Anda di halaman 1dari 23

BAB I

LAPORAN KASUS

A. Identitas Penderita
1. No RM
2. Nama
3. Umur
4. Jenis Kelamin

: 15345766
: Tn. T
: 23 tahun
: Laki-laki

5. Pekerjaan

: Buruh

6. Alamat

: Bungursari

7. Tanggal Masuk RS : 22 Oktober 2015


B. Anamnesis
Keluhan utama
: Kedua tungkai tidak dapat digerakkan
Riwayat penyakit sekarang :
OSB datang ke IGD RSUD dr. Soekardjo pukul 10.10 WIB diantar oleh
keluarganya. OS datang dengan keluhan kedua tungkai tidak dapat digerakkan
sejak 3 bulan yang lalu. Awalnya os demam dan merasa pegal pada kedua
tungkainya, kemudian terasa lemah dan tidak dapat digerakkan. Keluhan ini juga
disertai hilangnya sensasi pada kedua tungkai. Muncul benjolan di punggung
bawah, kemudian benjolan tersebut pecah dan terasa nyeri,
Kemudian os dibawa keluarga ke rumah sakit untuk mendapat perawatan.
Os mendapatkan terapi OAT sejak 2 bulan yang lalu. Os mengeluh nafsu
makan dan berat badan os menurun serta kesulitan buang air kecil. Os memiliki
riwayat batuk sejak 1 tahun yang lalu.
Riwayat penyakit dahulu
Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat pengobatan
Os sedang menjalani pengobatan TB bulan ke 2

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada di keluarga os dengan keluhan yang sama
C. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum
: Tampak sakit sedang
Kesadaran
: Compos Mentis
Vital Sign

Tekanan darah
: 100/70 mmHg
Nadi
: 84 x/menit
Respirasi
: 20 x/menit
Suhu
: 36,50 C
Kepala
: Normocephal
Mata
: Anemis -/-, ikterik -/-, pupil bulat, reflek +/+ isokor
Hidung & Mulut
: Mukosa bibir kering
Telinga
: dalam batas normal
Leher
: KGB tidak teraba
Thoraks

Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi

: Bentuk & gerak simetris


: VF ka=ki
: Sonor ka=ki
: P/VBS ka=ki, WH -/-, RK -/-, RB -/J/BJ I-II murni reguler

Abdomen

Inspeksi
Auskultasi
Palpasi

: Datar
: BU + normal
: NT (-), NL (-), DM (-), Massa (-), H/L
tidak teraba
: Timpani

Perkusi
: ulkus (+)
: Akral superior dan inferior hangat
CRT < 2 detik

Vertebra
Ekstremitas

Ekstremitas Superior

Ekstremitas Inferior

Kanan

Kiri

Kanan

Kiri

Motorik

+5

+5

Sensorik

Parastesi

Parastesi

Reflek fisiologis

Reflek patologis

D. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan darah lengkap


2. Pemeriksaan foto rontgen thorax dan lumbosacral lateral
Hasil Laboratorium Tanggal 22 Oktober 2015
Jenis Pemeriksaan

Hasil

Nilai Normal

Satuan

Hemoglobin

9,1

P: 12-16, L: 14-18

gr/dl

Hematokrit

29

P : 35-45, L: 40-50

22.700

Dws : 5.000-10.000

/mm3

Hematology

Leukosit

Bayi : 7.000 17.000


596.000

150.000 350.000

/mm3

111

76-110

Mg/dL

15-45

Mg/dl

0,55

P 0,5-0,9; L 0,7-1,20

Mg/dl

SGOT

65

P 9-32; L 10-38

U/L/37

SGPT

23

P 9-32; L 9-40

U/L/37

Natrium

130

135-145

Mmol/L

Kalium

4,5

3,5-5,5

Mmol/L

Kalsium

1,14

1,10-1,40

Mmol/L

Trombosit
Glukosa sewaktu
Ureum
Kreatinin

Foto Rontgen

E. Diagnosa
Spondilitis TB
Ulkus decubitus
F.

Penatalaksanaan
Infus RL
Cefotaxime inj 2x1 gram
Ranitidin 3x1
OAT lanjutkan
Ambroxol 3x1
Rawat luka

G. Follow Up
Follow up pasien di ruangan
Tan

Keadaan Klinis

ggal
23

Program

Vital sign

Konsul dengan spesialis

KS : CM

bedah

TD : 100/60

Perawatan luka

N : 80 x /menit

Terapi : lanjutkan +

R : 22 x / menit

metronidazol infus 3x500mg

S: 37,0 o C
Permasalahan :
Os menhgeluh nyeri pada luka

24

Vital sign

Perawatan luka

KS : compos mentis

Terapi Lanjutkan :

TD : 100/60 mmHg

cefotaxim ganti ceftriaxone


2x1gr

N : 78 x/ menit

Cek albumin, glukosa

R : 18x/menit

Transfusi albumin 100cc

S : 36,3 o C

Permasalahan :
Albumin : 2,45
25

Vital sign

Perawatan luka

KS : compos mentis

Terapi lanjutkan

TD : 110/60 mmHg

Foto thorax

N : 80x/ menit
R : 18x/menit
S : 36,4 o C

Permasalahan :
Hb : 7, albumin : 2,5
26

Vital sign

Perawatan luka

KS : compos mentis

Terapi lanjutkan + kalnex 1

TD : 100/70 mmHg

amp

N : 76x/ menit

Transfusi PRC sampai


dengan Hb 10

R : 20x/menit

Transfusi albumin 20%

S : 36,7 o C

Permasalahan :
Hb : 7, albumin : 2,5
27

Vital sign

Konsul spesialis

KS : compos mentis

orthopaedi : ulkus decubitus


necrotomi debridement

TD : 100/60 mmHg

Perawatan luka

N : 78x/ menit

Terapi lanjutkan

R : 20x/menit
S : 36,5 o C

Permasalahan :
Hb : 7,6, albumin : 2,84
28

Vital sign

Perawatan luka

KS : compos mentis

Konsul orthopaedi

TD : 110/70 mmHg

Terapi lanjutkan

N : 70x/ menit

Necrotomi debridement

R : 22x/menit

lokal

S : 36,0 o C

Permasalahan :
Hb 7,6, albumin 2,84
29

Vital sign

Perawatan luka

KS : compos mentis

Konsul orthopaedi

TD : 100/70 mmHg

Terapi lanjutkan

N : 72x/ menit

Transfusi PRC 1 labu

R : 24x/menit
S : 36,8 o C

Permasalahan :
Hb 7,6, albumin 2,84
30

Vital sign

Perawatan luka

KS : compos mentis

Konsul orthopaedi

TD : 100/70 mmHg

Terapi lanjutkan

N : 78x/ menit

Transfusi PRC 1 labu

R : 20x/menit
S : 36,7 o C

Permasalahan :
Hb 8,4, albumin 2,9
31

Vital sign

Perawatan luka

KS : compos mentis

Konsul RM

TD : 100/60 mmHg

Terapi lanjutkan+ ketorolac

N : 80x/ menit

1 amp

R : 24x/menit
S : 36,3 o C

Permasalahan :
Os mengeluh nyeri pada luka
1

Vital sign

Perawatan luka

KS : compos mentis

Terapi lanjutkan+ ketorolac

TD : 110/70 mmHg

1 amp+ ranitidin 1 amp

N : 80x/ menit
R : 20x/menit
S : 36,5 o C

Permasalahan :
Os mengeluh nyeri pada luka

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

PENDAHULUAN
Tuberkulosis tulang belakang atau dikenal juga dengan spondilitis
tuberkulosa merupakan peradangan granulomatosa yang bersifat kronik
destruktif oleh mikobakterium tuberkulosa. Tuberkulosis tulang belakang
selalu merupakan infeksi sekunder dari fokus di tempat lain dalam tubuh.
Percivall Pott (1793) yang pertama kali menulis tentang penyakit ini dan
menyatakan bahwa terdapat hubungan antara penyakit ini dengan deformitas
tulang belakang yang terjadi, sehingga penyakit ini disebut juga sebagai
penyakit Pott.
Spondilitis tuberkulosa merupakan 50% dari seluruh tuberkulosis
tulang dan sendi yang terjadi. Di Ujung Pandang insidens spondilitis
tuberkulosa

ditemukan

sebanyak

70%

dan

Sanmugasundarm

juga

menemukan persentase yang sama dari seluruh tuberkulosis tulang dan


sendi. Spondilitis tuberkulosa terutama ditemukan pada kelompok umur 210 tahun dengan perbandingan yang hampir sama antara wanita dan pria.
Spondilitis paling sering ditemukan pada vertebra T8-L3, dan paling
jarang pada vertebra C1-C2. Spondilitis tuberculosis biasanya mengenai
korpus vertebra, tetapi jarang menyerang arkus vertebra.

10

2.2 ETIOLOGI
Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari
tuberkulosis

di

tempat

lain

di

tubuh,

90-95%

disebabkan

oleh

mikobakteriumn tuberkulosis tipik (2/3 dari tipe human dan 1/3 dari tipe
bovin) dan 5-10% oleh mikobakterium tuberkulosa atipik. Lokalisasi
spondilitis tuberkulosa terutama pada daerah vertebra torakal bawah dan
lumbal atas1, sehingga diduga adanya infeksi sekunder dari suatu
tuberkulosis traktus urinarius, yang penyebarannya melalui pleksus Batson
pada vena paravertebralis.

2.3

PATOFISIOLOGI
Penyakit ini pada umumnya mengenai lebih dari satu vertebra.
Infeksi berawal dari bagian sentral, bagian depan atau daerah epifisial
korpus

vertebra.

Kemudian

terjadi

hiperemi

dan

eksudasi

yang

menyebabkan osteoporosis dan perlunakan korpus. Selanjutnya terjadi


kerusakan pada korteks epifisis, diskus intervertebralis dan vertebra
sekitarnya. Kerusakan pada bagian depan korpus ini akan menyebabkan
terjadinya kifosis.
Kemudian eksudat (yang terdiri atas serum, leukosit, kaseosa, tulang
yang fibrosis serta basil tuberkulosa) menyebar ke depan, di bawah
ligamentum longitudinal anterior. Eksudat ini dapat menembus ligamentum
dan berekspansi ke berbagai daerah di sepanjang garis ligamen yang lemah.
Pada daerah servikal, eksudat terkumpul di belakang fasia
paravertebralis

dan

menyebar

ke

lateral

di

belakang

muskulus

sternokleidomastoideus. Eksudat dapat mengalami protrusi ke depan dan


menonjoi ke dalam faring yang dikenal sebagai abses faringeal. Abses dapat
berjalan ke mediastinum mengisi tempat trakea, esofagus atau kavum pleura.

11

Abses pada vertebra torakalis biasanya tetap tinggal pada daerah


toraks setempat menempati daerah paravertebral, berbentuk massa yang
menonjol dan fusiform. Abses pada daerah ini dapat menekan medula
spinalis sehingga timbul paraplegia.
Abses pada daerah lumbal dapat menyebar masuk mengikuti
muskulus psoas dan muncul di bawah ligamentum inguinal pada bagian
medial paha. Eksudat juga dapat menyebar ke daerah krista iliaka dan
mungkin dapat mengikuti pembuluh darah femoralis pada trigonum skarpei
atau regio glutea. Kumar membagi perjalanan penyakit ini dalam 5 stadium
yaitu:
1. Stadium implantasi.
Setelah bakteri berada dalam tulang; maka bila daya tahan tubuh
penderita menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang
berlangsung selama 6-8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada
daerah paradiskus dan pada anak-anak umumnya pada daerah sentral
vertebra.
2. Stadium destruksi awal.
Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi destruksi korpus
vertebra serta penyempitan yang ringan pada diskus. Proses ini
berlangsung selama 3-6 minggu.
3. Stadium destruksi lanjut.
Pada stadium ini terjadi destruksi yang masif, kolaps vertebra dan
terbentuk massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses (abses
dingin), .yang terjadi 2-3 bulan setelah stadium destruksi awal.
Selanjutnya dapat terbentuk sekuestrum serta kerusakan diskus
intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama di sebelah
depan (wedging anterior) akibat kerusakan korpus vertebra, yang
menyebabkan terjadinya kifosis atau gibus.
4. Stadium gangguan neurologis.

12

Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang


terjadi, tetapi terutama ditemukan oleh tekanan abses ke kanalis
spinalis. Gangguan ini ditemukan 10% dari seluruh komplikasi
spondilitis tuberkulosa. Vertebra torakalis mempunyai kanalis
spinalis yang lebih kecil sehingga gangguan neurologis lebih
mudah terjadi pada daerah ini.
5. Stadium deformitas residual.
Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah timbulnya
stadium

implantasi. Kifosis atau gibus bersifat permanen oleh

karena kerusakan vertebra yang masif di sebelah depan.


Bila terjadi gangguan neurologis, maka perlu dicatat derajat kerusakan
paraplegia, yaitu:
1. Derajat I
Kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan
aktivitas atau setelah berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi
gangguan saraf sensoris.
2. Derajat II
Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah tapi penderita masih apat
melakukan pekerjaannya
3. Derajat III
Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi
gerak/aktivitas penderita serta hipestesia/anestesia
4.

Derajat IV
Terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris disertai gangguan defekasi
dan miksi. Tuberkulosis paraplegia atau Pott paraplegia dapat terjadi
secara dini atau lambat tergantung dari keadaan penyakitnya.
Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi oleh karena

13

tekanan ekstradural dari abses paravertebral atau akibat kerusakan


langsung sumsum tulang belakang oleh adanya granulasi jaringan.
Paraplegia pada penyakit yang sudah tidak aktif/sembuh terjadi oleh
karena tekanan pada jembatan tulang kanalis spinalis atau oleh
pembentukan jaringan fibrosis yang progresif dari jaringan granulasi
tuberkulosa. Tuberkulosis paraplegia terjadi secara perlahan dan dapat
terjadi destruksi tulang disertai angulasi dan gangguan vaskuler vertebra.
Derajat I-III disebut sebagai paraparesis dan derajat IV disebut sebagai
paraplegia.

2.4 GAMBARAN KLINIS


Secara klinik gejala tuberkulosis tulang belakang hampir sama
dengan gejala tuberkulosis pada umumnya, yaitu badan lemah/lesu,
nafsu makan berkurang, berat badan menurun, suhu sedikit
meningkat (subfebril) terutama pada malam . hari serta sakit pada
punggung. Pada anak-anak sering disertai dengan menangis pada
malam hari (night cries).
Pada tuberkulosis vertebra servikal dapat ditemukan nyeri di
daerah

belakang

kepala,

gangguan

menelan

dan

gangguan

pernapasan akibat adanya abses retrofaring. Kadangkala penderita


datang dengan gejala abses pada daerah paravertebral, abdominal,
inguinal,

poplitea atau bokong, adanya

sinus pada daerah

paravertebral atau penderita datang dengan gejala-gejala paraparesis,


gejala paraplegia, keluhan gangguan pergerakan tulang belakang akibat
spasme atau gibus.

14

A) Gibus thorakolumbar dengan hipertonus erektor trunkus. Penderita


menyandarkan diri pada ekstremitas atas;
B) 1. Rarefaksi bagian anterior vertebra mulai nampak penyempitan diskus
intervertebralis,
2. rarefaksi meluas, penyempitan jelas,
3. kompresi vertebra bagian ventral, terjadinya gibus, kompresi medulla spinalis

2.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan laboratorium
1. Peningkatan laju endap darah dan mungkin disertai dengan leukositosis
2. Uji Mantoux positif
3. Pada pemeriksaan biakan kuman mungkin ditemukan mikobakterium
4. Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar linfe regional
5. Pemeriksaan histopatologis dapat ditemukan tuberkel

Pemeriksaan radiologis
1. Pemeriksaan foto toraks untuk melihat adanya tuberkulosis paru

15

2. Poto polos vertebra, ditemukan osteoporosis, osteolitik dan destruksi


korpus vertebra, disertai penyempitan diskus intervertebralis yang berada
diantara korpus tersebut dan mungkin dapat ditemukan adanya massa
abses paravertebral.
3. Pada foto AP, abses paravertebral di daerah servikal berbentuk sarang
burung (bird's nets), di daerah torakal berbentuk bulbus dan pada daerah
lumbal abses terlihat berbentuk fusiform
4. Pada stadium lanjut terjadi destruksi vertebra yang hebat sehingga timbal
kifosis
5. Pemeriksaan foto dengan zat kontras
6. Pemeriksaan mielografi dilakukai bila terdapat gejala-gejala penekanan
sumsum tulang
7. Pemeriksaan CT scan atau CT dengan mielografi
8. Pemeriksaan MRI

16

17

2.6.

DIAGNOSIS
Diagnosis

spondilitis

tuberkulosa

dapat

ditegakkan

berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan radiologis. Untuk


melengkapkan pemeriksaan, maka dibuat suatu standar pemeriksaan
pada penderita tuberkulosis tulang dan sendi, yaitu:
1. Pemeriksaan klinik dan neurologis yang lengkap
2. Foto tulang belakang posisi AP dan lateral
3. Foto polos toraks posisi PA
4. Uji Mantoux
5. Biakan sputum dan pus untuk menemukan basil tuberkulosa

2.7 PENGOBATAN
Prinsipnya pengobatan tuberkulosis tulang belakang harus
dilakukan sesegera mungkin untuk menghentikan progresivitas
penyakit serta mencegah paraplegia.
Pegobatan terdiri atas:
1. Terapi konservatif berupa:
a. Tirah baring (bed rest)
b. Memperbaiki keadaan umum penderita
c. Pemasangan brace pada penderita, baik yang dioperasi ataupun yang
tidak dioperasi
d. Pemberian obat antituberkulosa
Obat-obatan yang diberikan terdiri atas:

Isonikotinik hidrasit (INF) dengan dosis oral 5 mg/kg berat


badan per hari dengan dosis maksimal 300 mg. Dosis oral pada
anak-anak 10 mg/kg berat badan.

18

Asam para amino salisilat Dosis oral 8-12 mg/kg berat badan.

Etambutol. Dosis oral 15-25 mg/kg berat badan per hari.

Rifampisin. Dosis oral 10 mg/kg berat badan diberikan pada


anak-anak. Pada orang dewasa 300-400 mg per hari.

Untuk mendapatkan hasil pengobatan yang efektif dan


mencegah terjadinya kekebalan kuman tuberkulosis terhadap obat
yang

diberikan

maka

diberikan

kombinasi

beberapa

obat

tuberkulostatik. Regimen yang dipergunakan di Amerika dan di


Eropa adalah INH dan Rifampisin selama 9 bulan. INH + Rifampisin
+ Etambutol diberikan selama 2 bulan dilanjutkan dengan pemberian
INH + Rifampisin selama 7 bulan, Di Korea diberikan kombinasi
antara INH + Rifampisin selama 6-12 bulan atau INH + Etambutol
selama 9-18 bulan.
Standar pengobatan di Indonesia berdasarkan program,P2TB paru
adalah:

Kategori 1
Untuk penderita baru BTA (+) dan BTA (-)/rontgen (+), diberikan
dalam dua tahap, yaitu:
o

Tahap I, diberikan Rifampisin 450 mg, Etambutol 750 mg,


INH 300 mg dan Pirazinamid 1.500 mg..0bat diberikan setiap
hari selama 2 bulan pertama (60 kali).

Tahap II, diberikan Rifampisin 450 mg dan INH 600 mg.


Obat diberikan tiga kali seminggu (intermiten) selama 4 bulan
(54 kali).

Kategori 2
Untuk penderita baru BTA .(+) yang sudah pernah minum obat
selama lebih sebulan, termasuk penderita dengan BTA (+) yang
kambuh/gagal yang diberikan dalam dua tahap, yaitu:

19

Tahap I, diberikan Streptomisin 750 mg (injeksi), INH 300


mg,

Rifampisin

450 mg,

Pirazinamid

1.500 mg dan

Etambutol 750 mg, Obat diberikan setiap hari, Streptomisin


injeksi hanya 2 bulan pertama (60 kali) dan obat lainnya selama
3 bulan (90 kali).
o

Tahap II, diberikan INH 600 mg, Rifampisin 450 mg dan


Etambutol 1.250 mg. Obat diberikan 3 kali seminggu
(intermiten) selama 5 bulan (66 kali),

Kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila:

Keadaan umum penderita bertambah baik

Laju endap darah menurun dan menetap

Gejala-gejala klinis berupa nyeri dan spasme berkurang

Gambaran radiologik ditemukan adanya union pada vertebra

2. Terapi Operatif
Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama
bagi penderita tuberkulosis tulang belakang, namun tindakan
operatif masih memegang peranan penting dalam beberapa hal,
yaitu bila terdapat cold abses (abses dingin), lesi tuberkulosa,
paraplegia dan kifosis.

Abses dingin (Cold Abses)


Cold abses yang kecil tidak memerlukan tindakan operatif oleh
karena dapat terjadi resorpsi spontan dengan pemberian obat
tuberkulostatik.
Pada abses yang besar dilakukan drainase bedah.
Ada tiga Cara untuk menghilangkan lesi tuberkulosa, yaitu:
a. debridemen

fokal

20

b. kosto-transversektomi
c. debridemen

fokal radikal yang disertai bone graft di bagian depan

Paraplegia
Penanganan yang dapat dilakukan pada paraplegia, yaitu:
a.

Pengobatan dengan kemoterapi semata-mata

b.

Laminektomi

c.

Kosto-transveresektomi

d.

Operasi radikal

e.

Osteotomi pada tulang baji secara tertutup dari belakang

lndikasi operasi
a. Bila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegia atau
malah semakin berat. Biasanya tiga minggu sebelum tindakan
operasi dilakukan, setiap spondilitis tuberkulosa diberikan obat
tuberkulostatik.
b. Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses secara
terbuka dan sekaligus debrideman serta bone graft
c. Pada pemeriksaan radiologis baik dengan foto polos, mielografi ataupun
pemeriksaan CT dan MRI ditemukan adanya penekanan langsung pada
medula spinalis
Operasi kifosis
Operasi kifosis dilakukan bila terjadi deformitas yang hebat. Kifosis
mempunyai tendensi untuk bertambah berat terutama pada anak-anak.
Tindakan operatif dapat berupa fusi posterior atau melalui operasi radikal.

21

BAB III
KESIMPULAN

Tuberkulosis tulang belakang atau dikenal juga dengan spondilitis


tuberkulosa merupakan peradangan granulomatosa yang bersifat kronik
destruktif oleh mikobakterium tuberkulosa.
Spondilitis tuberkulosa merupakan 50% dari seluruh tuberkulosis tulang
dan sendi yang terjadi
Kumar membagi perjalanan penyakit ini dalam 5 stadium yaitu:
1. Stadium implantasi.
2. Stadium destruksi awal.
3. Stadium destruksi lanjut.
4. Stadium gangguan neurologis.

22

5. Stadium deformitas residual.


Jika sudah terjadi gangguan neurologis, derajatnya terbagi menjadi derajat I,
II, III dan IV. Terapi pada spondilitis TB ada terapi konservatif dan terapi
operatif.

DAFTAR PUSTAKA

1. Mansjoer A, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2.Spondilitis


tuberkulosis. Editor: Mansjoer A; Jakarta; Media Aesculapius.
2. Salter RB. 1999. Texbook of Disorder and Injuries of the Musculoskeletal
System. Editor: Eric P Johnson. Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins.
3. Lumbantobing SM. 2008. Neurologi Klinik, Pemeriksaan Fisik dan
Mental. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
4. Hidalgo

JA.

2008.

Pott

Disease

(Tuberculous

http://emedicine.medscape.com/article/226141-overview

23

Spondylitis).

Anda mungkin juga menyukai