Ca Nasofaring
Ca Nasofaring
PENDAHULUAN
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak
dijumpai di antara tumor ganas THT di Indonesia. Karsinoma nasofaring
termasuk dalam 5 besar tumor ganas dengan frekuensi tertinggi bersama
dengan tumor ganas serviks, tumor payudara, tumor getah bening, dan tumor
kulit. Di daerah kepala leher karsinoma nasofaring merupakan keganasan
paling sering ditemukan (60%) diikuti tumor ganas hidung dan sinus
paranasal, laring, dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, dan hipofaring
(Adham, 2007).
Secara global, pada tahun 2000 diperkirakan terdapat 65.000 kasus
baru dan 38.000 kematian yang diakibatkan oleh kanker nasofaring (WHO,
2005). Sedangkan di Indonesia, frekusensi pasien hampir merata di setiap
daerah. Di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta saja ditemukan lebih
dari 100 kasus setahun, RS Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung
Pandang 25 kasus, Palembang 25 kasus, dan 11 kasus di Padang dan Bukit
Tinggi (Adham, 2007).
Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih
merupakan suatu problem, hal ini karena etiologi yang masih belum pasti,
gejala dini yang tidak khas serta letak nasofaring yang tersembunyi,dan tidak
mudah diperiksa oleh mereka yg bukan ahli sehingga diagnosis sering
terlambat, dengan ditemukannya metastasis pada leher sebagai gejala
pertama. Dengan makin terlambatnya diagnosis maka prognosis ( angka
bertahan hidup 5 tahun) semakin buruk.
Dalam makalah ini akan dijabarkan kasus karsinoma nasofaring yang
ditemukan di RS Muhammadiyah Palembang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Anatomi
2.1.1
Faring
Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti
corong, yang besar di bagian atas dan sempit bagian bawah. Kantong ini
mulai dari dasar tengkorak kemudian menyambung ke esophagus setinggi
vertebra servikal 6.
a
Dinidng faring dibentuk oleh (dari dalam keluar) selaput lendir, fasia
faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal. (Adams ,
1997)
Untuk keperluan klinis faring dibagi manjadi 3 bagian utama, yaitu
nasofaring, orofaring, dan laringofaring atau hipofaring. Nasofaring
merupakan sepertiga bagian atas faring, yang tidak dapat bergerak kecuali
palatum mole di bagian bawah. Orofaring terdapat pada bagian tengan faring,
dari batas bawah palatum mole sampai permukaan lingual epiglotis. Pada
orofaring terdapat tonsila palatina dengan arkusnya, dan tonsila lingualis pada
dasar lidah. Hipofaring merupakan bagian bawah faring yang menunjukkan
daerah saluran napas atas yang terpisah dari saluran pencernaan bagian atas
(Adams, 1997).
2.1.2. Nasofaring
Nasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku di atas, belakang,
dan lateral. Di sebelah atas nasofaring dibentuk oleh korpus sfenoid dan
prosesus basilar os. Oksipital, sebelah anterior oleh koana dan palatum mole,
sebelah posterior oleh vertebra servikalis, dan di sebelah inferior nasofaring
Pada dinding posterior terdapat jaringan adenoid yang meluas ke arah kubah.
Pada dinding lateral dan pada resesus faringeus terdapat jaringan limfoid yang
dikenal sebagai fossa Rosenmuller.
Foramen kranial yang terletak berdekatan dan dapat terkena akibat perluasan
penyakit nasofaring, termasuk foramen jugularis yang dilalui nervus
glosofaringeus, vagus, dan asesorius spinalis, dan foramen hipoglosus yang
dilalui nervus hipoglosus.
Struktur pembuluh darah yang penting dan terletak berdekatan adalah sinus
petrosus inferior, vena jugularis interna, cabang-cabang meningeal dari
oksipital dan arteri faringeal asenden.
Tulang temporalis bagian petrosa dan foramen laserum yang letaknya dekat
dengan bagian lateral atap nasofaring.
Batas-batas nasofaring:
Superior
Inferior
durum ke
posterior, batas ini bersifat subyektif karena tergantung dari palatum durum.
Anterior
oleh os vomer
Posterior
2.2.
Karsinoma Nasofaring
A. Epidemiologi
Angka kejadian Kanker Nasofaring (KNF) di Indonesia cukup tinggi,
yakni 4,7 kasus/tahun/100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 8000
kasus per tahun di seluruh Indonesia (Survei yang dilakukan oleh
Departemen Kesehatan pada tahun 1980 secara pathology based). Santosa
(1988) mendapatkan jumlah 716 (8,46%) penderita KNF berdasarkan data
patologi yang diperoleh di Laboratorium Patologi anatomi FK Unair
volatile
menunjukkan
nitrosamine
konsumsi
(misalnya
ikan
makanan
asin),
yang
paparan
protein LMP1 terdiri atas 368 asam amino yang terbagi menjadi 20 asam
amino pada ujung N, 6 segmen protein transmembran (166 asam amino) dan
200 asam amino pada ujung karboksi (C). Protein transmembran LMP1
menjadi perantara untuk sinyal TNF (tumor necrosis factor) dan
meningkatkan regulasi sitokin IL-10 yang memproliferasi sel B dan
menghambat respon imun lokal.
Berbeda halnya dengan jenis kanker kepala dan leher lain, Kanker
Nasofaring (KNF) jarang dihubungkan dengan kebiasaan merokok dan
minum alkohol tetapi lebih dikaitkan dengan virus Epstein Barr, predisposisi
genetik dan pola makan tertentu. Meskipun demikan ada peneliti yg
mencoba menghubungkannya dengan merokok, secara umum resiko terhadap
KNF pada perokok 2-6 kali dibandingkan dengan bukan perokok.
C. Patologi
Nasofaring berhubungan dengan beberapa struktur. Ke anterior
nasofaring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, sehingga
sumbatan hidung merupakan gangguan yang sering timbul. Penyebaran
tumor ke lateral akan menyumbat muara tuba Eustachius sehingga akan
menimbulkan gangguan pendengaran dan penumpukan cairan di telinga
tengah. Di bagian posterior dinding nasofaring melengkung ke atas dan
kedepan, terletak di bawah korpus os sphenoid dan bagian basilar os
oksipital. Nekrosis akibat penekanan mungkin timbul di tempat-tempat
tersebut. Di supero-posterior torus tubarius terdapat resesus faring atau fossa
Rosenmuleri dan tepat di ujung posterosuperiornya terdapat foramen laserum.
Tumor dapat menjalar ke arah intracranial dalam dua arah, yang masingmasing menimbulkan gejala neurologis yang khas. Perluasan langsung
melalui foramen laserum ke sinus kavernosus dan fossa cranii media
menyebabkan gangguan pada N.III, N.IV, N.VI, dan kadang N.II. Penyebaran
ke kelenjar faring lateral dan di sekitar selubung karotis/jugularis pada ruang
10
retroparotis akan menyebabkan gangguan pada N.IX, N.X, N.XI, dan N.XII.
Di nasofaring terdapat banyak saluran limfe yang terutama mengalir ke
lateral dan bermuara di kelenjar retrofaring Krause (kelenjar Rouviere)
(Ballenger, 1997).
Secara makroskopis tumor dapat berupa massa yang menonjol pada
mukosa dan memiliki permukaan halus, bernodul dengan atau tanpa ulserasi
pada permukaan atau massa yang menggantung dan infiltrate. Namun
terkadang tidak dijumpai lesi pada nasofaring.
Secara mikroskopis karsinoma nasofaring dapat dibedakan menjadi 3
bentuk yaitu :
1
Bentuk ulseratif
Bentuk ini paling sering terdapat pada dinding posterior dan di daerah
sekitar fosa rosenmulleri. Juga dapat ditemukan pada dinding lateral
didepan tuba eustachius dan pada bagian atap nasofaring. Lesi ini
biasanya lebih kecil disertai dengan jaringan yang nekrotik dan sangat
mudah mengadakan infiltrasi ke jaringan sekitarnya. Gambaran
histopatologik bentuk ini adalah karsinoma sel skuamosa deengan
diferensiasi baik.
Bentuk noduler/lubuler/proliferative
Bentuk noduler atau lobuler sangat sering
sekitar muara tuba eustachius. Tumor jenis ini berbentuk seperti buah
anggur atau polipoid. Jarang dijumpai adanya ulserasi, namun
kadang-kadang dijumpai ulserasi kecil. Gambaran histopatologik
3
11
palatum mole ke bawah dan tumbuh kearah koana dan masuk ke dalam
rongga hidung. Gambaran histopatologik berupa limfasarkoma.
D. Manifestasi Klinis
Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu
gejala nasofaring sendiri, gejala telinga, gejala mata dan saraf, serta
metastasis, atau gejala di leher. Gejala nasofaring dapat berupa epistaksis
rigan atau sumbatan hidung, untuk itu nasofaring harus diperiksa dengan
cermat, kalau perlu dengan nasofaringoskop, karena sering gejala belum ada
sedangkan tumor sudah tumbuh, atau tumor tidak tampak karena masih
berada dibawah (creeping tumor) (Adham, 2007)
Gangguan pada telinga merupakan gangguan dini yang timbul karena
tempat asal tumor dekat muara tuba eustasius (fossa rosenmuller). Gangguan
dapat berupa tinitus, rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga
(otalgia). Tidak jarang pasien dengan gangguan pendengaran ini kemudian
baru di sadari bahwa penyebabnya adalah karsinoma nasofaring (Adham,
2007)
Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak
melalui beberapa lubang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi
sebagai gejala lanjut karsinoma ini. Penjalaran melalui foramen lacerum akan
mengenai saraf otak ke III, IV, VI dan dapat pula ke V, sehingga tidak jarang
diplopialah gejalayang membawa pasien terlebih dahulu ke dokter mata.
Neuralgia trigeminal merupakan gejala yang sering ditemukan oleh ahli saraf
jika belum terdapat keluhan lain yang berarti (Adham, 2007)
Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI,
dan XII jika penjalaran melalui foramen jugulare, yaitu suatu tempat yang
relatif jauh dari nasofaring. Gangguan ini sering disebut dengan sindrom
Jackson. Bila sudah mengenai seluruh saraf otak disebut sindrom unilateral.
12
Dapat pula disertai dengan destruksi tulang tengkorak dan bila sudah terjadi
demikian, biasanya prognosisnya buruk (Adham, 2007).
Metastasis ke kelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher yang
mendorong pasien untuk berobat, karena sebelumnya tidak terdapat keluhan
ini (Adham, 2007).
E. Stadium
Berdasarkan kesepakatan UICC tahun 1992, stadium karsinoma
nasofaring dibagi menjadi: (Adham, 2007)
T : tumor, menggambarkan keadaan tumor primer, besar, dan perluasannya
T0 : Tidak tampak tumor
T1 : Tumor terbatas pada satu lokasi di nasofaring
T2 : Tumor meluas lebih dari satu lokasi, tetapi masih dalam rongga
nasofaring
T3 : Tumor meluas ke kavum nasi dan atauorofaring
T4 : Tumor meluas ke tengkorak dan atau sudah mengenai saraf otak
N : nodul, menggambarkan kedaan kelenjar limfe regional
N0 : tidak terdapat pembesaran kelenjar
N1 : terdapat pembesaran kelenjar homolateral yang masih dapat
digerakkan
N2 : terdapat pembesaran kelenjar kontralateral atau bilateral yang masih
dapat digerakkan
N3 :
: T1 N0 M0
Stadium II
: T2 N0 M0
Stadium III : T3 N0 M0
T1, T2, T3, N1 M0
Stadium IV : T4 N0, N1 M0
T1 T4 N2,N3 M0
T1 T4 N0 N3 M1
F. Diagnosis
Beberapa cara yang digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis
karsinoma nasofaring:
1
Pemeriksaan nasofaring
Biopsi nasofaring
Diagnosis pasti karsinoma nasofaring ditentukan dengan diagnosis
klinik ditunjang dengan diagnosis histologis dan sitologis. Materi biopsi
yang diperiksa adalah hasil biopsi cucian, aspirasi, atau sikatan (brush).
Biopsi nasofaring dilakukan dengan anestesi topikal melalui 2 jalur, yaitu
melalui hidung dan mulut:
Karsinoma tidak terdiferensiasi. Pada tipe ini sel tumor secara individual
memperlihatkan inti yang vesikuler, berbentuk oval atau bulat dengan nukleoli
yang prominen. Pada umumnya batas sel tidak terlihat dengan jelas.
Tipe tanpa keratinisasi dan tanpa diferensiasi bersifat radiosensitif,
Karsinoma non-keratinisasi
Kedua tipe ini dibagi lagi menjadi tipe terdiferensiasi dan tidak
berdiferensiasi (WHO, 2005).
5
Pemeriksaan radiologi
Tujuan utama pemeriksaan radiologi adalah unutk memberikan
diagnosis yang lebih pasti pada kecurigaan tumor di daerah nasofaring,
15
Foto polos
Karsinoma yang dapat dideteksi secara jelas denga foto
polos pada umumnya adalah tumor eksofitik yang cukup besar,
sedangkan bula kecil mungkin tidak terdeteksi. Perluasan tumor
yang terjadi pada submukosa, atau
CT-Scan
Keunggulan CT-Scan dibandingkan dengan foto polos
adalah kemampuan untuk membedakan berbagai densitas pada
daerah nasofaring. CT Scan mampu membedakan berbagai
densitas pada jaringan lunak maupun perubahan-perubahan pada
tulang. Dapat dinilai lebih akurat mengenai perluasan tumor ke
jaringan sekitar, destruksi tulang, dan penyebaran intracranial
(Wolden, 2001).
G. Diagnosis Banding
1 Hiperplasia adenoid
Biasanya terdapat pada anak-anak, jarang pada orang dewasa, pada
anak-anak hyperplasia ini terjadi Karena infeksi berulang. Pada foto polos
akan terlihat suatu massa jaringna lunak pada aatap nasofaring umunya
16
Angiofibroma juvenilis
Biasanya ditemui pada usia relative muda dengan gejala-gejala
menyerupai KNF. Tumor ini kaya akan pembuluh darah dan biasnya tidak
infiltrative. Pada foto polos akan didapat suatu massa pada atap nasofairng
yang berbatas tegas. Proses dapat meluas seperti pada penyebaran karsinoma,
walaupun jarang menimbulkan destruksi tulang hanya erosi saja karena
penekanan tumor. Biasanya ada pelengkungan ke arah depan dari dinding
belakang sinus maksilaris yang dikenal sebgai antral sign. Karena tumor ini
kaya akan vascular maka arterigrafi carotis eksterna sangat diperlukan sebab
gambaranya sangat karakteristik. Kadang-kadang sulit pula membedakan
angiofibroma juvenils dengan polip hidung pada foto polos.
3
biasanya tumor sudah sampai stadium agak lanjut waktu pasien datang untuk
pemeriksaan pertama.
4
Neurofibroma
Kelompok tumor ini sering timbul pada ruang faring lateral sehingga
agak dalam mengenai ruang para faring dan menonjol kearah lumen
nasofaring. pada sebagian besar kasus terlihat pendesakan ruang parafaring
kearah medial yang tampak pada pemeriksaan C.T.Scan.
6
Chordoma
17
H. Tatalaksana
Radioterapi
Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam
Radioterapi
dilakukan
dengan
radiasi
eksterna,
dapat
18
Komplikasi dini
Biasanya terjadi selama atau beberapa minggu setelah radioterapi,
seperti :
-
Xerostomia - Mual-muntah
19
Mukositis (nyeri telan, mulut kering, dan hilangnya cita rasa) kadang
diperparah dengan infeksi jamur pada mukosa lidah dan palatum
Anoreksi
Eritema
Komplikasi lanjut
Biasanya terjadi setelah 1 tahun pemberian radioterapi, seperti :
Kontraktur
Penurunan pendengaran
Gangguan pertumbuhan
Untuk menghindari efek samping semaksimal mungkin maka sebelum
dan selama pengobatan, bahkan setelah selesai terapi, pasien akan selalu
diawasi oleh dokter. Perawatan sebelum radiasi adalah dengan membenahi
gigi geligi, memberikan informasi kepada pasien mengenai metode
pembersihan ruang mulut dan gigi secara benar. Untuk mengurangi keluhan
penderita juga dapat diberikan obat kumur yang mengandung adstringens,
misalnya bactidol, efisol, gargarisma diberikan 3-4 kali sehari. Bila tampak
tanda-tanda moniliasis diberikan antimikotik misalnya funfilin. Pemberian
obat-obatan yang mengandung anestesi local seperti FG troches bias
mengurangi keluhan nyeri telan. Untuk keluhan umum nausea, anorexia dan
sebgainya bisa diberikan obat-obatan simptomatik terhadap keluhan ini
seperti avomit, avopreg. (Harry, 2002)
Kemoterapi
20
makroskopis.
pada tumor dengan derajat keganasan tinggi ( oleh karena tingginya resiko
21
radioresisten,
or
concomitant
chemoradiotherapy
dimaksud
untuk
membunuh sel kanker yang sensitif terhadap kemoterapi dan mengubah sel
kanker yang radioresisten menjadi lebih sensitif terhadap radiasi. Keuntungan
kemoradioterapi adalah keduanya bekerja sinergistik yaitu mencegah
resistensi, membunuh subpopulasi sel kanker yang hipoksik dan menghambat
recovery DNA pada sel kanker yang sublethal. (Wolden, 2001)
Kelemahan Kemoradioterapi
Kelemahan cara ini adalah meningkatkan efek samping antara lain
mukositis, leukopeni dan infeksi berat. Efek samping yang terjadi dapat
menyebabkan penundaan sementara radioterapi. Toksisitas Kemoradioterapi
dapat begitu besar sehingga berakibat fatal.
Beberapa literatur menyatakan bahwa pemberian kemoterapi secara
bersamaan dengan radiasi dengan syarat dosis radiasi tidak terlalu berat dan
jadwal pemberian tidak diperpanjang, maka sebaiknya gunakan regimen
kemoterapi yang sederhana sesuai jadwal pemberian. (Harry, 2001)
Untuk mengurangi efek samping dari kemoradioterapi diberikan kemoterapi
tunggal (single agent chemotherapy) dosis rendah dengan tujuan khusus
untuk
meningkatkan
sensitivitas
sel
kanker
terhadap
radioterapi
(radiosensitizer). Sitostatika yang sering digunakan adalah Cisplatin, 5Fluorouracil dan MTX dengan response rate 15%-47%.
Operasi
Imunoterapi
23
Faktor penting lainnya adalah host. Dimana bila pasien yang terkena
berumur lebih muda (<40 tahun) dan berjenis kelamin wanita, memiliki
prognosis yang lebih baik.
Selain itu tatalaksana yang baik juga merupakan faktor yang dapat
menentukan prognosis dari pasien (WHO, 2005)
J. PENCEGAHAN
lainnya.
Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak
makanan untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang
berbahaya.
Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan
keadaan sosial ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan
kemungkinan-kemungkinan faktor penyebab. Melakukan tes serologik IgA
24
anti VCA dan IgA anti EA secara massal di masa yang akan datang
bermanfaat dalam menemukan karsinoma nasofaring secara lebih dini.
BAB III
LAPORAN KASUS
1.1 Identifikasi
Nama
: Tn. I
Umur
: 50 tahun
Jenis Kelamin
: laki-laki
Alamat
Pekerjaan
: Wirausaha
Suku/Bangsa
: Indonesia
Tanggal Pemeriksaan
1.2 Anamnesis
Keluhan Utama
: Telinga kiri berdenging sejak 2 tahun yang lalu
Keluhan Tambahan
:Riwayat Penyakit Sekarang
:
OS datang ke poli THT RSMP dengan keluhan telinga kiri berdenging kembali
lebih sering dan mengganggu aktivitas sejak 3 hari yang lalu.
Riwayat Penyakit Dahulu
25
Kurang lebih 2 tahun yang lalu os mengeluh telinga kiri berdenging. Os juga
mengaku muncul benjolan pada leher sebelah kiri. Benjolan kurang lebih
seukuran telur ayam. Benjolan dirasakan nyeri jika dipegang. Os mengeluh sulit
untuk membuka mulut dan lidah tidak dapat dikeluarkan, os juga sulit menelan,
hidung rasa tersumbat (-), ingus keluar dari lubang hidung (-). Keluhan sering
mimisan disangkal. Penurunan pendengaran disangkal. Riwayat pernah keluar
air dan nyeri telinga sebelumnya juga disangkal.
Riwayat Penyakit dalam Keluarga :
Tidak ada di keluaga yang mengalami keluhan yang sama seperti os
Riwayat Pengobatan :
Os pernah berobat pada tahun 2013 karena mengeluh telinga berdenging dan
terdapat benjolan di leher sebelah kiri. Dan os juga pernah menjalankan
kemoterapi sebanyak 35 kali.
Riwayat Allergi :
Os mengaku tidak memiliki riwayat alergi makanan, obat-obatan, tidak pernah
bersin-bersin saat terkena debu atau dingin.
1.2.
Pemeriksaaan Fisik
Status present
Keadaan umum
Kesadaran
TD : 110/70mmHg
Nadi : 82x/menit
: Baik
: Compos mentis
RR : 20x/menit
Temp : 36,6oC
Status lokalis
Telinga
Auricula
Nyeri
tekan
Kanan
Kiri
Normal
Normal
tragus
Serumen
26
Otalgia
Otorrhe
Edema
Hiperemis
Sekret
Membran timpani
Kanan
Kiri
Refleks cahaya
Retraksi
Bulging
Perforasi
Luar
Kanan
Kiri
Bentuk
Normal
Normal
Inflamasi
Nyeri tekan
Deformitas
Cavum nasi
Kanan
Kiri
Bentuk
Normal
Normal
Mukosa
Normal
Normal
Sekret
Hidung
Kiri
Edema
Mukosa hiperemis
27
Septum nasi
Kanan
Kiri
Deviasi
Benda asing
Perdarahan
Kanan
Kiri
palatina
besar
warna
Kripta
T1
Normal
-
T1
normal
-
melebar
detritus
Pemeriksaan Leher :
Tidak ditemukan massa di region colli dextra-et sinistra, nyeri tekan (-).
1.3.
Diagnosis Kerja
Tinitus ec riwayat Karsinoma Nasofaring
1.4.
Tatalaksana
- Analgetik seperti asam mefenamat 3x 500mg
- Vitamin seperti neurodex 3x1
1.9 Prognosis
Quo ad vitam: Dubia ad bonam
Quo ad functionam: Dubia ad bonam
BAB IV
PEMBAHASAN
28
DAFTAR PUSTAKA
Adams, George L. 1997. Embriologi, Anatomi dan Fisiologi Rongga Mulut,
Faring, Esofagus, dan Leher, dalam BIOES Buku Ajar Penyakit
THT Edisi Keenam. Jakarta: EGC. Hal: 263-271
29
2006,
available
from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1559589/pdf/17501172-1-23.pdf
Harry a. Asroel. Penatalaksanaan radioterapi pada karsinoma nasofaring.
Referat. Medan: FK USU,2002.h. 1-11.
Lu Jiade J, Cooper Jay S, M Lee Anne WM. The epidemiologi of
Nasopharigeal Carcinoma In : Nasopharyngeal Cancer. Berlin :
Springer,2010. p. 1-9.
Wolden, Suzanne L. 2001. Cancer of Nasopharynx, dalam buku Atlas of
Clinical Oncology: Cancer of the Head and Neck. London: BC
Decker inc. Page: 142-156
World Health Organization. 2005. World Health Organization Classification
Head and Neck Tumours. Lyon: IARC Press. Available at:
www.iarc.fr/IARCPress/pdfs/index1.php accessed: 17 September
2015.
30
31