Anda di halaman 1dari 43

0

MANIFESTASI PERMASALAHAN EMISI GAS BUANG DARI


KEGIATAN TRANSPORTASI DAN DAMPAKNYA TERHADAP
KESEHATAN DAN LINGKUNGAN

OLEH:
SYAIFUL RAMADHAN HARAHAP

Makalah ini disampaikan pada seminar Fakultas Pertanian


Universitas Islam Indragiri (UNISI)
Pada tanggal 17 April 2012
Dosen Budidaya Perairan Fakultas Perikanan

FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS ISLAM INDRAGIRI
TEMBILAHAN
2012

I. PENDAHULUAN

Dalam beberapa tahun terakhir ini, tingkat emisi kenderaan di beberapa


kota besar di Indonesia telah mencapai ambang yang mencemaskan. Dalam
sebuah penelitian mengenai tingkat emisi kenderaan di 20 kota besar di seluruh
dunia, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan 600 juta orang
hidup di kota besar yang tingkat pencemaran SO2 melebihi batas ambang emisi
kenderaan, dan sekitar 1.25 milyar orang tinggal di kota-kota besar yang tingkat
pencemaran debunya (SPM) sudah sangat tinggi (Sutiono, 2007).
Kota-kota besar di Indonesiapun tidak luput dari permasalahan emisi
kenderaan. Hasil pemantauan yang dilakukan oleh stasiun-stasiun emisi
kenderaan Badan Meteorologi dan Geofisika di beberapa kota besar seperti
Jakarta, Bandung dan Surabaya menunjukkan bahwa tingkat ambang pencemaran
debu (Suspended Particulate Matter SPM), Timah Hitam (Pb), NO2, CO dan
SO2 terus naik sejak tahun 1980.
Beberapa aktivitas kegiatan manusia yang dapat mengakibatkan emisi
kenderaan antara lain adalah kegiatan transportasi. Sektor Transportasi merupakan
penyumbang utama emisi kenderaan di daerah perkotaan dan lebih dari 70% emisi
kenderaan di kota-kota besar berasal dari kendaraan bermotor (Haeruman, 2007).
Dengan pertumbuhan sektor transportasi sebesar 6 - 8% per tahun, maka
penggunaan bahan bakar jika dapat diperkirakan sebagai berikut: tahun 1998
sebesar 2,1 kali, tahun 2008 sebesar 4,6 kali, dan tahun 2018 sebesar 9 kali.
Disamping menimbulkan emisi kenderaan, sektor transportasi juga memberikan

kontribusi yang sangat besar terhadap kerusakan lingkungan global akibat


konsumsi energi yang berlebihan (Armely, 2007).
Seperempat dari seluruh penduduk Indonesia bertempat tinggal dan
bekerja di wilayah perkotaan dan pada tahun 2010 jumlah tersebut akan mencapai
45%. Pertumbuhan penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan tersebut akan
berakumulasi dengan pesatnya tingkat pertumbuhan kendaraan, yang pada
gilirannya berdampak langsung terhadap penggunaan energi bahan bakar.
Sebagaimana diketahui bahwa salah satu penyebab utama kerusakan lingkungan
global adalah pola konsumsi energi yang berlebihan dan akan menghasilkan
limbah dalam jumlah yang tidak sedikit. Oleh sebab itu, pengambilan keputusan
yang berkaitan dengan sektor energi dan lingkungan tidak hanya berdasarkan pada
mekanisme dan konteks pembangunan ekonomi saja, tapi juga berdasarkan pada
mekanisme dan konteks dampak lingkungan dan konsumsi energi (Study
Surabaya Integrated Transport Network Planning dalam JICA, 1997)
Kesadaran masyarakat akan emisi kenderaan akibat gas buang kendaraan
bermotor di kota-kota besar saat ini makin tinggi. Dari berbagai sumber bergerak
seperti mobil penumpang, truk, bus, lokomotif kereta api, kapal terbang, dan kapal
laut, kendaraan bermotor saat ini maupun dikemudian hari akan terus menjadi
sumber yang dominan dari emisi kenderaan di perkotaan. Di DKI Jakarta,
kontribusi bahan pencemar dari kendaraan bermotor ke udara adalah sekitar 70 %
(Haeruman, 2007).
Resiko kesehatan yang dikaitkan dengan emisi kenderaan di perkotaan
secara umum, banyak menarik perhatian dalam beberapa dekade belakangan ini.
Di banyak kota besar,

gas

buang kendaraan bermotor menyebabkan

ketidaknyamanan pada orang yang berada di tepi jalan dan menyebabkan masalah
emisi kenderaan pula. Beberapa studi epidemiologi dapat menyimpulkan adanya
hubungan yang erat antara tingkat emisi kenderaan perkotaan dengan angka
kejadian (prevalensi) penyakit pernapasan. Pengaruh dari pencemaran khususnya
akibat kendaraan bermotor tidak sepenuhnya dapat dibuktikan karena sulit
dipahami dan bersifat kumulatif. Kendaraan bermotor akan mengeluarkan
berbagai gas jenis maupun partikulat yang terdiri dari berbagai senyawa anorganik
dan organik dengan berat molekul yang besar yang dapat langsung terhirup
melalui hidung dan mempengaruhi masyarakat di jalan raya dan sekitarnya.
Makalah ini akan mengulas akar permasalahan, komposisi dan dampak
emisi kenderaan yang diakibatkan oleh emisi gas buang kendaraan bermotor
terhadap kesehatan maupun lingkungan khususnya kendaraan bermotor dengan
bahan bakar fosil.

II. HUBUNGAN MANIFESTASI DAN AKAR PERMASALAHAN EMISI


TRANSPORTASI

Hayashi (1996) menyatakan bahwa manifestasi permasalahan transportasi


merupakan perwujudan dari masalah-masalah yang timbul khususnya di bidang
lingkungan. Akar permasalahan adalah faktor-faktor penyebab yang dapat
menimbulkan manifestasi permasalahan lingkungan, akar permasalahan di sektor
transportasi meliputi tekanan pembangunan pada konsep pertumbuhan ekonomi,
peningkatan pendapatan dan pemilikan kendaraan, perubahan perilaku masyarakat
ke perilaku nyaman, globalisasi dan perkembangan tata ruang / tata guna lahan.
Manifestasi permasalahan di sektor transportasi terdiri dari; emisi kenderaan dan
kebisingan, kerusakan lingkungan, getaran, kemacetan dan kecelakaan lalu-lintas.

2.1. Manifestasi Permasalahan


Perlindungan terhadap kapasitas fungsi atmosfer merupakan program yang
sangat penting. Ini disebabkan atmosfer mempunyai banyak fungsi yang sangat
vital sebagai sistem pendukung di bumi. Kapasitas atmosfer sebagai pendukung
kehidupan vital terutama ditentukan oleh komposisinya dan perubahan netto
dalam komposisi atmosfer sebagai fungsi dari bahan-bahan yang dilepaskan ke
udara sebagai pencemar udara akibat penggunaan Sumber Daya Alam oleh
kegiatan manusia. Kerusakan atmosfer terjadi karena meningkatnya konsentrasi
CO2, CH4, CFC, dan NO2. Kerusakan tersebut dapat menyebabkan terganggunya
keseimbangan suhu di bumi.
Penyumbang utama pencemar udara berasal dari sektor transportasi. Pada
tahun 1990, sektor transportasi darat bertanggung jawab terhadap setengah dari

total emisi SPM dan sebagian besar Pb, CO, HC, dan NOX di daerah perkotaan
(Agenda-21), dimana tingkat emisi kenderaan hampir melampaui standar kualitas
udara ambien. Berdasarkan hasil penelitian di Amerika, industri transportasi telah
membangkitkan setengah dari 200 ton gas buang yang mengotori udara setiap
tahunnya, dengan mobil sebagai kontribusi utama (Tabel 1).
Tabel 1. Tingkat Emisi Emisi Kenderaan pada Transportasi Penumpang di
Amerika

Polutan
Karbon Monoksida

Tingkat Emisi per Penumpang Mil (mg)


Mobil
K.A Diesel
Mobil
KRL
Penumpang
Diesel
28.420

775

630

1.440

155

130

45

25

20

Nitrogen Oksida

990

465

380

Trace

Sulfur Oksida

110

710

250

40

Hidrokarbon
Aldehida

Timbal

Sumber: Japan International Cooperation Agency (JICA), (1997)

Tingginya tingkat emisi kenderaan yang melebihi batas standar toleransi


emisi kenderaan telah menyebabkan gangguan kesehatan pada masyarakat,
sebagaimana ditunjukkan hasilnya di tiga kota besar di Indonesia (Tabel 2).

Tabel 2. Persoalan Kesehatan yang Berkaitan dengan Emisi kenderaan di


Jakarta, Bandung dan Surabaya Tahun 1990
Jenis
Pencemaran
Debu

NO2
Timah Hitam

Persoalan Kesehatan
- Kematian Dini
- Rawat Rumah Sakit
- Kunjungan ke Gawat Darurat
- Jml Hari Tdk Bekerja
- Ganggguan Tenggorokan pada anak
- Serangan Asma
- Kronik Bronchitis
- Gangguan Tenggorokan
- Kematian Dini
- Darah Tinggi
- Serangan Jantung

Jumlah Kasus
Jakarta Bandung Surabaya
1.160
2.071
40.625
6.380.639
104.121
464.148
10.562
1.773.427
223
135.656
183

17
30
597
93.733
1.530
6.818
155
14.213
28
20.256
28

216
386
7.572
1.189.311
19.408
86.514
1.969
177.989
216
35.156
44

Sumber: Japan International Cooperation Agency (JICA),(1997)

Menurut Tugaswati, et al. (1995) diperoleh bahwa biaya yang dipikul


masyarakat Jabotabek (Jakarta-TangerangBogorBekasi) akibat menurunnya IQ
anak diakibatkan konsentrasi timbal di udara yang melebihi 1 g/m3 atau kerugian
diperkirakan sebesar Rp. 176 milyar pada tahun 1990. Jika dikaitkan dengan
tingkat pertumbuhan lalu-lintas, maka diperkirakan biaya kerugian ini akan
meningkat menjadi Rp. 254 milyar pada tahun 2005, dengan catatan bahwa biaya
ini belum termasuk jumlah kerugian terhadap penyakit lainnya yaitu penyakit
darah tinnggi dan jantung pada orang dewasa.
Homburger (dalam Poernomosidhi, 1995) mengatakan bahwa emisi gas
buang yang menyebabkan emisi kenderaan tergantung dari variabel-variabel
mesin kendaraan, cara pengoperasian kendaraan, komposisi zat-zat kimia pada
bahan bakar, kondisi atmosfer setempat dan pemeliharaan mesin kendaraan.
Dampak dari variabel-variabel tersebut pada emisi gas buang berbeda untuk
masing-masing polutan.

Moestikahadi (2000) menyatakan bahwa beberapa kondisi yang perlu


diperhatikan dalam memperkirakan tingkat emisi kenderaan dikaitkan dengan
perilaku operasional kendaraan, yaitu: Pengukuran emisi kenderaan bersifat
langsung (misalnya kendaraan di jalan), padahal Kereta Listrik juga menimbulkan
emisi kenderaan yang terjadi di pembangkit listriknya; Tingkat polusi bervariasi
antara berbagai kendaraan dalam kelas yang sama atau pada kelas yang berbeda;
Berbagai kondisi operasi menghasilkan polusi yang berbeda. Cara pembuangan
emisi gas buang di daerah rural dengan sirkulasi angin yang baik maka asap
kendaraan akan menyebar jika dibandingkan dengan di daerah urban yang penuh
dengan bangunan sehingga tingkat polusi akan berakumulasi.
Cara mengevaluasi gangguan akibat emisi kenderaan masih dianggap
primitif. Cara pendekatan langsung adalah mengukur hilangnya hari produksi
disebabkan oleh

penyakit

yang diderita

oleh tenaga

proses

produksi

(Moestikahadi, 2000)

2.2. Akar Permasalahan


Miller (1985) menyatakan ada empat akar permasalahan pokok yang
mengakibatkan munculnya manifestasi permasalahan lingkungan seperti yang
telah dijelaskan di atas, yaitu :
1. Tekanan Pembangunan Pada Konsep Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi telah mendorong laju pertumbuhan di berbagai
sektor pembangunan terutama di negara-negara berkembang. Negara berkembang
masih

membutuhkan

pertumbuhan

ekonomi

yang

meningkatkan pendapatan per kapita masyarakatnya.

cukup

tinggi

untuk

Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut tidak dapat


melepaskan ketergantungannya pada Sumber Daya Alam dan Energi, sehingga
dengan demikian adanya konsep pembangunan yang berkelanjutan menjadi
dilematis. Menurut Rostow (dalam Watt, 1973) terdapat kaitan antara penyediaan
transportasi dan perkembagan/pertumbuhan ekonomi adalah transportasi yang
baik akan menawarkan biaya pengiriman murah yang memungkinkan pasar makin
luas serta eksploitasi produksi berskala besar terhadap banyak ruang kegiatan.

2. Peningkatan Pendapatan dan Pemilikan Kendaraan


Akibat meningkatnya pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi di negaranegara

berkembang

seperti

Indonesia,

secara

langsung

mengakibatkan

peningkatan pendapatan yang pada gilirannya akan berdampak kepada permintaan


yang tinggi terhadap sektor transportasi (pemilikan kendaraan). Sementara itu,
peningkatan permintaan pada Sektor Transportasi akan menimbulkan dampak
pada kerusakan lingkungan global (emisi kenderaan) dan peningkatan konsumsi
energi.

3. Perubahan Perilaku Masyarakat ke Perilaku Nyaman


Hal ini telah mendorong permintaan akan kendaraan pribadi lebih besar
daripada mobil angkutan umum, padahal eksternalitas negatif yang ditimbulkan
oleh mobil pribadi yaitu berkaitan dengan emisi kenderaan dan konsumsi energi
yang lebih besar dari pada angkutan umum.

4. Perkembangan Tata Ruang / Tata Guna Lahan


Menurut Homburger (dalam Poernomosidhi, 1995) bahwa dampak dari
peningkatan emisi gas buang kendaraan juga tergantung dari pola tata guna lahan.

Spesifikasi suatu penataan ruang sangat berpengaruh terhadap tipe dan jumlah
kendaraan yang berada dalam wilayah tersebut sehingga penataan suatu
ruang/wilayah kota secara signifikan akan sangat berpengaruh terhadap emisi
kenderaan. Pengaturan tata ruang wilayah yang salah akan bedampak kepada
penurunan kecepatan arus lalu-lintas dan akan memicu terjadinya kemacetan.
Semakin besar kemacetan yang terjadi maka semakin besar pula pemborosan
energi (penggunaan BBM) dan emisi kenderaan semakin tak terkendalikan.

10

III. KOMPOSISI DAN PERILAKU GAS BUANG KENDARAAN


BERMOTOR

Pada umumnya dalam berbagai kasus emisi kenderaan, dalam hal ini emisi
kenderaan yang diakibatkan oleh gas buang emisi kendaraan bermotor,
dibutuhkan upaya segera dalam penanggulangannya. Pemantauan udara ambien
dan emisi telah dilaksanakan di DKI Jakarta. Hasil pemantauan JICA (1997)
menunjukan bahwa diantara berbagai bahan pencemaran yang dipantau, jenis
pencemar udara yang sering melampaui kriteria mutu udara, adalah partikulat dan
hidrokarbon (non-metan). Walaupun hasil

penelitian mengenai

dampak

pencemaran kedua parameter tersebut masih belum konsisten, mengingat dampak


yang telah disebutkan di atas, maka pencemaran partikulat dan hidrokarbon yang
dicurigai dapat bersifat karsinogenik dan mutagenik, perlu diwaspadai.
Emisi kendaraan bermotor mengandung berbagai senyawa kimia.
Komposisi dari kandungan senyawa kimianya tergantung dari kondisi
mengemudi, jenis mesin, alat pengendali emisi bahan bakar, suhu operasi dan
faktor lain yang semuanya ini membuat pola emisi menjadi rumit. Jenis bahan
bakar pencemar yang dikeluarkan oleh mesin dengan bahan bakar bensin maupun
bahan bakar solar sebenarnya sama saja, hanya berbeda proporsinya karena
perbedaan cara operasi mesin. Secara visual selalu terlihat asap dari knalpot
kendaraan bermotor dengan bahan bakar solar, yang umumnya tidak terlihat pada
kendaraan bermotor dengan bahan bakar bensin (Tugaswati, et al., 1995).
Menurut Moestikahadi (2000) walaupun gas buang kendaraan bermotor
terutama terdiri dari senyawa yang tidak berbahaya seperti nitrogen, karbon
dioksida dan uap air, tetapi di dalamnya terkandung juga senyawa lain dengan

11

jumlah yang cukup besar yang dapat membahayakan kesehatan maupun


lingkungan. Bahan pencemar yang terutama terdapat didalam gas buang buang
kendaraan bermotor adalah karbon monoksida (CO), berbagai senyawa
hindrokarbon, berbagai oksida nitrogen (NOx) dan sulfur (SOx), dan partikulat
debu termasuk timbal (Pb). Bahan bakar tertentu seperti hidrokarbon dan timbal
organik, dilepaskan ke udara karena adanya penguapan dari sistem bahan bakar.
Lalu lintas kendaraan bermotor, juga dapat meningkatkan kadar partikulat debu
yang berasal dari permukaan jalan, komponen ban dan rem.
Tugaswati, et al. (1995) menyatakan bahwa setelah berada di udara,
beberapa senyawa yang terkandung dalam gas buang kendaraan bermotor dapat
berubah karena terjadinya suatu reaksi, misalnya dengan sinar matahari dan uap
air, atau juga antara senyawa-senyawa tersebut satu sama lain. Proses reaksi
tersebut ada yang berlangsung cepat dan terjadi saat itu juga di lingkungan jalan
raya, dan adapula yang berlangsung dengan lambat. Reaksi kimia di atmosfer
kadangkala berlangsung dalam suatu rantai reaksi yang panjang dan rumit, dan
menghasilkan produk akhir yang dapat lebih aktif atau lebih lemah dibandingkan
senyawa aslinya. Sebagai contoh, adanya reaksi di udara yang mengubah nitrogen
monoksida (NO) yang terkandung di dalam gas buang kendaraan bermotor
menjadi nitrogen dioksida (NO2 ) yang lebih reaktif, dan reaksi kimia antara
berbagai oksida nitrogen dengan senyawa hidrokarbon yang menghasilkan ozon
dan oksida lain, yang dapat menyebabkan asap awan fotokimi (photochemical
smog). Pembentukan smog ini kadang tidak terjadi di tempat asal sumber (kota),
tetapi dapat terbentuk di pinggiran kota. Jarak pembentukan smog ini tergantung
pada kondisi reaksi dan kecepatan angin.

12

Moestikahadi (2000) mengemukakan bahwa bahan pencemar yang


sifatnya lebih stabil seperti timbal (Pb), beberapa hidrokarbon-halogen dan
hidrokarbon poliaromatik, dapat jatuh ke tanah bersama air hujan atau mengendap
bersama debu, dan mengkontaminasi tanah dan air. Senyawa tersebut selanjutnya
juga dapat masuk ke dalam rantai makanan yang pada akhirnya masuk ke dalam
tubuh manusia melalui sayuran, susu ternak, dan produk lainnya dari ternak
hewan. Karena banyak industri makanan saat ini akan dapat memberikan dampak
yang tidak diinginkan pada masyarakat kota maupun desa.
Menurut Dahlan (2004) emisi gas buang kendaraan bermotor juga
cenderung membuat kondisi tanah dan air menjadi asam. Pengalaman di negara
maju membuktikan bahwa kondisi seperti ini dapat menyebabkan terlepasnya
ikatan tanah atau sedimen dengan beberapa mineral/logam, sehingga logam
tersebut dapat mencemari lingkungan.
Di dalam pengendalian emisi kenderaan, seringkali teknologi yang tepat
belum tentu menjamin dapat segera terlaksananya upaya tersebut. Pertimbangan
segi ekonomi sering menjadi kendala utama. Di lain pihak kadang pemecahan
tidak segera dapat ditemukan karena kurangnya fasilitas teknologi yang ada.
Dalam keadaan seperti ini maka upaya pengendalian pencemaran terhadap
lingkungan dapat dilakukan secara administratif dengan menerapkan peraturan
perundangan yang telah ada secara ketat.

13

IV. DAMPAK EMISI TRANSPORTASI TERHADAP KESEHATAN

4.1. Bahaya Emisi terhadap Kesehatan


Senyawa-senyawa di dalam gas buang terbentuk selama energi diproduksi
untuk mejalankan kendaraan bermotor. Beberapa senyawa yang dinyatakan dapat
membahayakan kesehatan adalah berbagai oksida sulfur, oksida nitrogen, dan
oksida karbon, hidrokarbon, logam berat tertentu dan partikulat. Pembentukan gas
buang tersebut terjadi selama pembakaran bahan bakar fosil bensin dan solar
didalam mesin.
Dibandingkan dengan sumber stasioner seperti industri dan pusat tenaga
listrik, jenis proses pembakaran yang terjadi pada mesin kendaraan bermotor tidak
sesempurna di dalam industri dan menghasilkan bahan pencemar pada kadar yang
lebih tinggi, terutama berbagai senyawa organik dan oksida nitrogen, sulfur dan
karbon. Selain itu gas buang kendaraan bermotor juga langsung masuk ke dalam
lingkungan jalan raya yang sering dekat dengan masyarakat, dibandingkan dengan
gas buang dari cerobong industri yang tinggi. Dengan demikian maka masyarakat
yang tinggal atau melakukan kegiatan lainnya di sekitar jalan yang padat lalu
lintas kendaraan bermotor dan mereka yang berada di jalan raya seperti para
pengendara bermotor, pejalan kaki, dan polisi lalu lintas, penjaja makanan sering
kali terpajan oleh bahan pencemar yang kadarnya cukup tinggi. Estimasi dosis
pemajanan sangat tergantung kepada tinggi rendahnya pencemar yang dikaitkan
dengan kondisi lalu lintas pada saat tertentu.
Keterkaitan antara emisi kenderaan di perkotaan dan kemungkinan adanya
resiko terhadap kesehatan, baru dibahas pada beberapa dekade belakangan ini.

14

Pengaruh yang merugikan mulai dari meningkatnya kematian akibat adanya


episod smog sampai pada gangguan estetika dan kenyamanan. Gangguan
kesehatan lain diantara kedua pengaruh yang ekstrim ini, misalnya kanker pada
paru-paru atau organ tubuh lainnya, penyakit pada saluran tenggorokan yang
bersifat akut maupun khronis, dan kondisi yang diakibatkan karena pengaruh
bahan pencemar terhadap organ lain seperti paru, misalnya sistem syaraf. Karena
setiap individu akan terpajan oleh banyak senyawa secara bersamaan, sering kali
sangat sulit untuk menentukan senyawa mana atau kombinasi senyawa yang mana
yang paling berperan memberikan pengaruh membahayakan terhadap kesehatan.
Sutiono (2007) menyatakan bahwa bahaya gas buang kendaraan bermotor
terhadap kesehatan tergantung dari toksisitas (daya racun) masing-masing
senyawa dan seberapa luas masyarakat terpajan olehnya. Beberapa faktor yang
berperan di dalam ketidakpastian setiap analisis resiko yang dikaitkan dengan gas
buang kendaraan bermotor antara lain adalah:
1. Definisi tentang bahaya terhadap kesehatan yang digunakan
2. Relevansi dan interpretasi hasil studi epidemiologi dan eksperimental
3. Realibilitas dari data pajanan
4. Jumlah manusia yang terpajan
5. Keputusan untuk menentukan kelompok resiko yang mana yang akan
dilindungi
6. Interaksi antara berbagai senayawa di dalam gas buang, baik yang sejenis
maupun antara yang tidak sejenis
7. Lamanya terpajan (jangka panjang atau pendek)

15

Pada umumnya istilah dari bahaya terhadap kesehatan yang digunakan


adalah pengaruh bahan pencemar yang dapat menyebabkan meningkatnya resiko
atau penyakit atau kondisi medik lainnya pada seseorang ataupun kelompok
orang. Pengaruh ini tidak dibatasi hanya pada pengaruhnya terhadap penyakit
yang dapat dibuktikan secara klinik saja, tetapi juga pada pengaruh yang pada
suatu mungkin juga dipengaruhi faktor lainnya seperti umur misalnya.
Telah banyak bukti bahwa anak-anak dan para lanjut usia merupakan
kelompok yang mempunyai resiko tinggi di dalam peristiwa emisi kenderaan.
Anak-anak lebih peka terhadap infeksi saluran pernafasan dibandingkan dengan
orang dewasa, dan fungsi paru-paru nya juga berbeda. Para usia lanjut masuk di
dalam kategori kelompok resiko tinggi karena penyesuaian kapasitas dan fungsi
paru-paru menurun, dan pertahanan imunitasnya melemah. Karena kapasitas paruparu dari penderita penyakit jantung dan paru-paru juga rendah, kelompok ini juga
sangat peka terhadap emisi kenderaan (Kupchella dalam Poernomosidhi, 1995).
Sutiono (2007) juga menyatakan bahwa berdasarkan sifat kimia dan
perilakunya di lingkungan, dampak bahan pencemar yang terkandung di dalam
gas buang kendaraan bermotor dapat digolongkan sebagai berikut:
1. Bahan-bahan pencemar yang terutama mengganggu saluran pernafasan.
Yang termasuk dalam golongan ini adalah oksida sulfur, partikulat, oksida
nitrogen, ozon dan oksida lainnya.
2. Bahan-bahan pencemar yang menimbulkan pengaruh racun sistemik,
seperti hidrokarbon monoksida dan timbal/timah hitam.
3. Bahan-bahan pencemar yang dicurigai menimbulkan kanker seperti
hidrokarbon.

16

4. Kondisi yang mengganggu kenyamanan seperti kebisingan, debu jalanan,


dan lain-lain.

4.2. Bahan-Bahan
Pernafasan

Pencemar

yang

Terutama

Mengganggu

Saluran

Organ pernafasan merupakan bagian yang diperkirakan paling banyak


mendapatkan pengaruh karena yang pertama berhubungan dengan bahan
pencemar udara. Sejumlah senyawa spesifik yang berasal dari gas buang
kendaraan bermotor seperti oksida-oksida sulfur dan nitrogen, partikulat dan
senyawa-senyawa oksidan, dapat menyebabkan iritasi dan radang pada saluran
pernafasan. Walaupun kadar oksida sulfur di dalam gas buang kendaraan
bermotor dengan bahan bakar bensin relatif kecil, tetapi tetap berperan karena
jumlah kendaraan bermotor dengan bahan bakar solar makin meningkat. Selain itu
menurut studi epidemniologi, oksida sulfur bersama dengan partikulat bersifat
sinergetik sehingga dapat lebih meningkatkan bahaya terhadap kesehatan.

4.2.1. Oksida Sulfur dan Partikulat


Sutiono (2007) menyatakan bahwa Sulfur dioksida (SO2) merupakan gas
buang yang larut dalam air dan langsung dapat terabsorbsi di dalam hidung dan
sebagian besar saluran ke paru-paru. Karena partikulat di dalam gas buang
kendaraan bermotor berukuran kecil, partikulat tersebut dapat masuk sampai ke
dalam alveoli paru-paru dan bagian lain yang sempit. Partikulat gas buang
kendaraan bermotor terutama terdiri jelaga (hidrokarbon yang tidak terbakar) dan
senyawa anorganik (senyawa-senyawa logam, nitrat dan sulfat).
Sulfur dioksida di atmosfer dapat berubah menjadi kabut asam sulfat
(H2SO4) dan partikulat sulfat. Sifat iritasi terhadap saluran pernafasan,

17

menyebabkan SO2 dan partikulat dapat membengkakan membran mukosa dan


pembentukan mukosa dapat meningkatkan hambatan aliran udara pada saluran
pernafasan. Kondisi ini akan menjadi lebih parah bagi kelompok yang peka,
seperti penderita penyakit jantung atau paru-paru dan para lanjut usia (Sutiono,
2007).

4.2.2. Oksida Nitrogen


Menurut Watt (1973) diantara berbagai jenis oksida nitrogen yang ada di
udara, nitrogen dioksida (NO2) merupakan gas yang paling beracun. Karena
larutan NO2 dalam air yang lebih rendah dibandingkan dengan SO2, maka NO2
akan dapat menembus ke dalam saluran pernafasan lebih dalam. Bagian dari
saluran yang pertama kali dipengaruhi adalah membran mukosa dan jaringan
paru. Organ lain yang dapat dicapai oleh NO2 dari paru adalah melalui aliran
darah.
Menurut Sutiono (2007) karena data epidemilogi tentang resiko pengaruh
NO2 terhadap kesehatan manusia sampai saat ini belum lengkap, maka
evaluasinya banyak didasarkan pada hasil studi eksprimental. Berdasarkan studi
menggunakan binatang percobaan, pengaruh yang membahayakan seperti
misalnya meningkatnya kepekaan terhadap radang saluran pernafasan, dapat
terjadi setelah mendapat pajanan sebesar 100 g/m3. Percobaan pada manusia
menyatakan bahwa kadar NO2 sebsar 250 g/m3 dan 500 g/m3 dapat
mengganggu fungsi saluran pernafasan pada penderita asma dan orang sehat.

18

4.2.3. Ozon dan Oksida Lainnya


Karena ozon lebih rendah lagi larutannya dibandingkan SO2 maupun NO2,
maka hampir semua ozon dapat menembus sampai alveoli. Ozon merupakan
senyawa oksidan yang paling kuat dibandingkan NO2 dan bereaksi kuat dengan
jaringan tubuh. Evaluasi tentang dampak ozon dan oksidan lainnya terhadap
kesehatan yang dilakukan oleh WHO task group menyatakan pemajanan oksidan
fotokimia pada kadar 200-500 g/m dalam waktu singkat dapat merusak fungsi
paru-paru anak, meningkat frekwensi serangan asma dan iritasi mata, serta
menurunkan kinerja para olaragawan (World Health Organization, 1977b).

4.3. Bahan-Bahan Pencemar yang Menimbulkan Pengaruh Racun Sistemik


Menurut Sutiono (2007) banyak senyawa kimia dalam gas buang
kendaraan bermotor yang dapat menimbulkan pengaruh sistemik karena setelah
diabsorbsi oleh paru, bahan pencemar tersebut dibawa oleh aliran darah atau
cairan getah bening ke bagian tubuh lainnya, sehingga dapat membahayakan
setiap organ di dalam tubuh. Senyawa-senyawa yang masuk ke dalam hidung dan
ada dalam mukosa bronkial juga dapat terbawa oleh darah atau tertelan masuk
tenggorokan dan diabsorbsi masuk ke saluran pencernaan.
Sutiono (2007) selanjutnya juga menyatakan bahwa selain pemajanan
langsung ada pula pemajanan yang tidak langsung, misalnya melalui makanan,
seperti timah hitam. Diantara senyawa-senyawa yang terkandung di dalam gas
kendaraan bermotor yang dapat menimbulakan pengaruh sistemik, yang paling
penting adalah karbon monoksida dan timbal.

19

4.3.1. Karbon Monoksida


Karbon monoksida dapat terikat dengan haemoglobin darah lebih kuat
dibandingkan dari oksigen membentuk karboksihaemoglobin (COHb), sehingga
menyebabkan terhambatnya pasokan oksigen ke jaringan tubuh. Pajanan CO
diketahui dapat mempengaruhi kerja jantung (sistem kardiovaskuler), sistem
syaraf pusat, juga janin, dan semua organ tubuh yang peka terhadap kekurangan
oksigen (Wardhana, 1999)
Menurut Sutiono (2007) pengaruh CO terhadap sistem kardiovaskuler
cukup nyata teramati walaupun dalam kadar rendah. Penderita penyakit jantung
dan penyakit paru merupakan kelompok yang paling peka terhadap pajanan CO.
Studi eksperimen terhadap pasien jantung dan penyakit pasien paru, menemukan
adanya hambatan pasokan oksigen ke jantung selama melakukan latihan gerak
badan pada kadar COHb yang cukup rendah 2,7 %.
Walker, et al. (1996) menyatakan bahwa pengaruh pajanan CO kadar
rendah pada sistem syaraf dipelajari dengan suatu uji psikologi. Walaupun diakui
interpretasi dari hasil uji seperti ini sulit ditemukan bahwa kadar COHb 16 %
dianggap membahayakan kesehatan. Pengaruh bahaya ini tidak ditemukan pada
kadar COHb sebesar 5%.
Menurut WHO (1977a), pengaruh terhadap janin pada prinsipnya adalah
karena pajanan CO pada kadar tinggi dapat menyebabkan kurangnya pasokan
oksigen pada ibu hamil yang konsekuennya akan menurunkan tekanan oksigen di
dalam plasenta dan juga pada janin dan darah. Hal ini dapat menyebabkan
kelahiran prematur atau bayi lahir dengan berat badan rendah dibandingkan
normal. Menurut evaluasi WHO, kelompok penduduk yang peka (penderita

20

penyakit jantung atau paru-paru) tidak boleh terpajan oleh CO dengan ka dar yang
dapat membentuk COHb di atas 2,5%. Kondisi ini ekivalen dengan pajanan oleh
CO dengan kadar sebesar 35 mg/m3 selama 1 jam, dan 20 mg/mg selama 8 jam.
Oleh karena itu, untuk menghindari tercapainya kadar COHb 2,5-3,0 % WHO
menyarankan pajanan CO tidak boleh melampaui 25 ppm (29 mg/m3) untuk
waktu 1 jam dan 10 ppm (11,5 mg/mg3) untuk waktu 8 jam.

4.3.2. Timbal
Timbal ditambahkan sebagai bahan aditif pada bensin dalam bentuk timbal
organik (tetraetil-Pb atau tetrametil-Pb). Pada pembakaran bensin, timbal organik
ini berubah bentuk menjadi timbal anorganik. Timbal yang dikeluarkan sebagai
gas buang kendaraan bermotor merupakan partikel-partikel yang berukuran
sekitar 0,01 m. Partikel-partikel timbal ini akan bergabung satu sama lain
membentuk ukuran yang lebih besar, dan keluar sebagai gas buang atau
mengendap pada kenalpot (Wardhana, 1999).
Sutiono (2007) mengatakan bahwa pengaruh Pb pada kesehatan yang
terutama adalah pada sintesa haemoglobin dan sistem pada syaraf pusat maupun
syaraf tepi. Pengaruh pada sistem pembentukkan Hb darah yang dapat
menyebabkan anemia, ditemukan pada kadar Pb-darah kelompok dewasa 6080g/100 ml dan kelompok anak > 40 g/100 ml. Pada kadar Pb-darah kelompok
dewasa sekitar 40 g/100 ml diamati telah ada gangguan terhadap sintesa Hb,
seperti meningkatnya ekskresi asam aminolevulinat (ALA). Pengaruh pada enzim
-ALAD dapat diamati pada kadar Pb-darah sekitar 10g/100 ml. Akumulasi
protoporfirin dalam eritrosit (FEP) yang merupakan akibat dari terhambatnya
aktivitas enzim ferrochelatase , dapat terlihat pada wanita edngan kadar Pb-darah

21

20-30 g/100 ml, pada pria dengan kadar 25-35 g/100 ml, dan pada anak dengan
kadar > 15 g/100 ml. Pengaruh Pb terhadap hambatan aktivitas enzim ALAD
tidak menyatakan adanya keracunan yang membahayakan, tetapi dapat
menunjukkan adanya pajanan Pb terha dap tubuh. Meningkatnya ekskresi ALA
dan akumulasi FEP dalam urin mencerminkan adanya kerusakan fungsi fisiologi
yang pada akhirnya dapat merusak fungsi metokhondrial.
Sutiono (2007) juga menyatakan bahwa pengaruh pada syaraf otak anak
diamati pada kadar 60g/100 ml, yang dapat menyebabkan gangguan pada
perkembangan mental anak. Penelitian pada pengaruh Pb yang dikaitkan IQ anak
telah banyak dilakukan tetapi hasilnya belum konsisten. Sistem syaraf pusat anak
lebih peka dibandingkan dengan orang dewasa. Gangguan terhadap fungsi syaraf
orang dewasa berdasarkan uji psikologi diamati pada kadar Pb darah 50 g/100
ml. Sedangkan gangguan sistem syaraf tepi diamati pada kadar Pb darah 30
g/100 ml. Timbal dapat menembus plasenta, dan karena perkembangan otak
yang khususnya peka terhadap logam ini, maka janinlah yang terutama mendapat
resiko.

4.4. Bahan-Bahan Pencemar yang Dicurigai Menimbulkan Kanker


Menurut Moestikahadi (2000) pembakaran didalam mesin menghasilkan
berbagai bahan pencemar dalam bentuk gas dan partikulat yang umumnya
berukuran lebih kecil dari 2m. Beberapa dari bahan-bahan pencemar ini
merupakan senyawa-senyawa yang bersifat karsinogenik dan mutagenik, seperti
etilen, formaldehid, benzena, metil nitrit dan hidrokarbon poliaromatik (PAH).
Mesin solar akan menghasilkan partikulat dan senyawa-senyawa yang dapat
terikat dalam partikulat seperti PAH, 10 kali lebih besar dibandingkan dengan

22

mesin bensin yang mengandung timbal. Untuk beberapa senyawa lain seperti
benzena, etilen, formaldehid, benzo(a)pyrene dan metil nitrit , kadar di dalam
emisi mesin bensin akan sama bes arnya dengan mesin solar.
Emisi kendaraan bermotor yang mengandung senyawa karsinogenik
diperkirakan dapat menimbulkan tumor pada organ lain selain paru. Akan tetapi
untuk membuktikan apakah pembentukan tumor tersebut hanya diakibatkan
karena asap solar atau gas lain yang bersifat sebagai iritan. Dalam banyak kasus,
analisis risiko dibuat berdasarkan hasil studi epidemiologi. Apabila analisisanalisis tersebut cukup lengkap dan dapat mengendalikan berbagai faktor
pengganggu

(confounding)

seperti

misalnya

kebiasaan

merokok,

maka

kesimpulan yang ditarik dapat sangat berharga, tanpa peduli apakah hasil studi
pada umumnya hasil studi seperti itu jarang didapatkan.
Mengesampingkan pengaruh yang langka akibat pencemaran, seperti
penyakit tumor dan kangker semata-mata berdasarkan hasil studi epidemiologi
yang negatif, sebenarnya kurang tepat. Pada studi yang melibatkan populasi kecil
(misalnya 1000 orang) terasa wajar apabila hasil studi tentang sejenis tumor yang
hanya terjadi pada beberapa kasus per 100.000 orang, menjadi negatif. Kesulitan
menjadi lebih besar apabila pengaruh yang dicari tersebut dapat timbul karena hal
lain, dapat diperkirakan bahwa persentase peningkatan dalam prevalensi akan
sangat kecil.
Hal yang sama ditemukan pada studi eksperimental. Di dalam studi
eksperimental, adanya hubungan antara dosis dan respons untuk dosis rendah
sangat sulit untuk dibuktikan, karena kecilnya jumlah orang yang dapat diteliti.
Pengaruh jangka panjang bisa dilaksanakan pada binatang percobaan, tetapi lagi-

23

lagi di dalam mengekstrapolasikan penemuan tersebut untuk manusia sering tidak


pasti. Hal yang sering ditemui dalam studi eksperimental seperti ini adalah
kesulitan untuk mensimulasikan kondisi pajanan yang sebenarnya.
Karena itu maka evaluasi secara ilmiah tentang dampak dari suatu
pencemaran terhadap kesehatan, apabila mungkin, harus didasarkan pada sifat
kimiawi dari tiap senyawa, metabolismenya dan sifat umum lainnya, di samping
yang juga ditemukan dalam studi epidemiologi dan eksperimental.

24

V. DAMPAK EMISI TRANSPORTASI TERHADAP LINGKUNGAN

5.1. Defenisi Dampak Lingkungan


Menurut

Suratno

(1990),

dampak

lingkungan

adalah

perubahan

lingkungan yang sangat mendasar yang diakibatkan oleh suatu kegiatan.


Perubahan mendasar ini meliputi tiga kelompok besar, yaitu:
1. Perubahan

akibat

suatu

kegiatan

yang

(secara

kumulatif)

menghilangkan identitas rona lingkungan awal secara nyata.


2. Perubahan akibat suatu kegiatan yang menimbulkan ekses nyata pada
kegiatan lain di sekitarnya
3. Perubahan akibat suatu kegiatan yang menyebabkan suatu rencana tata
ruang (SDA) tidak dapat dilaksanakan secara konsisten lagi.
Dimana cara penentuan dampak lingkungan dan penentuan dampak
penting menurut Suratno (1990) antara lain sebagai berikut :
a. Penentuan Dampak Lingkungan :
1. Berdasarkan pengalaman empiris profesional (expert judgement)
2. Perubahan dibandingkan dengan baku mutu lingkungan
3. Perubahan dibandingkan dengan sistem nilai, fasilitas, pelayanan sosial
dan sumberdaya yang diperlukan.
b. Kriteria penentuan dampak penting adalah:
1. Jumlah penduduk yang terkena dampak lingkungan
2. Luas wilayah persebaran dampak lingkungan
3. Lamanya dampak lingkungan berlangsung
4. Intensitas dampak lingkungan

25

5. Banyaknya komponen lingkungan yang terkena dampak lingkungan


6. Sifat kumulatif dampak lingkungan
7. Reversibilitas /irreversibilitas akibat dampak lingkungan.

5.2. Emisi Kenderaan dan Dampaknya terhadap Lingkungan


Emisi kenderaan pada suatu tingkat tertentu dapat merupakan campuran
dari satu atau lebih bahan pencemar, baik berupa padatan, cairan atau gas yang
masuk terdispersi ke udara dan kemudian menyebar ke lingkungan sekitarnya.
Kecepatan penyebarannya tergantung pada keadaan geografi dan meteorologi
setempat (Wardhana, 1999).
Menurut Graedel (1990), tidak semua senyawa yang terkandung di dalam
gas buang kendaraan bermotor diketahui dampaknya terhadap lingkungan selain
manusia. Beberapa senyawa yang dihasilkan dari pembakaran sempurna seperti
CO2 yang tidak beracun, belakangan ini menjadi perhatian orang. Senyawa CO2
sebenarnya merupakan komponen yang secara alamiah banyak terdapat di udara.
Oleh karena itu CO2 dahulunya tidak menepati urutan emisi kenderaan yang
menjadi perhatian lebih dari normalnya akibat penggunaan bahan bakar yang
berlebihan setiap tahunnya. Pengaruh CO2 disebut efek rumah kaca dimana CO2
diatmosfer dapat menyerap energi panas dan menghalangi jalannya energi panas
tersebut dari atmosfer ke permukaan yang lebih tinggi. Keadaan ini menyebabkan
meningkatnya suhu rata-rata di permukaan bumi dan dapat mengakibatkan
meningginya permukaan air laut akibat melelehnya gunung-gunung es, yang pada
akhirnya akan mengubah berbagai siklus alamiah.
Miller (1985) menyatakan bahwa pengaruh pencemaran SO2 terhadap
lingkungan telah banyak diketahui. Pada tumbuhan, daun adalah bagian yang

26

paling peka terhadap pencemaran SO2, dimana akan terdapat bercak atau noda
putih atau coklat merah pada permukaan daun. Dalam beberapa hal, kerusakan
pada tumbuhan dan bangunan disebabkan oleh SO2 dan SO3 di udara, yang
masing-masing membentuk asam sulfit dan asam sulfat. Suspensi asam di udara
ini dapat terbawa turun ke tanah bersama air hujan dan mengakibatkan air hujan
bersifat asam. Sifat asam dari air hujan ini dapat menyebabkan korosif pada
logam-logam dan rangka-rangka bangunan, merusak bahan pakian dan tumbuhan.
Menurut Sutiono (2007), Oksida nitrogen, NO dan NO2 berasal dari
pembakaran bahan bakar fosil. Pengaruh NO yang utama terhadap lingkungan
adalah dalam pembentukan smog. NO dan NO2 dapat memudarkan warna dari
serat-serat rayon dan menyebabkan warna bahan putih menjadi kekuningkuningan. Kadar NO2 sebesar 25 ppm yang pada umumnya dihasilkan adari emisi
industri kimia, dapat menyebabkan kerusakan pada banayak jenis tanaman.
Kerusakan daun sebanyak 5 % dari luasnya dapat terjadi pada pemajanan dengan
kadar 4-8 ppm untuk 1 jam pemajanan. Tergantung dari jenis tanaman, umur
tanaman dan lamanya pemajanan, kerusakan terjadi dapat bervariasi. Kadar NO2
sebesar 0,22 ppm dengan jangka waktu pemajanan 8 bualan terus menrus, dapat
menyebabkan rontoknya daun berbagai jenis tanaman.

5.3. Efek Rumah Kaca Akibat Emisi Kenderaan


Kekhawatiran akan meningkatnya emisi CO2 yang mempercepat laju
pemanasan bumi yang antara lain mengakibatkan naiknya permukaan laut
sehingga sebagian besar pantai dunia akan tergenang. Konferensi Tingkat Tinggi
Dunia di Rio de Jenairo, Brazil pada bulan Juni 1992 mengeluarkan pernyataan
yang lebih dikenal sebagai Agenda 21 bahwa seluruh dunia bersepakat untuk

27

mengurangi emisi CO2 negara-negara industri pada tahun 2000 harus sama dengan
tahun 1990, sedangkan pada negara berkembang baru diberlakukan tahun 2010
(United Nation Departement of Public Information, 1990).

5.4. Emisi Penyebab Terjadinya Hujan Asam (Acid Rain)


Menurut Manahan (1972), akibat polusi NH4, H2SO4 yang turun bersama
hujan menyebabkan pH air menurun, juga endapannya dapat bertahan di tanah
oleh hujan akan dilarutkan menyebabkan pH menurun. Penyebab utamanya
adalah terbentuknya gas SO2 dan NO2 oleh ulah manusia dari bahan bakar
batubara dan bahan bakar minyak. Adapun reaksi oksidasi di udara, dapat
dgambarkan sebagai berikut : SO2 + O2 + H2O (2H + SO2) 2NO2 + O2 +
H2O2 (H + NO3). HNO3 sangat asam dan larut dengan baik sekali. Selain itu juga
merupakan asam keras dan reaktif terhadap benda-benda lain yang menyebabkan
korosif. Oleh sebab itu, presipitasinya akan merusak tanaman terutama daun.
Walker, et al. (1996) menyatakan bahwa suatu pelajaran penting dari
hujan asam dapat dilihat dari data di Skandinavia yang terkenal dengan hutan dan
banyaknya sungai dan danau. Di samping itu, pengukuran pH pada air permukaan
Norwegia Tengah dari 21 perairan yang diukur pHnya rata-rata turun dari 7,5
menjadi 5,4 hingga 6,3 diantara tahun 1941-1970. Di Swedia, dari 14 perairan
yang diukur, pH air permukaan menurun dari 6,5 6,6 ke 5,4 5,6 dari tahun
1950 ke 1971 dan menurun dari 5,7 menjadi 4,9 antara tahun 1955 ke 1973.
banyak penurunan pH sangat berpengaruh terhadap tumbuhan yang mendapat air
dari perairan tersebut.
Menurut Moestikahadi (2000), proses pembakaran BBM pada kendaraan
bermotor dan batu bara di pabrik atau pembangkit energi, akan mengeluarkan

28

senyawa SO2 dan NOx (NO2 dan N2O) sebagian terbang ke udara dan sebagian
bercampur dengan oksigen yang kita hirup setiap hari, sebagian juga langsung
mengendap di tanah sehingga mencemari air dan mineral tanah. SO2 dan NOx
yang menguap ke udara bercampur dengan embun dan dengan bantuan sinar
matahari, embun mengubah senyawa itu menjadi tetesan-tetesan asam yang
kemudian jatuh kembali ke bumi (hujan asam). Hujan asam merupakan istilah
umum untuk menggambarkan turunnya asam dari atmosfer bumi (Gambar 1).
Menurut Poernomosidhi (1995), sebenarnya turunnya asam dari atmosfer
ke bumi bukan hanya dalam kondisi basah tetapi juga kering sehingga dikenal
dengan istilah deposisi (penurunan/pengendapan) basah dan deposisi kering.
Deposisi basah mengacu pada hujan asam, kabut, dan salju. Ketika hujan asam ini
mengenai tanah, ia dapat berdampak bagi tumbuhan dan hewan, tergantung dari
konsentrasi asamnya, kandungan kimia tanah, buffering capacity (kemampuan
air/tanah untuk menahan perubahan pH) , dan jenis tumbuhan/hewan yang
terkena.
Poernomosidhi (1995) juga menyatakan bahwa deposisi kering mengacu
pada gas dan partikel yang mengandung asam. Sekitar 50% keasaman di atmosfer
jatuh kembali melalui deposisi kering. Kemungkinan angin membawa gas dan
partikel asam tersebut mengani bangunan, mobil, rumah dan pohon. Ketika hujan
turun partikel asam yang menempel di bangunan atau pohon tersebut akan
terbilas, menghasilkan air permukanaan (run off) yang asam.
Sutiono (2007) berpendapat bahwa angin juga dapat membawa material
asam pada desposisi kering dan basah melintasi batas kota dan negara sampai
ratusan kilometer. Hujan dikatakan hujan asam jika telah memiliki PH dibawah

29

5,0. Makin rendah PH air hujan tersebut makin berat dampaknya bagi mahluk
hidup.

Gambar 1. Proses Terjadinya Hujan Asam (Acid Rain)

5.5. Emisi Kenderaan Pemicu Pemanasan Global.


Pemanasan global merupakan peningkatan secara gradual dari suhu
permukaan bumi yang sebagian disebabkan oleh emisi dari zat-zat pencemar
seperti karbondioksida (CO2), metan (CH4) dan oksida nitrat (N2O), serta
bertanggungjawab terhadap perubahan dalam pola cuaca global. Karbondioksida
dan zat pencemar lainnya berkumpul di atmosfer membentuk lapisan yang tebal
menghalangi panas matahari dan menyebabkan pemanasan planet dengan efek gas
rumah kaca (Gambar 2).
Pemanasan global merupakan fenomena yang kompleks, dan dampak
sepenuhnya sangat sulit diprediksi. Namun menurut Tugaswati, et al. (1997)
bahwa setiap tahunnya para ilmuan makin banyak belajar tentang bagaimana
pemanasan global tersebut mempengaruhi planet, dan banyak diantara mereka
setuju bahwa konsekuensi tertentu akan muncul jika kecenderungan pencemaran
yang terjadi saat ini berlanjut, diantaranya adalah:

30

Peningkatan permukaan laut yang disebabkan oleh mencairnya


gunung es akan menimbulkan banjir di sekitar pantai;
Naiknya temperature permukaan air laut akan menjadi pemicu
terjadinya badai terutama di bagian tenggara atlantik
Rusaknya habitat seperti barisan batu karang dan pegunungan alpen
dapat menyebabkan hilangnya berbagai hayati di wilayah tersebut.

Gambar 2. Dampak dari Pemanasan Global

5.6. Emisi Kenderaan Pembentuk Smog.


Hayashi dan Roy (1996) menyatakan bahwa istilah smog berasal dari
smoke dan fog yang digunakan untuk menggambarkan campuran antara asap
yang berasal dari pembakaran batubara dengan kabut. Istilah smog pertama
digunakan di London dan kota industri lainnya di Inggris pada masa revolusi
industri. Smog mulai disadari sebagai masalah emisi kenderaan yang serius
setelah terjadinya episoda smog di kota London yang berlangsung selama 4 hari
pada tahun 1952 dan menyebabkan kematian lebih dari 4000 jiwa.
Jenis smog yang lain disebut sebagai smog fotokimia, berasal dari reaksi
kimia di atmosfer antara NOx dan HC reaktif dengan adanya radiasi matahari
(Gambar 3). Reaksi fotokimia ini menghasilkan senyawa oksidan berupa ozon
(O3). Sebagaimana smog yang terjadi di London, smog fotokimia dapat diamati
dengan ciri khas menurunnya jarak pandang (visibilitas). Dampak yang lain dari

31

smog fotokimia adalah adanya bau, iritasi mata, kerusakan tanaman dan material
seperti barang-barang yang terbuat dari karet. Smog fotokimia pertama ditemukan
oleh Haagen-Smit pada tahun 1952 di Los Angeles, Amerika Serikat (Miller,
1985). Hal ini kemudian dikenal sebagai L.A. smog, untuk membedakannya
dengan smog yang ditemukan di Inggris. Pada saat ini smog fotokimia sering
dijumpai di kota-kota besar dengan tingkat emisi kendaraan bermotor yang tinggi,
terutama pada saat cuaca panas dan radiasi matahari yang tinggi.

Gambar 3. Proses Terjadinya Smog (Manahan, 1972)

Reaksi fotokimia dimulai dengan oksidasi precursor ozon, yaitu NOx dan
VOC oleh radiasi matahari. Reaksi ini diawali dengan dengan fotolisis NO2 yang
menghasilkan radikal O yang selanjutnya bereaksi dengan O2 di udara lalu
memproduksi O3. Reaksi NO2 yang memproduksi O3 akan meningkat dengan
tajam dengan adanya HC reaktif, seperti olefin, senyawa aromatic dan aldehida,
yang merupakan senyawa-senyawa yang ditemukan pada emisi pembakaran ahan
bakar fosil. C reaktif berasksi di atmosfer untuk memproduksi radikal bebas,
terutama OH (hidroksil), HO2 hidroperoxi) dan radikal organic peroxi (RO2).
Peroksi radikal dihasilkan sebagai senyawa intermedia pada oksidasi fotokimia

32

CO dan VOC. Kehadiran radikal-radikal tersebut akan meningkatkan laju reaksi


produksi NO2, sehingga selanjutnya akan meningkatkan produksi O3 di udara
(Graedel, 1990).
Sangat jelas sekali dampak yang ditimbulkan dari emisi kenderaan
bermotor terutama yang terjadi di negara-negara berkembang seperti Indonesia
dimana bahan bakar bensin dan solar masih mengandung unsur timbal yang
tinggi, sehingga emisi yang dikeluarkan memberikan dampak yang signifikan bagi
penurunan kualitas lingkungan. Tak heran banyak bencana yang terjadi akibat dari
peningkatan emisi dari hasil gas buang kenderaan maupun industri yang secara
tidak langsung dipicu oleh peningkatan emisi gas buang yang membentuk blanket
di atmosfer penyebab kenaikan suhu global yang memicu terjadinya global
warming dan naiknya permukaan laut.
Perlu difikirkan dan perencanaan yang matang dan berkelanjutan dalam
menangani permasalahan yang ditimbulkan dari emisi gas buang kenderaan
bermotor ini baik di tingkat internasional maupun regional. Adanya secercah
harapan ke depan yang lebih dari digelarnya UNFCC di Bali, mudah-mudahan
regulasi-regulasi yang dicetuskan dapat mengatasi permasalahan global warming
yang menjadi pemicu bencana-bencana yang terjadi belakangan ini, walaupun
beberapa negara maju tidak respect terhadap beberapa regulasi yang ditetapkan.
Penanganan terhadap emisi gas kenderaan harus atau kita akan menuai bencana
yang lebih besar.

33

VI. STRATEGI PENANGGULANGAN EMISI GAS BUANG

6.1. Penggunaan Teknologi Pengurangan Emisi


Teknologi yang dapat digunakan untuk mengurangi emisi gas buang
adalah penggunaan katalitik konverter pada kendaraan yang berbahan bakar
bensin dan penggunaan mesin diesel yang beremisi rendah. Beberapa negara maju
telah melakukan penelitian serta menggunakan katalitik konverter untuk
mengurangi emisi NOx, CO dan VHC dari gas buang kendaraan yang
menggunakan BBM. Pemasangan katalitik konverter untuk mobil baru dapat
menurunkan emisi NOx, CO dan VHC sebesar 90 %.
Persentasi penurunan emisi NOx dapat berkurang sampai menjadi 70 %
untuk mobil yang sudah beroperasi lebih dari 80.000 km. Katalitik konverter ini
hanya bisa diterapkan untuk kendaraan yang menggunakan BBM yang tidak
mengandung Pb (tanpa TEL). Biaya tambahan untuk pemasangannya adalah
sebesar 5 % dari rata-rata harga mobil (Puppung et al., 1991).

6.2. Penetapan Standar Emisi dan Kualitas Udara


Penetapan suatu standar yang berupa undang-undang atau surat keputusan
diperlukan sebagai upaya untuk pengendalian pencemaran. Sampai saat ini sudah
ada Undang-Undang Nomor 4 tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup, Keputusan Menteri KLH tahun 1988 tentang Pedoman Baku
Mutu Lingkungan, Keputusan Menteri KLH tahun 1995 tentang Baku Mutu Emisi
Sumber Tidak Bergerak. Dengan adanya standar ini diperlukan pelaksana
pengawasan sehingga baku mutu yang telah ditetapkan dapat tercapai.

34

6.3. Meningkatkan Efisiensi dan Konservasi Energi


Dengan meningkatkan efisiensi penggunaan energi maka energi yang
dibutuhkan per unit output akan berkurang sehingga akan mengurangi besarnya
emisi per unit operasi kendaraan tiap kilometer. Peluang untuk meningkatkan
efisiensi dan konservasi masih terbuka untuk sektor transportasi.

6.4. Substitusi Bahan Bakar


Penggunaan BBG dapat mengurangi dampak lingkungan karena
mempunyai koefisien emisi yang jauh lebih rendah dibandingkan BBM. Puppung
et al., (1991) menyatakan bahwa dengan menggunakan BBG emisi CO dapat
diturunkan 95 % dari emisi kendaraan berbahan bakar bensin. Sedangkan emisi
VHC dapat diturunkan 87 % dan emisi Nox dapat diturunkan 67 %.

6.5. Pengurangan Ketidakmurnian Bahan Bakar


Untuk membuat bahan bakar bersih lingkungan dapat dilakukan dua cara
yaitu : desulfurisasi minyak diesel dan minyak tanah di kilang khususnya untuk
minyak mentah import serta membuat bensin tanpa TEL supaya dapat digunakan
katalitik konverter pada kendaraan berbahan bakar bensin.

6.6. Penggunaan Kebijaksanaan Bidang Perekonomian


Kebijaksanaan dalam bidang perekonomian telah digunakan di negaranegara maju untuk pengendalian lingkungan hidup. Kebijaksanaan tersebut dapat
berupa pajak dan insentif, seperti :
-

Pajak yang besarnya tergantung dari emisi yang ditimbulkan.

35

Pajak barang atau sumber energi yang besarnya tergantung dari


karakteteristik lingkungan dari barang atau sumber energi tersebut,
misalnya kandungan belerang.

Memberikan pajak yang besar bagi penggunaan teknologi yang lebih


banyak menghasilkan polutan.

Memberikan insentif yang dapat berupa bantuan investasi untuk


menerapkan teknologi bersih lingkungan.

6.7. Sanksi untuk Pengendalian yang Efektif


Sanksi bagi pelanggar ketentuan merupakan alat yang efektif untuk
pengendalian pencemaran. Kendaraan bermotor harus dioperasikan dengan benar
dan konsisten sehingga emisi yang ditimbulkan tidak melebihi standar yang
diperbolehkan. Unjuk kerja dari kendaraan bermotor harus diperiksa secara
periodik. Sanksi bagi pelanggar ketentuan dapat berupa pencabutan surat ijin
mengemudi atau sanki ekonomis bagi industri yang memproduksi kendaraan
bermotor yang tidak memenuhi standar.

6.8. Penerangan dan Pendidikan


Penerangan kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga lingkungan
hidup serta penerangan tentang cara-cara yang tepat untuk mengurangi emisi perlu
dilakukan. Program ini sangat berguna untuk meningkatkan kesadaran masyarakat
akan lingkungan hidup. Lebih jauh dapat dilakukan pendidikan atau pelatihan
untuk berbagai lapisan masyarakat.

36

DAFTAR PUSTAKA

Armely M, R.S. Diah dan H.S. Moekti, 2004. Bumi Makin Panas: Ancaman
Perubahan Iklim di Indonesia. www.pelangi.or.id (4 Desember
2007).
Dahlan, E.N. 2004. Membangun Kota Kebun (Garden City) Bernuansa Hutan
Kota. IPB Press, Bogor.
Graedel, T.E., and P.J. Crutzen. 1990. The Changing Atmosphere. Managing
Planet Earth. Reading from Scientific Magazine. W.H. Freeman and
Company. New York.
Haeruman, H. 2007. Sistem Kota-kota dan Penataan Ruang dalam Pengelolaan
Fungsi Kota. www.bktrn.org (4 Desember 2007)
Hayashi, Y and J. Roy (Editors). 1996. Transport, Land-Use and The
Environment. Kluwer Academic Publishers. Dordrecht. Netherlands.
Japan International Cooperation Agency, 1997. The Study on The Integrated Air
Quality Management for Jakarta Metropolitan Area, Jakarta.
Manahan, S.E. 1972, Environmental Chemistry, Willard Grant Press, Boston.
Miller, G.T. 1985. Living in The Environment: An Introduction to Environmental
Science, 4th Ed. Wadsworth Publishing Company Inc., Belmont.
Moestikahadi, S. 2000. Kumpulan Karya Ilmiah Mengenai Pencemaran Udara,
ITB, Bandung.
Menteri

Kesehatan R.I. 1990. Keputusan Menteri Kesehatan


416/MENKES/PER/PER/IX/1990 Tentang Syarat-syarat
Pengawasan Air Minum, Jakarta.

No.
dan

P.L. Puppung, W. Kaslan dan W. Wiromartono 1991. Penggunaan Bahan Bakar


Gas untuk Transportasi dengan Tingkat Polusi Rendah. Makalah
dipresentasikan pada Seminar Pengendalian Pencemaran Udara
Akibat Gas Buang Kendaraan Bermotor. Departemen Perhubungan,
Jakarta.
Poernomosidhi, P.I.F. 1995. Review on Road Environment Condition and
Research on Traffic Noise and Air Pollution in Indonesia, Paper for
the Technical Visit to Public Work Research Institute, 25th Sept.
6th Oct. 1995. Tsukuba.

37

Suratno, F., 1990, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Gadjah Mada


University Press, Yogyakarta.
Sutiono, E. 2007. Dampak Transportasi terhadap Lingkungan dan Kesehatan.
(Search.google/Hubkimbangwil/archieve.html).
dikunjungi
10
Desember 2007.
Tugaswati, A. S, Suzuki. Y, Kiryu and T, Kawada. 1995. Automotive Air
Pollution in Jakarta with Special Emphasis on Lead, Particulate, and
Nitrogen dioxide. Jpn J of Health and human Ecology 61:261-75
United Nation Departement of Public Information (UNDPI). 1990. Agenda 21:
Programme of Action for Sustainable Development; Rio Declaration
on Environment and Development. Statement of Forest Principles.
New York. USA.
Walker, C.H., S.P. Hopkin., R.M. Sibly, and D.B. Peakall. 1996. Principles of
Ecotoxicology. Taylor and Francis. London.
Wardhana, W.A. 1999. Dampak Pencemaran Lingkungan. Andi Offset.
Yogyakarta.
Watt, E.F. 1973. Principles of Environmental Science, Mc Graw-Hill, New York.
World Health Organization. 1977a. Environmental Health Criteria No. 3, Lead.
Geneva.
World Health Organization. 1977b. Environmental Health Criteria No. 4, Oxides
of nitrogen, Geneva.

38

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan hidayahNya sehingga penulis dapat merampungkan makalah yang mengambil
topik mengenai manifestasi permasalahan emisi gas buang dari kegiatan
transportasi dan dampaknya terhadap kesehatan dan lingkungan.
Makalah ini berisi mengenai telaahan sebuah manifestasi mengenai
permasalahan emisi dari kegiatan transportasi yang menjadi akar permasalahan
polusi udara terutama di kota-kota besar. Makalah ini juga akan membahas
mengenai dampak emisi gas buang dari kegiatan transportasi bagi kesehatan
masyarakat dan lingkungan sehingga dapat dijadikan bahan masukan dalam
sebuah pengelolaan kualitas udara terutama di lingkungan perkotaan.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh daripada kesempurnaan,
tetapi diharapkan dapat memberi bantuan dan informasi bagi pembaca mengenai
permasalahan emisi gas buang dari kegiatan transportasi dan dampaknya terhadap
kesehatan dan lingkungan.
Terimakasih pada semua stakeholders yang telah berupaya membantu
dalam penyempurnaan makalah ini. Diharapkan kritik dan saran yang konstruktif
demi kesempurnaan penulisan makalah di masa yang akan datang. Save Our
Planet..!!!!

Tembilahan, April 2012

Penulis

39

DAFTAR ISI

Isi
I.

Halaman
PENDAHULUAN......................................................................................... 1

II. HUBUNGAN MANIFESTASI DAN AKAR


PERMASALAHAN EMISI TRANSPORTASI
2.1. Manifestasi Permasalahan .................................................................... 4
2.2. Akar Permasalahan ............................................................................... 7
III. KOMPOSISI DAN PERILAKU GAS BUANG
KENDARAAN BERMOTOR ................................................................... 10
IV. DAMPAK EMISI TRANSPORTASI TERHADAP
KESEHATAN
4.1. Bahaya Emisi terhadap Kesehatan...................................................... 13
4.2. Bahan-Bahan Pencemar yang Terutama Mengganggu
Saluran Pernafasan ............................................................................. 16
4.2.1. Oksida Sulfur dan Partikulat ......................................................... 16
4.2.2. Oksida Nitrogen ............................................................................ 17
4.2.3. Ozon dan Oksida Lainnya ............................................................. 18
4.3. Bahan-Bahan Pencemar yang Menimbulkan Pengaruh
Racun Sistemik ................................................................................... 18
4.3.1. Karbon Monoksida ........................................................................ 19
4.3.2. Timbal ........................................................................................... 20
4.4. Bahan-Bahan Pencemar yang Dicurigai Menimbulkan
Kanker ................................................................................................ 21
V. DAMPAK EMISI TRANSPORTASI TERHADAP
LINGKUNGAN
5.1. Defenisi Dampak Lingkungan ............................................................ 24
5.2. Emisi Kenderaan dan Dampaknya terhadap Lingkungan .................. 25
5.3. Efek Rumah Kaca Akibat Emisi Kenderaan ...................................... 26
5.4. Emisi Penyebab Terjadinya Hujan Asam (Acid Rain) ....................... 27
5.5. Emisi Kenderaan Pemicu Pemanasan Global. .................................... 29
5.6. Emisi Kenderaan Pembentuk Smog. .................................................. 30
VI. STRATEGI PENANGGULANGAN EMISI GAS BUANG
6.1. Penggunaan Teknologi Pengurangan Emisi ....................................... 33
6.2. Penetapan Standar Emisi dan Kualitas Udara .................................... 33
6.3. Meningkatkan Efisiensi dan Konservasi Energi ................................. 34
6.4. Substitusi Bahan Bakar ....................................................................... 34
6.5. Pengurangan Ketidakmurnian Bahan Bakar ....................................... 34
6.6. Penggunaan Kebijaksanaan Bidang Perekonomian............................ 34
6.7. Sanksi untuk Pengendalian yang Efektif ............................................ 35

40

6.8. Penerangan dan Pendidikan ......................................................................... 35


DAFTAR PUSTAKA

41

DAFTAR TABEL

Tabel

Halaman

1. Tingkat Emisi Emisi Kenderaan pada Transportasi


Penumpang di Amerika .................................................................................... 5
2. Persoalan Kesehatan yang Berkaitan dengan Emisi kenderaan
di Jakarta, Bandung dan Surabaya Tahun 1990 ............................................... 6

42

DAFTAR GAMBAR

Gambar

Halaman

1. Proses Terjadinya Hujan Asam (Acid Rain)..................................................... 29


2. Dampak dari Pemanasan Global ...................................................................... 30
3. Proses Terjadinya Smog (Manahan, 1972) ...................................................... 31

Anda mungkin juga menyukai