Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

HUBUNGAN GEN HLA-A2 DENGAN KEJADIAN KARSINOMA


NASOFARING DI ASIA

Oleh:
Azizah Amalia Novia Sani (G99151028)
Resti Nurfadillah (G99161079)

Pembimbing
dr. Septian Adi Permana, Sp.An M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RSUD DR. MOEWARDI
2016

0
BAB I
PENDAHULUAN

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak


dijumpai di antara tumor ganas THT di Indonesia. Hampir 60 % tumor ganas
kepala dan leher merupakan karsinoma nasofaring, kemudian diikuti oleh tumor
ganas hidung dan sinus paranasal (18%) , laring (16%), dan tumor ganas rongga
mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah. Tumor ini berasal dari fossa
Rosenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana epitel
kuboid berubah menjadi epitel skuamosa.1
Karsinoma nasofaring merupakan suatu keganasan yang memiliki
karakteristik epidemiologi yang unik, dengan insiden yang bervariasi sesuai ras
dan perbedaan geografi. Insiden kanker nasofaring pada beberapa tempat di dunia
masih sangat jarang. Di Amerika Serikat angka insiden kurang dari 1 kasus per
100.000 penduduk setiap tahunnya. Namun, di beberapa Negara di Asia (terutama
di Cina bagian selatan) dan Afrika bagian utara kasus kanker nasofaring banyak
ditemukan.2,3
Sampai saat ini belum diketahui pasti penyebab karsinoma nasofaring.
Faktor ekstrinsik seperti virus Epstein-Barr, nitrosamin, lingkungan dan faktor
intrinsik misalnya gen HLA, gen onkogen, gen supresor dicurigai sebagai faktor
penyebab. Pada masyarakat Taiwan kebiasaan mengunyah kacang betel selama
lebih dari 20 tahun meningkatkan resiko terkena karsinoma nasofaring 70%. Di
cina selatan ditemukan kandungan nikel pada nasi, air minum, dan rambut
penduduknya juga dicurigai sebagai faktor penyebab. Di Indonesia sendiri
kebiasaan memakan ikan asin, merokok, dan mengunyah tembakau dianggap
sebagai faktor resiko terjadinya karsinoma nasofaring.4
Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan
suatu problem, hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang
tidak khas serta letak nasofaring yang tersembunyi, sehingga diagnosis sering
terlambat. 5

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Karsinoma nasofaring adalah jenis kanker ganas yang timbul di rongga
belakang hidung (nasofaring) dengan predileksi di fossa Rossenmuller pada
nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah
menjadi epitel skuamusa.6

B. Epidemiologi
KNF merupakan keganasan yang unik, dimana secara epidemiologi
menunjukkan perbedaan ras dan geografis. Secara global KNF terjadi hanya
0.7% pada keselurahan kasus kanker, menempati urutan ke-24 kanker yang
paling sering terjadi. Kanker nasofaring sangat jarang ditemukan di daerah
Eropa dan Amerika Utara dengan angka kejadian sekitar <1/100.000
penduduk. Sedangkan di wilayah asia tenggara seperti Malaysia, Singapura,
Indonesia and Vietnam, dan Afrika Utara mencapai 5-15/100.000 penduduk,
dan tertinggi di wilayah Cina Selatan dengan angka kejadian 20/100.000
penduduk.2
Di Indonesia, karsinoma nasofaring merupakan urutan ke-5 dari 10
besar tumor ganas yang menyerang seluruh tubuh. Sedangkan di bagian
telinga, hidung, dan tenggorok, karsinoma nasofaring merupakan peringkat
pertama.berdasarkan data Globocan 2008, insidensi karsinoma nasofaring di
Indonesia pada pria dan wanita sebesar 4,9% setelah kanker payudara, paru,
kolorektal dan abdomen. Insidens karsinoma nasofaring di Indonesia terjadi
sebanyak 6,5/100.000 penduduk.7
Penderita karsinoma nasofaring lebih sering dijumpai pada pria
daripada wanita dengan rasio 2-3 : 1. Penyakit ini ditemukan terutama pada
usia produktif (30-60 tahun), dengan usia terbanyak adalah 40-50 tahun. Di
Amerika sepertiga kasus neoplasma faringeal pada anak adalah KNF. Di
Inggris angka kejadian KNF adalah 0.1 per sejuta pada anak usia 0-9 tahun
dan 0.8 per sejuta pada usia 10-14 tahun. Menurut England and Wales
Cancer Registry data, setidaknya 80% kanker faringeal pada usia 15-19 tahun

2
adalah karsinoma. Ini menunjukkan 1-2 per sejuta KNF terjadi pada usia 15-
19 tahun. Sejauh ini, penderita termuda ditemuka di India (6 tahun) dan
Inggris (7 tahun).5,7
Dilihat dari daerah yang sering terjadi, dapat dipastikan penderita
KNF terbanyak adalah orang Asia, khususnya ras Mongoloid sehingga
kekerapan cukup tinggi pada penduduk Cina bagian selatan, Hongkong,
Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Di propinsi guang-
dong Cina adalah daerah dengan angka kejadian tertinggi terutama pada suku
kanton yaitu 2500 kasus pertahun atau 39.84/100.000 penduduk. KNF juga
ditemukan pada orang eskimo di Alaska dan Greenland yang diduga
penyebabnya adalah karena mereka memakan makanan yang diawetkan di
musim dingin dengan menggunakan bahan pengawet nitrosamin. Di Amerika
ras Asia (Chinese Amerika) adalah yang paling umum terkena KNF, diikuti
India Amerika dan suku Alaska, Afrika amerika, kulit putih, dan
Hispanis/Latin. Di Indonesia khususnya di RSUP H. Adam Malik Medan,
suku yang paling banyak menderita KNF adalah suku batak, yaitu 46.7% dari
30 kasus.7,8

C. Etiologi

Etiologi karsinoma nasofaring masih belum diketahui secara pasti.


Namun para ahli percaya bahwa etiologi karsinoma nasofaring ialah
multifaktorial termasuk genetik, virus, dan lingkungan.9
Keyakinan bahwa faktor gentik berperan berdasarkan fakta-fakta
bahwa secara epidemiologi terdapat frekuensi yang nyata diantara berbagai
kelompok etnik tertentu. Karsinoma nasofaring juga banyak dijumpai pada
ras mongoloid, termasuk bangsa-bangsa di Asia Tenggara. Seperti yang sudah
dilaporkan bahwa angka kejadian KNF 20-50 kali lebih banyak terjadi di
China selatan dibandingkan dengan negara-ngera barat. Generasi kedua dan
ketiga imigran dari Cina selatan yang bertempat di daerah dengan angka
prevalensi KNF rendah ternyata masih berisiko tinggi terkena KNF

3
dibandingkan dengan penduduk lokal, meskipun telah terjadi asimilasi
dengan budaya setempat.7,9
Kerentanan genetik untuk KNF pada populasi berisiko tinggi telah
dilaporkan terutama berhubungan dengan gen HLA kelas I di lokus MHC
pada kromosom 6p21. Gen HLA kelas I tersebut menyandi protein untuk
mengidentifikasi antigen asing, termasuk peptida EBV yang dikodekan ke sel
T sitotoksik untuk memicu respon imun inang terhadap sel yang terinfeksi
virus. Polimorfi di sitokrom P450 2E1 (CYP2E1) dan CYP2A6 dan ketiadaan
Glutation S-transferase M1 (GSTM1) dan atau GSTT1 berhubungan dengan
peningkatan risiko dua sampai lima kali lipat terkena karsinoma nasofaring.
Di Thailand dan Cina, polimorfi pada polymericimmunoglobulin receptor
(PIGR), sebuah reseptor permukaan sel memudahkan masuknya EBV masuk
ke epitel hidung dan meningkatkan risiko karsinoma nasofaring.9,10
Pengaruh lingkungan yang dapat menyebabkan KNF dapat berupa zat
zat kimia atau bahan makanan yang biasa dimakan. Mediator di bawah ini
dianggap berpengaruh untuk timbulnya karsinoma nasofaring yaitu :9,11,12
a) Ikan asin, makanan yang diawetkan dan nitrosamin
b) gas kimia
c) asap industri
d) asap kayu
e) beberapa ekstrak tumbuhan
f) ramuan herbal cina
g) Merokok
Konsumsi ikan asin merupakan salah satu faktor penyebab KNF yang
sering disebutkan. Hal ini tampaknya berhubungan dengan komponen
karsinogenik, nitrosamin yang banyak ditemukan pada ikan asin. Sebuah
studi case control menunjukkan adanya hubungan antara konsumsi ikan asin
dalam jumlah sering dimulai saat belum mencapai usia 10 tahun dengan
peningkatan resiko KNF Seperti halnya kanker pada kepala dan leher,
merokok juga berhubungan dengan insidensi KNF yang tinggi terutama pada
pria ras Kaukasia.2,10,11

4
Epstein-Barr virus (EBV) juga diduga berperan dalam proses
onkogenik tumor ini, karena genom EBV sering dideteksi pada spesimen
biopsi KNF. EBV merupakan faktor risiko mayor karsinoma nasofaring.
Sebagian besar infeksi EBV tidak menimbulkan gejala. EBV menginfeksi dan
menetap secara laten pada 90% populasi dunia. Di Hong Kong, 80% anak
terinfeksi pada umur 6 tahun, hampir 100% mengalami serokonversi pada
umur 10 tahun. Infeksi EBV primer biasanya subklinis. Transmisi utama
melalui saliva, biasanya pada negara berkembang yang kehidupannya padat
dan kurang bersih. Limfosit B adalah target utama EBV, jalur masuk EBV ke
sel epitel masih belum jelas, replikasi EBV dapat terjadi di sel epitel
orofaring. Virus Epstein-Barr dapat memasuki sel-sel epitel orofaring,
bersifat menetap (persisten), tersembunyi (laten) dan sepanjang masa (life-
long).

D. Faktor Risiko
Para peneliti telah mengidentifikasi beberapa faktor yang tampaknya
meningkatkan resiko terkena karsinoma nasofaring, termasuk :11,12,14
1. Jenis Kelamin. Karsinoma nasofaring lebih sering terjadi pada pria
daripada wanita.
2. Ras. Kanker jenis ini lebih sering mempengaruhi orang-orang di Asia
dan Afrika Utara. Di Amerika Serikat, imigran Asia memiliki risiko
lebih tinggi dari jenis kanker, dibandingkan orang Asia kelahiran
Amerika.
3. Umur. Kanker nasofaring dapat terjadi pada semua usia, tetapi paling
sering didiagnosis pada orang dewasa antara usia 30 tahun dan 50
tahun.
4. Makanan yang diawetkan. Bahan kimia yang dilepaskan dalam uap
saat memasak makanan, seperti ikan dan sayuran diawetkan, dapat
masuk ke rongga hidung, meningkatkan risiko karsinoma nasofaring.
Paparan bahan kimia ini pada usia dini, lebih dapat meningkatkan
risiko.
5. Virus Epstein-Barr. Virus umumnya ini biasanya menghasilkan tanda-
tanda dan gejala ringan, seperti pilek. Kadang-kadang dapat

5
menyebabkan infeksi mononucleosis. Virus Epstein-Barr juga terkait
dengan beberapa kanker langka, termasuk karsinoma nasofaring.
6. Riwayat keluarga. Memiliki anggota keluarga dengan karsinoma
nasofaring meningkatkan risiko penyakit.
7. Merokok
Sejak tahun 1950 sudah dinyatakan bahwa merokok menyebabkan
kanker. Merokok menyebabkan kematian sekitar 4 sampai 5 juta per
tahunnya dan diperkirakan menjadi 10 juta per tahunnya pada 2030.
Rokok mempunyai lebih dari 4000 bahan karsinogenik, termasuk
nitrosamin yang meningkatkan risiko terkena karsinoma nasofaring.
Kebanyakan penelitian menunjukkan merokok meningkatkan risiko
karsinoma nasofaring sebanyak 2 sampai 6 kali. Sekitar 60%
karsinoma nasofaring tipe I berhubungan dengan merokok sedangkan
risiko karsinoma nasofaring tipe II atau III tidak berhubungan dengan
merokok. Perokok lebih dari 30 bungkus per tahun mempunyai risiko
besar terkena karsinoma nasofaring. Kebanyakan penderita karsinoma
nasofaring merokok selama minimal 15 tahun (51%) dan
mengkonsumsi tembakau dalam bentuk lain (47%). Merokok lebih
dari 25 tahun meningkatkan risiko karsinoma nasofaring. Merokok
lebih dari 40 tahun meningkatkan 2 kali lipat risiko karsinoma
nasofaring.13
Konsumsi tembakau dan alkohol yang terus menerus 95%
berhubungan dengan kasus karsinoma sel skoamusa kepala dan leher.
peningkatan konsumsi tembakau dan alkohol juga meningkatkan
resiko terkena karsinoma sel skoamusa. Namun adapula penelitian
yang menunjukkan bahwa 41,5% pederita KNF adalah perokok dan
55,5% tidak merokok.14

E. Patofisiologi
Beberapa faktor resiko sebagai penyebab karsinoma nasofaring ialah virus,
etnik, pola makan,merokok, genetik dan gender. Faktor genetik yang berperan
adalah gen HLA (Human Leucocyte Antigen). Gen ini diturunkan secara

6
heterozigot dan bersifat kodominan. Antigen seperti virus yang masuk ke
dalam tubuh akan menjalani beberapa fase yang berakhir dengan eliminasi
antigen tersebut. HLA berfungsi sebagai pertanda imunogenetik pada jaringan
tubuh manusia dan berperan serta mempengaruhi respon imun, sehingga
penting dalam tercetusnya respon imun. HLA kelas I bertugas dalam
mempresentasikan antigen asing ke sel T CD8 sitotoksik, sehingga sel T CD8
tersebut akan mengenal antigen asing dan melisiskan sel yang terinfeksi.
HLA kelas II akan mempresentasikan antigen asing ke sel T helper. Pencetus
utama terjadinya karsinoma nasofaring ialah EBV (Epstein Barr Virus), maka
individu yang memiliki HLA alel dengan kemampuan mempresentasikan
antigen EBV ke sistem imun sangat rendah, risiko karsinoma nasofaring akan
tinggi.15
Gen alel HLA yang berkaitan dengan kejadian karsinoma nasofaring di
wilayah Asia Tenggara dan China yaitu HLA-A*0207. Sedangkan alel HLA-
A*0201 yang banyak dimiliki oleh populasi kaukasian tidak berkaitan dengan
kejadian karsinoma nasofaring ialah HLA-A*0207 yang memiliki efisiensi
rendah dalam mempengaruhi sel T sitotoksik dalam menimbulkan respon
imun dibandingkan dengan HLA-A*0201.16
Populasi di daerah Cina Selatan dan Asia lainnya menunjukkan bahwa
HLA-A2-B46 dan B-17 berhubungan dengan peningkatan dua sampai tiga
kali lipat risiko karsinoma nasofaring.Penelitian lain pada populasi Asia
Tenggara dan tiongkok, banyak ditemukan HLA-A24 dan HLA-A2, dengan
HLA kelas 1 merupakan target utama sebagai marker genetik sistem imun
pada karsinoma nasofaring. Penelitian di Malaysia, menunjukkan bahwa
mayoritas ditemukan antigen HLA-B17 dan B18 pada pasien karsinoma
nasofaring.17,18,19
Selain faktor genetik, faktor lingkungan berupa konsumsi karsinogen
dalam diet pada masa kanak-kanak juga dapat mengakibatkan akumulasi dari
lesi genetik dan peningkatan risiko karsinoma nasofaring. Selain diet, faktor-
faktor lainnya adalah pajanan zat-zat kimia pada pekerjaan, misalnya

7
formaldehida dan debu kayu yang mengakibatkan inflamasi kronis di
nasofaring.20
Seperti yang telah dijelaskan, faktor genetik dan lingkungan merangsang
perubahan pada epitel nasofaring, Virus EBV akan memperparah keadaan
epitel tersebut. Virus EBV menginfeksi sel karsinoma nasofaring secara laten.
Virus ini kemudian memasuki fase infeksi litik yang produktif. Karsinoma
nasofaring diketahui mengekspresikan tiga protein yang dikode EBV, RNA
kecil dan mikroRNA. Protein-protein yang diekspresikan di antaranya adalah
EBNA 1 (EBV-encoded nuclear antigen), LMP (Latent Membrane Protein
1), dan LMP2. Dalam perkembangan karsinoma nasofaring, diduga LMP1
memiliki peran sentral. LMP1 disekresi melalui eksosom dan masuk ke dalam
sel-sel yang tidak terinfeksi EBV melalui endositosis. LMP1 juga
mempengaruhi lingkungan di sekeliling tumor. LMP1 merupakan onkogen
primer yang dapat meniru fungsi salah satu reseptor TNF, yakni CD40.
Akibatnya, ia dapat menginisasi beberapa pathway persinyalan yang
merangsang perubahan fenotip dan morfologi sel epitel. LMP 1 juga
mengakibatkan peningkatan epithelial-mesenchymal transition (EMT). Pada
proses EMT, sel-sel karsinoma akan menurunkan penanda epitel tertentu dan
meningkatkan penanda mesenkim tertentu sehingga menimbulkan
perkembangan fenotip promigratori yang penting dalam metastasis. Oleh
karena itu, LMP1 juga berperan dalam menimbulkan sifat metastasis dari
karsinoma nasofaring. Peningkatan EMT oleh LMP1 ini diikuti dengan
ekspresi penanda sel progenitor kanker serta pemberian sifat-sifat mirip sel
progenitor kepada sel.21

F. Diagnosis
Diagnosa karsinoma nasofaring berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik. Anamnesis dan pemeriksaan fisik akan didapatkan adanya gejala dapat
dibagi dalam 4 kelompok, yaitu gejala nasofaring sendiri, gejala telinga, gejala
mata dan saraf, serta metastasis atau gejala di leher. Gejala nasofaring berupa

8
epistaksis ringan atau sumbatan hidung, dalam hal ini area nasofaring harus
diperiksa dengan cermat, jika perlu menggunakan nasofaringoskop karena
seringkali kanker ini bersifat asimtomatik atau dapat juga tumor tidak tampak
karena masih terdapat di bawah mukosa (creeping tumor).
Gangguan pada telinga merupakan gejala dini yang timbul karena tumor
berasal dari Fossa Rosenmuller, daerah dekat muara tuba eustachius. Gangguan
ini dapat berupa tinnitus, rasa tidak nyaman di telinga hingga rasa nyeri di
telinga (otolgia). Gangguan beberapa saraf otak merupakan gejala lanjut KNF.
Hal ini disebabkan karena area nasofaring berhubungan dekat dengan beberapa
lubang di dasar tengkorak. Penjalaran melalui foramen laserum akan
menyebabkan lesi pada N.III, IV, VI, dapat pula mengenai N.V, sehingga tidak
jarang timbul gejala diplopia. Neuralgia trigeminal merupakan gejala yang
sering ditemukan oleh dokter saraf jika belum terdapat gejala lain yang
signifikan
Proses lanjut dari KNF akan mengenai N. IX, X, XI, dan XII jika penjalaran
terjadi melalui foramen jugulare. Gangguan gangguan ini disebut sebagai
sindrom Jackson. Jika gangguan tersebut telah mengenai seluruh saraf otak,
maka gangguan tersebut disebut sebagai sindrom unilateral. Dapat pula disertai
destruksi tulang tengkorak dan bila sudah terjadi demikian maka prognosisnya
sangat buruk.

9
Diagnosis klinik kanker nasofaring mulanya didapatkan dari anamnesis dan
gejala klinis tumor. Jika kecurigaan timbul, maka pemeriksaan dilanjutkan
dengan menggunakan endoskopi untuk melihat kondisi mukosa nasofaring.
Penonjolan mukosa, peradangan, dan ulseratif yang disertai perdarahan ringan
merupakan tanda-tanda kondisi mukosa yang buruk dan curiga akan adanya

kanker. Sebagai gold standard dilakukan diagnosis histopatologi spesimen


biopsi nasofaring. Lebih lanjut lagi, dokter dapat juga melakukan pemeriksaan
radiologik seperti MRI, CT-Scan dan Sinar X untuk melihat penyebaran
kanker. Dari hasil pemeriksaan-pemeriksaan tersebut, dapat ditentukan
tingkatan keganasan atau grading dan staging dari kanker tersebut.22

Tabel 1. Klasifikasi stadium karsinoma nasofaring (AJCC, 2012)

G. Penatalaksanaan
Prinsip pengobatan karsinoma nasofaring meliputi terapi antara lain
Radioterapi, Kemoterapi, Kombinasi, Operasi, dan Terapi Gen dan Imunoterapi
serta didukung dengan terapi simptomatik sesuai dengan gejala. Pemilihan
terapi kanker tidaklah banyak faktor yang perlu diperhatikan, antara lain jenis
kanker, kemosensitifitas dan radiosensitifitas kanker, imunitas tubuh dan
kemampuan pasien untuk menerima terapi yang diberikan, efek samping terapi
yang diberikan. Penatalaksanaan KNF berdasarkan stadiumnya terdiri dari :24,25

10
Stadium I : Radioterapi
Stadium II : Radioterapi
Stadium III : Kemoterapi + radiasi
Stadium IV : Kemoterapi + radiasi

Radioterapi
Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting
dalam penatalaksanaan KNF. Modalitas utama untuk KNF adalah
radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi. Radioterapi adalah metode
pengobatan penyakit maligna dengan menggunakan sinar peng-ion,
bertujuan untuk mematikan sel-sel tumor sebanyak mungkin dan
memelihara jaringan sehat disekitar tumor agar tidak menderita kerusakan
terlalu berat. Karsinoma nasofaring bersifat radioresponsif sehingga
radioterapi tetap merupakan terapi terpenting. Radioterapi dalam
tatalaksana kanker nasofaring dapat diberikan sebagai terapi kuratif
definitif dan paliatif. 24,15
Radioterapi kuratif definitif pada sebagai modalitas terapi tunggal
dapat diberikan pada kanker nasofaring T1N0M0 (NCCN Kategori 2A),
konkuren bersama kemoterapi (kemoradiasi) pada T1N1-3,T2-T4 N0-3
(NCCN kategori 2A). Radiasi diberikan dengan sasaran radiasi tumor
primer dan KGB leher dan supraklavikula kepada seluruh stadium (I, II,
III, IV lokal). 26,27
Hasil pengobatan yang dinyatakan dalam angka respons terhadap
penyinaran sangat tergantung pada stadium tumor. Makin lanjut stadium
tumor, makin berkurang responsnya. Untuk stadium I dan II, diperoleh
respons komplit 80% - 100% dengan terapi radiasi. Sedangkan stadium III
dan IV, ditemukan angka kegagalan respons lokal dan metastasis jauh yang
tinggi, yaitu 50% - 80%. Angka ketahanan hidup penderita KNF
dipengaruhi beberapa faktor diantaranya yang terpenting adalah stadium
penyakit.26

11
Setelah diberikan radiasi, maka dilakukan evaluasi berupa respon
terhadap radiasi. Respon dinilai dari pengecilan tumor primer di
nasofaring. Penilaian respon radiasi berdasarkan kriteria WHO :26
Complete Response: menghilangnya seluruh kelenjar getah bening
yang besar.
Partial Response : pengecilan kelenjar getah bening sampai 50%
atau lebih.
No Change : ukuran kelenjar getah bening yang menetap.
Progressive Disease : ukuran kelenjar getah bening membesar 25%
atau lebih.
Pemberian radiasi dengan tujuan paliatif dapat diberikan pada
kasus stadium lanjut dimana tujuan kuratif sudah tidak dapat
dipertimbangkan lagi. Radioterapi paliatif diberikan pada kanker
nasofaring yang sudah bermetastases jauh, misalnya ke tulang, dan
menimbulkan rasa nyeri. Tujuan paliatif diberikan untuk meredakan gejala
sehingga meningkatkan kualitas hidup pasien. Radioterapi pada
tatalaksana metastases tulang merupakan salah satu modalitas terapi selain
imobilisasi dengan korset atau tindakan bedah, bisfosfonat, terapi
hormonal, terapi target donosumumab, terapi radionuklir dan kemoterapi.
Radioterapi pada metastases tulang dapat diberikan atas indikasi: nyeri,
ancaman fraktur kompresi yang sudah distabilisasi, dan menghambat
kekambuhan pasca operasi reseksi.28
Komplikasi radiasi yang dapat timbul adalah xerostomia, otitis
externa kronik, otitis media, gangguan pendengaran, gangguan gigi geligi,
disfungsi pituitari, trismus dan nekrosis jaringan lunak atau tulang.14
Kemoterapi
Secara definisi kemoterapi adalah segolongan obat-obatan yang
dapat menghambat pertumbuhan kanker atau bahkan membunuh sel
kanker. Obat-obat anti kanker dapat digunakan sebagian terapi tunggal
(active single agents), tetapi pada umumnya berupa kombinasi karena
dapat lebih meningkatkan potensi sitotoksik terhadap sel kanker. Selain itu

12
sel sel yang resisten terhadap salah satu obat mungkin sensitif terhadap
obat lainnya. Dosis obat sitostatika dapat dikurangi sehingga efek samping
menurun.10,25
Beberapa regimen kemoterapi yang antara lain cisplatin, 5-
Fluorouracil, methotrexate, paclitaxel dan docetaxel. Tujuan kemoterapi
untuk menyembuhkan pasien dari penyakit tumor ganas. Pemberian
kemoterapi terbagi dalam 3 kategori:
1. Kemoterapi adjuvant
Pemberian kemoterapi diberikan setelah pasien dilakukan
radioterapi. Tujuannya untuk mengatasi kemungkinan metastasis jauh
dan meningkatkan kontrol lokal. Terapi adjuvan tidak dapat diberikan
begitu saja tetapi memiliki indikasi yaitu bila setelah mendapat terapi
utamanya yang maksimal ternyata:

Kanker masih ada, dimana biopsi masih positif.

Kemungkinan besar kanker masih ada, meskipun tidak ada bukti
secara makroskopis.

Pada tumor dengan derajat keganasan tinggi. (oleh karena
tingginya resiko kekambuhan dan metastasis jauh)25

2. Kemoterapi neoadjuvan
Pemberian kemoterapi adjuvant yang dimaksud adalah
pemberian sitostatika lebih awal yang dilanjutkan pemberian radiasi.
Maksud dan tujuan pemberian kemoterapi neoadjuvan untuk
mengecilkan tumor yang sensitif sehingga setelah tumor mengecil
akan lebih mudah ditangani dengan radiasi.25,26
Kemoterapi neoadjuvan telah banyak dipakai dalam
penatalaksanaan kanker kepala dan leher. Alasan utama penggunaan
kemoterapi neoadjuvan pada awal perjalanan penyakit adalah untuk
menurunkan beban sel tumor sistemik pada saat terdapat sel tumor
yang resisten. Vaskularisasi intak sehingga perjalanan ke daerah tumor
lebih baik. Terapi bedah dan radioterapi sepertinya akan memberi hasil
yang lebih baik jika diberikan pada tumor berukuran lebih kecil. Teori
ini dapat disingkirkan karena akan terjadi peningkatan efek samping,

13
durasinya, dan beban biaya perawatan yang meningkat. Dan yang lebih
penting, sel yang bertahan setelah kemoterapi akan menjadi lebih tidak
respon setelah dilakukan radioterapi sesudahnya. Alasan praktis
penggunaan kemoterapi adjuvan adalah usaha untuk meningkatkan
kemungkinan preservasi organ dan kesembuhan.26
3. Kemoterapi concurrent
Kemoterapi diberikan bersama dengan radiasi. Umumnya
dosis kemoterapi yang diberikan lebih rendah. Biasanya sebagai
radiosensitizer. Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada KNF
ternyata dapat meningkatkan hasil terapi terutama pada stadium lanjut
atau pada keadaan relaps. Hasil penelitian menggunakan kombinasi
cisplatin radioterapi pada kanker kepala dan leher termasuk KNF,
menunjukkan hasil yang memuaskan. Cisplatin dapat bertindak
sebagai agen sitotoksik dan radiation sensitizer. Jadwal optimal
cisplatin masih belum dapat dipastikan, namun pemakaian sehari- hari
dengan dosis rendah, pemakaian 1 kali seminggu dengan dosis
menengah, atau 1 kali 3 minggu dengan dosis tinggi telah banyak
digunakan.26
Operasi
Tindakan operasi pada penderita KNF berupa diseksi leher radikal
dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih terdapat sisa
kelenjar paska radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar dengan syarat
bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan melalui
pemeriksaan radiologi. Nasofaringektomi merupakan suatu operasi paliatif
yang dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh atau danya residu pada
nasofaring yang tidak berhasil diterapi dengan cara lain.25,26
Terapi Gen dan Imunoterapi
Karena KNF berhubungan erat dengan Virus Epstein-Barr virus
maka terbuka suatu kesempatan untuk melakukan terapi molekuler. Terapi
Gen menggunakan vektor defisien replikasi adenovirus untuk
meningkatkan sitotoksisitas melalui induksi apoptosis. Imunoterapi pada

14
KNF difokuskan pada peningkatan respon sel limfosit T sitotoksis walapun
perlu dilakukan studi lebih lanjut.10
Dukungan Nutrisi
Pasien karsinoma nasofaring (KNF) sering mengalami malnutrisi
dengan prevalensi 35% dan sekitar 6,7% mengalami malnutrisi
berat.Prevalensi kaheksia pada kanker kepala-leher (termasuk KNF) dapat
mencapai 67%. Malnutrisi dan kaheksia dapat mempengaruhi respons
terapi, kualitas hidup, dan survival pasien.Pasien KNF juga sering
mengalami efek samping terapi, berupa mukositis, xerostomia, mual,
muntah, diare, disgeusia, dan lain-lain. Berbagai kondisi tersebut dapat
meningkatkan meningkatkan stres metabolisme, sehingga pasien perlu
mendapatkan tatalaksana nutrisi secara optimal. Tatalaksana nutrisi
dimulai dari skrining, diagnosis, serta tatalaksana, baik umum maupun
khusus, sesuai dengan kondisi dan terapi yang dijalani pasien. Selain itu,
pasien KNF memiliki angka harapan hidup yang cukup baik, sehingga
para penyintas tetap perlu mendapatkan edukasi dan terapi gizi untuk
meningkatkan keluaran klinis dan kualitas hidup pasien.29,30

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi, EA. Telinga hidung tenggorok Kepala dan Leher. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 2007.
2. Tang L-L, Chen W-Q, Xue W-Q, et al. Global trends in incidence and
mortality of nasopharyngeal carcinoma. Cancer Lett 2016;374(1):2230.
3. Chang ET, Adami HO. The enigmatic epidemiology of nasopharyngeal
carcinoma. Cancer Epidemiol Biomarkers Prev 2006;15(10):176577.
4. Ariwibowo H. Faktor Risiko Karsinoma Nasofaring. Cermin Dunia
Kedokteran 2013;40(5):348-351
5. Asroel HA. Penatalaksanaan radioterapi pada karsinoma nasofaring.
Medan: Bagian THT-KL Universitas Sumatera Utara (Updated: 2 Juni
2008). Diakses dari: http://www. akademik. unsri. ac.
id/download/journal/files/medhas/KNF. pdf. 2002.
6. IARC. GLOBOCAN 2012: Estimated Cancer Incidence, Mortality and
Prevalence Worldwide in 2012. Globocan 2012;2012:36.
7. Adham M, Kurniawan AN, Muhtadi AI, et al. Nasopharyngeal carcinoma
in indonesia: Epidemiology, incidence, signs, and symptoms at
presentation. Chin J Cancer 2012;31(4):18596.
8. Munir D. Peran Gen HLA-DQB1 pada Penyebab Kerentanan Karsinoma
Nasofaring Suku Batak. 100 TAHUN KEBANGKITAN BANGSA. 2010
Jul 13:185.
9. Tsao SW, Yip YL, Tsang CM, Pang PS, Lau VM, Zhang G, Lo KW.
Etiological factors of nasopharyngeal carcinoma. Oral oncology. 2014
May 31;50(5):330-8.

16
10. Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD. Chapter 117 nasopharyngeal
cancer in Head & neck surgery - otolaryngology, 4th edition. William
Lipincot. 2006 p.1657-71
11. Guo X, Johnson R, Deng H, Liao J, Guan L, Nelson G. Evaluation
of non-viral risk factors for nasopharyngeal carcinoma in a high-risk
population of Southern China. Int J Cancer 2009;124(12):29427.
12. Ji X, Zhang W, Xie C, Wang B, Zhang G, Zhou F. Nasopharyngeal
carcinoma risk by histologic type in central China: Impact of smoking,
alcohol and family history. Int J Cancer 2011;129(3):724 32.
13. Chen Y, Zhao W, Lin L, et al. Nasopharyngeal Epstein-Barr Virus
Load: An efficient supplementary method for population-based
nasopharyngeal carcinoma screening. Plos One 2015;10(7):e132669.
14. Leung SW, Lee TF. Treatment of nasopharyngeal carcinoma by
tomotherapy: five-year experience. Radiation Oncology. 2013 May
1;8(1):1.
15. Soewito MY, Kadir A, Savitri E, Bahar B. Respon Antibodi Ig A
Terhadap Epstein Barr Virus (EBV) pada Keluarga Penderita Kanker
Nasofaring. ORLI 2010; 40(1):9-16.
16. Munir D. Peran Gen HLA-DRB1 pada Penyebab Kerentanan
Karsinoma Nasofaring Suku Batak. Majalah Kedokteran Nusantara
2006;39(3):324-330.
17. Simons, MJ. Nasopharyngeal Carcinoma as a Paradigm of Cancer
Genetics. Chin J Cancer 2011; 30(2): 79-84.
18. Judajana FM. Asosiasi Human Leukocyte Antigen (HLA) Dengan
Karsinoma Nasofaring. Indonesian journal of clinical pathology and
medical laboratory 2009; 15(2):52-56.
19. Li X, Fasano R, Wang A, Yao KT, Marincola FM. HLA
Associations with Nasopharyngeal Carcinoma. Curr Mol Med 2009; 9(6):
751-765.
20. Tsao SW, Yip YL, Tsang CM, Pang PS, Lau VMY, Zhang G, et al.
Etiological factors of nasopharyngeal carcinoma. Oral oncol. 2014;
50:330-338.

17
21. Stricker TP, Kumar V. Neoplasia. In: Kumar V, Abbas AK, Fausto
N, Aster JC, editors. Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease,
Eighth Edition. Philadelphia: Saunders; 2010.
22. Lee N, Chan K. Benign & Malignant Lesions of The Nasopharynx.
Current Diagnosis and Treatment in Otolaryngology-Head and Neck
Surgery. 2nd ed. McGraw-Hill Co, Inc. 2008. p 362-6.
23. American Joint Commite on Cancer. AJCC cancer staging atlas: a
companion to the 7th editions of AJCC cancer staging manual and
handbook. 2nd ed. New York: Springer; 2012.
24. Bashiruddin J, Sosialisman. Tinitus. In: Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti RD, editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,
Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher, Edisi Ketujuh. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2012.
25. Tan L, Loh T. Chapter 99 Benign and malignant tumors of the
nasopharynx In. Flint PW, Haughey BH, Lund VJ. Cummings
otolaryngology head and neck surgery 5th ed. Mosby Elsevier 2010
p.1348-61
26. Chua ML, Wee JT, Hui EP, Chan AT. Nasopharyngeal carcinoma.
The Lancet. 2016 Mar 11;387(10022):1012-24.
27. Kemenkes. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Kanker
Nasofaring. 2015
28. Lok B, Setton J, Ho F, Riaz N, Rao S, Lee N. Nasopharynx. In:
Halperin E, Wazer D, Perez C, Brady L, editors. Perez and Bradys
Principles and Practice of Radiation Oncology. 6th ed. Philadelpia:
Lippincot Williams & Wilkins; 2013. p. 73060.
29. Fairchild A, Lutz S. Palliative radiotherapy for bone metastases. In:
Brady L, Heilman H, Molls M, Nieder C, editors. Decision Making in
Radiation Oncology volume 1. Philadelpia: Springer; 2011. p. 25- 44.
30. Bozzeti F, Bozzeti V. Principles and management of nutritional
support in cancer. Dalam: Walsh D, Caraceni AT, Fainsinger R, Foley K,
Glare P, Goh C, dkk., editor. Palliative medicine. Edisi ke- 1. Philadelphia:
Elsevier; 2009:602-7

18
19

Anda mungkin juga menyukai