Anda di halaman 1dari 68

Referensi Artikel

GANGGUAN PSIKIATRI PADA PENYAKIT KARDIOVASKULAR

Oleh :
Azizah Amalia Novia Sani

G99151028

Vicianita Putri Utami

G99151029

Desy Mila Pertiwi

G99151030

Deyona Annisa Putri

G99151031

Nisau Luthfi Nur Azizah

G99151032

Pembimbing :
Prof. Dr. Much. Syamsulhadi, dr., Sp.KJ (K)

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU JIWA


SMF JIWA FK UNS/ RSUD DR.MOEWARDI
SURAKARTA
2015

KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah SWT. yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia sehingga penulis dapat menyelesaikan referensi artikel
yang berjudul : Gangguan Psikiatri pada Penyakit Kardiovaskular. Penulis menyadari
bahwa penulisan dan penyusunan referensi artikel ini tidak lepas dari bantuan berbagai
pihak, baik berupa bimbingan dan nasihat, oleh karena itu penulis mengucapkan terima
kasih kepada :
1. Prof. Em. Ibrahim Nuhriawangsa, dr., Sp.KJ (K)
2. Prof. Dr. Much. Syamsulhadi, dr., Sp.KJ (K)
3. Prof. Dr. Aris Sudiyanto, dr., Sp.KJ (K)
4. Prof. Dr. Moh. Fanani, dr., Sp.KJ (K)
5. Mardiatmi Susilohati, dr., Sp.KJ (K)
6. Yusvick M. Hadin, dr., Sp.KJ
7. Djoko Suwito, dr., SP.KJ
8. I.G.B. Indro Nugroho dr., Sp.KJ
9. Gst. Ayu Maharatih, dr., Sp.KJ
10. Makhmuroch, dr., Dra., MS
11. Debree Septiawan, dr., Sp.KJ, M.Kes
12. Istar Yuliardi, dr., M.Si
13. Rohmaningtyas HS, dr., Sp.KJ, M.Kes
14. H. Rh. Budhi Muljanto, dr., Sp.KJ (K)
15. Maria Rini, dr., Sp.KJ, M.Kes
16. Adriesti Herdaetha, dr., Sp.KJ (K), MH
17. Wahyu Nur Ambarwati, dr., Sp.KJ, M.Kes
18. Setyowati Raharjo, dr., Sp.KJ, M.Kes
Penulis menyadari bahwa referensi artikel ini masih belum sempurna, oleh
karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak untuk perbaikan
referensi artikel ini. Semoga referensi artikel ini bermanfaat bagi kita semua.
September 2015
Penulis

DAFTAR ISI
Halaman Judul......................................................................................................... i
Kata Pengantar......................................................................................................... ii
Daftar Isi.................................................................................................................. iii
BAB I : Pendahuluan............................................................................................. 1
BAB II : Pembahasan.............................................................................................. 3
A. Penyakit Kardiovaskular...................................................................... 3
B. Psikoneuroimunologi dan Psikoneuroendokrin Gangguan Psikiatri
pada Penyakit Kardiovaskular............................................................. 16
C. Kepribadian dan Penyakit Kardiovaskular.......................................... 27
D. Gangguan Psikiatri pada Penyakit Kardiovaskular.............................. 31
E. Terapi Gangguan Psikiatri pada Penyakit Kardiovaskular................... 41
F. Gangguan Psikiatri dengan Gejala menyerupai Penyakit
Kardiovaskular....................................................................................

49

G. Peran Consultation Liaison Psychiatry (CLP) dalam Penanganan

Gangguan Psikiatri pada Penyakit Kardiovaskular...................

52

BAB III : Penutup.................................................................................................. 59


Daftar Pustaka

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Menurut

Mozaffarian

et

al.

(2015),

prevalensi

penyakit

kardiovaskular pada laki- laki usia dewasa kelompok umur 20-39 tahun
adalah 11,9%, sementara pada perempuan 10%. Untuk kelompok umur 40-59
tahun, prevalensi penyakit kardiovaskular pada laki- laki adalah sebesar
40,5% dan pada perempuan 35,5%. Untuk kelompok umur 60-79 tahun,
prevalensi penyakit kardiovaskular pada laki- laki sebesar 69,1% dan pada
perempuan 67,9%. Sementara itu, untuk kelompok umur 80 tahun,
prevalensi penyakit kardiovaskular pada laki- laki adalah sebesar 84,7% dan
pada perempuan sebesar 85,9%.
Di Indonesia, prevalensi penyakit kardiovaskular sebesar 7,2% berdasarkan
wawancara, sementara berdasarkan riwayat diagnosis tenaga kesehatan hanya
ditemukan sebesar 0,9%. Cakupan kasus kadiovaskular yang sudah didiagnosis oleh
tenaga kesehatan sebesar 12,5% dari semua responden yang mempunyai gejala
subjektif menyerupai gejala penyakit kardiovaskular. (Kemenkes RI, 2012)
Menurut Riskesdas Tahun 2013, prevalensi hipertensi pada umur 18 tahun
berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan adalah sebesar 9,4%. Sementara itu,
prevalensi penyakit jantung koroner pada umur 15 tahun berdasarkan diagnosis
dokter/ gejala adalah 1,5%, dan prevalensi gagal jantung pada umur 15 tahun
berdasarkan diagnosis dokter/ gejala adalah 0,3% (Kemenkes RI, 2013).

Penyakit kardiovaskular memiliki keterkaitan dengan gangguan


psikiatri. Menurut penelitian oleh Ormel et al. (2007), 3-9% pasien dengan
penyakit kardiovaskular mengalami gangguan depresi mayor. Sementara itu,
1-3% pasien kardiovaskular mengalami distimia. Gangguan Cemas
(gangguan cemas menyeluruh, panik dan atau agoraphobia, phobia sosial,
serta Post Traumatic Stress Disorder/PTSD) pada pasien dengan penyakit
kardiovaskular memiliki prevalensi lebih rendah dari depresi, yaitu sebagai
berikut : gangguan cemas menyeluruh 0,3-5%; panik dan atau agoraphobia 15%; phobia sosial 1-6%; dan PTSD sebanyak 2%. Gangguan psikiatri yang

lain yaitu gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan alkohol, memiliki
prevalensi sebesar 1,4% - 4,5% pada pasien dengan penyakit kardiovaskular.
Data yang lain menurut WHO (2013) menunjukkan bahwa gangguan
depresi mayor terjadi pada 29% pasien dengan hipertensi dan 22% pada
pasien infark miokard. Lebih lanjut, menurut penelitian oleh Shafti (2013),
63,6% pasien penyakit jantung koroner menderita gangguan psikiatri, yaitu
depresi (42,57%), kecemasan (9,90%), dan gangguan jiwa yang tidak
sepesifik (10,89%).
Sementara itu, pada fasilitas pelayanan kesehatan primer, gangguan
psikiatri seperti depresi dan kecemasan seringkali tidak terdeteksi dan tidak
terdiagnosis. Banyak gangguan psikiatri, termasuk cemas dan depresi yang
terjadi dengan gejala somatik seperti sakit kepala, kelelahan, nyeri, atau
gangguan gastrointestinal tumpang tindih dengan gangguan medis umum dan
membuat diagnosis dalam kondisi seperti ini memerlukan perhatian khusus
(Druss dan Walker, 2011).
Terapi gangguan jiwa pada pasien dengan penyakit kardiovaskular
juga merupakan suatu tantangan tersendiri. Misalnya, menurut Kemp et al.
(2015) bahwa antidepresan trisiklik dapat meningkatkan morbiditas dan
mortalitas pasien dengan penyakit jantung koroner, sehingga penggunaannya
tidak direkomendasikan.
Hal- hal di atas menunjukkan bahwa gangguan jiwa, dalam hal ini
khususnya yang terjadi pada pasien dengan penyakit kardiovaskular sangat menarik
dan perlu untuk diulas. Oleh karena itu, pada referensi artikel ini penulis mengambil
judul Gangguan Psikiatri pada Penyakit Kardiovaskular.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Penyakit Kardiovaskular
1.

Epidemiologi
Prevalensi penyakit kardiovaskular setiap tahun terus meningkat.
Sebelum abad ke-20 penyebab kematian utama di seluruh dunia adalah
penyakit infeksi dan malnutrisi, sementara penyakit kardiovaskular hanya
memegang peranan kurang dari 10%. Namun saat ini penyakit
kardiovaskular menjadi penyebab kematian terbanyak di seluruh dunia,
yaitu mencakup sekitar 30%, meliputi 40% penyebab kematian pada
negara maju, dan 28% pada negara berkembang. Peningkatan morbiditas
dan mortalitas penyakit kardiovaskular tersebut dipengaruhi oleh
industrialisasi, urbanisasi, dan perubahan gaya hidup.

Faktor resiko utama penyebab penyakit kardiovaskular adalah


merokok, kolesterol serum, dan hipertensi. Namun secara umum faktor
resiko yang berpengaruh dalam terjadinya penyakit kardiovaskular dibagi
menjadi dua, yaitu behavioral risk factors dan metabolic risk factors.
Behavioral risk factors meliputi merokok, diet, dan inaktivitas fisik.

Sedangkan metabolic risk factors meliputi level lipid, hipertensi, obesitas


dan diabetes mellitus.
2.

Cardiac symptoms
Gejala penyakit jantung pada umumnya disebabkan oleh iskemia,
gangguan kontraksi dan/atau relaksasi miokardium, tersumbatnya aliran
darah, dan abnormalitas irama jantung atau jumlah denyut jantung.
Iskemia terjadi akibat suplai oksigen ke jantung tidak mampu memenuhi
kebutuhan, hal tersebut menyebabkan rasa nyeri di dada. Berkurangnya
kemampuan pompa jantung umumnya menyebabkan kelelahan dan
meningkatnya tekanan intravaskuler ventrikel yang gagal. Hal tersebut
menyebabkan terjadinya akumulasi cairan berupa edema perifer, kongesti
pulmonal dan dispnea. Tersumbatnya aliran darah dapat menyebabkan
gejala yang menyerupai gagal jantung. Aritmia jantung biasanya terjadi
mendadak dan dapat menyebabkan dispnea, palpitasi, dan sinkop.

3.

Diagnosis
Penegakan diagnosis penyakit jantung berdasarkan New York Heart
Association (NYHA) harus memenuhi pertimbangan sistematis berikut:
a.
b.
c.
d.

Etiologi yang mendasari


Abnormalitas struktur anatomi
Gangguan fisiologi
Disabilitas fungsional

Kelas I
Kelas II
Kelas III
Kelas IV

4.

Tidak ada batasan aktivitas fisik


Tidak ada gejala pada aktivitas biasa
Batasan ringan terhadap aktivitas fisik
Aktivitas sedang menimbulkan gejala
Batasan sedang terhadap aktivitas fisik
Aktivitas ringan menimbulkan gejala
Tidak dapat melakukan aktivitas fisik

apapun
Gejala timbul saat istirahat

Macam- Macam Penyakit Kardiovaskular


a. Gagal Jantung
1) Definisi

Gagal jantung adalah sindrom klinis yang terjadi pada


pasien yang disebabkan oleh abnormalitas struktur dan/atau
fungsi jantung, yang menimbulkan kumpulan gejala klinis
(dispnea dan fatigue) dan tanda (edema dan rales) yang
menyebabkan hospitalisasi, menurunnya kulaitas hidup dan
penurunan usia harapan hidup.
2) Epidemiologi
Gagal jantung terjadi di seluruh dunia dengan total
penderita sejumlah 2 juta orang. Penyakit ini diderita oleh 610% manusia usia diatas 65 tahun. Insidensi penyakit ini lebih
banyak pada laki- laki dibanding pada wanita.
3) Etiologi
Pada negara maju,

gagal jantung sebagian besar

disebabkan oleh penjakit jantung koroner (60-75%). Selain itu,


hipertensi juga merupakan etiologi utama terjadinya gagal
jantung (75%). Penyakit jantung koroner dan hipertensi saling
memperberat resiko terjadinya gagal jantung, apalagi jika
penderita juga mengidap diabetes mellitus.
4) Prognosis
Penderita gagal jantung memiliki prognosis penyakit yang
buruk. Penelitian menunjukkan bahwa 30-40% penderita gagal
jantung akan meninggal 1 tahun setelah diagnosis ditegakkan,
60-70% meninggal setelah 5 tahun, dan sebagian besar
meninggal secara mendadak.
5) Patogenesis
Gagal jantung adalah penyakit progresif yang diawali oleh
kerusakan miokardium dengan hilangnya fungsi miosit atau
berkurangnya kemampuan miokardium untuk menghasilkan
tekanan sehingga menyebabkan jantung gagal berkontraksi
normal.

Gagal jantung dimulai ketika ada peristiwa tertentu yang


menginisiasi penurunan kapasitas pompa jantung. Setelah itu
mekanisme kompensasi pun diaktifkan, mekanisme tersebut
mencakup sistem saraf adrenergik, sistem renin-angiotensinaldosteron, dan sistem sitokin. Dalam waktu singkat, mekanisme
ini mampu mengembalikan fungsi jantung kembali normal
sehingga pasien tetap asimptomatik. Namun setelah berjalannya
waktu, pengaktifan sistem ini dapat menimbulkan kerusakan
organ sekunder di dalam ventrikel yaitu dengan memburuknya
remodeling ventrikel kiri dan dekompensasi kardiak yang
berlanjut.
Penurunan cardiac output pada gagal jantung merupakan
akibat dari tidak berfungsinya baroreseptor pada ventrikel kiri,
sinus caroticus, dan arcus aorta. Tidak berfungsinya baroreseptor
ini mengakibatkan hilangnya pola parasimpatis inhibitor yang
menuju

ke

sistem

saraf

pusat

sehingga

menghasilkan

peningkatan pola eferen simpatis dan pelepasan arginin


vasopresin (AVP) dari kelenjar pituitary. AVP atau ADH
merupakan

vasokonstriktor

yang

kuat

yang

mampu

meningkatkan permeabilitas tubulus kolektivus renalis, sehingga


meningkatkan reabsorbsi cairan. Sinyal aferen ke sistem saraf
pusat ini juga mengaktifkan jalur eferen sistem saraf simpatis
yang mengintervasi jantung, ginjal, organ-organ perifer dan otot
rangka.
Stimulasi simpatis pada ginjal menginduksi pelepasan
renin, yang menyebabkan meningkatnya level angiotensin II dan
aldosteron

dalam

sirkulasi.

Diaktifkannya

sistem

renin-

angiotensin-aldosteron meningkatkan retensi garam dan air


sehingga menyebabkan vasokonstriksi perifer, hipertrofi miosit,
kematian miosit, dan miocardial fibrosis. Meskipun mekanisme
neurohormonal ini mampu menjaga tekanan darah dan perfusi

organ dalam jangka waktu singkat, namun mekanisme


neurohormonal ini pun dipercaya menyebabkan perubahan
organ jantung, sistem sirkulasi, dan retensi berlebihan dari air
dan garam pada gagal jantung.
6) Manifestasi klinis
a) Gejala
i. Orthopnea
ii. Paroxysmal nocturnal dyspnea
iii.Pernafasan cheyne-stokes
iv. Edema paru akut
v. Gejala lain: anoreksia, nausea, nyeri abdomen, insomnia.
b) Tanda
i. Peningkatan vena jugularis
ii. Rales
iii.Cardiomegali
iv. Hepatomegali
v. Edema perifer
7) Penegakan diagnosis
a) Pemeriksaan laboratorium : hitung darah lengkap, analisa
b)
c)
d)
e)

gas darah, serum kreatinin, enzim hepar dan urinalisis


Elektrokardiografi (EKG)
X-ray
Biomarker
Latihan : treadmill dan sepeda

8) Tatalaksana
Tatalaksana gagal jantung harus dilakukan secara holistik
dan komprehensif, melalui :
a) Aktivitas
Latihan isotonik secara reguler seperti berjalan atau
mengendarai sepeda stasioner direkomendasikan untuk
penderita gagal jantung NYHA kelas I-III.
b) Diet
Diet dilakukan dengan mengurangi konsumsi natrium
(2 3 gram/hari).
c) Diuretik

Diuretik digunakan untuk mengontrol jumlah cairan


dalam tubuh. Penggunaan diuretik dapat dilihat pada tabel
dibawah :

b. Kelainan Jantung Bawaan


Kelainan jantung bawaan adalah hasil dari kecacatan
pertumbuhan embrio atau kegagalan proses pertumbuhan struktur
jantung pada tahap selanjutnya pada pertumbuhan janin. Kelainan
jantung bawaan dikategorikan menjadi defek simpel, intermediet dan
kompleks. Defek simpel adalah adanya lesi tunggal dengan
malformasi katub. Defek intermediet adalah apabila terdapat dua
atau lebih defek simpel. Defek kompleks adalah defek intermediet
yang melibatkan struktur anatomi yang lebih kompleks, disertai
sianosis, dan seringkali disertai transposisi. Macam- macam kelainan
jantung bawaan yang paling sering :
1) Atrial Septal Defect (ASD)
ASD adalah kelainan apabila terjadi defek di septum
interatriale sehingga terjadi hubungan antara atrium kiri dan
kanan. ASD adalah anomali jantung yang paling sering ditemukan
pada saat dewasa. Frekuensinya lebih sering pada wanita. ASD
terletak berdekatan dengan katub atrioventrikuler, lubang ini
terjadi karena deformasi dan regurgitasi. Terdapat 3 jenis ASD,
yaitu ASD primum, ASD secundum, dan ASD septum atrium
dengan defek sinus venosus superior. ASD primum adalah

terjadinya defek pada septum atrioventrikuler, kelainan ini sering


pada penderita down syndrome. ASD secundum adalah kelainan
yang terjadi apabila terdapat defek pada fossa ovalis. ASD yang
lebih kompleks terjadi karena defek kromosomal.
Pada pemeriksaan fisik dapat teraba pulsasi arteri pulmonal.
Pada auskultasi terdengar bunyi jantung satu normal atau
splitting. Terdengar murmur midsystolik katub pulmoner. Bunyi
jantung II terdengar splitting. Murmur mid-diastolik terdengar
jelas pada SIC IV dan sepanjang sisi kiri linea parasternalis. Pada
pemeriksaan EKG, terihat deviasi ke kanan disertai pembesaran
ventrikel kanan.
Penatalaksaan dari ASD biasanya dilakukan dengan operasi.
Dilakukan pemasangan patch atau material prostetik lain. Bisa
juga dilakukan dengan prosedur percutaneus transcathater.
Manajemen medis seharusnya juga mencakup penanganan dan
pencegahan infeksi saluran pernafasan atas, pengobatan anti
aritmia untuk atrial fiblisasi dan takikardi supraventikuler.
2) Ventricular Septal Defect (VSD)
VSD adalah kelainan yang paling sering dibandingkan
dengan defek jantung bawaan yang lain. Kelainan VSD biasanya
tunggal dan terletak pada septum di bagian membran atau
midmuskular. Gangguan fungsi tergantung pada besarnya defek
dan status vaskuler pulmoner. VSD dengan ukuran kecil sampai
moderat biasanya baru diketahui ketika mencapai usia dewasa,
sementara pasien dengan VSD yang besar dapat diketahui segera
saat usia dini.
Pasien dengan VSD yang lebar disertai hipertensi pulmoner
memiliki resiko yang lebih besar untuk terjadinya obstruksi
pulmoner. VSD yang besar harus dikoreksi segera dengan
pembedaan saat usia dini ketika penyakit vaskuler pulmoner
masih reversibel atau belum berkembang. Pada pasien dengan
Eissenmenger Syndrome timbul gejala seperti dispnea, nyeri dada,

sinkop, dan hemoptisis. Right to left shunt dapat mengakibatkan


sianosis, clubbing finger, dan eritrositosis.
Penatalaksaan pada VSD direkomendasikan tindakan
operatif terutama untuk pasien dengan tekanan arterial pulmoner
normal dan shunt minimal. Koreksi operatif atau penutupan
transcatheter diindikasikan apabila terdapat left-to-right shunt
yang moderat sampai berat.
3) Patent Ductus Arteriosus (PDA)
Ductus arteriosus adalah

pembuluh

darah

yang

menghubungkan bifurcatio aorta dengan arteri pulmonalis di


distal arteri subclavia sinistra. Normalnya, pembuluh darah ini
terbuka saat janin dan menutup segera setelah lahir. Pada
kebanyakan pasien dewasa yang mengidap kelainan ini, tekanan
pulmonernya normal, terdapat gradien dan shunt dari aorta ke
arteri pilmonalis sehingga menghasilkan bunyi thrill dan murmur
kontinu dengan aksen sistolik lambat pada sudul kiri atas sternum.
Terdapat gradasi (tingkatan) pada PDA, yaitu:
Silent : PDA kecil yang ditemukan secara tidak sengaja saat
EKG, tidak terdengar bising
Kecil: terdengar bising ejeksi panjang, tidak ada perubahan
hemodinamik
Moderat: tekanan nadi besar, bising kontinu, pembesaran atrium
dan ventrikel kiri dan hipertensi pumonal reversibel
Besar: tidak ada bising kontinu, terdapat sianosis setempat, jari
tabuh di kaki
Penatalaksanaan dari kelainan ini adalah dengan cara
meligasi atau memotong ductus arteriosus.
4) Tetralogy of Fallot
Empat komponen dari tetralogy of fallot adalah VSD,
obstruksi ventrikel kanan, overriding aorta, dan hipertrofi
ventrikel kanan. Pada pemeriksaan EKG terlihat pembesaran
ventrikel kanan, dan pada pemeriksaan X-Ray terdapat gambaran
boot shape dengan ventrikel kanan yang menonjol dan conus
pulmonalis yang cekung. Karena adanya right-to-left shunt pada

kelainan ini menyebabkan sianosis dan ertitrositosis yang berat


serta gejala hipoksemia sistemik yang jelas.
Penatalaksaan dari Tetralogy of fallot dilakukan dengan
tindakan operatif untuk mengoreksi obstruksi ventrikel dan
memperbaiki posisi aorta. Medikamentosa dapat diberikan
antibiotik untuk mencegah endokarditis dan beta blocker. Dapat
pula dilakukan flebotomi bila perlu.
c. Penyakit Jantung Iskemik
Penyakit jantung iskemik adalah kondisi dimana terdapat
suplai darah dan oksigen ke miokardium yang tidak adekuat, pada
umumnya

terjadi apabila terdapat ketidakseimbangan antara

kebutuhan oksigen di miokardium dengan pemenuhannya. Penyebab


utama iskemia miokard adalah atherosclerosis pada arteria koroner
yang mengakibatkan pengurangan aliran darah regional dan perfusi
yang tidak adekuat pada miokardium.
Penyakit jantung iskemik menyebabkan

kematian

dan

kecacatan yang secara ekonomi lebih besar dibandingkan dengan


penyakit lain di dunia. Penyakit jantung iskemik adalah penyakit
yang paling umum, paling serius, kronis dan membutuhkan
perawatan seumur hidup. Di Amerika Serikat, 13 juta orang
menderita penyakit jantung iskemik, lebih dari 6 juta orang
mengidap angina pectoris dan lebih dari 7 juta orang menderita
infark miokard. Faktor resiko penyakit ini antara lain faktor genetik,
diet tinggi lemak dan tinggi energi, dan pola hidup sedenter.
Pada keadaan normal, berapapun kebutuhan oksigen jaringan,
miokardium akan mengontrol suplai darah kaya oksigen untuk
mencegah underperfusi miosit dan berkembangnya iskemia dan
infark. Determinan untama kebutuhan oksigen adalah heart rate,
kontraktilitas miokardium, dan tekanan dinding miokardium. Suplai
oksigen yang adekuat pada miokardium membutuhkan kapasitas
darah pembawa oksigen yang mumpuni dan aliran darah koroner
yang adekuat.

Dengan

berkurangnya

ukuran

lumen

arteri

koroner,

aterosklerosis menghambat perfusi yang bergantung pada lancarnya


aliran darah. Ketika berkurangnya ukuran lumen telah parah, perfusi
miokard basal pun menjadi berkurang. Aliran darah koroner dapat
juga dihambat oleh spasme, trombus arteri, dan kadang-kadang oleh
emboli koroner yang disebabkan oleh penyempitan osteal karena
aortitis.
Faktor resiko utama dari aterosklerosis adalah tingginya level
LDL, level HDL yang rendah, kebiasaan merokok, hipertensi, dan
diabetes. Faktor resiko tersebut mengganggu fungsi normal endotel
vaskuler. Fungsi tersebut mencakup kontrol irama vaskuler, menjaga
anti trombotik di permukaan, dan mengontrol adhesi dan diapedesis
sel inflamasi. Hilangnya fungsi tersebut menyebabkan konstriksi
abnormal, formasi trombus di luminal, dan interaksi abnormal antara
sel-sel darah, terutama monosit dan platelet, serta aktivasi endotel
vaskuler. Perubahan fungsi pada pembuluh darah kecil menyebabkan
pengumpulan lemak di subintimal, sel otot polos, fibroblas, dan
matriks interseluler yang menimbulkan plak atherosklerotik.
Selama perfusi tidak adekuat karena adanya aterosklerosis
koroner, tekanan oksigen jaringan miokard turun dan menyebabkan
gangguan sementara pada fungsi mekanik, biomekanik, dan elektrik
dari miokardium. Aterosklerosis koroner adalah proses fokal yang
sering

menyebabkan

iskemia

nonuniform.

Selama

iskemia,

gangguan regional kontraktilitas vaskuler menyebabkan hipokinesia


segmental, akinesia, atau pada kasus yang berat, dapat terjadi
bulging (diskinesia) yang dapat menurunkan fungsi pompa jantung.
Macam- macam penyakit jantung iskemik antara lain :
1) Angina pektoris stabil
Angina pektoris stabil adalah sindrom klinis pada transient
myocardial ischemia. Penderitanya kebanyakan laki-laki (70%)
dan biasanya berusia kurang dari 50 tahun. Pada pasien laki- laki
dengan usia diatas 50 tahun dan wanita diatas 60 tahun sering
mengeluh nyeri dada. Nyeri sering kali dideskripsikan dengan

perasaan tidak nyaman di dada, seperti ditekan benda berat,


diremas, perasaan sesak, dan jarang sekali berupa rasa nyeri yang
sebenarnya. Jika pasien diminta untuk menunjukkan lokasi
nyerinya, pasien biasanya menempatkan tangannya diatas
sternum, dengan ekspresi seperti diremas dengan lokasi terpusat
di

substernal

(Levines Sign).

Serangan

angina

bisanya

berlangsung 2 5 menit, dan dapat menjalar ke kedua lengan


terutama lengan bagian depan, punggung, regio interscapuler,
pangkal leher, jakun, gigi dan epigastrium. Nyeri dapat berkurang
dengan pemberian nitrogliserin sublingual.
Pada pemeriksaan fisik, pasien dapat terlihat normal dan
asimptomatik. Pada saat serangan dapat ditemukan aritmia,
gallop, murmur, split S2 paradoksal, ronki basah, namun gejala
tersebut segera menghilang jika nyeri berhenti.
Gejala dapat terlihat lebih jelas pada penderita iskemia
jantung dengan diabetes dan/atau penyakit arteri perifer. Tanda
klinis dapat ditemukan pada organ tubuh lain, seperti aneurisma
aorta abdominal, bruit arteri karotis, dan berkurangnya tekanan
denyut nadi ekstremitas.
2) Angina Pektoris Tak Stabil
Dikatakan angina pektoris tak stabil apabila dalam 2 bulan
terjadi serangan angina yang cukup berat dan sering, minimal 3
kali serangan perhari, atau terdapat riwayat angina stabil namun
bertambah berat dengan faktor presipitasi yang semakin ringan,
atau terjadi serangan angina saat istirahat.
Gambaran klinis pada angina pektoris tak stabil adalah
adanya nyeri dada yang lebih berat daripada angina stabil,
berlangsung selama lebih dari 20 menit, timbul saat istirahat atau
aktivitas minimal, kadang disertai sesak napas, mual muntah,
keringat

dingin,

dan

tidak

membaik

dengan

pemberian

nitrogliserin sublingual.
Tatalaksana yang dapat diberikan pada angina pektoris tak
stabil adalah terapi medikamentosa dengan pemberian anti

iskemia, anti agregasi trombosit, dan anti trombin. Tindakan


operatif dilakukan untuk revaskularisasi pembuluh koroner.
d. Hipertensi
Hipertensi adalah salah satu masalah penyakit global. Sekitar
7,6 juta kematian (13-15% dari total) dan 92 juta kecacatan terjadi
setiap tahun akibat hipertensi. Hipertensi memperberat resiko
penyakit kardiovaskular lain seperti penyakit jantung koroner, gagal
jantung kongestif, stroke iskemik dan hemoragik, gagal ginjal, dan
penyakit arterial perifer.
Tekanan darah dipengaruhi oleh cardiac output dan resistensi
perifer. Cardiac output dipengaruhi oleh stroke volume dan heart
rate, sedangkan resistensi perifer dipengaruhi oleh struktur dan
fungsi vaskuler. Mekanisme terjadinya hipertensi dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu: volume cairan intravaskuler, sistem saraf
otonom, mekanisme hormonal renin-angiotensin-aldosteron, dan
mekanisme vaskuler.
Mortalitas penyakit jantung iskemik, stroke dan penyakit
vaskular lain berhubungan erat dengan tekanan darah. Setiap
peningkatan tekanan sistolik 20 mmHg dan tekanan diastolik 10
mmHg, resiko penyakit kardiovaskular meningkat dua kali lipat.
Pada individu yang lebih tua, tekanan sistolik dan tekanan nadi
adalah prediktor yang lebih berpengaruh terhadap penyakit
kardiovaskular dibandingkan tekanan diastolik.
Klasifikasi tekanan darah berdasarkan JNC 7 adalah sebagai
berikut :

Terapi yang dapat diberikan untuk tatalaksana hipertensi


mencakup terapi farmakologis dan non-farmakologis, sebagai
berikut:
Non-farmakologis

Farmakologis

Menghentikan merokok
Menurunkan berat badan
Menurunkan konsumsi alkohol
Latihan fisik
Mengurangi asupan garam
Meningkatkan konsumsi buah dan

Diuretik
Beta blocker
Calcium channel bllocker
ACE inhibitor
Angiotensin II receptor blocker

sayur
Mengurangi asupan lemak

B. Psikoneuroimunologi dan Psikoneuroendokrin Gangguan Psikiatri pada


Penyakit Kardiovaskular

Gagasan bahwa pikiran dan jantung memilki hubungan yang erat telah
membudaya dan bahkan tertanam dalam bahasa sebagai istilah-istilah seperti
sakit hati, patah hati atau jantung berdegup kencang. Dalam beberapa
dekade terakhir dilakukan berbagai usaha untuk mengungkap latar belakang
psikobiologi dari istilah- istilah tersebut. Hasil penelitian mengungkapkan
bahawa terdapat hubungan dua arah antara penyakit kardiovaskular dengan
kesehatan mental, yang secara ringkas dapat dijelaskan dalam dua teori :

Gangguan mental merupakan faktor risiko independen untuk peyakit


kardiovaskular dan kematian. Kekuatan hubungan tersebut sama halnya
dengan faktor risiko umum seperti kegiatan fisik yang kurang dan

kolesterolemia.
Penyakit jantung koroner dapat menyebabkan efek yang buruk bagi
kesehatan mental pasien. Sebagai contoh, di populasi umum prevalensi
depresi sekitar 3-10%, tetapi pada pasien dengan penyakit jantung
koroner insidensinya bisa mencapai 25%.
Seringkali orang menderita reaksi emosional yang merugikan setelah

manifestasi CVD. Pasien mungkin merasa tertekan karena CVD telah


memaksa mereka untuk berhenti melakukan aktivitas yang mereka sukai
atau membatasi kehidupan kerja, mereka dapat hidup dalam ketakutan

serangan menyakitkan berikutnya atau telah diwujudkan takut mati dalam


menghadapi situasi yang mengancam kehidupan. Asosiasi tersebut
diilustrasikan oleh sejumlah studi yang menunjukkan bahwa depresi sering
muncul sebagai konsekuensi dari penyakit jantung dan/atau pembedahan
penyakit jantung. Tapi respon psikopatologis untuk penyakit ini sangat
bervariasi dan tergantung pada karakteristik pribadi dan lingkungan
psikososial pasien. Sifat dari penyakit kardiovaskular yang mendasari juga
merupakan faktor yang penting. Tingkat keparahan diagnosis, kemampuan
yang dirasakan untuk mengontrol gejala dan pengaruh diagnosis pada
kegiatan kehidupan sehari-hari menentukan apakah masalah kesehatan
mental terjadi atau tidak (Dragano dan Wege, 2010).
Otak dan sistem kekebalan tubuh adalah dua sistem adaptif utama
tubuh. Dua jalur utama yang terlibat dalam interaksi tersebut adalah
Hipotalamus-Hipofisis-Adrenal Axis (HPA Axis) dan sistem saraf simpatik
(SAM Axis). HPA axis merespon tekanan fisik dan mental untuk
mempertahankan homeostasis sebagai salah satu cara untuk mengontrol
tingkat kortisol tubuh. Disregulasi HPA axis akan berakibat ke berbagai
penyakit akibat stres. Aktivitas HPA axis berhubungan secara intrinsik
dengan sitokin. Telah diketahui bahwa sitokin inflamasi mampu merangsang
hormon adrenokortikotropik (ACTH) dan sekresi kortisol. Sebaliknya
glukokortikoid akan menghambat sintesis sitokin proinflamasi (Price, 2006).
Respon stres mencakup jalur sinyal yang kompleks antara neuron dan
sel-sel somatik. Hormon yang terlibat dalam respon stres adalah
corticotropin-releasing hormone (CRH) dan arginine-vassopressin (AVP),
yang disekresi oleh hipotalamus karena stimulasi stresor lingkungan. CRH
adalah polipeptida pendek, ditransportasikan ke hipofisis anterior untuk
menstimulasi sekresi kortikotropin. Kortikotropin menstimulasi peningkatan
produksi kortikosteroid, seperti kortisol yang merupakan aktor utama pada
respon stres. Vasopresin adalah hormon yang meningkatkan reabsorbsi air
pada ginjal dan menginduksi vasokonstriksi, sehingga meningkatkan
tekanan darah. Kedua hormon ini mengaktifkan HPA axis. HPA axis

merupakan jalur interaksi umpan balik antara hipotalamus, pituitary dan


kelenjar adrenal. CRH menstrimulasi hipofisis anterior untuk melepaskan
kortikotropin ke aliran darah menuju ke korteks adrenal, kemudian
meregulasi produksi kortisol. Vasopresin menstimulasi duktus kolektivus
ginjal untuk meningkatkan reabsorbsi air sehingga menyebabkan penurunan
volume urin (Randall, 2011).
Kortisol adalah hormon stres yang disekresi oleh glandula adrenal
yang mengatur mekanisme fight of flight dengan meningkatkan pemecahan
glukosa dan lipid untuk metabolisme energi. Kortisol juga merupakan
hormon glukokortikoid yang disintesis dari kolesterol oleh enzim sitokrom
P450 dalam zona fasikulata korteks adrenal. Sintesis hormon ini diatur oleh
HPA axis, sebagai respon utama terhadap terjadinya stres. Hormon ini
mencapai level tertinggi pada pagi hari untuk mengembalikan homeostasis
terhadap stres. Target utama kortisol adalah pada sistem metabolik, yang
mempengaruhi transport ion, respons imun dan memori. Kortisol mengatur
pengeluaran insulin dengan meningkatkan gula darah dan merangsang
glukoneogenesis, jalur metabolisme yang mensintesis glukosa dari
oksaloasetat. Kortisol memicu ekspresi enzim yang penting untuk
glukoneogenesis untuk meningkatkan produksi glukosa. Sebaliknya,
kortisol juga merangsang sintesis glikogen di hati, yang akan menurunkan
kadar gula darah bersih. Melalui jalur ini, kortisol secara hati-hati mengatur
tingkat glukosa yang beredar dalam aliran darah. Peran kortisol dalam
metabolisme adalah selama keadaan puasa, ketika glukosa darah telah habis,
kortisol akan menjamin ketersediaan glukosa melalui glukoneogenesis.
Peran kortisol dalam regulasi ion, khususnya dalam hubungannya dengan
natrium dan kalium juga telah banyak diteliti. Kortisol mencegah sel-sel
kehilangan natrium dan mempercepat laju ekskresi kalium. Hal ini akan
membantu pengaturan pH tubuh dan membawanya kembali ke ekuilibrium
setelah stabil. Kemampuan kortisol dalam mengatur aksi pompa natriumkalium seluler bahkan telah menimbulkan spekulasi bahwa kortisol
berkembang sebagai transporter natrium. Kortisol juga turut mampengaruhi

sistem imun. Komponen penting dari imunitas seluler adalah sel limfosit T.
Sel T merespon molekul sitokin, yang disebut interleukin, melalui jalur
sinyal. Kortisol menghentikan proliferasi sel T dengan mencegah beberapa
dari sel T mengenali sinyal interleukin. Proses ini juga menghambat
peradangan melalui penghambatan sekresi histamin. Kemampuan kortisol
dalam mencegah respon imun dapat membuat individu sangat rentan
terhadap

infeksi.

Kortisol

juga

memiliki

peran

dalam

memori.

Hippocampus, bagian otak di mana memori diproses dan disimpan,


mengandung banyak reseptor kortisol. Kadar kortisol yang normal tidak
memiliki efek buruk pada hippocampus, sedangkan kelebihan kortisol
menyebabkan atrofi pada hippocampus. Studi menunjukkan bahwa orangorang dengan kadar kortisol tinggi bermanifestasi pada kehilangan memori
yang signifikan akibat kerusakan hippocampus dan kerusakan yang timbul
biasanya reversibel. Kortisol berperan dalam inhibitory feed back dengan
memblokir sekresi corticotropin-releasing hormone dan mencegah interaksi
HPA axis dalam sekresi glukokortikoid. Terdapat spekulasi bahwa tingkat
stres kronis yang tinggi akan mengganggu keseimbangan proses feed back,
mengakibatkan kegagalan inhibisi umpan balik dalam penggunaan dan
pelepasan kortisol (Randall, 2011).
Telah diketahui bahwa stres dapat menurunkan respon imun,
pengamatan empiris diperkuat oleh studi tentang efek fisiologis kortisol.
Dampak stres akut dan kronis pada kesehatan manusia banyak sekali
ditemukan dan biasanya ditemukan dalam keadaan berat. Selama periode
stres meningkat, sel-sel kekebalan tubuh sedang dipenuhi oleh molekul yang
pada dasarnya menyebabkan penghentian proses pertahanan kekebalan
tubuh. Molekul-molekul ini, yaitu kortisol, menekan sistem kekebalan tubuh
dan jalur inflamasi, menyebabkan tubuh lebih rentan terhadap penyakit.
Tingkat stres yang tinggi, bahkan selama periode yang relatif singkat,
cenderung menghasilkan hasil yang sama, yaitu perpanjangan waktu
penyembuhan, penurunan kemampuan dalam pembentukan imunitas, dan
tingginya kerentanan terhadap infeksi virus. Dalam jangka panjang, paparan

kortisol secara konstan yang terkait dengan stres kronis menghasilkan gejala
lanjut, termasuk gangguan kognisi, penurunan fungsi tiroid, dan akumulasi
lemak perut, yang memiliki implikasi pada kesehatan jantung. Baik episode
stres akut maupun berkepanjangan, dapat memicu penurunan tingkat
kesehatan umum, sehingga paparan stres tersebut harus diminimalkan.
Seperti pada Cushings Syndrome, yang ditandai dengan sangat tingginya
kadar kortisol, dapat terjadi peningkatan berat badan, hiperhidrosis, dan
hiperkalemia, dan masalah-masalah psikologis dan endokrin (Randall,
2011).
Dalam sebuah studi epidemiologis, semua penyebab morbiditas akan
bertambah berat ketika diikuti dengan stresor berat. Teori menyatakan
bahwa peristiwa stres memicu respon afektif yang akan menstimulasi sistem
saraf simpatik dan perubahan endokrin. Hal tersebut berpotensi untuk
mengganggu fungsi sistem imun. Stres diduga mempengaruhi fungsi
kekebalan tubuh akibat manifestasi emosional dan tingkah laku seperti
gelisah, takut, marah ketegangan, kesedihan, serta perubahan fisiologis
seperti denyut jantung, tekanan darah, dan berkeringat. Para peneliti juga
menyatakan bahwa perubahan-perubahan tersebut memiliki efek positif
ketika dalam batas- batas tertentu. Sebaliknya, ketika kondisi tersebut tidak
stabil dan berlangsung secara kontinu akan berakibat negatif pada sistem
imunitas (Chrousos,2005).
Stres psikologi mengaktivasi SAM aksis yang mengatur denyut
jantung dan pelepasan katekolamin serta HPA aksis yang mengatur
pelepasan kortikosteroid dari kelenjar adrenal. Pada stres psikologi akut,
katekolamin secara dominan mempengaruhi sirkulasi sel NK (Ho, et al.,
2010).
Seperti halnya sistem saraf dan endokrin yang menyampaikan
infromasi untuk imun melalui neurotransmitter dan hormon, sistem imun
menyampaikan informasi kepada sistem saraf dan endokrin melalui sitokin
dan kemokin. Sitokin adalah mediator bioaktif larut yang dilepaskan oleh
berbagai tipe sel di perifer (seperti monosit dan makrofag) dan otak (seperti

mikroglia, astrosit, oligodendroglia, dan neuron) yang beroperasi dalam


hubungan yang kompleks dan berkerja secara sinergis atau antagonis.
Sitokin umumnya berhubungan dengan inflamasi, aktivasi imunitas, dan
diferensiasi atau kematian sel termasuk

interleukin (IL), TNF, INF,

kemokin dan faktor pertumbuhan (seperti brain-derived neurotrophic factor,


BDNF). Berdasarkan profil fungsional dari respon imun, produksi sitokin
diatur oleh T-helper 1 (Th1) yang umumnya memediasi respon inflamasi
seluler dan T-helper 2 (Th2) yang meningkatkan respon inflamasi humoral.
Sitokin pro-inflamasi seperti IL-1, IL-6, INF-, dan TNF-, meningkatkan
respon imun untuk membantu mempercepat eleminasi patogen sedangkan
sitokin anti-inflamasi seperti IL-4, IL-10, dan IL-3 berfungsi untuk
meredam sistem imun dengan menurunkan fungsi sel dan sintesis sitokin
pro-inflamasi (Kronfol dan Remick, 2000).
Sitokin inflamasi berhubungan dengan proses terbentuk hingga
rupturnya plak aterosklerosis, dimana hal tersebut merupakan patogenesis
utama dari penyakit jantung koroner. Selain itu, inflamasi juga memegang
peranan penting dalam patogenesis beberapa tipe gagal jantung. Secara
keseluruhan, sitokin inflamasi (CRP) pada penyakit arteri koroner dan
interleukin-6 (IL-6) pada gagal jantung dapat memprediksi tingkat
keparahan dan perkembangan penyakit baik pada individu yang sehat
maupun pada pasien dengan penyakit jantung koroner.
Ketika terjadi inflamasi, sirkulasi sel-sel imunokompeten mengalami
peningkatan. Makrofag dan sel glia (mikroglia dan astrosit) akan memicu
sekresi sitokin proinflamasi. Molekul sitokin proinflamasi termasuk IL-1,
IL-2, IL-6, IL-12, IFN-Gamma dan TNF-alfa selain meningkatkan sekresi
hormon stres juga dapat mempengaruhi pertumbuhan sel otak dan fungsi sel
saraf (Covelli, 2005).
Sitokin terlibat dalam modulasi aktivitas neuron di area seperti
amygdala, hippocampus, hipothalamus, dan korteks cerebri. Signal sitokin
perifer dapat mencapai otak lewat jalur humoral, saraf, dan seluler melalui 5
mekanisme : 1) pergerakan sitokin lewat area yang lemah dalam sawar

darah otak 2) transpor aktif melalui molekul transpor khusus sitokin pada
endotel otak, 3) aktivasi sel endotel dan induksi pelepasan second
messenger seperti prostaglandin dan nitrit oksida (NO), 4) transmisi melalui
serabut saraf aferen pada nervus vagus, dan 5) masuk dalam parenkim otak
melalui aktivasi monosit perifer (Capuron dan Miller, 2011).
Stres fisik atau psikologis dan infeksi atau inflamasi di otak maupun
perifer dapat memodulasi ekspresi sitokin pada sistem saraf pusat (SSP).
Respon imun akut memicu reaksi adaptif, sementara dan terkontrol oleh
SSP. Namun ketika respon imun menjadi kronis atau tidak terkendali karena
penyakit kronis, stres kronis, atau terapi sitokin, respon inflamasi kronis
yang dihasilkan berkontribusi dalam perkembangan perilaku maladaptif dan
gejala gangguan neuropsikiatri.

Sitokin dapat menyebabkan perubahan

perilaku lewat efeknya pada (i) fungsi neurotransmitter : sitokin dapat


mengubah metabolisme serotonin, dopamin, dan glutamat, (ii) aktivitas
neuroendokrin: sitokin dapat mengubah fungsi HPA axis melalui efek
stimulan pada ekspresi dan pelepasan CRH, hormon adrenokortikotropik
dan kortisol, (iii) neurogenesis : sitokin dapat mempengaruhi neurogenesis
melalui aktivasi faktor nuklir kappa-light-chain-enhancer sel B aktif (NFkB) dan (iv) sirkuit neuron : ganglia basalis dan korteks cingulata anterior
bagian subgenual dan dorsal adalah target daerah sitokin. Konsekuensi
perilaku efek ini termasuk depresi, kecemasan, kelelahan, psikomotor
melambat, anoreksia, gangguan kognitif dan gangguan tidur (Capuron dan
Miller, 2011).
Sebuah stressor psikologi akut meningkatkan sitokin proinflamasi
termasuk sel mononuklear, ekspresi gen IL-1B dan plasma interleukin 6 (IL6). Peningkatan ekspresi gen IL-1B dihubungkan secara positif dengan
denyut jantung dan kepekaan tekanan darah sistol. Sitokin juga
mempengaruhi otak dan menimbulkan perasaan malas, sakit dan lemah.
Sitokin ini dapat merangsang proliferasi dan perpindahan sel otot polos
melalui rangsangan faktor pertumbuhan lainnya yang memicu lesi koroner.
Mann menyarankan bahwa ekspresi jangka pendek dari stress aktivasi

sitokin dengan jantung mungkin menjadi sebuah respons adaptif untuk


stress, sebaliknya ekspresi jangka pendek dari molekul ini mungkin
sesungguhnya maladaptif dengan menghasilkan dekompensasi jantung
(Covelli, 2005).
Respon yang dihasilkan oleh sitokin sentral dan perifer pada stres
telah mendorong peran sitokin lebih lanjut dalam patogenesis gangguan
kecemasan. Bukti penelitian eksperimen dan klinis menunjukkan bahwa
stres dapat memicu reaksi inflamasi, diindikasian dengan peningkatan
sitokin pro-inflamasi di sirkulasi. Stres yang kronis, dengan memulai
perubahan pda HPA aksis dan sistem imun, dapat bertindak sebagai pemicu
kecemasan dan depresi (Leonard dan Myint, 2009).
Terdapat

bukti

yang

nyata

bahwa

depresi

dan

kecemasan

meningkatkan produksi sitokin proinflamasi termasuk IL-6. Di samping itu,


gejala depresi dapat menyebabkan disregulasi imunitas dan menimbulkan
konsekuensi kesehatan. Pasien gangguan kecemasan juga berhubungan
dengan perubahan imun. Sebagai contoh, pada pasien dengan gangguan
kecemasan menyeluruh, penurunan ekspresi receptor IL-2 oleh limfosit
berhubungan dengan pikiran intrusif yang lebih berat dan lamanya sakit
karena infeksi saluran napas atas (Kiecolt-Glaser et al., 2002).
Depresi juga berhubungan dengan peningkatan sitokin khususnya
CRP, IL-1, dan IL-6 baik pada pasien dengan riwayat penyakit jantung
maupun tidak. Dari dua penelitian terdapat bukti bahwa inflamasi
berhubungan dengan peningkatan gejala depresi

dan depresi mayor

berhubungan dengan perkembangan penyakit jantung dan mortalitasnya.


Terdapat dua mekanisme hubungan antara inflamasi, depresi, dan penyakit
kardiovaskular. Mekanisme yang pertama adalah kemungkinan terjadinya
interaksi neuro-imun. Pada hewan coba yang diinduksi kelelahan, terjadi
peningkatan sitokin inflamasi TNF-, dimana terjadi pula peningkatan
serotonin ekstraseluler di cortex prefrontal media. Terapi dengan
menggunakan agonis reseptor serotonin (5HT-1A) dapat mengurangi efek
kelelahan. Oleh karena itu, pada depresi, berkurangnya aktivitas serotonin

pada reseptor tersebut kemungkinan berhubungan dengan peningkatan


sitokin yang selanjutnya dapat berdampak pada kardiovaskular. Mekanisme
yang kedua adalah peningkatan sitokin seperti TNF- berhubungan dengan
peningkatan aktivitas enzim yang mendegradasi triptofan menjadi
kynurenine pada pasien CVD (Pop et al., 2011; Roest et al., 2012).
Sebuah studi mengenai psikoneuroimunologi membuktikan terdapat
korelasi positif antara kecemasan dan inflamasi, dimana pada orang cemas
ditemukan kadar IL-6, TNF-, dan CRP lebih tinggi dibandingkan orang
yang tidak cemas. Studi dalam populasi klinis menunjukkan bahwa tingkat
kecemasan berhubungan dengan kerusakan imunitas seluler. Gangguan
cemas yang secara khusus berhubungan dengan itu adalah PTSD, gangguan
panik, gangguan obsesif kompulsif, dan gangguan cemas menyeluruh
(ODonovan et al., 2010).
Evaluasi penyakit depresi dan GAD pada pasien penyakit jantung
koroner stabil menunjukkan hubungan yang signifikan antara CRP dan
GAD dan menyiratkan bahwa respon inflamasi yang berbeda dapat terjadi
dalam dua kondisi ini. Dua studi terbaru yang dilakukan pada 20 pasien
dengan GAD dan 20 kontrol yang sehat menunjukkan disregulasi fungsional
sel T pada individu dengan GAD melalui pemeriksaan profil sel T setelah
aktivasi kultur in vitro . Profil sitokin dalam GAD mengungkapkan bahwa
defisit

Th1 dan Th2 dikaitkan dengan fenotipe Th17 dominan, yang

ditingkatkan oleh substansi P. Komposisi kompartemen sel T perifer yang


sangat berubah dapat menyebabkan keadaan kekebalan tubuh terganggu,
yang mungkin menjelaskan mengapa beberapa pasien cemas menunjukkan
kerentanan meningkat terhadap infeksi, inflamasi dan penyakit autoimun
(Bankier et al., 2008; Vieira et al., 2010; Barros et al., 2011).
Hubungan antara depresi dan hiperaktivitas platelet dapat dimediasi
oleh serotonin. Serotonin ditemukan dalam darah dan platelet, yang
memainkan peran penting dalam aktivasi platelet. Apabila serotonin
berikatan dengan reseptor 5-hydroxytryptamine-2 (5HT2) di platelet, hal ini
menyebabkan pelepasan faktor pro koagulan yang disimpan dalam platelet

dan meningkatkan agregasi platelet, memicu pembentukan klot. Dalam


arteri koroner normal, pembentukan trombus dan iskemia dicegah melalui
rangsangan serotonin pada endotelium untuk melepaskan nitrit oksida, yang
mengakibatkan vasodilatasi di area sekitar klot.
Adhesi, aktivasi, dan agregrasi platelet merupakan kompenen penting
dalam penyakit jantung.

Serotonin memainkan peran kunci dalam hal

biologis platelet yaitu berikatan dengan reseptor 5-hydroxytryptamine (5HT) pada platelet. Di arteri dengan aterosklerosis, serotonin menyebabkan
agregasi

platelet.

Selanjutnya,

peningkatan

kadar

serotonin

darah

memprediksi CAD dan kejadian jantung iskemik di masa depan pada pasien
dengan dugaan CAD. SSRI, yang secara teoritis mengurangi cadangan
serotonin di trombosit dengan menghambat penyerapan serotonin oleh
trombosit, juga telah terbukti menurunkan agregasi platelet dan aktivitas in
vitro dan pada pasien dengan CAD. Secara bersama- sama, temuan ini
memberikan kepercayaan secara teori bahwa aktivitas serotonin pada
agregrasi trombosit berhubungan dengan infark miokard dan penyakit
jantung lain (Schins et al., 2004; Gehi et al., 2010).
Disfungsi trombosit juga terjadi pada pasien depresi berat atau ringan,
pasien depresi memiliki kelainan kadar serotonin pada darah dan trombosit,
konsentrasi reseptor serotonin pada platelet meningkat, dan tingkat
transporter serotonin yang rendah, hal ini menunjukkan bahwa trombosit
mereka

lebih peka terhadap serotonin dan kurang mampu untuk

menghapusnya dari aliran darah. Selain itu terdapat bukti bahwa terjadi
hiperreaktivitas trombosit pada pasien depresi. Disfungsi trombosit dan
serotonin bisa memediasi peningkatan risiko iskemik pada pasien ini.
Aktivitas neurohormonal

memegang kunci utama pada hubungan

antara depresi dan prognosis gagal jantung. Pada pasien gagal jantung kadar
katekolamin (epinefrin dan norepinefrin) yang beredar meningkat, terutama
pada pasien dekompensasi jantung dan tingginya kadar norepinefrin
berhubungan dengan tingginya mortalitas pada penyakit ini. Peningkatan
kadar katekolamin di plasma dan cairan serebrospinal pada pasien depresi

sebagai dampaknya dapat meningkatkan peningkatan mortalitas pada gagal


jantung (Schins et al., 2004; Gehi et al., 2010).
Abnormalitas pada HPA axis juga memainkan peran penting, dimana
kortisol secara independen berhubungan dengan mortalitas pada gagal
jantung dan pada depresi terjadi peningkatan kadar kortisol. Seperti
hiperkotisolemia, pada depresi kelainan yang berhubungan dengan HPA
juga mungkin berdampak ada kondisi medis pasien penyakit jantung lain.
Karena abnormalitas ini berhubungan dengan metabolisme, kondisi seperti
dislipidemia, obesitas, dan resistensi insulin juga berhubungan dengan
morbiditas dan mortalitas penyakit jantung (Bucceleti et al., 2009; Dao et
al., 2010).
Selain peningkatan sirkulasi katekolamin dan kortisol, abnormalitas
pada sistem saraf otonom juga berpengaruh pada hubungan antara depresi
dengan penyakit jantung. Jantung diinervasi oleh sistem saraf simpatis dan
parasimpatis, interaksi antara keduanya yang berlawanan membantu jantung
membuat perubahan dalam menghadapi stressor. Pasien dengan riwayat
jantung iskemik atau gagal jantung biasanya menunjukkan pola peningkatan
saraf simpatis dan penurunan saraf parasimpatis, manifestasinya adalah
penurunan sensitivitas barorefleks

dan variabilitas

denyut jantung

(Bucceleti et al., 2009; Kemp at al., 2010).


Pada depresi pasien dengan penyakit jantung maupun tidak juga
mengalami penurunan variailitas denyut jantung, dengan penyebab yang
sama yakni ketidakseimbangan antara saraf simpatis dan parasimpatis.
Penurunan HRV tampaknya berhubungan linear dengan keparahan depresi.
Selanjutnya pada pasien dengan depresi dan penyakit jantung koroner
mengalami penurunan HRV yang lebih besar dibandingkan dengan pasien
hanya dengan depresi atau peyakit jantung koroner. Peningkatan disfungsi
saraf otonom pada depresi kemungkinan menyebabkan perburukan
prognosis pada pasien dengan gagal jantung (Glassman et al., 2007; Kemp
et al., 2010).

Depresi secara konsisten berhubungan dengan rendahnya

level

BDNF. Diperkirakan signal BDNF memediasi neurogenesis hippocampus


yang berhubungan dengan penyembuhan depresi.

Selain itu obat

antidepresan SSRI juga meningkatkan kadar BDNF dan neurogenesis


hipocampus. BDNF juga mempunyai peranan penting dalam beberapa
proses fisiologis yang penting bagi kesehatan kardiovaskular. BDNF
diekspresikan oleh sel endotel dimana ia berperan dalam angiogenesis dan
pertahanan sel endotel yang meningkat ketika terjadi hipoksia. Ekspresi
BDNF diregulasi oleh sinyal neuron dari jantung setelah terjadi infark
miokard menariknya peningkatan ekspresi ini terjadi di otak bukan jantung,
dimana hal tersebut berefek pada penurunan kematian sel jantung dan
peningkatan fungsi sistolik (Castren et al., 2010; Hashimoto et al., 2010).
C. Kepribadian dan Penyakit Kardiovaskular
Pengertian kepribadian tipe A dan B pertama kali diperkenalkan oleh
Frieldman dan Ray Rosenman. Mereka menyimpulkan bahwa orang yang
mempunyai kepribadian tipe A sangat kompetitif dan berorientasi pada
pencapaian, merasa waktu selalu mendesak, sulit untuk bersantai dan menjadi
tidak sabar dan marah jika berhadapan dengan keterlambatan atau dengan
orang yang dipandang tidak kompeten. Walaupun tampak dari luar tipe A
sebagai orang yang percaya diri, namun mereka cenderung mempunyai
perasaan keraguan diri yang terus-menerus dan itu memaksa mereka untuk
mencapai lebih banyak dan lebih banyak lagi dalam waktu yang lebih cepat.
Sedangkan orang dengan tipe kepribadian B lebih mampu bersantai tanpa
merasa bersalah dan bekerja tanpa melihat nafsu, tidak harus tergesa-gesa
yang menyebabkan ketidaksabaran dan tidak mudah marah (Kreitner dan
Kinicki, 2005).
Kepribadian tipe A cenderung mempunyai semangat bersaing yang tinggi
dan ambisius, berbicara dengan cepat, suka menyela pembicaraan orang lain
dan sering terperangkap dalam kemarahan yang luar biasa. Sedangkan tipe B
cenderung tidak memiliki sifat yang ada pada tipe A memberikan uraian

tentang karakteristik kepribadian tipe A dan tipe B, tipe A mempunyai ciri-ciri


terburu-buru dalam menentukan sesuatu, asertif, senang dengan persaingan,
perfeksionis, ambisi dan polyphasic. Sedangkan tipe B mempunyai ciri-ciri
lebih santai dalam melakukan sesuatu, lebih sabar menunggu, kurang asertif,
menghindari persaingan, non perfeksionis, kurang ambisi dan non polyphasic
(Robin dan Judge, 2007) .
Orang-orang yang mempunyai tipe keribadian A memperlihatkan
kecenderungan agresif, cepat bosan, bicara dan berjalan dengan cepat,
mempunyai persaingan yang tinggi, suka menyela pembicaraan orang lain
yang ambisius. Sedangkan tipe kepribadian B menunjukkan karekteristik
bersikap tenang, santai, tidak terlalu memaksa diri dalam bekerja, tidak suka
bersaing dan lebih bisa memahami orang lain. Friedman (1984) menyebutkan
individu yang mempunyai kepribadian tipe A mempunyai ciri-ciri seperti
berikut:

Gaya bicara tajam dan sangat agresif

Selalu makan, berbicara dan berjalan cepat

Tidak sabar terhadap orang yang lamban, suka memotong pembicaraam


orang lain

Sering mengerjakan banyak hal dalam waktu yang bersamaan


(polyphasic)

Egois, hanya tertarik pada pembicaraan yang berhubungan dengan


dirinya dan mencoba mengarahkan pembicaraan sesuai dengan
kehendaknya

Merasa bersalah bila santai dan sulit tenang setelah selesai bekerja

Mengarah pada hal-hal yang sepatutnya dihargai

Tidak ada perhatian dan tidak bisa mengingat rincian suatu ruang

Bila disaingi tipe A lainnya akan terjadi keributan

Percaya bahwa keberhasilan dicapai dengan mengerjakan segala


sesuatu lebih cepat, sehingga ia terus bekerja dengan cepat

Sedangkan tipe kepribadian B mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

Gaya bicara lamban dan santai

Bebicara dan berjalan dengan santai

Sabar

Mengerjakan sesuatu pekerjaan satu persatu

Lebih bisa memahami orang lain

Bisa santai setelah selesai bekerja

Mengarah pada hal-hal yang memang patut dihargai

Selalu mengerjakan sesuatu tanpa memaksakan diri

Melakukan permainan untuk kesenangan, bukan kemenangan

Sulit untuk terus terang kerena takut menyakiti hati orang lain

Menurut (Denollet, 2005) kepribadian tipe D adalah kepribadian dengan


karakteristik berupa kecenderungan untuk mengekspresikan emosi negatif
dan sekaligus menghambat emosi tersebut dengan cara menghindari kontak
sosial terhadap lingkungannya. Individu dengan kepribadian tipe ini memiliki
skor yang tinggi dalam dimensi afek negatif dan penghindaran sosial. Ciri-ciri
dari afek negatif dideskripsikan dengan kecenderungan untuk :
a. berpikir negatif terhadap dirinya sendiri
b. memendam permusuhan
c. mudah mengalami depresi
d. mudah marah
e.

mudah merasa cemas.

Sementara dimensi penghindaran sosial dideskripsikan dengan :


a. mudahnya individu tersebut merasa tertekan
b. mudahnya individu merasa tidak aman dan nyaman dalam berinteraksi
dengan lingkungan
c. kecenderungan merasa takut tidak diterima atau dihargai lingkungan.
Individu dengan kepribadian tipe D cenderung memilih untuk menarik
diri daripada aktif berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Kedua dimensi
ini, afek negatif dan penghindaran sosial, dihubungkan dengan persepsi
individu tersebut akan lingkungan yang tidak mendukung dirinya (Sher,
2005).
Hubungan Tipe Kepribadian dengan Penyakit Kardiovaskular

Orang yang sering mengalami stres negatif sangat erat kaitannya dengan
tipe kepribadian yang bersangkutan. Telah banyak penelitian yang terfokus
pada peran psikososial dan faktor-faktor perilaku seperti gangguan depresi,
emosi-emosi

negatif

dan

isolasi

sosial

pada

penderita

penyakit

kardiovaskular. Konsep kepribadian juga diketahui berasosiasi dengan


kerusakan dan kegagalan pada penyakit jantung koroner. Satu dari sekian
banyak konsep kepribadian yang banyak diketahui yaitu Pola Perilaku Tipe A
(PPTA), yang dikarakterisasikan dengan agresivitas (aggressiveness),
permusuhan

(hostility),

urgensi waktu (time

urgency),

daya

saing

(competitiveness), daya juang untuk meraih prestasi (achievement striving).


Meskipun beberapa penelitian pada populasi umum atau populasi yang
berisiko tinggi terhadap PJK menunjukkan hubungan antara PPTA dan PJK,
namun masih meninggalkan kontroversi apakah PPTA merupakan faktor
risiko pada PJK, karena beberapa penelitian telah gagal untuk menunjukkan
kontribusi PPTA pada PJK. Poin lain menunjukkan bahwa beberapa
komponen PPTA menunjukkan asosiasi dengan PJK yaitu rasa marah dan
permusuhan (anger and hostility) (Dennolet, 2005).
Orang-orang pada tipe A dianggap lebih memiliki kecenderungan untuk
mengalami tingkat stress yang lebih tinggi, sebab mereka menempatkan diri
mereka sendiri pada suatu tekanan waktu dengan menciptakan suatu batas
waktu tertentu untuk kehidupan mereka. Hasilnya kepribadian ini
menghasilkan beberapa karakteristik perilaku tertentu. Kepribadian tipe A,
kecemasan dan hypervigilance diarahkan keluar sebagai kompetitif, agresif,
mudah tersinggung, dan kadang-kadang perilaku bermusuhan. Tipe
kepribadian A memiliki

mendapat

perhatian

sebagai

faktor

risiko

kardiovaskular potensi selama dua dekade, hasinya tipe kepribadian ini benarbenar berhubungan dengan kejadian kardiovaskular. Faktor psikologis,
misalnya emosi-emosi negatif terjadi seperti marah dan cemas, juga
merupakan faktor resiko terjadinya gangguan kardiovaskular. Pola perilaku
tersebut diidentifikasikan suatu pola kepribadian disebut pola perilaku tipe A
(type A Behavior Paterrn).

Konsep kepribadian yang baru-baru ini banyak mendapatkan sorotan


perhatian yaitu kepribadian tipe D (Type D Personality). Kepribadian tipe D
berkembang di Eropa berdasarkan penelitian pada pasien PJK di sana.
Menurut Johan Denollet (Denollet, 2005) orang dengan kepribadian tipe D
berisiko menimbulkan distres emosi dan psikososial, dan terganggunya
kualitas hidup. Oleh sebab itu kepribadian tipe D disebut juga sebagai the
distress

personality. Distres

psikologis

sering

diasosiasikan

dengan

patogenesis dan akibat dari berkembangnya penyakit jantung koroner tetapi


hanya sedikit yang mengetahui bahwa distres merupakan faktor yang turut
menentukan risiko penyakit jantung koroner. Individu dengan kepribadian
tipe D yang sudah didiagnosa sebagai penderita PJK memiliki prognosis yang
kurang baik terhadap penyakitnya.Menurut Denollet (2005), kepribadian tipe
D didefinisikan sebagai hasil interaksi antara negative affectivity (NA) dan
social inhibition (SI). Orang dengan tipe ini ditandai dengan perasaan
murung, cemas, dan takut untuk bersosialisasi dengan orang lain. Selain itu,
ciri khas tipe ini adalah memiliki hubungan pribadi lebih sedikit dengan orang
lain dan cenderung merasa kurang nyaman dengan orang asing. NA
didefinisikan sebagai kecenderungan seseorang untuk mengalami emosi yang
negatif, seperti perasaan depresi, kecemasan, kemarahan, dan perasaan
bermusuhan. Sementara itu, SI diartikan sebagai upaya menghindari untuk
terlibat dalam interaksi sosial, seperti perasaan tegang, tidak nyaman, dan
tidak aman ketika bertemu orang lain (Denollet, 2005). Berdasarkan
penelitian Denollet et al. (1996) yang disitasi oleh Sher (2005), kematian
akibat penyakit jantung meningkat 4 kali lipat pada pasien yang memiliki tipe
kepribadian D. Tipe D merupakan prediktor independen hipertensi, kematian
jantung, dan infark miokard.
D. Gangguan Psikiatri pada Penyakit Kardiovaskular
1. Gangguan Mood
a. Gangguan Depresi Mayor

Gangguan depresi mayor merupakan gangguan yang biasanya bersifat


berat dan berulang, yang berhubungan dengan berkurangnya fungsi dan
kualitas hidup, morbiditas, dan mortalitas. Perlu diperhatikan perbedaan
antara episode depresi mayor dan gangguan depresi mayor. Episode depresi
mayor termasuk episode depresi yang terjadi sebagai bagian dari gangguan
bipolar sementara pada gangguan depresi mayor, depresi pada gangguan
bipolar tidak termasuk. WHO menyebutkan bahwa depresi adalah penyebab
disability keempat tertinggi di dunia dan diperkirakan pada 2020 akan
menjadi penyebab kedua tertinggi. (Kessler dan Bromet, 2013).
Individu dengan gangguan depresi mayor mempunyai gejala depresi
yang lebih banyak, cenderung mempunyai gangguan yang relatif stabil
sepanjang waktu dan mempunyai lebih banyak keluarga yang berpenyakit
gangguan afektif. Gangguan ini mungkin hanya episode tunggal atau terjadi
berulang. Dibedakan selain keparahan gejalanya juga tingkat kesembuhan
dan lama kesembuhan. Jarak antara dua episode paling sedikit 2 bulan tanpa
ada gejala depresi yang berarti. Dapat menjadi episode depresi kronik bila
memenuhi kriteria lengkap untuk minimum 2 tahun. Biasanya lebih sering
relaps dan rekuren sehingga memerlukan terapi rumatan (Maramis dan
Maramis, 2010).
Berdasarkan PPDGJ III, gejala utama dari depresi adalah afek depresi,
kehilangan minat dan kegembiraan, dan berkurangnya energi yang menuju
meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa lelah yang nyata sesudah kerja
sedikit saja) dan menurunnya aktivitas. Sedangkan gejala lainnya adalah
konsentrasi dan perhatian berkurang, harga diri dan kepercayaan diri
berkurang, gagasan tentang rasa bersalah dna tidak berguna, pandangan
masa depan yang suram dan pesimistis, gagasan atau perbuatan
membahayakan diri atau bunuh diri, tidur terganggu, nafsu makan terganggu.
Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan
masa sekurang- kurangnya 2 minggu untuk penegakan diagnosis, akan tetapi
periode lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan
berlangsung cepat.
Saat ini ditemukan bahwa gangguan depresi mayor secara signifikan
berhubungan dengan gangguan fisik kronis, termasuk arthritis, asma, kanker,
penyakit kardiovaskular, diabetes, hipertensi, gangguan pernafasan kronis,

dan kondisi nyeri yang bervariasi (Kessler dan Bromet, 2013). Menurut
Macrides dan Nemeroff (2015), prevalensi gangguan depresi mayor
diperkirakan sebesar 17% hingga 27% pada pasien yang dirawat di rumah
sakit dengan penyakit arteri koroner.
Gangguan depresi mayor adalah faktor resiko penyebab yang
mendorong ke arah meningkatnya prevalensi penyakit fisik, termasuk
hubungannya dengan impairment dan meningkatnya resiko mortalitas.
Gangguan depresi mayor adalah prediktor yang konsisten untuk onset awal
dari penyakit arteri koroner, stroke, diabetes, heart attacks, dan beberapa
jenis kanker. Beberapa mekanisme biologis dikemukakan untuk menjelaskan
hubungan prospektif antara gangguan depresi mayor dengan gangguangangguan ini. Hal ini termasuk perilaku-perilaku terkait kesehatan yang
buruk yang berhubungan dengan gangguan depresi mayor, seperti tingginya
tingkat merokok dan konsumsi alkohol, obesitas, rendahnya kepatuhan
dalam terapi, dan bervariasinya disregulasi biologis, seperti hiperaktivitas
pada HPA Aksis, dan lemahnya fungsi imunitas. Namun, depresi juga
merupakan konsekuensi dari adanya penyakit fisik kronis, karena onset
depresi dapat muncul sesudah adanya penyakit fisik. Adanya depresi
komorbid sering dikaitkan dengan buruknya perjalanan penyakit. Beberapa
penyebab terlibat dalam hal ini, namun yang paling sering dikaitkan dengan
depresi adalah ketidakpatuhan dalam terapi (Kessler dan Bromet, 2013).

b. Distimia
Gambaran klinis distimia menurut DSM IV-TR adalah mood yang
disforik pada sebagain besar dari hari, paling sedikit telah berjalan 2
tahun, bersifat kronis, nonbipolar dan nonpsikotik, ditambah 2-6
gambaran gejala seperti depresi mayor. Dialami perempuan lebih
banyak dari pria sebesar 2: 1. Sering berkomorbidita dengan depresi
mayor, gangguan anxietas dan penyalahgunaan zat (Maramis dan
Maramis, 2010).
Menurut PPDGJ-III, pedoman diagnostik distimia adalah :
Ciri esensial ialah afek depresif yang berlangsung sangat lama yang
tidak pernah atau jarang sekali cukup parah untuk memenuhi

kriteria gangguan depresif berulang ringan atau sedang (F33.0 atau


F33.1).
Biasanya mulai pada usia dini dari masa dewasa dan berlangsung
sekurang- kurangnya beberapa tahun, kadang- kadang untuk jangka
waktu tidak terbatas.
Jika onsetnya pada usia lebih lanjut, gangguan ini seringkali
merupakan kelanjutan suatu episode depresif tersendiri (F32.) dan
berhubungan dengan masa berkabung atau stres lain yang tampak
jelas.
2. Gangguan Cemas
a.

Definisi Kecemasan
Kecemasan adalah suatu keadaan patologis yang ditandai oleh
perasaan ketakutan disertai tanda somatik sistem saraf otonom yang
hiperaktif (Sadock et al., 2009). Menurut Maramis (2009), kecemasan
dan ketakutan memiliki komponen fisiologis yang sama tetapi
kecemasan tidak sama dengan ketakutan. Penyebab kecemasan berasal
dari dalam dan sumbernya sebagian besar tidak diketahui sedangkan
ketakutan merupakan respon emosional terhadap ancaman atau
bahaya yang sumbernya berasal dari luar yang dihadapi secara sadar.
Kecemasan dianggap patologis bilamana mengganggu fungsi seharihari, pencapaian tujuan, dan kepuasan atau kesengan yang wajar.
Gangguan kecemasan (anxietas) adalah sekolompok kondisi
yang memberi gambaran penting tentang ansietas yang berlebihan
yang disertai respon perilaku, emosional dan fisiologis individu yang
mengalami gangguan ansietas (Videbeck, 2008).
Menurut DSM V, yang termasuk dalam gangguan cemas adalah
gangguan cemas perpisahan, mutisme selektif, fobia spesifik, fobia
sosial, gangguan panik, agorafobia, gangguan cemas menyeluruh,
gangguan cemas yang diinduksi zat/ pengobatan, gangguan cemas
yang berhubungan dengan kondisi medis, dan gangguan cemas tidak

khas. Diagnosis ditegakkan berdasarkan kriteria yang sudah


dibakukan (DSM V; ICD-10; PPDGJ-III).
Gangguan cemas biasanya sering dijumpai pada masa tumbuh
kembang yang diakibatkan rasa takut akan perpisahan dengan figur
yang melekat. Mutisme selektif adalah kegagalan ketika berbicara
dalam situasi tertentu, di mana pada situasi lain orang tersebut dapat
berbicara. Fobia spesifik ditandai dengan adanya rasa takut atau cemas
disertai dengan perilaku menghindar dari objek atau situasi tertentu.
Pada fobia sosial ditemukan rasa takut atau cemas tehadap interaksi
sosial

tertentu

di

mana

terdapat

kemungkinan

adanya

ketidaknyamanan seperti bertemu dengan orang asing, ataupun situasi


di mana orang tersebut harus tampil di depan orang banyak. Pada
gangguan panik ditandai dengan serangan panik tak terduga dan
sering takut akan munculnya kembali serangan panik. Agorafobia
berarti ketakutan patologik tehadap tempat terbuka atau tempat umum.
Pada gangguan cemas menyeluruh terdapat kecemasan umum yang
berlangsung sekurang-kurangnya selama satu bulan dan tidak ada
hubungan dengan objek tertentu (APA, 2013).
Pada gangguan cemas, yang paling berperan adalah amygdala
dan sirkuit cortico striato talamo ccrtical (CTSC) yang berperan dalam
gejala cemas. Neurokimia yang paling berperan adalah GABA,
sehingga psikofarmaka yang paling sering digunakan untuk mengatasi
kecemasan adalah benzodiazepin yang mempunyai efek anxiolitik,
walaupun akhir-akhir ini sedang dikembangkan juga penelitian
mengenai efek serotonin dan norepinefrin pada kecemasan (Stahl,
2013).
Prevalensi gangguan cemas pada populasi dengan penyakit
jantung cukup tinggi, yakni antara 28% sampai 44% pada kelompok
usia yang lebih muda. Pada kelompok usia yang lebih tua, prevalensi
gangguan cemas diperkirakan antara 14% sampai 24%. Pasien dengan
penyakit jantung koroner yang stabil memiliki tingkat kecemasan

yang lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum, dengan


prevalensi antara 16% sampai 42%. Gangguan cemas yang sering
terjadi pada pasien dengan penyakit jantung koroner adalah gangguan
cemas menyeluruh dimana prevalensinya sekitar 12%, fobia sosial
9%, gangguan panik dan agorafobia 2% (Parker et al., 2010).
b. Macam- Macam Gangguan Cemas :
1) Gangguan Cemas Menyeluruh
a) Definisi
Menurut DSM-IV (Diagnosis Statistical and Manual of
Mental Disorder) yang dimaksud dengan gangguan cemas
menyeluruh adalah suatu keadaan ketakutan atau kecemasan
yang berlebih-lebihan, dan menetap sekurang-kurangnya selama
enam bulan mengenai sejumlah kejadian atau aktivitas disertai
oleh berbagai gejala somatik yang menyebabkan gangguan
bermakna pada fungsi sosial, pekerjaan, dan fungsi-fungsi
lainnya. Sedangkan menurut ICD-10 (International Statistical
Classification of Diseases) gangguan ini merupakan bentuk
kecemasan yang sifatnya menyeluruh dan menetap selama
beberapa minggu atau bulan, yang ditandai oleh adanya
kecemasan tentang masa depan, ketegangan motorik, dan
aktivitas otonomik yag berlebihan.
Angka prevalensi untuk gangguan cemas menyeluruh
adalah 2-8% dan rasio antara perempuan dan laki-laki sekitar
2:1. Onset terjadinya pada masa remaja akhir atau dewasa muda,
tetapi juga sering ditemukan pada orang tua. (Sadock et al.,
2009)
b) Gejala dan Tanda
Gangguan cemas menyeluruh (Generalized Anxiety
Disorder/ GAD) ditandai dengan adanya kecemasan atau
kekhawatiran yang menetap, berlebihan, dan tidak rasional
bahkan tidak realistik terhadap berbagai peristiwa kehidupan

sehari-hari. Kondisi ini dialami hampir sepanjang hari,


berlangsung sekurangnya selama 6 bulan. Kecemasan yang
dirasakan sulit untuk dikendalikan dan berhubungan dengan
gejala-gejala somatik seperti ketegangan otot, iritabilitas,
kesulitan

tidur, dan kegelisahan

sehingga

menyebabkan

penderitaan yang jelas dan gangguan yang bermakna dalam


fungsi sosial dan pekerjaan (Sadock et al., 2009).
Gejala utama GAD adalah anxietas atau kecemasan,
ketegangan motorik, hiperaktivitas otonom, dan kewaspadaan
secara

kognitif.

Kecemasan

bersifat

berlebihan

dan

mempengaruhi berbagai aspek kehidupan sosial. Ketegangan


motorik bermanifestasi sebagai bergetar, kelelahan, dan sakit
kepala. Hiperaktivitas otonom timbul dalam bentuk pernafasan
yang pendek, berkeringat, palpitasi, dan disertai gejala saluran
pencernaan. Terdapat juga kewaspadaan kognitif dalam bentuk
iritabilitas (Elvira, 2009).
c) Kriteria Diagnosis
Kriteria diagnosis gangguan cemas menyeluruh menurut
DSM V , adalah :
Kecemasan atau kekhawatiran yang berlebihan yang timbul
hampir setiap hari, sepanjang hari, terjadi selama kurang dari
6 bulan tentang sejumlah aktivitas atau kejadian (seperti
pekerjaan atau aktivitas sekolah).
Penderita merasa sulit untuk mengdalikan kekhawatirannya.
Kecemasan dan kekhawatiran disertai tiga atau lebih dari
enam gejala berikut ini : kegelisahan, merasa mudah lelah,
sulit berkonsentrasi atau pikiran menjadi kosong, iritabilitas,
ketegangan otot, dan gangguan tidur (dengan sekurangnya
beberapa gejala lebih banyak terjadi dibandingkan tidak
terjadi selama 6 bulan terakhir.

Kecemasan, kekhawatiran, atau gejala fisik menyebabkan


penderitaan yang bermakna secara klinis, atau gangguan pada
fugsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lain.
Ganguan yang terjadi bukan karena efek fisiologis langsung
dari suatu zat (misalnya penyalahgunaan medikasi) atau
kondisi medis umum (hipertiroidisme),
Gangguan tidak bisa dijelaskan oleh gangguan mental lain,
misalnya kecemasan atau ketakutan akan serangan panik
(seperti pada gangguan panik), merasa malu pada situasi
umum (seperti pada fobia sosial, kontaminasi atau obsesi
yang lain (pada obsesif kompulsif), merasa jauh dari rumah
atau saudara dekat (pada gangguan cemas perpisahan),
menderita

keluhan

fisik

berganda

(pada

gangguan

somatisasi), atau menderita penyakit serius (seperti pada


hipokondriasi).
2) Gangguan Panik
Panik berasal dari kata Pan yaitu nama Dewa Yunani yang
tinggal dipergunungan dan hutan serta mempunyai tingkahlaku
yang sulit diramalkan. Riwayat Gangguan Panik ini berasal dari
konsep yang dikemukakan oleh Jacob Mendes DaCosta (18331900) gejala-gejala seperti serangan jantung yang ditemukan pada
tentara-prajurit Perang Saudara Amerika. Gejala DaCosta meliputi
gejala psikologik dan somatik (Sadock, 2009; Taylor, 2008).
Prevalensi hidup gangguan panik kira-kira 1-4% populasi,
sedangkan serangan panik sekitar 3-6%. Wanita 2-3 kali lebih
banyak menderita gangguan ini dibanding laki-laki. Gangguan
Panik bisa terjadi kapan saja sepanjang hidup, onset tertinggi usia
20-an, ditandai dengan perasaan serangan cemas tiba-tiba dan terus
menerus,sesak nafas, disertai perasaan akan datangnya bahaya,
serta ketakutan akan kehilangan kontrol atau menjadi gila. Bila
tidak diobati beresiko terjadinya ide bunuh diri dan percobaan

bunuh diri. Penatalaksanaan yang tepat kombinasi farmakoterapi


dengan psikoterapi akan memberikan hasil yang lebih baik
(Sadock, 2009; Taylor et al., 2009).
Gangguan Panik (Panic Disorder) adalah satu perasaan
serangan cemas mendadak dan terus menerus disertai perasaan
perasaan akan datangnya bahaya/ bencana, ditandai dengan
ketakutan yang hebat secara tiba-tiba. Gangguan Panik disebut juga
Anxietas Paroksismal Episodik (Sadock, 2009; Han et al., 2009).
Serangan panik menunjukkan beberapa gejala anxietas yang
berat dengan onset cepat. Gejala mencapai puncaknya dalam 10
menit, tapi juga bisa dalam beberapa detik. Pasien mengeluh nafas
pendek, sesak nafas, tremor, pusing, merasa panas atau dingin, ada
depersonalisasi dan derealisasi. Pasien dengan serangan panik akan
berulangkali mencari pertolongan, sering dibawa ke Instalasi
Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit. Bila tidak diobati serangan
panik akan berulang dan pasien akan berulangkali mengunjungi
dokter atau seringkali dibawa ke IGD. Semakin lama pasien akan
menghindari tempat-tempat atau situasi serangan paniknya pernah
terjadi terutama tempat kegiatan sosial atau tempat dimana susah
untuk menyelamatkan diri dan bisa jatuh pada Agorafobia.
Serangan panik akan berkurang dirumah, berada bersama pasangan
atau orang yang dikenal sehingga bisa membantu bila terjadi
serangannya.
Gangguan Panik merupakan serangan panik yang berulangulang dengan onset cepat dan durasi sangat singkat. Karena adanya
gejala- gejala fisik pada waktu serangan, pasien menjadi ketakutan
mereka akan mendapat serangan jantung, stroke dan lain-lain.
Kadang pasien berfikir mereka akan kehilangan kontrol (Sadock et
al., 2009; Bagot et al., 2007; Han et al., 2009).

Diagnosis

Serangan

panik

menurut

Diagnostic

and

Statistical Manual of Mental Disorder V (DSM V) adalah sebagai


berikut :
Adanya satu periode ketakutan sangat hebat atau kegelisahan
dimana 4 (empat) atau lebih gejala-gejala dibawah ini dapat
ditemukan dan mencapai puncaknya dalam waktu 10 menit :
1.

Palpitasi, jantung terasa berat dan peningkatan denyut


jantung.

2.

Keringat banyak.

3.

Menggigil atau gemetaran.

4.

Perasaan nafasnya pendek atau tertahan-tahan.

5.

Merasa tercekik.

6.

Nyeri dada.

7.

Mual atau rasa tidak nyaman diperut.

8.

Merasa pusing, goyang/hoyong, kepala terasa ringan atau


nyeri.

9.

Derealisasi

(merasa

tidak

didunia

realita),

atau

depersonalisasi (merasa terpisah dari diri sendiri).


10. Takut kehilangan kendali diri atau menjadi gila.
11. Takut mati.
12. Parestesia (menurunnya sensasi).
13. Merasa kedinginan atau merah kepanasan.
Paling sedikit satu serangan panik diikuti dalam jangka waktu 1
bulan (atau lebih) oleh satu (atau lebih) keadaan- keadaan
berikut:
1. Khawatir tentang implikasi daripada serangan panik atau
akibatnya (misal: hilang kendali diri, mendapat serangan
jantung atau menjadi gila).
2. Adanya

perubahan

yang

bermakna

sehubungan dengan adanya serangan panik.

dalam

perilaku

Serangan Panik tidak disebabkan oleh efek fisiologis langsung


dari satu zat (misal: penyalahgunaan zat atau obat- obatan) atau
kondisi medis umum (hipertiroid).
Serangan Panik tidak bisa dimasukkan pada gangguan mental
emosional lain.
E. Terapi Gangguan Psikiatri pada Penyakit Kardiovaskular
1. Medikamentosa
a. Anti Depresan
1) Klasifikasi Antidepresan
Golongan

Farmakologis dan

Contoh Obat

Norepinephrine

Kimia
Tertiary
amine

Amitriptyline,

Re-uptake

tricyclic

Clomipramine,

Secondary

Dosulepine (Dothiepin)
Imipramine,
Lofepramin,

Inhibitors
amine

tricyclic

Doxepin,

Trimipramine, Amoxapine,
Desipramine, Nortriptyline,

SSRIs

Tetracyclics
2-aminoethyl oxime
ethers

MAOI
Irreversible,
nonselective
MAOI
Reversible,
Selective
Atypical
Antidepressant

Protiptylin
Maproptiline, Mianserin
Fluvoxamine

of

aralkylketones
Bicyclic phthalanes
Cyclic propylamines
Naphtylamines
Phenylpiperidines
Hydrazines
Cyclopropylamines

Citalopram, Escitalopram
Fluoxetine
Sertraline
Paroxetine
Isocarboxazid, Phenelzine
Traylcyromine

Benzamides

Meclobomide

Aminoketones
Morpholones
Phenehylamine

Bupropion
Reboxetine
Venlavaxine

bicyclic
Phenylpiperazines

Nefazodone, Trazodone

Tetracyclic

Mirtazapine

piperazinoazepine
Thiazepines

tianeptine

(Maharatih et al, 2009)


2) Pengaruh ke Sistem Kardiovaskular
Selective Serotonine Reuptake Inhibitor (SSRI) dianggap
lebih aman dan efektif bagi pasien dengan penyakit jantung karena
SSRI jarang menimbulkan efek samping yang merugikan
sebagaimana Antidepresan Tricyclic Amine. Mekanisme potensial
SSRI dalam menurunkan risiko serangan jantung melibatkan
perannya dalam penurunan aktivitas platelet (Jeff et al., 2010).
Secara spesifik SSRI berperan dalam peningkatan level serotonin
pada reseptor, reduksi aktivasi platelet, dan restorasi variabilitas
denyut jantung. Penggunaan SSRI harus berdasarkan evaluasi
gejala psikiatri. SSRI juga bekerja pada tingkat platelet sehingga
memiliki efek antitrombotik dan profibrinolitik (Stefanatou et al.,
2010). Selain itu, SSRI menghambat re-uptake serotonin di
terminal presinaptik, mengakibatkan peningkatan konsentrasi
serotonin di celah sinaptik. Serotonin dapat menyebabkan
vasokonstriksi arteri koroner pada pasien dengan aterosklerosis dan
peningkatan agregasi platelet (Mavrides dan Nemeroff, 2015).
Antidepresan yang aman untuk penderita penyakit
kardiovaskular yang mengalami depresi dan sedikit menimbulkan
interaksi dengan obat-obatan kardiovaskular adalah Sertraline dan
Citalopram yang merupakan antidepresan golongan SSRI (Davies
et al., 2004). Sertraline dan Citalopram merupakan antidepresan
lini pertama bagi pasien dengan penyakit jantung koroner (Jeff et
al., 2010). Pada tahun 2011, FDA mngeluarkan aturan bahwa
citalopram tidak boleh digunakan pada dosis di atas 40 mg/hari
karena dosis yang lebih tinggi dapat mengubah aktivitas listrik
jantung, dan dosis yang lebih tinggi tidak memberikan manfaat
tambahan dalam pengobatan depresi. Pada lanjut usia disarankan

dosis citalopram tidak lebih dari 20 mg/hari (Mavrides dan


Nemeroff, 2015).
Antidepresan Tricyclic Amine tidak menjadi pillihan pertama
untuk pengobatan depresi pada penderita penyakit kardiovaskular
karena efek kardiotoksik yang dapat ditimbulkan seperti aritmia,
hipotensi ortostatik, hipertensi, palpitasi, dan perlambatan konduksi
(Maharatih et al., 2009). Misalnya: amitriptyline dan nortriptyline
sebaiknya dihindari penggunaannya pada pasien dengan penyakit
jantung, karena efek kardiotoksik yang ditimbulkannya berupa:
hipotensi

ortostatik,

takikardi

akibat

efek

antikolinergik,

pemanjangan kardiak interval (kompleks QRS dan interval QT) dan


adanya sifat pro aritmik (Jeff et al., 2010). Tricyclic Amine
menghalangi

re-uptake

norepinefrin

dan

atau

serotonin.

Norepinefrin mengikat bagian perifer untuk alfa dan -adrenergik


reseptor, yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah,
denyut jantung, dan kontraktilitas jantung dan pembuluh darah.
Pada

pasien

dengan

penyakit

kardiovaskular,

ini

dapat

meningkatkan iskemia, nyeri dada, hipertensi, dan aritmia. Efek


dari Tricyclic Amine pada jantung mirip dengan obat antiaritmia
kelas I, yang dapat memperpanjang konduksi intraventrikular
sekunder ke saluran natrium blokade. Tricyclic Amine juga
menghambat komponen yang menonaktifkan cepat saluran kalium
yang memperpanjang interval QT. Perpanjangan berlebihan pada
QT dapat menyebabkan torsades de pointes, yang dapat terjadi
ketika Tricyclic Amine digunakan dengan obat lain yang juga
memperpanjang interval QT. Selain itu, Tricyclic Amine dapat
menyebabkan blok atrioventrikular derajat 1 dan 2, asistol, dan
sudden death ((Mavrides dan Nemeroff, 2015).
Golongan atipikal antidepresan mungkin dapat digunakan
untuk

pengobatan.

Venlafaxine

kemungkinan

menyebabkan

peningkatan tekanan darah. Reboxetine kemungkinan mengubah

kontrol dari terapi hipertensi dan dapat meningkatkan denyut


jantung (Davies et al., 2004).
Golongan MAOI dapat menginduksi terjadinya hipotensi
ortostatik (Davies et al., 2004).
3) Interaksi dengan Obat Kardiovaskular lainnya
Pemberian SSRI harus diperhatikan jika

diberikan

bersamaan dengan obat antihipertensi, antilipidemia, maupun


regulator denyut jantung yang dimetabolisme oleh isoenzim
CYP2D6, CYP3A4, CYP1A, dan CYP2C (Stefanatou et al., 2010).
Fluoxetine dan Paroxetine yang termasuk dalam golongan SSRI,
berpotensi

menimbulkan

kardiovaskular

seperti,

interaksi

simvastatin,

dengan

obat-obatan

amlodipine,

diltiazem,

propranolol, dan metoprolol (Davies et al., 2004).


b. Anti Anxietas
1) Klasifikasi Anti-ansietas
Golongan
Antihistamin
Benzodiazepine

Farmakologis dan
Kimia
Piperazine
Benzodiazepine

Contoh Obat
Hydroxyzines
Alprazolam, bromazepam,
clobazam, diazepam, ethyl
loflazepate

prazepam,

chlordiazepoxide,
cloxazolam,
fludiazepam,

etizolam,
lorazepam,

medazepam, nordazepam,

Non-Benzodiazepine

Azaspirodecanedione
Carbamate

oxazepam,

oxazolam,

pinazepam,

clorazepate,

tofisopam
Buspirone, Tandospirone
meprobamate

(Maharatih et al, 2009)


2) Pengaruh ke Sistem Kardiovaskular
Benzodiazepine bermanfaat dalam mengurangi rasa cemas
yang akut dan efektif dalam pengobatan beberapa gangguan cemas
(misalnya: gangguan panik). Obat ini efektif dan baik digunakan

pada pasien yang baru saja mengalami iskemia miokard dengan


gejala cemas yang meningkatkan denyut jantung, tekanan darah, dan
masalah fisiologis lainnya. Obat ini memiliki beberapa efek
fisiologis

yang

menguntungkan

meliputi:

penurunan

level

katekolamin secara akut dan mengurangi resistensi pembuluh darah


koroner (Jeff et al., 2010).
Benzodiazepine memiliki beberapa kelemahan, yaitu :
(1) meningkatkan risiko jatuh, karena memiliki efek samping sedasi
(2) menyebabkan depresi pernapasan pada penggunaan dalam dosis
yang tinggi
(3) mengakibatkan ketergantungan fisik pada penggunaan jangka
panjang
(4) tidak dapat mengobati gejala depresi
Terlepas dari adanya sejumlah kelemahan, agen anxiolytic ini
secara substansial efektif bagi penderita penyakit jantung iskemia
yang juga menderita gangguan cemas. Sementara bagi penderita
depresi dan gangguan cemas formal, antidepresan juga sering
menjadi pilihan terapi (Jeff et al., 2010).
Secara keseluruhan, benzodiazepin dan buspirone secara klinis
aman

dan

efektif

pada

pasien

dengan

penyakit

jantung.

Benzodiazepin telah terbukti meningkatkan denyut jantung secara


akut, tetapi ia juga terbukti dapat mengurangi vagal tone dan
variabilitas periode jantung. Hal ini berkemungkinan besar
disebabkan oleh potentiating -aminobutyric acid yang dapat
mengurangi kecemasan dan aktivasi sistem saraf simpatik,
menurunkan denyut jantung dan tanggapan pressor terhadap stres. Di
sisi lain, buspirone, dalam sebuah penelitian, telah dikaitkan dengan
penurunan tekanan darah awal, sehingga dapat menanggulangi
peningkatan denyut jantung sebagai respons terhadap stres
(Schulman et al., 2005).
3) Interaksi dengan Obat Kardiovaskular lainnya
Alprazolam dapat meningkatkan efek amfetamin, beta bloker
tertentu,

dekstrometorfan,

fluoksetin,

lidokain,

paroksetin,

risperidon, ritonavir, antidepresan trisiklik dan substrat CYP2D6


lainnya (Jeff et al., 2010).
2. Psikoterapi
Psikoterapi efektif bagi pasien dengan penyakit jantung yang juga
mengalami depresi atau cemas, meskipun terapi ini kurang efektif dalam
memperbaiki outcome medis pasien jika dibandingkan dengan pemberian
antidepresan (Jeff et al., 2010).
Psikoterapi Kelompok dan Keluarga
Pendekatan kelompok memberikan kontak interpersonal dengan
orang lain yang menderita penyakit yang sama dan memberikan
dukungan untuk pasien yang takut akan ancaman isolasi dan pengabaian.
Terapi kelompok memberikan harapan perubahan hubungan antara
anggota keluarga yang sering mengalami stress dan bersikap bermusuhan
pada anggota keluarga yang sakit (Kaplan dan Sadock, 2009).
Tinggal bersama

dengan penderita depresi sangat melelahkan.

Namun peran keluarga sangat penting untuk membantu dalam


menyembuhkan penyakit tersebut. Berikut adalah beberapa saran untuk
hidup dengan orang yang depresi yang dapat membuat segalanya lebih
mudah bagi keluarga dan lebih bermanfaat bagi orang yang depresi :

Mendorong orang yang depresi untuk mencari bantuan profesional.


Pastikan pengobatan dilakukan oleh seorang profesional dalam
kesehatan jiwa sebagai contoh psikiater sehingga diagnosa yang
tepat dan pengobatan dapat dimulai tanpa penundaan.

Mendidik pasien dan keluarga tentang depresi sehingga keluarga


dapat memahami apa yang pasien itu mengalami. Ada banyak
organisasi
memberikan
dideritainya.

dan

kelompok-kelompok

informasi

lebih

lanjut

pendukung
tentang

yang

dapat

penyakit

yang

Ketahuilah bahwa depresi adalah gangguan dengan komponen


biologis, psikologis, dan interpersonal, dan bukan dari kelemahan

pribadi atau kegagalan.


Anggota keluarga haruslah membantu pasien mengikuti rencana
pengobatan yang diresepkan dan mempraktekkan teknik- teknik
penanggulangan dan kemampuan menyelesaikan masalah yang dia

belajar selama psikoterapi.


Pastikan obat pasien tersedia jika diresepkan, menghadiri sesi terapi
dengan pasien jika diperlukan, mendorong pasien untuk mengikuti
perubahan gaya hidup yang direkomendasikan dan menindaklanjuti

dengan penyediaan layanan kesehatan yang layak.


Menawarkan dukungan yang konsisten untuk pasien. Hal ini dapat
merupakan salah satu bagian yang paling penting dari rencana
perawatan. Orang dengan depresi dapat merasa sendirian dan
terisolasi. Memberikan dukungan yang konsisten dan pemahaman
sedikit sebanyak membantu memulihkan semangat pasien (Pozuelo

et al., 2009).
3. Latihan dan Rehabilitasi Jantung
Latihan adalah antidepresan yang efektif dan berhubungan dengan
penurunan derajat kecemasan, serta memiliki beberapa manfaat
kardiovaskular. Penelitian tentang latihan (30 menit berjalan/lari kecil
secara kontinu untuk mencapai denyut jantung target, 3 kali perminggu
selama 16 minggu) pada penderita depresi, menunjukkan bahwa latihan
yang teratur sama efektifnya dengan sertraline untuk mengobati depresi.
Follow-up atas penelitian pertama, enam bulan setelah akhir studi,
menemukan perbaikan gejala depresi pada pasien dalam kelompok
latihan yang bertahan lebih lama jika dibandingkan dengan kelompok
yang memperoleh terapi antidepresan saja (Jeff et al., 2010).
Penerapan latihan dan rehabilitasi jantung bagi penderita penyakit
jantung merupakan sebuah tantangan, terutama bila disertai dengan
adanya gejala depresi atau cemas. Telah dibahas sebelumnya bahwa
penderita penyakit jantung yang juga mengalami depresi lebih rendah

kepatuhannya untuk melakukan latihan dibandingkan pasien serupa yang


tidak mengalami depresi. Pasien- pasien semacam ini juga lebih rendah
kepatuhannya untuk menjalani rehabilitasi jantung secara teratur. Rasa
cemas juga mengurangi tingkat partisipasi terhadap program ini (Jeff et
al., 2010).
4. Dampak Pengobatan Terhadap Kondisi Psikiatri Pasien
Pasien dengan penyakit jantung, terutama dengan riwayat iskemia,
mungkin mendapat beberapa jenis obat untuk mencegah rekurensi dan
komplikasi pasca serangan. Beberapa obat yang rutin diberikan, seperti:
aspirin, clopidogrel, warfarin, ACE- inhibitor, dan nitrat tidak
berhubungan dengan efek psikiatrik (Jeff et al., 2010).
Pengobatan hiperkolesterolemia dengan statin diduga dapat
menyebabkan timbulnya gejala depresi bahkan perilaku bunuh diri.
Namun

sejumlah

kenyataannya

penelitian

penggunaan

menolak

statin

dugaan

dalam

ini

jangka

karena

pada

panjang

justru

berhubungan dengan perbaikan kondisi psikososial penderita. Pemberian


-blocker

juga

sempat

menimbulkan

polemik,

karena

diduga

meningkatkan depresi dan rasa lelah. Sebuah studi meta-analisis


menyimpulkan bahwa penggunaan -blocker tidak meningkatkan gejala
depresi namun sedikit meningkatkan risiko kelelahan dan disfungsi
seksual. Di sisi lain, -blocker khususnya propranolol diketahui
bermanfaat dalam pengobatan cemas dan agresi (Jeff et al., 2010).
F. Gangguan Psikiatri dengan Gejala menyerupai Penyakit Kardiovaskular
Kondisi kesehatan jiwa seseorang dapat dilihat sebagai suatu keadaan
yang melibatkan faktor biologis, psikologis, dan sosial orang tersebut. Secara
biologis, gangguan pada kondisi kesehatan jiwa seseorang diakibatkan karena
ketidakseimbangan sistem hormon dan neurotransmiter di otak. Secara
psikologis, gangguan kondisi kesehatan jiwa disebabkan oleh mekanisme
adaptasi psikis individu yang tidak bekerja dengan baik. Sementara, secara
sosial, kondisi gangguan kesehatan jiwa dapat dipicu oleh lingkungan yang
tidak nyaman, serta penuh dengan tekanan dan ketakutan (Andri, 2011).

Keluhan psikosomatik sering ditemukan pada praktik klinis sehari-hari.


Dokter

umum

juga

seringkali

mendapati

pasien

dengan

keluhan

psikosomatik. Kepustakaan melaporkan lebih dari 50% pasien dengan


keluhan fisik yang tidak mempunyai penyebab objektif dari keluhannya itu.
Keluhannya bisa dari kelelahan, nyeri dada, batuk, nyeri punggung, napas
pendek, hingga berbagai keluhan yang melibatkan organ tubuh. Keluhan yang
juga sering disebut Medically Unexplained Physical Symptoms (MUPS)
sebenarnya merujuk pada suatu kondisi gangguan kejiwaan yang tergabung
dalam golongan besar gangguan somatoform (Andri, 2011).
Gangguan somatoform mempunyai beberapa sub-gangguan yaitu,
gangguan somatisasi, gangguan hipokondriasis, gangguan nyeri, gangguan
citra tubuh, dan gangguan konversi. Gangguan somatisasi didiagnosis sesuai
dengan pedoman Diagnostic Statistic Manual (DSM) IV dengan kriteria
berikut: (1) riwayat keluhan fisik yang sering terjadi selama beberapa tahun
yang dimulai sebelum usia 30 tahun dengan hendaya yang nyata walaupun
pengobatan telah dilakukan; (2) dalam suatu masa sakit harus ada empat
gejala/gangguan yang setidaknya di empat fungsi yang berbeda; setidaknya
terdapat dua gejala sistem gastrointestinal, setidaknya satu keluhan seksual
selain nyeri berhubungan badan misalnya disfungsi ereksi yang terjadi
kadang-kadang, setidaknya satu gejala pseudoneurologi yang tidak terbatas
pada nyeri misalnya kelemahan, kebutaan, kejang, dan amnesia (Andri,
2011).
Gangguan hipokondriasis didiagnosis sesuai dengan pedoman diagnosis
gangguan jiwa DSM IV, dengan kriteria sebagai berikut: (1) adanya
preokupasi atau pikiran yang terus menerus mengenai suatu kondisi penyakit
yang serius berdasarkan kesalahan mengintepretasikan gejala, walaupun pada
pemeriksaan klinis dan penunjang tidak ditemukan adanya dasar untuk
keluhan tersebut; (2) keluhan tersebut bukanlah keluhan yang bersifat waham
somatik atau sesuatu yang berhubungan dengan citra tubuh seperti pada
kondisi gangguan citra tubuh; (3) preokupasi tersebut menyebabkan distress
dan disfungsi pada pasien; (4) durasi keluhan minimal enam bulan; dan (5)

preokupasi tersebut bukanlah keluhan tambahan dari kondisi gangguan


cemas, gangguan depresi berat, atau sub gangguan somatoform yang lain.
Berbeda dengan gangguan somatisasi, gangguan hipokondriasis hanya
mengeluhkan satu penyakit yang dirasakan berat. Keluhan itu terus
dikeluhkan walaupun berbagai macam pemeriksaan telah membuktikan tidak
adanya penyebab fisis yang mendasarinya (Andri, 2011).
Distres adalah pengalaman tidak menyenangkan sebagai akibat dari
penilaian dan keyakinan individu bahwa dirinya tidak mempunyai strategi
mengatasi stresor secara efektif. Reaksi distress dapat berupa perasaan
sedih, kecewa, cemas, marah, takut mati, hilangnya gairah seksual;
reaksi pikiran seperti menyalahkan diri sendiri, tidak berdaya, pandangan
negatif terhadap diri dan orang lain, merasa berdosa; reaksi psikomotor
berupa menangis, gelisah; dan reaksi fisiologis seperti migrain, gangguan
siklus menstruasi, nyeri saat berhubungan seksual, mual, kepala terasa
berat, sesak nafas, jantung berdebar-debar, lemas, dan pingsan (Susana,
2010).
Proses
dalam

somatisasi

bentuk gejala

adalah
atau

pengkomunikasian

keluhan

fisik

sebagai

distres

psikologis

akibat tingginya

alosentrisme individu dan adanya dukungan sosial terhadap sakit fisik. Ada
dua jenis proses somatisasi. Pertama, proses somatisasi yang bersumber dari
ketidakmampuan

individu

mengenali reaksi perasaan disforik serta

hubungannya dengan stresor dan reaksi fisiologis yang menyertainya.


Kedua, proses somatisasi sebagai mekanisme pertahanan diri yaitu berupa
upaya disadari menggunakan keluhan atau sakit fisik untuk mendapatkan
bantuan dan simpati dari lingkungannya serta kontrol terhadap lingkungan
(Susana, 2010).
Studi epidemiologis yang dilakukan oleh beberapa ahli (Goldman,
Nielson, & Champion, 1999; Louch, 2005; Simon, Von Korff, Piccinelli,
Fullerton, & Ormel, 1999) menunjukkan bahwa gejala somatisasi sebagai
manifestasi dari depresi, umum dijumpai pada pusat kesehatan masyarakat
di seluruh negara dan budaya. Lima puluh sampai delapan puluh persen

pasien depresi mengeluhkan gejala fisik tidak spesifik dan menghindari


keluhan yang berkaitan dengan perasaan (Susana, 2010).
Disfungsi

otonomik

somatoforn,

keluhan fisik yang ditampilkan

pasien seakan akan merupakan gejala dari sistem saraf otonom, misalnya
sistem kardiovaskular (cardiac neurosis), gastrointestinal (gastric neurosis
dan nervous diarrhoea), atau pernafasan (hiperventilasi psikogenik dan
cegukan). Gejala yang nampak dapat berupa tanda objektif rangsangan
otonom, seperti palpitasi berkeringat, muka panas / merah (flushing), dan
tremor. Selain itu dapat pula berupa tanda subjektif dan tidak khas, seperti
perasaan sakit, nyeri, rasa terbakar, rasa berat, rasa kencang, atau perasaan
badan seperti mengembang. Juga ditemukan adanya bukti stes psikologis atau
yang nampaknya berkaitan dengan gangguan ini. Tidak terbukti adanya
gangguan yang bermakna pada struktur atau fungsi dari sistem atau organ
yang dimaksud (Indarjo, 2009).
Distress psikologis dapat mempengaruhi sistem kardiovaskular secara
langsung melalui aktivasi sistem saraf simpatik dan pelepasan hormon
katekolamin dan

kortikosteroid. Hormon tersebut meningkatkan denyut

jantung dan tekanan darah, memicu disfungsi endotel, vasokonstriksi arteri


koroner, meningkatkan aktivasi platelet dan hiperkoagulasi. Dalam jangka
panjang, hal tersebut dapat memicu terjadinya aterosklerosis hingga iskemia
miokard (Giannoglou dan Koskinas, 2014).
G. Peran Consultation Liaison Psychiatry (CLP) dalam Penanganan
Gangguan Psikiatri pada Penyakit Kardiovaskular
1. Definisi CLP
Konsep dasar CLP terdiri dari konsultasi (consultation) dan
penghubung (liaison). CLP adalah sebuah studi, praktik, dan pengajaran
mengenai hubungan antara penyakit medis dengan gangguan psikiatri.
CLP adalah kerja tim multidisiplin di mana psikiater berfungsi sebagai
konsultan yang berkonsultasi dengan dokter di bidang lain mengenai
pasien dalam pengaturan medis, memberikan tindak lanjut perawatan

psikiatri apabila diperlukan, melakukan pengajaran, dan melakukan


penelitian di sebuah unit psikiatri rumah sakit.
Psikiater CLP adalah spesialis dalam perawatan gangguan kejiwaan
pada penderita penyakit medis. Bidang khusus ini kini disebut sebagai
Psychosomatic Medicine, yang telah resmi menjadi subspesialisasi
kejiwaan di Amerika Serikat sejak tahun 2003. Psikiater CLP memiliki
keahlian khusus dalam menegakkan diagnosis dan pengobatan pada pasien
dengan penyakit medis yang mengalami gangguan kejiwaan. Terdapat
empat tipe pasien yang ditangani oleh seorang psikiater CLP, yaitu pasien
dengan komorbiditas gangguan psikiatri akibat penyakit medis kompleks
yang memiliki risiko saling komplikasi selama terapi medisnya; pasien
dengangangguan kejiwaan langsung akibat kondisi medis primer atau
pengobatannya, seperti delirium, demensia, maupun gangguan mental
sekunder lainnya; gangguan perilaku kompleks seperti somatoform dan
gangguan fungsional; dan pasien psikopatologi akut yang dirawat di unit
bedah medis, seperti pada percobaan bunuh diri. Psikiater CLP bekerja
sebagai konsultan di rumah sakit medis umum, di unit rawat inap medispsikiatris, dan terintegrasi dengan perawatan primer atau spesialisasi medis
untuk memberikan perawatan kolaboratif.
Tujuan dari konsultasi psikiatri adalah untuk menjamin keamanan
dan stabilitas pasien dalam lingkungan medis, untuk mengumpulkan
informasi yang cukup dan data medis dari sumber yang tepat untuk
menilai pasien dan merumuskan masalah, untuk melakukan pemeriksaan
status mental, neurologis, dan pemeriksaan fisik yang diperlukan,
menetapkan diagnosis diferensial, dan untuk memulai rencana pengobatan
(Nabhinani dan Gupta, 2012).
Peran dan tanggung jawab dari psikiater CLP adalah komitmen
untuk perawatan yang komprehensif dari pasien yang sakit secara medis.
Dengan demikian, peran psikiater CLP memiliki dua dimensi, pertama
adalah interaksi dengan pasien dan keluarga mereka dan kedua adalah
interaksi dengan dokter yang merawat dan timnya.
2. Pendekatan CLP
a. Assesment

Konsultasi akan diminta oleh dokter yang secara langsung


bertanggung jawab dalam perawatan pasien. Psikiater sebagai bagian
dari tim yang menerima rujukan dan mengevaluasi setiap pasien yang
dirawat. Ketika psikiater mendapat permintaan konsultasi, terdapat
beberapa hal yang harus dipastikan terlebih dahulu, yaitu mengenai
identitas dokter yang meminta konsultasi, informasi terkait pasien,
alasan konsultasi, urgensi, dan apakah pasien sudah mengetahui
bahwa pasien akan dikonsultasikan psikiatri.
1) Triage Pasien
Untuk menangani secara efektif dengan berbagai keadaan darurat
psikiatri, dokter harus terampil dalam mengkaji kondisi secara
cepat sehingga evaluasiakan bergerakke arah yang benar.
2) Alasan Rujukan
Psikiater CLPakan menerima permintaan (biasanya tertulis) untuk
mengungkapkan

kekhawatiran

atau

mengajukan

pertanyaan

spesifik tentang pasien tertentu.


3) Anamnesis dan Pemeriksaan
Psikiater CLP harus membawa formulir penilaian (lembar atau
panduan wawancara pribadi, berbagai skala peringkat, dan lain
sebagainya),

formulir

admisi

psikiatri,

panduan

referensi

pengobatan, dan instrumen pemeriksaan lainnya saat akan


melakukan evaluasi pada pasien.
a) Anamnesis Psikiatri
Berbeda dengan pemeriksaan medis atau psikiatri biasa, pasien
sakit medis biasanya jarang meminta konsultasi psikiatri dan
bahkan mungkin menunjukkan sikap yang tidak kooperatif
terhadap konsultan CLP. Untuk mendapatkan hasil anamnesis
psikiatri, konsultan harus terampil dalam membina rapor dan
membangun konteks gangguan kejiwaan dengan cepat untuk
kemudian merumuskan diagnosa multiaksial berdasarkan DSM
IV.
b) Pemeriksaan fisik dan status mental
Konsultan psikiatri harus meninjau hasil pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan

tambahan

seperti

pemeriksaan

neurologis

berdasarkan wawancara psikiatri dan diagnosis. Selain untuk


memperoleh tanda dan gejala gangguan psikiatri, tujuan dari
pemeriksaan ini adalah untuk mencapai kapasitas pasien dalam
memahami dan mengatasi penyakit serta membuat keputusan
perawatan.
c) Pengujian dan rujukan
Konsultan psikiatri harus terampil dalam berbagai evaluasi
bedah, medis, neurologis, atau lainnya jika kondisi medis yang
mendasari yang mungkin berkontribusi terhadap gangguan
kejiwaan. Konsultan CLP harus terbiasa dengan tes diagnostik,
seperti mengetahui indikasi untuk pencitraan otak atau
screening neurofisiologis dengan computed tomography (CT
scan),

magnetic

resonance

imaging

(MRI),

dan

electroencephalogram (EEG); indikasi untuk administrasi tes


neuropsikologi; penggunaan instrumen untuk membantu dalam
wawancara diagnostik dan skrining atau mengukur tingkat
keparahan gangguan mental komorbiditas seperti Mini-mental
state examination(MMSE), Hamilton Depression Rating Scale
(HDRs); indikasi pemeriksaan untuk mengetahui penggunaan
zat;

dan indikasi dan relevansi berbagai

hematologi.

Apabila

psikotropika,psikiater

pemeriksaan

merekomendasikan

CLP

juga

harus

terus

obat
mengikuti

perkembangan pasien selama rawat inap, sampai psikotropika


telah dihentikan, atau sampai tidak lagi dibutuhkan jasa
konsultasi.
b. Intervensi
1) Farmakoterapi
Terdapat banyak

kondisi

fisik

yang

dapat

menyebabkan,

memperburuk, atau memunculkan gangguan psikiatri. Penggunaan


yang tepat dari psikofarmakologi memerlukan pertimbangan
cermat dari penyakit medis yang mendasari, interaksi obat, dan
kontraindikasi.
2) Psikoterapi

Konsultan CLP harus memiliki kemampuan untuk menerapkan


berbagai teknik psikoterapi pada pasien sakit medis. Psikoterapi
medis misalnya, intervensi krisis, terapi suportif, terapi perilaku
kognitif, terapi jangka pendek, dan lain sebagainya yang dapat
diterapkan secara tunggal, dalam kombinasi, atau bergantian dalam
berbagai tahap penyakit. Pendekatan psikoterapi dengan sakit
c.

medis harus terutama dipilih dalam menanggapi kebutuhan pasien.


Follow Up
Ruang lingkup, frekuensi, dan perlunya kunjungan tindak lanjut
tergantung pada sifat dari diagnosis awal dan rekomendasi, dan
frekuensi dapat bervariasi dari beberapa kali sehari hingga tidak
memerlukan follow up sama sekali. Follow up akan memperkuat
rekomendasi

konsultan,

pemantauan

psikofarmakologikal,

dan

pencegahan perilaku atau kekambuhan gangguan psikiatri dan


memungkinkan konsultan untuk mengevaluasi hasil rekomendasi
mereka.
3. Peran CLP dalam Penanganan Gangguan Psikiatri pada Pasien dengan
Penyakit Kardiovaskular
Pentingnya CLP telah diketahui oleh psikiater karena pelatihan dan
pendidikan yang telah mereka jalani, tetapi lain halnya dengan kolega dari
bagian lain hingga pada suatu kondisi, praktisi bidang kedokteran lain pun
akan mulai mengenal dan mengetahui peran CLP bagi perkembangan
pasiennya. Perubahan yang signifikan dalam manajemen perawatan pasien
pun berangsur mengikuti perkembangannya (Kornfeld, 2014).
Sebuah studi yang dilakukan oleh Wood dan Wand (2014)
menunjukkan efektivitas layanan CLP yang ditinjau dari segi efektivitas
biaya dan lama pasien tinggal di rumah sakit. Studi tersebut bertujuan
sebagai acuan dalam evaluasi pelayanan CLP. Terdapat bukti bahwa
pelayanan CLP dapat memenuhi efektivitas biaya dan mengurangi lama
pasien tinggal di rumah sakit apabila keterlibatannya dalam penanganan
pasien dimulai sejak awal.
Diawali ketika Kornfeld, et al. (1965) melaporkan adanya delirium
pasca operasi jantung terbuka, yang muncul setelah interval lucid singkat

dan menghilang tak lama setelah pasien meninggalkan ruang pemulihan


operasi jantung. Setelah meninjau kondisi pra operasi, selama operasi, dan
data pasca operasi, mereka menyimpulkan bahwa delirium postcardiac
mungkin merupakan hasil dari kombinasi berbagai faktor, seperti disfungsi
otak pra operasi sekunder pada penyakit jantung kronis, efek intraoperatif
akibat mesin bypass karena semakin lama waktu penggunaan pompa maka
semakin besar kemungkinan pasien akan mengalami delirium, dan stres
yang terjadi di ruang pemulihan akibat kurang tidur dan sensorik yang
monoton karena pasien bergerak dengan kateter dan kabel, serta tepapar
kebisingan monitor secara konstan. Untuk mengurangi kejadian stres,
serangkaian perubahan prosedural direkomendasikan, seperti pemberian
waktu untuk tidur yang lebih banyak, informasi orientasi waktu dan tempat
pada pasien, dan transfer pasien sesegera mungkin apabila kondisi sudah
memungkinkan.
Masalah manajemen akut lain adalah ketika pasien menginginkan
untuk segera keluar dari rumah sakit dan menolak rekomendasi medis.
Kondisi ini sering kali memunculkan panggilan darurat untuk dilakukan
konsultasi psikiatri. Albert dan Kornfeld (1973) mengulas serangkaian
permintaan konsultasi tersebut. Pertanyaan yang sering diajukan oleh
dokter yang merujuk adalah, "Apakah pasien ini memiliki kapasitas mental
yang cukup untuk menandatangani penolakan terhadap rekomendasi
medis?"
Sebuah tinjauan rumah sakit mengungkapkan penjelasan yang
mungkin menjadi penyebab kondisi ini, yaitu pasien merasa sangat marah,
sangat cemas, adanya gejala psikotik, atau memang telah kehilangan akal
sehatnya. Dalam 24 dari 26 situasi seperti itu, dengan intervensi yang tepat
berdasarkan saran psikiater, pasien memilih tetap tinggal di rumah sakit
(Kornfeld, 1973).
Beitman et al. (1989) melaporkan banyaknya pasien yang
mengalami nyeri dada dengan hasil angiogram koroner yang normal
ternyata menderita gangguan panik. Laporan ini menunjukkan pada dokter
umum dan spesialis jantung bahwa gangguan panik dapat menjadi

diagnosis banding pada pasien yang mengalami gejala penyakit jantung.


Deteksi awal pasien melalui CLP, memiliki manfaat dalam penegakkan
diagnosis yang lebih akurat, pengobatan yang lebih tepat, dan menurunkan
angka penggunaan angiogram yang tidak perlu.
CLP juga berfungsi untuk mendeteksi adanya gangguan depresi
pada pasien penyakit medis lain. Seperti pada pasien dengan infark
miokard yang mengalami depresi, memiliki kemungkinan tiga hingga
empat kali lipat meninggal di tahun berikutnya dibandingkan dengan
pasien tanpa depresi. Temuan serupa juga terdapat pada pasien dengan
depresi ringan, serta pada pasien setelah operasi bypass arteri koroner.
CLP juga telah berkontribusi dalam evaluasi pra operasi dan manajemen
post operasi pada pasien dengan kondisi yang memerlukan transplantasi
organ jantung (Kornfeld, 2014).
Dalam ilmu spesialisasi yang berkembang dengan cepat, seperti
kardiologi dan bedah jantung, CLP memiliki peran penting pada setiap
tahap baru pengembangan teknis dalam mengidentifikasi potensi gangguan
psikiatri dan cara yang paling efektif untuk menanganinya (Kornfeld,
2014). Keberadaan seorang psikiater sekiranya dapat membantu mengatasi
gangguan psikiatrik yang timbul pada pasien dengan berbagai penyakit
medis, sehingga diharapkan dapat memperpanjang survival serta
meningkatkan kualitas hidup pasien (Liza dan Loebis, 2015)

BAB III
PENUTUP

A. SIMPULAN
1. Gangguan psikiatri yang banyak terjadi pada penderita penyakit
kardiovaskular adalah gangguan cemas dan depresi.
2. Terdapat hubungan dua arah antara penyakit kardiovaskular dengan
kesehatan mental, yakni gangguan mental merupakan faktor risiko
independen untuk peyakit kardiovaskular dan penyakit jantung koroner
dapat menyebabkan efek yang buruk bagi kesehetan mental pasien.
3. Gangguan psikiatri pada penyakit kardiovaskular dideteksi dan
ditangani melalui CLP. Terapi yang aman dan efektif untuk gangguan
cemas pada penderita penyakit kardiovaskular adalah golongan
Benzodiazepin dan terapi yang aman dan efektif untuk depresi pada
penderita penyakit kardiovaskular adalah golongan SSRI.

DAFTAR PUSTAKA

AHA (2015). Heart Disease and Stroke Statistics 2015 Update : 5

Albert H, Kornfeld DS (1973). The threat to sign out against medical advice. Ann
Intern Med, 79 : 888-89
American Psychiatric Association (2013). Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorder. Fifth Edition. Washington DC: American Psychiatric
Publishing, pp. 481-550
Andri (2011). Konsep Biopsikososial pada Keluhan Psikosomatik. J Indon Med
Assoc, 61 (9)
Bagot R, Bredy TW, Zhang T, Gratton A, Meaney MJ (2007). Developmental
Origin of Neurobiological Vulnerability for PTSD in Understanding
Trauma. USA : Cambridge University Press, pp : 103-104
Bankier B, Barajas J, Martinez-Rumayor A, Januzzi JL (2008). Association
between C-reactive protein and generalized anxiety disorder in stable
coronary heart disease patients. Eur Heart J, 29 : 22122217
Barros PO, et al. (2011). Substance P enhances Th17 phenotype in individuals
with generalized anxiety disorder: an event resistant to glucocorticoid
inhibition. J Clin Immunol, 31: 5159
Beitman BD, et al. (1989). Panic disorder in patients with chest pain and
angiographically normal coronary arteries. Am J Cardiol, 63 : 1399-1403
Buccelletti E, et al. (2009). Heart rate variability and myocardial infarction:
systematic literature review and metanalysis. Eur Rev Med Pharmacol
Sci, 13 (4) : 299-307
Capuron

L,

Miller AH

(2011).

Immune

system

to

brain

signaling:

neuropsychopharmacological implications. Pharmacol Ther, 130 : 226238.


Castren E, Rantamki T (2010). The role of BDNF and its receptors in depression
and antidepressant drug action: reactivation of developmental plasticity.
Developmental neurobiology, 70 (5) : 289-297

Cooper DC, Milic MS, Tafur, JR, Mills, PJ, Bardwell WA, Ziegler, MG,
Dimsdale, JE (2010).

Adverse impact of mood on flow-mediated

dilation. Psychosomatic medicine, 72 (2) : 122


Dao TK, Youssef, NA, Gopaldas RR, Chu D, Bakaeen F (2010). Research article
Autonomic cardiovascular dysregulation as a potential mechanism
underlying depression and coronary artery bypass grafting surgery
outcomes.
Davies SJ, Jackson PR, Potokar J, Nutt DJ (2004). Treatment of anxiety and
depressive disorders in patients with cardiovascular disease. BMJ, 328 :
93943
Dragano N, Wege N (2010). Supplement: Detailed description of the relations
between CVD and mental ill health. Website: http://www. enwhp.
org/filea dmin/downloads. , 1-10
Denollet, J. (2005). DS14: standard assessment of negative affectivity, social
inhibition, and Type D personality. Psychosomatic medicine, 67(1), 8997.
Druss BG, Walker ER (2012). Mental disorders and medical comorbidity. Robert Wood
Johnson Foundation- Research Synthesis Report, 21 : 4

Elvira, Sylvia D et al. (2013). Buku Ajar Psikiatri. Jakarta : Badan Penerbit FK UI
Friedman, M., Thoresen, C. E., Gill, J. J., Powell, L. H., Ulmer, D., Thompson, L
& Bourg, E (1984). Alteration of Type A Behavior And Reduction in
Cardiac Recurrences in Postmyocardial Infarction Patients. American
heart journal,108(2), 237-248.
Gehi A, Musselman D, Otte C, Royster EB, Ali S, Whooley MA (2010).
Depression and platelet activation in outpatients with stable coronary
heart disease: findings from the Heart and Soul Study. Psychiatry
research, 175 (3) : 200-204
Ghanie A (2009). Penyakit Jantung Kongenital pada Dewasa. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid II Edisi V. Jakarta: Interna Publishing

Giannoglou GD, Koskinas KC (2014). Mental stress and cardiovascular disease:


growing evidence into the complex interrelation between mind and heart.
Angiology, 66 (1)
Gitlin DF, Levenson JL, Lyketsos CG (2004). Psychosomatic medicine: A new
psychiatric subspeciality. Academic Psychiatry, 28: 4-11
Glassman AH, Bigger, JT, Gaffney M, Van Zyl LT (2007). Heart rate variability in
acute coronary syndrome patients with major depression: influence of
sertraline and mood improvement. Archives of general psychiatry
Han J, Park M, Hales RE (2009). Anxiety Disorders in Lippincotts Primary Care
Psychiatry. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, pp: 61-79
Hashimoto K (2010). Brainderived neurotrophic factor as a biomarker for mood
disorders: an historical overview and future directions. Psychiatry and
Clinical Neurosciences, 64 (4) : 341-357
Indarjo S (2009). Kesehatan Jiwa Remaja. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 5 (1)
Jeff CH, Christopher MC, James LJ (2010). The relationship between depression,
anxiety, and cardiovascular outcomes in patients with acute coronary
syndromes. Neuropsychiatric Disease and Treatment, 6 : 123-136
Kemenkes RI (2012). Pusat Data dan Informasi : Profil Kesehatan Indonesia 2012.
Jakarta : Kemenkes RI, pp : 112-113
Kemenkes RI (2013). Pusat Data dan Informasi : Profil Kesehatan Indonesia 2013.
Jakarta : Kemenkes RI, pp : 370-371

Kemp AH, Quintana DS, Gray MA, Felmingham KL, Brown K, Gatt JM (2010).
Impact of depression and antidepressant treatment on heart rate
variability: a review and meta-analysis. Biological psychiatry, 67 (11) :
1067-1074.
Kemp AH, Brunoni AR, Bittencourt MS, Nunes MA, Bensenor IM, Lotufo PA (2015).
The association between antidepressant medications and coronary heart disease
in Brazil: a cross-sectional analysis on the Brazilian longitudinal study of adult
health (ELSA-Brazil). Frontiers in Public Health, 3 : 1-7
Kessler RC, Bromet EJ (2013). The epidemiology of depression across cultures. Annu
Rev Public Health, 2013 (34) : 119138

Kornfeld DS, Zimberg S, Malm JR (1965). Psychiatric complications of openheart surgery. N Engl J Med, 273: 287292
Kornfeld DS (2014). Consultation-liaison psychiatry : contribution in medical
practice. Am J Psychiatry, 159 : 1964-1972
Kop WJ, Synowski SJ, Gottlieb SS (2011). Depression in heart failure:
biobehavioralmechanisms. Heart Failure Clinics, 7 (1) : 2338
Kreitner, R., & Kinicki, A. (2005). Perilaku organisasi Terjemahan. Jakarta :
Salemba Empat.
Kronfol Z, Remick DG (2000). Cytokines and the brain: implications for clinical
psychiatry. Am J Psychiatry, 157: 683694
Levenson JL (2011). American Psychiatric Publishing Textbook of Psychosomatic
Medicine. Second edition. Washington D.C. : American Psychiatric
Publishing Inc.
Levenson JL (2012). Consultation liaison psychiatry : the crucial interface
between psychiatry and the rest of medicine. J of Mental Health and
Human Behaviour, 17 (3) : i-ii
Liza RG, Loebis B (2015). Gangguan Psikotik Akibat Stroke Iskemik. J Kes
Andalas, 4 (2) : 607-13
Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J (2012).
Harrisons Principles of Internal Medicine 18th Edition. US : McGrawHill Companies Inc
Maharatih GA, Nuhriawangsa I, Sudiyanto A (2009). Psikiatri Komprehensif Soal
& Pembahasan. Jakarta : EGC, pp: 109-121
Maramis WF, Maramis AA (2010). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2. Surabaya :
Airlangga University Press, pp : 283-306

Maslim R (2013). Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa. Jakarta : PT.Nuh Jaya
Mavrides N, Nemeroff CB (2015). Treatment of affective disorders in cardiac
disease. Dialogues In Clinical Science. 17 (2) : 132-136
Mavrides N, Nemeroff CB (2015). Treatment of affective disorders in cardiac disease.
Dialogues Clin Nerosci, 2015 (17) : 127-140
Mozzafarian D et al. (2015). Heart Disease and Stroke Statistics 2015 Update.
Circulation, 131 (4) : e29-e322

Nabhinani N, Gupta R (2012). Consultation Liaison Psychiatrist : Roles and


Approach. J of Mental Health and Human Behaviour. 17(3): S25-S31
ODonovan A, Hughes BM, Slavich GM, et al. (2010). Clinical anxiety, cortisol
and interleukin-6 : evidence for specificity in emotion-biology
relationships. Brain Behav Immun, 24 : 10741077
Ormel J et al. (2007). Mental disorders among persons with heart disease results from
the world mental health surveys. Gen Hosp Psychiatry, 29 (4) : 325-334

Panggabean MM (2009). Gagal Jantung. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II
Edisi V. Jakarta : Interna Publishing
Parker GB, Owen CA, Brotchie HL, Hyett MP (2010). The impact of differing
anxiety disorders on outcome following an acute coronary syndrome:
time to start worrying? Depress Anxiety, 27 (3) : 302309
Pozuelo L, Tesar G, Zhang J, Penn M, Franco K, Jiang W (2009). Depression and
Heart Disease: what do we know, and where are we headed. Cleveland
Clinic Journal of Medicine, 76 (1) : 60-67
Rachman AM (2009). Angina Pektoris Stabil. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II Edisi V. Jakarta: Interna Publishing
Randall (2011). The physiology of stress: cortisol and the hypothalamic-pituitaryadrenal axis. Dartmouth Undergraduate Journal of Science
Robbins, S. P., & Judge, T. A. (2007). Perilaku Organisasi (Organizaztional
Behavior) buku 1. Jakarta: Salemba Empat
Roest AM, Zuidersma M, De Jonge P (2012). Myocardial infarction and
generalised anxiety disorder: 10-year follow-up. The British Journal of
Psychiatry, 200(4) : 324-329
Sadock, BJ, Sadock, VA, Ruiz P (eds) (2009). Kaplan & Sadock's Comprehensive
Textbook of Psychiatry. 9th Edition. Philadelphia : Lippincott Williams &
Wilkins
Schins A, Hamulyk K, Scharp S, Lousberg R, Van Melle J, Crijns H, Honig A
(2004). Whole blood serotonin and platelet activation in depressed postmyocardial infarction patients. Life sciences, 76(6) : 637-650
Schulman JK, Muskin PR, Shapiro PA (2005). Psychiatry and cardiovascular
disease. Psychiatri Online. 3 (2) : 208-224

Shafti SS (2014). Prevalence of psychiatric morbidities in acute coronary heart diseases.


Cardiovascular Psychiatry and Neurology, 2014 : 1-5
Sher, L. (2005). Type D personality: the heart, stress, and cortisol. Qjm, 98(5), 323-329.

Smoller JW, Sheidley BK, Tsuang MI. Anxiety disorder (2008). In: Psychiatry
genetics application in practical practice. USA: American Psychiatric
Publishing Inc., pp: 150-156
Stahl SM (2013). Essential Psychopharmacology. New York : Cambridge
University Press, p: 979
Stefanatou A, Kouris N, Lekakis J (2010). Treatment of depression in elderly
patients with cardiovascular disease: research data and future prospects.
Hellenic Journal of Cardiology. 51: 142-152
Susana T (2010). Proses somatisasi dan strategi koping pada individu alosentris.
Jurnal Psikologi Indonesia, 7 (1)
Taylor CT, Pollack MH, LeBeau RT, and Simon NM (2008). .Anxiety Disorder :
Panic, Social Anxiey, and Generalized Anxiety in Massachusetts General
Hospital Comprehensive Clinical Psychiatry. Mosby Inc., pp : 429-433
Tomfohr LM, Murphy ML, Miller GE, Puterman E (2011). Multiwave
associations between depressive symptoms and endothelial function in
adolescent and young adult females. Psychosomatic medicine, 73 (6) :
456
Trisnohadi HB (2009). Angina Pektoris Tak Stabil. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam .Jilid II Edisi V. Jakarta: Interna Publishing
Vieira MM et al. (2010). Enhanced Th17 phenotype in individuals with
generalized anxiety disorder. J Neuroimmunol, 229 : 212218
WHO (2013). Investing in Mental Health. Geneva : WHO, p : 11
WHO (2014). Global Status Report on Non Communicable Disease 2014.
http://www.who.int/global-coordination-mechanism/publications/global-statusreport-ncds-2014-eng.pdf - Diakses September 2015

Wood R, Wand APF (2014). The effectiveness of consultation-liaison psychiatry


in the general hospital setting: A systematic review. J of Psychosomatic
Research Elsevier, 76(3) : 175-192

Yogiantoro M (2009). Hipertensi Esensial. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid
II Edisi V. Jakarta : Interna Publishing

Anda mungkin juga menyukai