian
kemoprofilaksis (antibiotik) kepada orang yang kontak dekat atau hidup serumah
dengan penderita.Vaksin yang dianjurkan adalah jenis vaksin tetravalen A, C,
W135 dan Y. Meningitis juga dapat dicegah dengan cara meningkatkan personal
hygiene seperti mencuci tangan yang bersih sebelum makan dan setelah dari toilet.
Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder bertujuan untuk menemukan penyakit sejak awal,
saat masih tanpa gejala (asimptomatik) dan saat pengobatan awal dapat
menghentikan perjalanan penyakit. Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan
19
diagnosis dini dan pengobatan segera. Deteksi dini juga dapat ditingkatan dengan
mendidik petugas kesehatan serta keluarga untuk mengenali gejala awal
meningitis.
Dalam mendiagnosa penyakit dapat dilakukan dengan pemeriksaan fisik,
pemeriksaan cairan otak, pemeriksaan laboratorium yang meliputi test darah dan
pemeriksaan X-ray (rontgen) paru. Selain itu juga dapat dilakukan surveilans ketat
terhadap anggota keluarga penderita, rumah penitipan anak dan kontak dekat
lainnya untuk menemukan penderita secara dini. Penderita juga diberikan
pengobatan dengan memberikan antibiotik yang sesuai dengan jenis penyebab
meningitis.
Pencegahan Tertier
Pencegahan tertier merupakan aktifitas klinik yang mencegah kerusakan
lanjut atau mengurangi komplikasi setelah penyakit berhenti. Pada tingkat
pencegahan ini bertujuan untuk menurunkan kelemahan dan kecacatan akibat
meningitis, dan membantu penderita untuk melakukan penyesuaian terhadap
kondisi-kondisi yang tidak diobati lagi, dan mengurangi kemungkinan untuk
mengalami
dampak
neurologis
jangka
panjang
misalnya
tuli
atau
20
BAB III
KESIMPULAN
Meningitis purulenta atau meningitis bakteri adalah meningitis yang
bersifat akut dan menghasilkan eksudat berupa pus serta bukan disebabkan oleh
bakteri spesifik maupun virus. Meningitis yang disebabkan oleh bakteri berakibat
lebih fatal dibandingkan meningitis penyebab lain karena mekanisme kerusakan
dan gangguan otak yang disebabkan oleh bakteri maupun produk bakteri lebih
berat.
Penularan kuman dapat terjadi secara kontak langsung dengan penderita
dan droplet infection yaitu terkena percikan ludah, dahak, ingus, cairan bersin dan
cairan
tenggorok
penderita.
Penyebaran
bakteri
dapat
pula
secara
perkontinuitatum dari peradangan organ atau jaringan yang ada di dekat selaput
otak. Penyebaran kuman bisa juga terjadi akibat trauma kepala dengan fraktur
terbuka atau komplikasi bedah otak. Gejala yang dialami termasuk demam,
konfusi, muntah, nyeri kepala, serta kekakuan pada leher.
Jika pemeriksaan fisik tidak menunjukkan adanya kelainan neurologis
fokal atau papiledema, punksi lmbal harus dilakukan sesegera mungkin. Jika
cairan serebrospinal tidak jernih, terapi antibiotik dimulai tanpa
penundaan.
Pilihan antibiotik inisial yaitu secara empiris, berdasarkan pada usia dan faktor
predisposisi pasien. Terapi disesuaikan seperti yang diindikasikan jika pewarnaan
Gram atau pemeriksaan kultur dan sensitivitas telah tersedia. Deksametason
diberikan dengan dosis 0,15 mg/kg IV, setiap 6 jam selama 4 hari.
21
DAFTAR PUSTAKA
Brian M, Greenwood MD. 2007. Corticosteroids in Acute Bacterial
Meningitis. The New England Journal of Medicine. Available from :
www.NEJM.org.
Dhamija RM, Bansal J. 2006. Bacterial Meningitis (Meningoencephalitis):
A Review. JIACM
Incesu, Lutfi. James G. Imaging in Bacterial Meningitis. 2013. Available
from : www. Medscape.com.
Meissadona G, Soebroto AD, Estiasari R,. 2015. Diagnosis dan Tatalaksana
Meningitis Bakterialis. CDK-244/vol, 22 no. 1
Poblano P, Artega C. 2012. Early Neuroligic Outcame and EEG of Infants
with Bacterial Meningitis. National University of Mexico: Mexico City.p.
Siddiqui, EU. Neurologic Complications of Bacterial Meningitis. In :
MENINGITIS. 2012. Aga Khan University Hospital : Pakistan.p.
Smith, DS. 2013. Bacterial Meningitis Organism-Specific Therapy.
Available from : ww.Medscape.com
Stoddard J.J, DeTora L.M. 2012. Strategies for the Prevention of Meningitis.
Marburg University : Germany.p.
22