Oleh :
Azizah Amalia Novia Sani
G99151028
G99151029
G99151030
G99151031
G99151032
Pembimbing :
Prof. Dr. Much. Syamsulhadi, dr., Sp.KJ (K)
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah SWT. yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia sehingga penulis dapat menyelesaikan referensi artikel
yang berjudul : Gangguan Psikiatri pada Penyakit Kardiovaskular. Penulis menyadari
bahwa penulisan dan penyusunan referensi artikel ini tidak lepas dari bantuan berbagai
pihak, baik berupa bimbingan dan nasihat, oleh karena itu penulis mengucapkan terima
kasih kepada :
1. Prof. Em. Ibrahim Nuhriawangsa, dr., Sp.KJ (K)
2. Prof. Dr. Much. Syamsulhadi, dr., Sp.KJ (K)
3. Prof. Dr. Aris Sudiyanto, dr., Sp.KJ (K)
4. Prof. Dr. Moh. Fanani, dr., Sp.KJ (K)
5. Mardiatmi Susilohati, dr., Sp.KJ (K)
6. Yusvick M. Hadin, dr., Sp.KJ
7. Djoko Suwito, dr., SP.KJ
8. I.G.B. Indro Nugroho dr., Sp.KJ
9. Gst. Ayu Maharatih, dr., Sp.KJ
10. Makhmuroch, dr., Dra., MS
11. Debree Septiawan, dr., Sp.KJ, M.Kes
12. Istar Yuliardi, dr., M.Si
13. Rohmaningtyas HS, dr., Sp.KJ, M.Kes
14. H. Rh. Budhi Muljanto, dr., Sp.KJ (K)
15. Maria Rini, dr., Sp.KJ, M.Kes
16. Adriesti Herdaetha, dr., Sp.KJ (K), MH
17. Wahyu Nur Ambarwati, dr., Sp.KJ, M.Kes
18. Setyowati Raharjo, dr., Sp.KJ, M.Kes
Penulis menyadari bahwa referensi artikel ini masih belum sempurna, oleh
karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak untuk perbaikan
referensi artikel ini. Semoga referensi artikel ini bermanfaat bagi kita semua.
September 2015
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Judul......................................................................................................... i
Kata Pengantar......................................................................................................... ii
Daftar Isi.................................................................................................................. iii
BAB I : Pendahuluan............................................................................................. 1
BAB II : Pembahasan.............................................................................................. 3
A. Penyakit Kardiovaskular...................................................................... 3
B. Psikoneuroimunologi dan Psikoneuroendokrin Gangguan Psikiatri
pada Penyakit Kardiovaskular............................................................. 16
C. Kepribadian dan Penyakit Kardiovaskular.......................................... 27
D. Gangguan Psikiatri pada Penyakit Kardiovaskular.............................. 31
E. Terapi Gangguan Psikiatri pada Penyakit Kardiovaskular................... 41
F. Gangguan Psikiatri dengan Gejala menyerupai Penyakit
Kardiovaskular....................................................................................
49
52
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut
Mozaffarian
et
al.
(2015),
prevalensi
penyakit
kardiovaskular pada laki- laki usia dewasa kelompok umur 20-39 tahun
adalah 11,9%, sementara pada perempuan 10%. Untuk kelompok umur 40-59
tahun, prevalensi penyakit kardiovaskular pada laki- laki adalah sebesar
40,5% dan pada perempuan 35,5%. Untuk kelompok umur 60-79 tahun,
prevalensi penyakit kardiovaskular pada laki- laki sebesar 69,1% dan pada
perempuan 67,9%. Sementara itu, untuk kelompok umur 80 tahun,
prevalensi penyakit kardiovaskular pada laki- laki adalah sebesar 84,7% dan
pada perempuan sebesar 85,9%.
Di Indonesia, prevalensi penyakit kardiovaskular sebesar 7,2% berdasarkan
wawancara, sementara berdasarkan riwayat diagnosis tenaga kesehatan hanya
ditemukan sebesar 0,9%. Cakupan kasus kadiovaskular yang sudah didiagnosis oleh
tenaga kesehatan sebesar 12,5% dari semua responden yang mempunyai gejala
subjektif menyerupai gejala penyakit kardiovaskular. (Kemenkes RI, 2012)
Menurut Riskesdas Tahun 2013, prevalensi hipertensi pada umur 18 tahun
berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan adalah sebesar 9,4%. Sementara itu,
prevalensi penyakit jantung koroner pada umur 15 tahun berdasarkan diagnosis
dokter/ gejala adalah 1,5%, dan prevalensi gagal jantung pada umur 15 tahun
berdasarkan diagnosis dokter/ gejala adalah 0,3% (Kemenkes RI, 2013).
lain yaitu gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan alkohol, memiliki
prevalensi sebesar 1,4% - 4,5% pada pasien dengan penyakit kardiovaskular.
Data yang lain menurut WHO (2013) menunjukkan bahwa gangguan
depresi mayor terjadi pada 29% pasien dengan hipertensi dan 22% pada
pasien infark miokard. Lebih lanjut, menurut penelitian oleh Shafti (2013),
63,6% pasien penyakit jantung koroner menderita gangguan psikiatri, yaitu
depresi (42,57%), kecemasan (9,90%), dan gangguan jiwa yang tidak
sepesifik (10,89%).
Sementara itu, pada fasilitas pelayanan kesehatan primer, gangguan
psikiatri seperti depresi dan kecemasan seringkali tidak terdeteksi dan tidak
terdiagnosis. Banyak gangguan psikiatri, termasuk cemas dan depresi yang
terjadi dengan gejala somatik seperti sakit kepala, kelelahan, nyeri, atau
gangguan gastrointestinal tumpang tindih dengan gangguan medis umum dan
membuat diagnosis dalam kondisi seperti ini memerlukan perhatian khusus
(Druss dan Walker, 2011).
Terapi gangguan jiwa pada pasien dengan penyakit kardiovaskular
juga merupakan suatu tantangan tersendiri. Misalnya, menurut Kemp et al.
(2015) bahwa antidepresan trisiklik dapat meningkatkan morbiditas dan
mortalitas pasien dengan penyakit jantung koroner, sehingga penggunaannya
tidak direkomendasikan.
Hal- hal di atas menunjukkan bahwa gangguan jiwa, dalam hal ini
khususnya yang terjadi pada pasien dengan penyakit kardiovaskular sangat menarik
dan perlu untuk diulas. Oleh karena itu, pada referensi artikel ini penulis mengambil
judul Gangguan Psikiatri pada Penyakit Kardiovaskular.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Penyakit Kardiovaskular
1.
Epidemiologi
Prevalensi penyakit kardiovaskular setiap tahun terus meningkat.
Sebelum abad ke-20 penyebab kematian utama di seluruh dunia adalah
penyakit infeksi dan malnutrisi, sementara penyakit kardiovaskular hanya
memegang peranan kurang dari 10%. Namun saat ini penyakit
kardiovaskular menjadi penyebab kematian terbanyak di seluruh dunia,
yaitu mencakup sekitar 30%, meliputi 40% penyebab kematian pada
negara maju, dan 28% pada negara berkembang. Peningkatan morbiditas
dan mortalitas penyakit kardiovaskular tersebut dipengaruhi oleh
industrialisasi, urbanisasi, dan perubahan gaya hidup.
Cardiac symptoms
Gejala penyakit jantung pada umumnya disebabkan oleh iskemia,
gangguan kontraksi dan/atau relaksasi miokardium, tersumbatnya aliran
darah, dan abnormalitas irama jantung atau jumlah denyut jantung.
Iskemia terjadi akibat suplai oksigen ke jantung tidak mampu memenuhi
kebutuhan, hal tersebut menyebabkan rasa nyeri di dada. Berkurangnya
kemampuan pompa jantung umumnya menyebabkan kelelahan dan
meningkatnya tekanan intravaskuler ventrikel yang gagal. Hal tersebut
menyebabkan terjadinya akumulasi cairan berupa edema perifer, kongesti
pulmonal dan dispnea. Tersumbatnya aliran darah dapat menyebabkan
gejala yang menyerupai gagal jantung. Aritmia jantung biasanya terjadi
mendadak dan dapat menyebabkan dispnea, palpitasi, dan sinkop.
3.
Diagnosis
Penegakan diagnosis penyakit jantung berdasarkan New York Heart
Association (NYHA) harus memenuhi pertimbangan sistematis berikut:
a.
b.
c.
d.
Kelas I
Kelas II
Kelas III
Kelas IV
4.
apapun
Gejala timbul saat istirahat
ke
sistem
saraf
pusat
sehingga
menghasilkan
vasokonstriktor
yang
kuat
yang
mampu
dalam
sirkulasi.
Diaktifkannya
sistem
renin-
8) Tatalaksana
Tatalaksana gagal jantung harus dilakukan secara holistik
dan komprehensif, melalui :
a) Aktivitas
Latihan isotonik secara reguler seperti berjalan atau
mengendarai sepeda stasioner direkomendasikan untuk
penderita gagal jantung NYHA kelas I-III.
b) Diet
Diet dilakukan dengan mengurangi konsumsi natrium
(2 3 gram/hari).
c) Diuretik
pembuluh
darah
yang
kematian
dan
Dengan
berkurangnya
ukuran
lumen
arteri
koroner,
menyebabkan
iskemia
nonuniform.
Selama
iskemia,
substernal
(Levines Sign).
Serangan
angina
bisanya
dingin,
dan
tidak
membaik
dengan
pemberian
nitrogliserin sublingual.
Tatalaksana yang dapat diberikan pada angina pektoris tak
stabil adalah terapi medikamentosa dengan pemberian anti
Farmakologis
Menghentikan merokok
Menurunkan berat badan
Menurunkan konsumsi alkohol
Latihan fisik
Mengurangi asupan garam
Meningkatkan konsumsi buah dan
Diuretik
Beta blocker
Calcium channel bllocker
ACE inhibitor
Angiotensin II receptor blocker
sayur
Mengurangi asupan lemak
Gagasan bahwa pikiran dan jantung memilki hubungan yang erat telah
membudaya dan bahkan tertanam dalam bahasa sebagai istilah-istilah seperti
sakit hati, patah hati atau jantung berdegup kencang. Dalam beberapa
dekade terakhir dilakukan berbagai usaha untuk mengungkap latar belakang
psikobiologi dari istilah- istilah tersebut. Hasil penelitian mengungkapkan
bahawa terdapat hubungan dua arah antara penyakit kardiovaskular dengan
kesehatan mental, yang secara ringkas dapat dijelaskan dalam dua teori :
kolesterolemia.
Penyakit jantung koroner dapat menyebabkan efek yang buruk bagi
kesehatan mental pasien. Sebagai contoh, di populasi umum prevalensi
depresi sekitar 3-10%, tetapi pada pasien dengan penyakit jantung
koroner insidensinya bisa mencapai 25%.
Seringkali orang menderita reaksi emosional yang merugikan setelah
sistem imun. Komponen penting dari imunitas seluler adalah sel limfosit T.
Sel T merespon molekul sitokin, yang disebut interleukin, melalui jalur
sinyal. Kortisol menghentikan proliferasi sel T dengan mencegah beberapa
dari sel T mengenali sinyal interleukin. Proses ini juga menghambat
peradangan melalui penghambatan sekresi histamin. Kemampuan kortisol
dalam mencegah respon imun dapat membuat individu sangat rentan
terhadap
infeksi.
Kortisol
juga
memiliki
peran
dalam
memori.
kortisol secara konstan yang terkait dengan stres kronis menghasilkan gejala
lanjut, termasuk gangguan kognisi, penurunan fungsi tiroid, dan akumulasi
lemak perut, yang memiliki implikasi pada kesehatan jantung. Baik episode
stres akut maupun berkepanjangan, dapat memicu penurunan tingkat
kesehatan umum, sehingga paparan stres tersebut harus diminimalkan.
Seperti pada Cushings Syndrome, yang ditandai dengan sangat tingginya
kadar kortisol, dapat terjadi peningkatan berat badan, hiperhidrosis, dan
hiperkalemia, dan masalah-masalah psikologis dan endokrin (Randall,
2011).
Dalam sebuah studi epidemiologis, semua penyebab morbiditas akan
bertambah berat ketika diikuti dengan stresor berat. Teori menyatakan
bahwa peristiwa stres memicu respon afektif yang akan menstimulasi sistem
saraf simpatik dan perubahan endokrin. Hal tersebut berpotensi untuk
mengganggu fungsi sistem imun. Stres diduga mempengaruhi fungsi
kekebalan tubuh akibat manifestasi emosional dan tingkah laku seperti
gelisah, takut, marah ketegangan, kesedihan, serta perubahan fisiologis
seperti denyut jantung, tekanan darah, dan berkeringat. Para peneliti juga
menyatakan bahwa perubahan-perubahan tersebut memiliki efek positif
ketika dalam batas- batas tertentu. Sebaliknya, ketika kondisi tersebut tidak
stabil dan berlangsung secara kontinu akan berakibat negatif pada sistem
imunitas (Chrousos,2005).
Stres psikologi mengaktivasi SAM aksis yang mengatur denyut
jantung dan pelepasan katekolamin serta HPA aksis yang mengatur
pelepasan kortikosteroid dari kelenjar adrenal. Pada stres psikologi akut,
katekolamin secara dominan mempengaruhi sirkulasi sel NK (Ho, et al.,
2010).
Seperti halnya sistem saraf dan endokrin yang menyampaikan
infromasi untuk imun melalui neurotransmitter dan hormon, sistem imun
menyampaikan informasi kepada sistem saraf dan endokrin melalui sitokin
dan kemokin. Sitokin adalah mediator bioaktif larut yang dilepaskan oleh
berbagai tipe sel di perifer (seperti monosit dan makrofag) dan otak (seperti
darah otak 2) transpor aktif melalui molekul transpor khusus sitokin pada
endotel otak, 3) aktivasi sel endotel dan induksi pelepasan second
messenger seperti prostaglandin dan nitrit oksida (NO), 4) transmisi melalui
serabut saraf aferen pada nervus vagus, dan 5) masuk dalam parenkim otak
melalui aktivasi monosit perifer (Capuron dan Miller, 2011).
Stres fisik atau psikologis dan infeksi atau inflamasi di otak maupun
perifer dapat memodulasi ekspresi sitokin pada sistem saraf pusat (SSP).
Respon imun akut memicu reaksi adaptif, sementara dan terkontrol oleh
SSP. Namun ketika respon imun menjadi kronis atau tidak terkendali karena
penyakit kronis, stres kronis, atau terapi sitokin, respon inflamasi kronis
yang dihasilkan berkontribusi dalam perkembangan perilaku maladaptif dan
gejala gangguan neuropsikiatri.
bukti
yang
nyata
bahwa
depresi
dan
kecemasan
biologis platelet yaitu berikatan dengan reseptor 5-hydroxytryptamine (5HT) pada platelet. Di arteri dengan aterosklerosis, serotonin menyebabkan
agregasi
platelet.
Selanjutnya,
peningkatan
kadar
serotonin
darah
memprediksi CAD dan kejadian jantung iskemik di masa depan pada pasien
dengan dugaan CAD. SSRI, yang secara teoritis mengurangi cadangan
serotonin di trombosit dengan menghambat penyerapan serotonin oleh
trombosit, juga telah terbukti menurunkan agregasi platelet dan aktivitas in
vitro dan pada pasien dengan CAD. Secara bersama- sama, temuan ini
memberikan kepercayaan secara teori bahwa aktivitas serotonin pada
agregrasi trombosit berhubungan dengan infark miokard dan penyakit
jantung lain (Schins et al., 2004; Gehi et al., 2010).
Disfungsi trombosit juga terjadi pada pasien depresi berat atau ringan,
pasien depresi memiliki kelainan kadar serotonin pada darah dan trombosit,
konsentrasi reseptor serotonin pada platelet meningkat, dan tingkat
transporter serotonin yang rendah, hal ini menunjukkan bahwa trombosit
mereka
menghapusnya dari aliran darah. Selain itu terdapat bukti bahwa terjadi
hiperreaktivitas trombosit pada pasien depresi. Disfungsi trombosit dan
serotonin bisa memediasi peningkatan risiko iskemik pada pasien ini.
Aktivitas neurohormonal
antara depresi dan prognosis gagal jantung. Pada pasien gagal jantung kadar
katekolamin (epinefrin dan norepinefrin) yang beredar meningkat, terutama
pada pasien dekompensasi jantung dan tingginya kadar norepinefrin
berhubungan dengan tingginya mortalitas pada penyakit ini. Peningkatan
kadar katekolamin di plasma dan cairan serebrospinal pada pasien depresi
dan variabilitas
denyut jantung
level
Merasa bersalah bila santai dan sulit tenang setelah selesai bekerja
Tidak ada perhatian dan tidak bisa mengingat rincian suatu ruang
Sabar
Sulit untuk terus terang kerena takut menyakiti hati orang lain
Orang yang sering mengalami stres negatif sangat erat kaitannya dengan
tipe kepribadian yang bersangkutan. Telah banyak penelitian yang terfokus
pada peran psikososial dan faktor-faktor perilaku seperti gangguan depresi,
emosi-emosi
negatif
dan
isolasi
sosial
pada
penderita
penyakit
(hostility),
urgency),
daya
saing
mendapat
perhatian
sebagai
faktor
risiko
kardiovaskular potensi selama dua dekade, hasinya tipe kepribadian ini benarbenar berhubungan dengan kejadian kardiovaskular. Faktor psikologis,
misalnya emosi-emosi negatif terjadi seperti marah dan cemas, juga
merupakan faktor resiko terjadinya gangguan kardiovaskular. Pola perilaku
tersebut diidentifikasikan suatu pola kepribadian disebut pola perilaku tipe A
(type A Behavior Paterrn).
personality. Distres
psikologis
sering
diasosiasikan
dengan
dan kondisi nyeri yang bervariasi (Kessler dan Bromet, 2013). Menurut
Macrides dan Nemeroff (2015), prevalensi gangguan depresi mayor
diperkirakan sebesar 17% hingga 27% pada pasien yang dirawat di rumah
sakit dengan penyakit arteri koroner.
Gangguan depresi mayor adalah faktor resiko penyebab yang
mendorong ke arah meningkatnya prevalensi penyakit fisik, termasuk
hubungannya dengan impairment dan meningkatnya resiko mortalitas.
Gangguan depresi mayor adalah prediktor yang konsisten untuk onset awal
dari penyakit arteri koroner, stroke, diabetes, heart attacks, dan beberapa
jenis kanker. Beberapa mekanisme biologis dikemukakan untuk menjelaskan
hubungan prospektif antara gangguan depresi mayor dengan gangguangangguan ini. Hal ini termasuk perilaku-perilaku terkait kesehatan yang
buruk yang berhubungan dengan gangguan depresi mayor, seperti tingginya
tingkat merokok dan konsumsi alkohol, obesitas, rendahnya kepatuhan
dalam terapi, dan bervariasinya disregulasi biologis, seperti hiperaktivitas
pada HPA Aksis, dan lemahnya fungsi imunitas. Namun, depresi juga
merupakan konsekuensi dari adanya penyakit fisik kronis, karena onset
depresi dapat muncul sesudah adanya penyakit fisik. Adanya depresi
komorbid sering dikaitkan dengan buruknya perjalanan penyakit. Beberapa
penyebab terlibat dalam hal ini, namun yang paling sering dikaitkan dengan
depresi adalah ketidakpatuhan dalam terapi (Kessler dan Bromet, 2013).
b. Distimia
Gambaran klinis distimia menurut DSM IV-TR adalah mood yang
disforik pada sebagain besar dari hari, paling sedikit telah berjalan 2
tahun, bersifat kronis, nonbipolar dan nonpsikotik, ditambah 2-6
gambaran gejala seperti depresi mayor. Dialami perempuan lebih
banyak dari pria sebesar 2: 1. Sering berkomorbidita dengan depresi
mayor, gangguan anxietas dan penyalahgunaan zat (Maramis dan
Maramis, 2010).
Menurut PPDGJ-III, pedoman diagnostik distimia adalah :
Ciri esensial ialah afek depresif yang berlangsung sangat lama yang
tidak pernah atau jarang sekali cukup parah untuk memenuhi
Definisi Kecemasan
Kecemasan adalah suatu keadaan patologis yang ditandai oleh
perasaan ketakutan disertai tanda somatik sistem saraf otonom yang
hiperaktif (Sadock et al., 2009). Menurut Maramis (2009), kecemasan
dan ketakutan memiliki komponen fisiologis yang sama tetapi
kecemasan tidak sama dengan ketakutan. Penyebab kecemasan berasal
dari dalam dan sumbernya sebagian besar tidak diketahui sedangkan
ketakutan merupakan respon emosional terhadap ancaman atau
bahaya yang sumbernya berasal dari luar yang dihadapi secara sadar.
Kecemasan dianggap patologis bilamana mengganggu fungsi seharihari, pencapaian tujuan, dan kepuasan atau kesengan yang wajar.
Gangguan kecemasan (anxietas) adalah sekolompok kondisi
yang memberi gambaran penting tentang ansietas yang berlebihan
yang disertai respon perilaku, emosional dan fisiologis individu yang
mengalami gangguan ansietas (Videbeck, 2008).
Menurut DSM V, yang termasuk dalam gangguan cemas adalah
gangguan cemas perpisahan, mutisme selektif, fobia spesifik, fobia
sosial, gangguan panik, agorafobia, gangguan cemas menyeluruh,
gangguan cemas yang diinduksi zat/ pengobatan, gangguan cemas
yang berhubungan dengan kondisi medis, dan gangguan cemas tidak
tertentu
di
mana
terdapat
kemungkinan
adanya
sehingga
menyebabkan
kognitif.
Kecemasan
bersifat
berlebihan
dan
keluhan
fisik
berganda
(pada
gangguan
Diagnosis
Serangan
panik
menurut
Diagnostic
and
2.
Keringat banyak.
3.
4.
5.
Merasa tercekik.
6.
Nyeri dada.
7.
8.
9.
Derealisasi
(merasa
tidak
didunia
realita),
atau
perubahan
yang
bermakna
dalam
perilaku
Farmakologis dan
Contoh Obat
Norepinephrine
Kimia
Tertiary
amine
Amitriptyline,
Re-uptake
tricyclic
Clomipramine,
Secondary
Dosulepine (Dothiepin)
Imipramine,
Lofepramin,
Inhibitors
amine
tricyclic
Doxepin,
Trimipramine, Amoxapine,
Desipramine, Nortriptyline,
SSRIs
Tetracyclics
2-aminoethyl oxime
ethers
MAOI
Irreversible,
nonselective
MAOI
Reversible,
Selective
Atypical
Antidepressant
Protiptylin
Maproptiline, Mianserin
Fluvoxamine
of
aralkylketones
Bicyclic phthalanes
Cyclic propylamines
Naphtylamines
Phenylpiperidines
Hydrazines
Cyclopropylamines
Citalopram, Escitalopram
Fluoxetine
Sertraline
Paroxetine
Isocarboxazid, Phenelzine
Traylcyromine
Benzamides
Meclobomide
Aminoketones
Morpholones
Phenehylamine
Bupropion
Reboxetine
Venlavaxine
bicyclic
Phenylpiperazines
Nefazodone, Trazodone
Tetracyclic
Mirtazapine
piperazinoazepine
Thiazepines
tianeptine
ortostatik,
takikardi
akibat
efek
antikolinergik,
re-uptake
norepinefrin
dan
atau
serotonin.
pasien
dengan
penyakit
kardiovaskular,
ini
dapat
pengobatan.
Venlafaxine
kemungkinan
menyebabkan
diberikan
menimbulkan
kardiovaskular
seperti,
interaksi
simvastatin,
dengan
obat-obatan
amlodipine,
diltiazem,
Farmakologis dan
Kimia
Piperazine
Benzodiazepine
Contoh Obat
Hydroxyzines
Alprazolam, bromazepam,
clobazam, diazepam, ethyl
loflazepate
prazepam,
chlordiazepoxide,
cloxazolam,
fludiazepam,
etizolam,
lorazepam,
medazepam, nordazepam,
Non-Benzodiazepine
Azaspirodecanedione
Carbamate
oxazepam,
oxazolam,
pinazepam,
clorazepate,
tofisopam
Buspirone, Tandospirone
meprobamate
yang
menguntungkan
meliputi:
penurunan
level
dan
efektif
pada
pasien
dengan
penyakit
jantung.
dekstrometorfan,
fluoksetin,
lidokain,
paroksetin,
dan
kelompok-kelompok
informasi
lebih
lanjut
pendukung
tentang
yang
dapat
penyakit
yang
et al., 2009).
3. Latihan dan Rehabilitasi Jantung
Latihan adalah antidepresan yang efektif dan berhubungan dengan
penurunan derajat kecemasan, serta memiliki beberapa manfaat
kardiovaskular. Penelitian tentang latihan (30 menit berjalan/lari kecil
secara kontinu untuk mencapai denyut jantung target, 3 kali perminggu
selama 16 minggu) pada penderita depresi, menunjukkan bahwa latihan
yang teratur sama efektifnya dengan sertraline untuk mengobati depresi.
Follow-up atas penelitian pertama, enam bulan setelah akhir studi,
menemukan perbaikan gejala depresi pada pasien dalam kelompok
latihan yang bertahan lebih lama jika dibandingkan dengan kelompok
yang memperoleh terapi antidepresan saja (Jeff et al., 2010).
Penerapan latihan dan rehabilitasi jantung bagi penderita penyakit
jantung merupakan sebuah tantangan, terutama bila disertai dengan
adanya gejala depresi atau cemas. Telah dibahas sebelumnya bahwa
penderita penyakit jantung yang juga mengalami depresi lebih rendah
sejumlah
kenyataannya
penelitian
penggunaan
menolak
statin
dugaan
dalam
ini
jangka
karena
pada
panjang
justru
juga
sempat
menimbulkan
polemik,
karena
diduga
umum
juga
seringkali
mendapati
pasien
dengan
keluhan
somatisasi
bentuk gejala
adalah
atau
pengkomunikasian
keluhan
fisik
sebagai
distres
psikologis
akibat tingginya
alosentrisme individu dan adanya dukungan sosial terhadap sakit fisik. Ada
dua jenis proses somatisasi. Pertama, proses somatisasi yang bersumber dari
ketidakmampuan
individu
otonomik
somatoforn,
pasien seakan akan merupakan gejala dari sistem saraf otonom, misalnya
sistem kardiovaskular (cardiac neurosis), gastrointestinal (gastric neurosis
dan nervous diarrhoea), atau pernafasan (hiperventilasi psikogenik dan
cegukan). Gejala yang nampak dapat berupa tanda objektif rangsangan
otonom, seperti palpitasi berkeringat, muka panas / merah (flushing), dan
tremor. Selain itu dapat pula berupa tanda subjektif dan tidak khas, seperti
perasaan sakit, nyeri, rasa terbakar, rasa berat, rasa kencang, atau perasaan
badan seperti mengembang. Juga ditemukan adanya bukti stes psikologis atau
yang nampaknya berkaitan dengan gangguan ini. Tidak terbukti adanya
gangguan yang bermakna pada struktur atau fungsi dari sistem atau organ
yang dimaksud (Indarjo, 2009).
Distress psikologis dapat mempengaruhi sistem kardiovaskular secara
langsung melalui aktivasi sistem saraf simpatik dan pelepasan hormon
katekolamin dan
kekhawatiran
atau
mengajukan
pertanyaan
formulir
admisi
psikiatri,
panduan
referensi
tambahan
seperti
pemeriksaan
neurologis
magnetic
resonance
imaging
(MRI),
dan
hematologi.
Apabila
psikotropika,psikiater
pemeriksaan
merekomendasikan
CLP
juga
harus
terus
obat
mengikuti
kondisi
fisik
yang
dapat
menyebabkan,
konsultan,
pemantauan
psikofarmakologikal,
dan
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
1. Gangguan psikiatri yang banyak terjadi pada penderita penyakit
kardiovaskular adalah gangguan cemas dan depresi.
2. Terdapat hubungan dua arah antara penyakit kardiovaskular dengan
kesehatan mental, yakni gangguan mental merupakan faktor risiko
independen untuk peyakit kardiovaskular dan penyakit jantung koroner
dapat menyebabkan efek yang buruk bagi kesehetan mental pasien.
3. Gangguan psikiatri pada penyakit kardiovaskular dideteksi dan
ditangani melalui CLP. Terapi yang aman dan efektif untuk gangguan
cemas pada penderita penyakit kardiovaskular adalah golongan
Benzodiazepin dan terapi yang aman dan efektif untuk depresi pada
penderita penyakit kardiovaskular adalah golongan SSRI.
DAFTAR PUSTAKA
Albert H, Kornfeld DS (1973). The threat to sign out against medical advice. Ann
Intern Med, 79 : 888-89
American Psychiatric Association (2013). Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorder. Fifth Edition. Washington DC: American Psychiatric
Publishing, pp. 481-550
Andri (2011). Konsep Biopsikososial pada Keluhan Psikosomatik. J Indon Med
Assoc, 61 (9)
Bagot R, Bredy TW, Zhang T, Gratton A, Meaney MJ (2007). Developmental
Origin of Neurobiological Vulnerability for PTSD in Understanding
Trauma. USA : Cambridge University Press, pp : 103-104
Bankier B, Barajas J, Martinez-Rumayor A, Januzzi JL (2008). Association
between C-reactive protein and generalized anxiety disorder in stable
coronary heart disease patients. Eur Heart J, 29 : 22122217
Barros PO, et al. (2011). Substance P enhances Th17 phenotype in individuals
with generalized anxiety disorder: an event resistant to glucocorticoid
inhibition. J Clin Immunol, 31: 5159
Beitman BD, et al. (1989). Panic disorder in patients with chest pain and
angiographically normal coronary arteries. Am J Cardiol, 63 : 1399-1403
Buccelletti E, et al. (2009). Heart rate variability and myocardial infarction:
systematic literature review and metanalysis. Eur Rev Med Pharmacol
Sci, 13 (4) : 299-307
Capuron
L,
Miller AH
(2011).
Immune
system
to
brain
signaling:
Cooper DC, Milic MS, Tafur, JR, Mills, PJ, Bardwell WA, Ziegler, MG,
Dimsdale, JE (2010).
Elvira, Sylvia D et al. (2013). Buku Ajar Psikiatri. Jakarta : Badan Penerbit FK UI
Friedman, M., Thoresen, C. E., Gill, J. J., Powell, L. H., Ulmer, D., Thompson, L
& Bourg, E (1984). Alteration of Type A Behavior And Reduction in
Cardiac Recurrences in Postmyocardial Infarction Patients. American
heart journal,108(2), 237-248.
Gehi A, Musselman D, Otte C, Royster EB, Ali S, Whooley MA (2010).
Depression and platelet activation in outpatients with stable coronary
heart disease: findings from the Heart and Soul Study. Psychiatry
research, 175 (3) : 200-204
Ghanie A (2009). Penyakit Jantung Kongenital pada Dewasa. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid II Edisi V. Jakarta: Interna Publishing
Kemp AH, Quintana DS, Gray MA, Felmingham KL, Brown K, Gatt JM (2010).
Impact of depression and antidepressant treatment on heart rate
variability: a review and meta-analysis. Biological psychiatry, 67 (11) :
1067-1074.
Kemp AH, Brunoni AR, Bittencourt MS, Nunes MA, Bensenor IM, Lotufo PA (2015).
The association between antidepressant medications and coronary heart disease
in Brazil: a cross-sectional analysis on the Brazilian longitudinal study of adult
health (ELSA-Brazil). Frontiers in Public Health, 3 : 1-7
Kessler RC, Bromet EJ (2013). The epidemiology of depression across cultures. Annu
Rev Public Health, 2013 (34) : 119138
Kornfeld DS, Zimberg S, Malm JR (1965). Psychiatric complications of openheart surgery. N Engl J Med, 273: 287292
Kornfeld DS (2014). Consultation-liaison psychiatry : contribution in medical
practice. Am J Psychiatry, 159 : 1964-1972
Kop WJ, Synowski SJ, Gottlieb SS (2011). Depression in heart failure:
biobehavioralmechanisms. Heart Failure Clinics, 7 (1) : 2338
Kreitner, R., & Kinicki, A. (2005). Perilaku organisasi Terjemahan. Jakarta :
Salemba Empat.
Kronfol Z, Remick DG (2000). Cytokines and the brain: implications for clinical
psychiatry. Am J Psychiatry, 157: 683694
Levenson JL (2011). American Psychiatric Publishing Textbook of Psychosomatic
Medicine. Second edition. Washington D.C. : American Psychiatric
Publishing Inc.
Levenson JL (2012). Consultation liaison psychiatry : the crucial interface
between psychiatry and the rest of medicine. J of Mental Health and
Human Behaviour, 17 (3) : i-ii
Liza RG, Loebis B (2015). Gangguan Psikotik Akibat Stroke Iskemik. J Kes
Andalas, 4 (2) : 607-13
Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J (2012).
Harrisons Principles of Internal Medicine 18th Edition. US : McGrawHill Companies Inc
Maharatih GA, Nuhriawangsa I, Sudiyanto A (2009). Psikiatri Komprehensif Soal
& Pembahasan. Jakarta : EGC, pp: 109-121
Maramis WF, Maramis AA (2010). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2. Surabaya :
Airlangga University Press, pp : 283-306
Maslim R (2013). Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa. Jakarta : PT.Nuh Jaya
Mavrides N, Nemeroff CB (2015). Treatment of affective disorders in cardiac
disease. Dialogues In Clinical Science. 17 (2) : 132-136
Mavrides N, Nemeroff CB (2015). Treatment of affective disorders in cardiac disease.
Dialogues Clin Nerosci, 2015 (17) : 127-140
Mozzafarian D et al. (2015). Heart Disease and Stroke Statistics 2015 Update.
Circulation, 131 (4) : e29-e322
Panggabean MM (2009). Gagal Jantung. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II
Edisi V. Jakarta : Interna Publishing
Parker GB, Owen CA, Brotchie HL, Hyett MP (2010). The impact of differing
anxiety disorders on outcome following an acute coronary syndrome:
time to start worrying? Depress Anxiety, 27 (3) : 302309
Pozuelo L, Tesar G, Zhang J, Penn M, Franco K, Jiang W (2009). Depression and
Heart Disease: what do we know, and where are we headed. Cleveland
Clinic Journal of Medicine, 76 (1) : 60-67
Rachman AM (2009). Angina Pektoris Stabil. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II Edisi V. Jakarta: Interna Publishing
Randall (2011). The physiology of stress: cortisol and the hypothalamic-pituitaryadrenal axis. Dartmouth Undergraduate Journal of Science
Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2007). Perilaku Organisasi (Organizaztional
Behavior) buku 1. Jakarta: Salemba Empat
Roest AM, Zuidersma M, De Jonge P (2012). Myocardial infarction and
generalised anxiety disorder: 10-year follow-up. The British Journal of
Psychiatry, 200(4) : 324-329
Sadock, BJ, Sadock, VA, Ruiz P (eds) (2009). Kaplan & Sadock's Comprehensive
Textbook of Psychiatry. 9th Edition. Philadelphia : Lippincott Williams &
Wilkins
Schins A, Hamulyk K, Scharp S, Lousberg R, Van Melle J, Crijns H, Honig A
(2004). Whole blood serotonin and platelet activation in depressed postmyocardial infarction patients. Life sciences, 76(6) : 637-650
Schulman JK, Muskin PR, Shapiro PA (2005). Psychiatry and cardiovascular
disease. Psychiatri Online. 3 (2) : 208-224
Smoller JW, Sheidley BK, Tsuang MI. Anxiety disorder (2008). In: Psychiatry
genetics application in practical practice. USA: American Psychiatric
Publishing Inc., pp: 150-156
Stahl SM (2013). Essential Psychopharmacology. New York : Cambridge
University Press, p: 979
Stefanatou A, Kouris N, Lekakis J (2010). Treatment of depression in elderly
patients with cardiovascular disease: research data and future prospects.
Hellenic Journal of Cardiology. 51: 142-152
Susana T (2010). Proses somatisasi dan strategi koping pada individu alosentris.
Jurnal Psikologi Indonesia, 7 (1)
Taylor CT, Pollack MH, LeBeau RT, and Simon NM (2008). .Anxiety Disorder :
Panic, Social Anxiey, and Generalized Anxiety in Massachusetts General
Hospital Comprehensive Clinical Psychiatry. Mosby Inc., pp : 429-433
Tomfohr LM, Murphy ML, Miller GE, Puterman E (2011). Multiwave
associations between depressive symptoms and endothelial function in
adolescent and young adult females. Psychosomatic medicine, 73 (6) :
456
Trisnohadi HB (2009). Angina Pektoris Tak Stabil. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam .Jilid II Edisi V. Jakarta: Interna Publishing
Vieira MM et al. (2010). Enhanced Th17 phenotype in individuals with
generalized anxiety disorder. J Neuroimmunol, 229 : 212218
WHO (2013). Investing in Mental Health. Geneva : WHO, p : 11
WHO (2014). Global Status Report on Non Communicable Disease 2014.
http://www.who.int/global-coordination-mechanism/publications/global-statusreport-ncds-2014-eng.pdf - Diakses September 2015
Yogiantoro M (2009). Hipertensi Esensial. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid
II Edisi V. Jakarta : Interna Publishing