Anda di halaman 1dari 29

PEREMPUAN SEBAGAI AGENT OF CHANGE

LINGKUNGAN HIDUP

OLEH:
SYAIFUL RAMADHAN H, S.Pi, M.Si

Sebuah Telaah Tentang Peranan Perempuan Sebagai Faktor Penentu Kualitas Lingkungan
Hidup Menurut Perspektif Etika dan Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS ISLAM INDRAGIRI
TEMBILAHAN
2015

KATA PENGATAR

Puji dan syukur yang tak terhingga penulis panjatkan kepada Allah SWT
atas segala karunia-Nya sehingga makalah ini berhasil diselesaikan. Makalah ini
merangkum dan membahas topik yang berkaitan dengan perempuan sebagai agent
of change lingkungan hidup sebagai sebuah telaah tentang peranan perempuan
sebagai faktor penentu kualitas lingkungan hidup menurut perspektif etika dan
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan
dan dapat dijadikan tambahan informasi bagi seluruh stakeholder yang berkaitan
dengan pelibatan peran perempuan dalam pengelolaan lingkungan hidup.

Pekanbaru, Januari 2015

Penulis

ii

DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGATAR ..........................................................................................

DAFTAR ISI ......................................................................................................

ii

I. PENDAHULUAN ..........................................................................................

1.1. Latar Belakang ........................................................................................


1.2. Perumusan Masalah .................................................................................
1.3. Tujuan Penulisan .....................................................................................

1
3
5

II. PEMBAHASAN ...........................................................................................

2.1. Manusia dan Lingkungan ........................................................................


2.2. Pengrusakan dan Kerusakan Lingkungan Hidup ....................................
2.3. Etika Lingkungan ....................................................................................
2.4. Perempuan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup ................................
2.5. Hak Asasi Perempuan Atas Pengelolaan Lingkungan Hidup .................
2.6. Peranan Perempuan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup
menurut Perspektif Undang-Undang No. 32 Tahun 2009.......................
2.7. Ekofeminisme Sebagai Perspektif Pandangan Etika Perempuan
dalam Usaha Penyelamatan Lingkungan Hidup .....................................
2.8. Pembangunan Responsif Gender Sebagai Upaya Peningkatan
Peranan Perempuan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup ..................

6
7
8
8
11
13
18
21

III. PENUTUP ................................................................................................... 25


DAFTAR PUSTAKA

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Peningkatan pembangunan melalui kegiatan investasi baik penanaman
modal dalam negeri maupun asing mulai jaman orde baru sampai era reformasi
telah mempunyai dampak positif bagi peningkatan perekonomian di Indonesia.
Peningkatan pembangunan tidak serta merta memberikan dampak positif pada
lingungan hidup. Pencemaran lingkungan hidup adalah salah satu bentuk dampak
negatif dari kegiatan pembangunan.
Indonesia adalah Negara yang menganut paradigma pembangunan
berbasis Negara (state based development) dimana pemerintah menguasai dan
mengeksploitasi kekayaan alam untuk meningkatkan pendapatan dan devisa
Negara. Implementasi paradigma pembangunan tersebut selanjutnya diiringi
dengan kebijakan pembangunan instrument hukum yang bercorak represif,
mengabaikan hak-hak masyarakat, dan menggusur keberadaan hukum yang hidup
dalam masyarakat.
Lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga
Negara. Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28 H Undang-Undang
Dasar 1945. Terjadinya kerusakan lingkungan hidup akibat eksploitasi telah
mengabaikan hak warga negara untuk mendapatkan lingkungan yang sehat.
Perempuan dan anak adalah bagian warga Negara yang mempunyai dampak
secara langsung akibat pencemaran. Perempuan yang terganggu kesehatannya
akibat lingkungan hidup yang tidak sehat akan berakibat secara tidak langsung
terhadap kesehatan anak sebagai generasi penerus bangsa.
Realita menunjukkan bahwa dalam kasus-kasus kerusakan lingkungan,
perempuan dan anak-anak menjadi kelompok dan golongan yang lebih berisiko
dan berpotensi mengalami penderitaan lebih dibandingkan dengan kelompok dan
golongan yang lain (Simatauw, 2001). Kelompok dan golongan tersebut lebih
rentan menjadi korban karena secara tradisional mereka telah menjadi sasaran
proses dan perlakuan diskriminasi. Doktrin hukum Hak Asasi Manusia (HAM)
mengkategorisasikan kelompok dan golongan ini dengan sebutan kelompok

rentan dan tidak beruntung (vulnerable and disadvantage groups) (Economic,


Social, and Cultural Committee United Nations, 2001).
Dinamisasi pembangunan di sisi

lain mengakibatkan pencemaran

lingkungan hidup dan kerusakan lingkungan. Perempuan dan anak adalah


bagian warga negara

yang memeroleh dampak secara langsung terjadinya

pencemaran. Perempuan yang terganggu kesehatannya akibat lingkungan


hidup yang tidak sehat akan berakibat secara tidak langsung terhadap
kesehatan anak sebagai generasi penerus bangsa.
Agar lebih menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan
terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan
sehat sebagai bagian dari perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem,
selanjutnya pemerintah mengubah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan Undang-Undang No. 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-Undang
No. 32 Tahun 2009 telah memberikan perubahan yaitu bersifat demokratis,
memberikan

kewenangan

luas

kepada

pemerintah

daerah

dan

lebih

mengutamakan keterlibatan masyarakat dalam memberikan kontrol terjadinya


kerusakan lingkungan hidup. Peran perempuan secara implicit dijelaskan dalam
pasal 70 tentang peran masyarakat.
Peran perempuan dalam perlindungan lingkungan hidup menurut UndangUndang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dapat berupa
pengawasan sosial dan peran perempuan dalam pembuatan kebijakan Lingkungan
Hidup melalui lembaga legislative. Kuota perempuan 30 persen dalam
DPR/DPRD memberikan peluang keikutsertaan perempuan dalam Rencana
Penyusunan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) dan Kajian Lingkungan
Hidup Strategis (KLHS). Namun, pengawasan sosial yang dilakukan perempuan
idealnya tidak hanya dilakukan melalui lembaga legislatif, tetapi yang lebih
penting adalah di masyarakat. Persoalan ketimpangan antara kepentingan
pembangunan dan dampaknya terhadap lingkungan hidup itu banyak terjadi. Hal
inilah yang menarik perhatian penulis dalam menyusun makalah ini, yaitu dengan
mengangkat tema tentang isu mengenai peranan perempuan dalam pengelolaan

lingkungan hidup menurut perspektif etika dan Undang-Undang No. 32 tahun


2009.

1.2. Perumusan Masalah


Manusia di dalam kehidupannya sangat mengandalkan sumberdaya berupa
air, lahan, energi, keanekaragaman hayati dan ekosistem yang sehat untuk
menjamin kelangsungan penghidupan mereka dan asset alam sangat penting untuk
keluar dari kondisi pemiskinan. Banyak isu lingkungan yang tadinya berdiri
sendiri sebagai isu lingkungan seperti perubahan iklim dan bencana, sekarang
bergeser menjadi isu pembangunan secara umum dan politik karena luasnya
dampak yang ditimbulkan semakin masif dan mempengaruhi hampir semua sektor
kehidupan. Salah satu kelompok penerima dampak terbesar, jika kita bicara
tentang lingkungan dan menurunnya fungsi layanan aset alam adalah perempuan.
Perempuan dan pembedaan peran perempuan dalam masyarakat di Indonesia
membuat beban yang lebih bagi perempuan. Perempuan sering mengalami
ketidakadilan akibat pembedaan gender tersebut.
Begitu banyak permasalahan berkaitan dengan pengelolaan lingkungan
yang terjadi di Indonesia. Kelangkaan air terus menerus menjadi krisis rutin di
Indonesia, bencana kekeringan dan tingkat pencemaran industri yang tinggi,
mengakibatkan perempuan semakin sulit untuk bisa mengakses air bersih dan
menjaga ketahanan pangan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Di
kota, perempuan semakin ditekan dengan menjamurnya budaya konsumtif yang
didorong oleh industrialisasi pusat perbelanjaan. Budaya ini kemudian
menghasilkan timbunan sampah, pencemaran air tanah dan menciutnya ruang
terbuka publik. Ditambah lagi dengan ancaman solusi teknologi yang justru
berdampak buruk bagi kesehatan, seperti teknologi incenerator.
Ironisnya, ketika bencana ekologis terus menerus terjadi karena kesalahan
pendekatan

pembangunan,

pemerintah

pun

tidak

mampu

memberikan

perlindungan yang layak kepada jutaan perempuan yang tinggal di berbagai


wilayah yang rentan terhadap bencana. Pemerintah melakukan pengabaian hak
rakyat, khususnya perempuan, dalam pemenuhan hak-hak dasarnya pada pasca
bencana terutama pada tahap tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi.

Bencana-bencana yang secara beruntun melanda negeri ini, menjadi cermin retak
yang menggambarkan betapa lambannya pemerintah menangani masalah tersebut.
Pada kondisi ini, perempuanlah yang paling dirugikan karena dalam bencana
korban terbesar adalah perempuan dan anak.
Perumusan masalah ini dapat mengidentifikasi adanya beberapa kesamaan
antara isu lingkungan dan isu perempuan yang terjadi di tanah air. Dimana dari
identifikasi yang dirangkum terdapat kesamaan isu yang menjadi fokus
permasalahan yang dialami kaum perempuan dan lingkungan hidup seperti yang
disajikan pada tabel berikut.
Tabel 1. Identifikasi Kesamaan
Lingkungan

Isu/Permasalahan

Perempuan

dan

Identifikasi Isu/Permasalahan
Perempuan
Lingkungan
1. Semakin banyak masalah
Semakin banyak masalah
2. Banyak yang kurang berpendidikan
Banyak yang belum diketahui
3. Masih kurang mendapat perhatian
Masih kurang mendapat perhatian
4. Terus dieksploitasi
Terus dieksploitasi
5. Sering dianggap komoditi atau objek Memang komoditi, selalu menjadi objek
6. Semakin banyak diperjualbelikan
Memang diperjualbelikan, dicuri
7. Mempunyai beban lebih berat
Mempunyai banyak tekanan
8. Mainstream untuk pembangunan
Mainstream untuk pembangunan
nasional yang berkelanjutan
nasional yang berkelanjutan
9. 12 isu pemberdayaan perempuan
12 isu pengelolaan lingkungan
10. Sering dikalahkan dalam pengadilan
Sering dikalahkan dalam pengadilan
11. Harus dijaga dan diperhatikan
Harus dijaga dan diperhatikan
12. Perempuan tiang negara
Lingkungan sumber kekuatan
13. Mempunyai menteri negara
Mempunyai menteri negara
14. Deklarasi Johannesburg a.1 perbaikan Deklarasi Johannesburg a.1 perbaikan
kualitas hidup perempuan
kualitas lingkungan hidup
15. Perempuan banyak mengalami tindak Sering terjadi eksploitasi lingkungan
kekerasan atau penganiayaan
yang berlebihan
Sumber : Irwan (2009).
No

Selama ini, kerusakan lingkungan dan aset alam belum merefleksikan sisi
pandang perempuan. Budaya patriarki yang telah menggeser kedaulatan
perempuan dalam mengelola dan menentukan pangan telah membuat pandangan
perempuan tentang kehidupan menjadi kabur, tidak dipahami oleh laki-laki,
bahkan oleh perempuan sendiri. Perempuan juga masih ditinggalkan dalam proses
pengambilan kebijakan. Jika melihat bahwa persoalan lingkungan hidup dan aset

alam sebagai sebuah proses politik, perempuan banyak ditinggalkan dalam proses
pengambilan

keputusan

politik

untuk

dapat

mengakses

sumber-sumber

kehidupannya.
Padahal, perempuan menjadi garda terdepan dalam upaya pelestarian
lingkungan hidup dimulai dari tingkatan keluarganya, hingga mengambil peran
penting dalam mengelola aset alam. Fenomena isu gender yang muncul dalam
pelaksanaan pembangunan di Indonesia dilatarbelakangi oleh struktur dan budaya
masyarakat yang membuat pembedaan peran antara laki-laki dan perempuan,
yang dalam hal ini perempuan menjadi termarginalkan.
Persoalannya, pembedaan tersebut kemudian cenderung menjadikan lakilaki dan perempuan sebagai korbannya. Beban laki-laki dalam ruang publik
menjadi lebih besar sekaligus lebih berat, sementara potensi yang dimiliki
perempuan tidak mampu berkembang karena perannya di ruang publik menjadi
terbatas. Makalah ini akan menguraikan tentang permasalahan peranan perempuan
dalam pengelolaan lingkungan hidup menurut perspektif etika dan UndangUndang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup.

1.3. Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menjelaskan dan menguraikan
posisi peranan perempuan dalam pengelolaan lingkungan hidup menurut
perspektif etika dan Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.

II. PEMBAHASAN

2.1. Manusia dan Lingkungan


A. Manusia
Manusia adalah makhluk hidup ciptaan tuhan dengan segala fungsi dan
potensinya yang tunduk kepada aturan hukum alam, mengalami kelahiran,
pertumbuhan, perkembangan, mati, dan seterusnya, serta terkait dan berinteraksi
dengan alam dan lingkungannya dalam sebuah hubungan timbal balik positif
maupun negatif. Manusia adalah makhluk yang terbukti berteknologi tinggi. Ini
karena manusia memiliki perbandingan massa otak dengan massa tubuh terbesar
diantara semua makhluk yang ada di bumi. Walaupun ini bukanlah pengukuran
yang mutlak, namun perbandingan massa otak dengan tubuh manusia memang
memberikan petunjuk dari segi intelektual relatif. Manusia atau orang dapat
diartikan dari sudut pandang yang berbeda-beda, baik itu menurut biologis,
rohani, dan istilah kebudayaan, atau secara campuran. secara biologis, manusia
diklasifikasikan sebagai homo sapiens (bahasa latin untuk manusia) yang
merupakan sebuah spesies primata dari golongan mamalia yang dilengkapi otak
berkemampuan tinggi. Manusia juga sebagai mahkluk individu memiliki
pemikiran-pemikiran tentang apa yang menurutnya baik dan sesuai dengan
tindakan-tindakan yang akan diambil. Manusia pun berlaku sebagai makhluk
sosial yang saling berhubungan dan keterkaitannya dengan lingkungan dan tempat
tinggalnya.

B. Lingkungan Hidup
Lingkungan hidup pada prinsipnya merupakan suatu sistem yang saling
berhubungan satu dengan yang lainnya sehingga pengertian lingkungan hidup
hampir mencakup semua unsur ciptaan Tuhan Yang Mahakuasa di bumi ini.
Itulah sebab lingkungan hidup termasuk manusia dan perilakunya merupakan
unsur lingkungan hidup yang sangat menentukan.
Menurut Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, Definisi lingkungan hidup adalah kesatuan ruang
dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan

perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan,


dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
Lingkungan hidup saat ini oleh sebagian kalangan dianggap tidak bernilai,
karena lingkungan hidup hanya sebuah benda yang diperuntukkan bagi manusia.
Dengan kata lain, manusia merupakan penguasa lingkungan hidup sehingga
lingkungan hidup hanya dipersepsikan sebagai objek dan bukan sebagai subjek.

2.2. Pengrusakan dan Kerusakan Lingkungan Hidup


Undang-Undang 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup menjabarkan bahwa pengrusakan lingkungan hidup adalah
tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung
terhadap sifat fisik, kimia dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui
kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. Sedangkan pengertian kerusakan
lingkungan hidup adalah perubahan langsung dan/atau tidak langsung terhadap
sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang melampaui kriteria
baku kerusakan lingkungan hidup. Kerusakan lingkungan hidup terjadi karena
adanya tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung sifat
fisik dan/atau hayati

sehingga lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam

menunjang pembangunan berkelanjutan. Kerusakan lingkungan hidup terjadi di


darat, udara, maupun di air (KLH, 2002).
Dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirman :








"Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan disebabkan karena perbuatan
tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat)
perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)" (QS. Ar
Ruum:41).
Dalam ayat yang mulia ini Allah SWT menyatakan bahwa semua
kerusakan yang terjadi di muka bumi, dalam berbagai bentuknya, penyebab
utamanya adalah perbuatan buruk dan maksiat yang dilakukan manusia. Maka ini
menunjukkan bahwa perbuatan maksiat adalah inti "kerusakan" yang sebenarnya
dan merupakan sumber utama kerusakan-kerusakan yang tampak di muka bumi.

2.3. Etika Lingkungan


Krisis lingkungan hidup yang dihadapi manusia modern merupakan akibat
langsung dari pengelolaan lingkungan hidup yang nir-etik. Artinya, manusia
melakukan pengelolaan sumber-sumber alam hampir tanpa peduli pada peran
etika. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa krisis ekologis yang dihadapi
umat manusia berakar dalam krisis etika atau krisis moral. Umat manusia kurang
peduli pada norma-norma kehidupan atau mengganti norma-norma yang
seharusnya dengan norma-norma ciptaan dan kepentingannya sendiri.
Etika berasal dari bahasa Yunani Kuno yaitu "ethikos" yang berarti
"timbul dari kebiasaan" adalah cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau
kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. Etika
mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan
tanggung jawab. Etika terbagi menjadi tiga bagian utama: meta-etika (studi
konsep etika), etika normatif (studi penentuan nilai etika), dan etika terapan (studi
penggunaan nilai-nilai etika).
Etika Lingkungan adalah kajian moralitas yang berkaitan dengan usaha
mencapai suatu kearifan lingkungan. Di dalamnya mencakup moralitas dalam
pemanfaatan, penataan, pemeliharaan, pengawasan, pengendalian, pemulihan, dan
pengembangan lingkungan hidup. Penekanannya pada masalah tanggung jawab
manusia atas usahanya terhadap pelestarian lingkungan hidup, baik lingkungan
fisik, hayati maupun sosial budaya.

2.4. Perempuan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup


Perempuan

memiliki

arti

penting

dalam

menjaga

kelangsungan

pembangunan secara berkelanjutan. Jumlah perempuan hampir separuh dari


jumlah seluruh penduduk di

Indonesia (BPS, 2007). Dilihat dari jumlahnya

perempuan sebagai sumberdaya manusia merupakan modal potensial sebagai


dasar pelaksanaan pembangunan. Perempuan selayaknya ditempatkan sebagai
subyek tidak hanya menjadi obyek pembangunan seperti yang selama ini
berlaku.
Disadari bahwa pelaksanaan pembangunan yang dicanangkan selama ini
justru kurang berpihak pada perempuan bahkan cenderung meminggirkan

perempuan mulai perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di tingkat mikro


hingga makro. Marjinalisasi perempuan secara sadar maupun tak sadar diterima
saja oleh perempuan sebagai kodrat perempuan. Perempuan tersisihkan dari
kesempatan memperoleh peningkatan pengetahuan, keterampilan, pendidikan,
modal, serta pelayanan kesehatan. Rendahnya kualitas sumberdaya perempuan
karena kesempatan yang tak dimiliki perempuan untuk meningkatkan kualitas,
menjadi cara untuk pembenaran betapa ketidakberdayaan perempuan. Alasan
mengenai ketidakberdayaan perempuan telah menempatkan perempuan kurang
dilibatkan dalam berbagai kegiatan di masyarakat. Perempuan dianggap kurang
mampu diberi tanggung jawab di masyarakat.
Meningkatkan peran serta perempuan merupakan langkah yang perlu
mendapat perhatian agar perempuan mampu untuk berperan sebagaimana lawan
jenisnya dalam setiap kegiatan di masyarakat. Perempuan selama ini banyak
dilibatkan pada kegiatan domestik mulai dari penyediaan air bersih, pengelolaan
tugas- tugas rumah tangga seperti memasak, mencuci, berbelanja kebutuhan
rumah tangga. Tugas-tugas yang kurang memiliki makna ekonomi sehingga
perempuan menjadi kelompok yang terikat dalam ketergantungan dengan lakilaki.
Laki-laki yang banyak bergerak pada kegiatan produktif dan mempunyai
nilai ekonomi. Sejak disadari betapa pentingnya melibatkan perempuan untuk
mengelola lingkungan karena sifat yang dimiliki perempuan yakni ketelatenan,
ketekunan, dan memiliki kegiatan yang terkait langsung dengan lingkungannya
maka muncul gagasan untuk melibatkan perempuan dalam pengelolaan
lingkungan. Pengelolaan lingkungan mulai dari lingkup mikro sampai lingkup
makro.
Masalah lingkungan masih menjadi issue hangat dari lingkup lokal hingga
global. Kerusakan lingkungan pada skala mikro dapat mempengaruhi lingkungan
secara makro. Perilaku manusia dalam mengelola lingkungan pada tingkat
lokal ikut menyumbang kondisi lingkungan global. Persoalan akibat perilaku
manusia yang kurang memperhatikan betapa pentingnya lingkungan bagi
kelangsungan kehidupan manusia di planet bumi ini serta kurang kepedulian
manusia

akan lingkungannya. Perilaku tersebut berdampak pada tertekannya

10

lingkungan sebagai sumber daya pendukung bagi kelangsungan hidup manusia


secara berkelanjutan. Kesenjangan, kesalahan managemen, eksploatasi terhadap
sumber daya lingkungan menjadikan kerusakan lingkungan terjadi. Laju
pertumbuhan penduduk yang tinggi akan semakin menambah beban yang
lebih berat dan semakin terbatas bagi lingkungan sebagai daya dukung guna
memenuhi

berbagai

kebutuhan

manusia

yang

meningkat

kualitas

dan

kuantitasnya. Dampak dari kekeliruan pengelolaan lingkungan seperti terjadinya


banjir, erosi, kekeringan, dan degradasi lingkungan.
Perempuan kurang dilibatkan untuk pengelolaan lingkungan. Kemajuan
diberbagai sektor yang dimotori dengan kemajuan iptek merupakan tantangan
yang krusial bagi perempuan untuk senantiasa mampu mengelola lingkungan.
Arus informasi yang begitu deras dengan pembaharuan yang sedemikian cepat
memerlukan keterlibatan seluruh komponen masyarakat termasuk perempuan.
Agar perempuan mampu mengelola lingkungan secara benar dan tepat sesuai
dengan fungsinya. Berkaitan dengan upaya tersebut maka dilaksanakan program
peningkatan kemampuan guru dalam penguasaan materi yang terkait dengan
kependudukan dan lingkungan hidup. Program tersebut adalah melalui
peningkatan peran serta perempuan dalam melakukan kegiatan sehari- hari dalam
hal ini pengelolaan lingkungan.
Persoalan-persoalan yang dihadapi perempuan secara struktural, berakar
dari sistem budaya patriarkis yang membuat hubungan laki-laki dan perempuan
tidak setara. Hal ini sangat nampak pada kebijakan yang tidak berpihak pada
perempuan dan semakin lemahnya peran Negara untuk melindungi warganya
akibat tekanan globalisasi. Dalam sector ekonomi, Negara lebih memberikan
perlindungan kepada pemilik modal daripada menjaga sumber daya alam dan
mensejahterakan perempuan. Perempuan secara sistematis telah dikondisikan
untuk tidak berpeluang memikirkan wilayah publik dan mengambil keputusan
yang sebenarnya juga menentukan keberlangsungan hidupnya, serta tidak
mempunyai posisi sebagai pengambil keputusan bersama untuk sektor publik.
Berdasarkan persoalan-persoalan perempuan tersebut, maka berkumpullah
perempuan dalam Temu Nasional Aktivis Perempuan Indonesia pada tanggal 31
Agustus 2006 di Asrama Pondok Haji Jakarta, sebagai ajang konsolidasi gerakan

11

perempuan untuk menciptakan sinergi antar organisasi perempuan sebagai


peneguhan terhadap apa yang telah diperjuangkan selama ini. Temu Nasional
Aktivis Perempuan Indonesia telah menghasilkan 12 Agenda khusus gerakan
perempuan. Salah satu agenda yang terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup
adalah agenda tentang perempuan dan Sumber Daya Alam (SDA) yang meliputi
(Anonim, 2006) :
1. Mengintegrasikan isu SDA dalam gerakan sosial lain
2. Mengkampanyekan hak asasi perempuan dalam pengelolaan SDA
3. Pengelolaan SDA berbasis komunitas yang responsive gender (misalnya
petani, nelayan,dll)
4. Menuntut tanggung jawab Negara dan korporasi yang merusak lingkungan
hidup dan melanggar hak asasi perempuan dan adab.
5. Menolak pembayaran utang luar negeri yang bersumber dari eksploitasi
SDA.
6. Advokasi kebijakan dan kasus pengelolaan SDA.
Menurut Shiva dalam Amiruddin (2005) menyatakan bahwa dalam
perjuangan menyelamatkan lingkungan, perempuan adalah korban sekaligus
tokoh penggeraknya yang langsung berhadapan dengan kelompok penguasa
(penindas). Konsep ecofeminisme Shiva yaitu menawarkan pandangan atau jalan
keluar tentang masalah kehidupan manusia dan alam di masa mendatang.
Ekofeminisme seperti dalam buku Reclaim The Earth menawarkan analisis relasi
perempuan dan alam dan bagaimana perempuan sepanjang masa telah melindungi
alam. Bagi Indonesia sebuah Negara yang tingkat kemiskinan dan kerusakan
potensi alamnya sama-sama luar biasa pada satu dimensi, dan lemahnya posisi
perempuan terutama pada dimensi kemiskinan, gagasan Shiva akan menjadi
wacana bagi pengambil kebijakan untuk memperhatikan peran perempuan dalam
pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam.

2.5. Hak Asasi Perempuan Atas Pengelolaan Lingkungan Hidup


Kesadaran mengenai hubungan antara HAM dengan lingkungan dipicu
oleh tingginya laju perusakan lingkungan secara global yang diakibatkan oleh
pertumbuhan industri yang cepat di bidang kehutanan, kelautan, energi, dan

12

pertambangan. Perusakan ini pada gilirannya memustahilkan penikmatan atau


pemenuhan HAM, yang tidak hanya terbatas pada hak-hak ekonomi, sosial, dan
budaya, tetapi juga mencakup hak-hak sipil dan politik (Saleh, 2005).
Berdasarkan doktrin hukum HAM internasional, menurut Karel Vasak,
hak atas lingkungan hidup merupakan salah satu hak yang termasuk dalam
kategori generasi ketiga di mana yang mendapatkan perlindungan tidak hanya hak
yang bersifat individu tetapi juga hak-hak kolektif. Paul Sieghart mengidentifikasi
sedikitnya 6 (enam) golongan hak-hak kolektif, yaitu : (i) hak atas penentuan
nasib sendiri; (ii) hak atas perdamaian dan keamanan internasional; (iii) hak untuk
menggunakan kekayaan dan sumber daya alam; (iv) hak atas pembangunan; (v)
hak kaum minoritas, dan (vi) hak atas lingkungan hidup (Saleh, 2005).
Perkembangan terkini, berdasarkan Konvensi HAM Wina 1993 dalam
Kasim (2004), tidak terdapat lagi perbedaan kategorisasi HAM berdasarkan
perkembangan generasi, kepentingan yang dilindungi, maupun dikotomi antara
hak-hak sipil dan politik dengan hak-hak ekonomi, social, dan budaya karena
HAM pada prinsipnya saling terkait (interdependence) dan tidak dapat dipisahkan
(indivisible). Draft Deklarasi HAM dan Lingkungan Hidup Pasal 2, bagian 1
menyatakan :
All persons have the right to secure, healthy, and ecologically sound
environment. This right and other human rights, including civil, cultural,
economic, political, and social rights, are universal, interdependent, and
indivisible.
Meskipun hak atas lingkungan tidak secara spesifik dirumuskan secara
hukum dalam instrument internasional HAM, oleh karena itu keberadaan hak atas
lingkungan dihadirkan dengan membuat penafsiran yang luas terhadap isi dari hak
atas hidup (right to life) dengan merujuk pada survey R.G. Ramcharan yang
mencoba melihat keterkaitan antara hak atas hidup dengan hak atas lingkungan :
Threats to the environment or serious environmental hazard my threaten the
lives of large groups of people directly; the connection between the rights to life
and the environment is an obvious one A discussion of the interrelationship
between the two rights should, however, go beyond this(and) may be
summarized in the following proposition : (i) There is a strict duty upon States, as
well as upon the international community as a whole, to take effective measures to
prevent and safeguard of human being; (ii) every states, as well as the UN,
should establish and operate adequate monitoring and early-warning sistem to
detect hazard or threats before actually occur; (iii) the right to life, as an

13

imperative norm, takes priority above economic considerations and should, in all
circumstances, be accorded priority; (iv) States and other responsible entities
(corporations or individuals) may be criminally or civilly responsible under
international law for causing serious environmental hazard posing grave risks to
life.
Dalam kerangka pemenuhan dan perlindungan hak perempuan, maka
instrument hukum HAM internasional menjadi pijakan karena hak asasi
perempuan merupakan bagian dari HAM secara umum (CEDAW, 2006).
Keberadaan hak atas lingkungan sebagai salah satu hak sudah tercakup pada pasal
28 Deklarasi Universal HAM dan Pasal 12 (b) Kovenan Hak-Hak Ekonomi,
Sosial, dan Budaya. Meskipun formulasinya terbilang sangat abstract (Kasim,
2004). Untuk itu hak atas lingkungan harus diinterpretasikan secara luas sebagai
hak untuk memperoleh mutu atau kondisi lingkungan yang baik dan sehat, dalam
arti tidak dibatasi hanya menyangkut obyek ruang berupa bumi, air, dan udara.
Namun hak atas lingkungan hidup harus menegaskan pula penjaminan yang
meliputi penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan bagi subyek lingkungan
hidup (Saleh, 2005).
Meskipun hak atas lingkungan hidup dalam instrument hukum HAM
tidak diatur dan diformulasikan secara khusus, namun hukum nasional telah
mengakui hak atas lingkungan hidup secara expressive verbis, malahan telah
menjadi bagian hak konstitusional setiap warga Negara Indonesia. Pasal 28 H
UUD 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak mendapatkan lingkungan
hidup yang baik dan sehat (UU No. 39 Tahun 1999). Karena hak atas lingkungan
telah mendapatkan tempat secara yuridis baik di tingkat internasional maupun
nasional, maka hak atas lingkungan merupakan hak yang justiciable dan
enforceability. Artinya hak ini merupakan hak hukum yang apat dieksaminasi
melalui prosedur institusi peradilan baik di level domestik maupun internasional.

2.6. Peranan Perempuan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup menurut


Perspektif Undang-Undang No. 32 Tahun 2009
Peranan perempuan dalam pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana
menjadi agenda tahun 2006-2011 temu nasional perempuan, maka diharapkan ada
keikutsertaan perempuan dalam pengambilan kebijakan terkait
pengelolaan lingkungan hidup.

masalah

14

Seiring dengan berkembangnya isu hak asasi manusia, demokrasi,


lingkungan hidup, dan kesetaraan gender, maka sedikit banyak telah
mempengaruhi pemikiran pemerintah dan kalangan organisasi non pemerintah di
Negara maju maupun di Negara berkembang untuk meningkatkan manajemen
pengelolahan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang mengedepankan
prinsip-prinsip keadilan, demokrasi, dan keberlanjutan fungsi sumber daya alam
dan lingkungan hidup.
Prinsip keadilan merujuk pada kebijakan pengelolaan sumber daya alam
harus

direncanakan,

dilaksanakan,

dimonitoring,

dan

dievaluasi

secara

berkelanjutan, agar dapat memenuhi kepentingan pelestarian dan keberlanjutan


fungsi sumber daya alam dan lingkungan hidup dan juga kepentingan inter antar
generasi maupun untuk keadilan gender. Prinsip inilah yang ingin dipenuhi oleh
pemerintah melalui perubahan undang-undang lingkungan hidup yaitu UndangUndang No. 32 tahun 2009.
Jika kita meninjau UU No. 32 Tahun 2009, maka tidak ada pasal yang
menunjukkan pasal yang secara langsung menyebutkan perempuan sebagai
subyek dalam lingkungan hidup. Peran perempuan dalam lingkungan hidup dapat
ditunjukan tersirat di dalam pasal 70 tentang peran masyarakat, yang
menyebutkan bahwa:
1) Masyarakat memiliki hak dan kesempatan pemikiran yang sama dan
seluas-luasnya
untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
2) Peran masyarakat dapat berupa:
a. pengawasan sosial;
b. pemberian saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan; dan/atau
c. penyampaian informasi dan/atau laporan.
3) Peran masyarakat dilakukan untuk:
a. meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup;
b. meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan;
c. menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat;

15

d. menumbuhkembangkan

ketanggapsegeraan

masyarakat

untuk

melakukan pengawasan sosial; dan


e. mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam rangka
pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Berdasarkan pasal tersebut, maka beberapa hal yang dapat dilakukan
perempuan adalah sebagai berikut:
1. Peran Perempuan dalam Pengawasan Sosial
Perempuan sebagai bagian dari masyarakat harus mampu ikut berperan
dalam pengawasan timbulnya kerusakan lingkungan hidup yang dapat
mengganggu kesehatan masyarakat. Pencemaran lingkungan oleh pihak-pihak
yang tidak bertanggung jawab harus juga menjadi perhatian kaum perempuan.
Pemahaman perempuan tentang lingkungan hidup merupakan pengetahuan yang
wajib dimiliki oleh perempuan, sehingga perempuan dapat tanggap terhadap
lingkungannya. Perempuan diharapkan dapat proaktif jika telah terjadi
ketidakadilan dalam bentuk pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. Melalui
kelompok di luar pemerintah seperti NGO, perempuan dapat aktif mengawasi
terjadinya kerusakan lingkungan hidup.
Perempuan adalah bagian dalam keluarga yang mempunyai peran untuk
menjadi pendidik sekaligus pelaku pertama yang memahami bagaimana menjaga
kwalitas hidup melalui terciptanya lingkungan hidup yang sehat di lingkungan
keluarga. Oleh sebab itu pemberdayaan perempuan tentang lingkungan hidup
perlu diberikan kepada perempuan.
Berdasarkan beberapa penelitian tentang lingkungan (environmental
sustainability) perempuan dapat berperan sebagai agent of change yang dapat
merespons perubahan lingkungan dengan lebih baik daripada laki-laki karena sifat
memeliharayang dimiliki perempuan.
Perempuan yang berposisi sebagai decision makers atau leader berperan
penting untuk mendorong pengintegrasian perspektif perempuan dalam berbagai
kebijakan terkait dengan pemanasan global dan perubahan iklim. Penyataan akan
pentingnya perspektif gender telah muncul dalam the Hyogo Framework of Action
sebagai hasil dari the World Conference on Disaster Reduction States yang

16

diselenggarakan PBB pada tahun 2005. Terdapat pernyataan yang menyebutkan


bahwa :
a gender perspective should be integrated into all disaster risk management
policies, plans and decision-making processes, including those related to risk
assessment, early warning, information management, and education and
training.
Bentuk komitmen kaum perempuan adalah aktivitas kepedulian dalam
menyelamatkan dan melestarikan fungsi lingkungan hidup, dengan mencegah
pencemaran dan perusakan yang diakibatkan oleh kegiatan eksplorasi dan
eksploitasi sumber daya alam. Di mana kegiatan tersebut secara langsung
berdampak terhadap penurunan kualitas lingkungan hidup. Beberapa perubahan
perilaku dapat dilakukan misalnya, upaya mitigasi terhadap pemanasan global
dengan penurunan emisi gas rumah kaca dan peningkatan kapasitas penyerapan
karbon, melalui gerakan penanaman pohon, penyelamatan ozon melalui
penggunaan kosmetik yang alami tanpa gas pendorong seperti misalnya hair
spray dan parfum.
2. Peran Perempuan dalam Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup di
Daerah
Undang-Undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif dan
Undang-undang No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik (Parpol), kuota
keterlibatan perempuan dalam dunia politik adalah sebesar 30 persen, terutama
untuk duduk di dalam parlemen. Kuota tersebut dapat membantu perempuan di
dalam perannya ikut serta dalam pengambilan kebijakan.
Kuota perempuan dalam legislative telah memberi kesempatan pada
perempuan dalam menentukan arah kebijakan pembangunan. UUPPLH
menunjukkan penguatan demokrasi lingkungan melalui akses informasi, akses
partisipasi, dan akses keadilan serta penguatan hak-hak masyarakat dalam
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Berdasarkan pada penguatan
demokrasi tersebut, maka perempuan dapat ikut berperan di dalam menentukan
kebijakan lingkungan hidup melalui lembaga legislatif di daerah.
Melalui Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(RPPLH) bagian III UUPPLH dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (pasal 15
UU No.32 tahun 2009), perempuan dapat berperan ikut memastikan bahwa setiap

17

kebijakan pembangunan di daerah harus didasarkan pada prinsip pembangunan


berkelanjutan dan tidak berpotensi menimbulkan dampak risiko lingkungan hidup.
Berikut ini Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup diatur
dalam pasal 10 (4) UUPPLH:
RPPLH memuat rencana tentang:
a. pemanfaatan dan/atau pencadangan sumber daya alam;
b. pemeliharaan dan perlindungan kualitas dan/atau fungsi lingkungan hidup;
c. pengendalian, pemantauan, serta pendayagunaan dan pelestarian sumber
daya alam; dan
d. adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim.
Sedangkan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) diatur di dalam
pasal 16 UU No. 32 tahun 2009, KLHS memuat kajian antara lain:
a. kapasitas daya dukung dan daya tamping lingkungan hidup untuk
pembangunan;
b. perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup;
c. kinerja layanan/jasa ekosistem;
d. efisiensi pemanfaatan sumber daya alam;
e. tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim; dan
f. tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.
Pasal tersebut menjadi pedoman bagi kebijakan lingkungan hidup di
daerah dan dasar penyusunan rencana pembangunan. Peran perempuan dalam hal
ini tentunya mampu ikut berperan dalam penyusunan rencana, program, atau
kebijakan yang mengutamakan keselamatan masyarakat, kelestarian lingkungan
hidup, dan responsive gender. Jumlah perempuan sebanyak 30 % di dalam
DPR/DPRD diharapkan mampu memberikan suara dan melakukan monitoring
terhadap kebijakan pemerintah atau pemerintah daerah yang harus terintegrasi
dengan prinsip pembangunan berkelanjutan dan sesuai dengan RPPLH dan KLHS
.yang sudah dibuat oleh pemerintah dan pemerintah daerah.

18

2.7. Ekofeminisme Sebagai Perspektif Pandangan Etika Perempuan dalam


Usaha Penyelamatan Lingkungan Hidup
Ekofeminisme pertama kali diperkenalkan feminis Prancis, Francoise
dEaubonne, pada 1974, lewat buku Le Feminisme ou La Mort. Melalui bukunya
itu, Francoise dEaubonne menggugah kesadaran manusia, khususnya kaum
perempuan, untuk melakukan sebuah revolusi ekologis dalam menyelamatkan
lingkungan hidup. Dia menawarkan cara pandang holistik, pluralistis, dan
inklusif, yang lebih memungkinkan lelaki dan perempuan membangun relasi
setara, untuk mencegah kekerasan, menentang perang, dan menjaga keseimbangan
alam-lingkungan di mana mereka hidup.
Kelompok ini lahir dari sebuah situasi di mana Bumi yang dipandang
sebagai ibu telah dieksploitasi, dijarah dan dirusak oleh sistem kapitalisme yang
melanggengkan budaya patriarkhi dan feodalisme. Lahir untuk menjawab
kebutuhan penyelamatan Bumi, dengan berbasiskan pada kekhasan perempuan
yang memiliki pengetahuan pelestarian lingkungan hidup dan pengelolaan sumber
daya alam secara berkelanjutan. Karena, bagi perempuan, Bumi adalah ibu yang
harus diselamatkan dari ancaman kerusakan yang telah dilakukan oleh korporasi
dan pengurus negara.
Ekofeminisme bersepakat bahwa tekanan terhadap Bumi dan tekanan
terhadap perempuan mempunyai kesamaan titik, yaitu adanya ketidak-berdayaan,
ketidakadilan perlakuan. Ekofeminisme juga mengajarkan pendekatan yang
bertumpu pada sifat-sifat feminin seperti rela berkorban, kasih sayang, dan lemah
lembut yang bila dikedepankan justru akan mengubah dunia; bukan dengan
pendekatan maskulin seperti dilakukan pendukung feminisme corak lain.
Kelompok ini menilai bahwa dengan masuknya perempuan ke sektor publik justru
terpengaruh menjadi berjiwa maskulin juga. Sehingga jangankan merubah
struktur patriarkhat, mereka malah menjadi pendukung-nya. Perempuan boleh saja
masuk ke dunia publik, tetapi harus tetap dengan kualitas femininnya, tetap
bangga sekalipun ia memilih berperan di sektor domestik (menjadi ibu/istri,
merawat anak dan sebagainya).
Pada tataran ekologi, Ekofeminisme berarti sebuah teori dan gerakan etika
lingkungan yang ingin mendobrak etika pada umumnya, yakni yang bersifat

19

antroposentrisme (manusia adalah satu-satunya pertimbangan moral dan etis).


Paham ini juga mengkritik androsentrisme, yaitu teori etika lingkungan yang
berpusat pada laki-laki. Menurut Warren dalam Khatimah (2008), logika
konseptual androsentrisme memiliki tiga ciri utama: pertama, berpikir tentang
nilai secara hierarkis. Kedua, dualisme nilai, yang melakukan penilaian moral
dalam kerangka dualistis (laki-laki dilawankan dengan perempuan, manusia vs
alam). Ketiga, logika dominasi, yaitu struktur dan cara berfikir yang cenderung
membenarkan dominasi dan subordinasi. Mereka juga mengkritik ekosentrisme,
khususnya deep ecology, yang masih saja melihat antroposentrisme sebagai sebab
dari krisis ekologi. Bagi ekofeminisme, krisis ekologi tidak sekadar disebabkan
oleh cara pandang dan perilaku yang antroposentris, tetapi juga oleh cara pandang
dan perilaku yang androsentris: cara pandang dan perilaku yang mengutamakan
dominasi, manipulasi, dan eksploitasi terhadap alam.
Kelebihan ekofeminisme bukan hanya karena mampu menerangkan latar
belakang subordinasi perempuan, tetapi juga latar belakang kerusakan lingkungan
hidup secara global. Ekofeminisme melihat masalah sosial, kultural dan struktural,
yang berupa dominasi yang sangat kuat dalam relasi antarkelompok manusia (ras,
etnik, negara, bangsa, agama, seks, gender) dan relasi antarmanusia dengan
alam/lingkungannya yang mengakibatkan banyaknya penderitaan bagi manusia
itu sendiri, yang berupa perang maupun kehancuran lingkungan hidup.
Ekofeminisme menggambarkan betapa energi feminitas sangat berpotensi
menjaga kelestarian lingkungan hidup, kelestarian planet Bumi.
Dengan sangat baik, Ekofemnisme juga mampu menerangkan betapa
hipermaskulinisme ternyata juga berperan terhadap kerusakan ekosistem.
Ekofeminisme secara lebih kuat mampu menerangkan mengapa kesetaraan gender
pada akhirnya bukan hanya menguntungkan kaum perempuan, tetapi juga kaum
lelaki. Bila alam-lingkungan rusak, bukankah semua manusia, lelaki maupun
perempuan, pada akhirnya akan menderita? Sebaliknya, bila alam-lingkungan
lestari dan terjaga, bukankah manusia (lelaki dan perempuan) akan lebih
sejahtera? Terlepas dari corak feminisme yang mereka kembangkan, dari sisi
spiritualitas yang memang berbeda, semangat yang dilakukan kaum perempuan

20

dalam turut menjaga kelestarian alam dan lingkungan hidup kita, patut kiranya
diberikan apresiasi.
Tokoh ekofeminisme yang populer lainnya adalah Vandana Shiva, seorang
ahli ilmu fisika dan pertanian organik, asal India. Era 1970-an Vandana Shiva
adalah nama yang tidak asing bagi kelompok pecinta lingkungan di negaranya,
bahkan di dunia. Peluklah pohon-pohon kita. Selamatkan mereka dari
penebangan. Kekayaan bukit-bukit, kita selamatkan dari penjarahan
Demikian Vandana Shiva berseru, seraya memobilisasi perempuan-perempuan
sembari memeluk pohon yang bakal ditebang dan menyanyikan potongan puisi
tersebut. Perjuangannya yang gigih akhirnya berhasil menggagalkan eksploitasi
hutan secara massal di India.
Dalam pandangan Shiva, realitas yang menimpa jutaan perempuan
Indonesia dan belahan dunia ketiga lainnya, sesungguhnya memperlihatkan
dengan jelas betapa skenario globalisasi lewat politik pengelolaan lingkungan
yang patriarkhis meminggirkan dan menyebabkan ketidakadilan bagi kaum
perempuan. Pembangunan tidak lain adalah bentuk dari ideologi (negara-negara
maju) patriarkhis yang mengakibatkan penderitaan kaum perempuan dan merusak
lingkungan di dunia ketiga. Dan karena itu, sangat penting untuk melihat
keterkaitan yang sangat kuat antara perempuan dan lingkungan, serta membangun
kehidupan dengan nilai-nilai ekologis, feminis, dan sosialis (Shiva dalam
Khatimah, 2008).
Shiva juga menggulirkan gagasan demokrasi Bumi yang berasal dari salah
satu pemikiran India kuno, yang dalam bahasa India disebut vasudhaiva
kutumbkam atau keluarga Bumi. Gagasan ini mirip seperti yang dikatakan oleh
Ketua Seattle tentang jaringan di Bumi. Kosmologi orang India tak pernah
memisahkan manusia dari non-manusia - yang merupakan rangkaian kesatuan.
Shiva memperjuangkan kedaulatan terhadap biodiversitas (keanekaragaman
hayati) yang merupakan produk kearifan alam di India, ketika isu tentang
pematenan kehidupan muncul. Dalam aksinya, 200 penduduk desa di India, di
sebuah perdesaan di pegunungan tinggi dekat anak Sungai Gangga berseru:
Kami telah memperoleh tumbuh-tumbuhan obat, benih-benih,
hutan-hutan dari alam melalui nenek moyang kami; kami berhutang
kepada alam untuk memeliharanya demi masa depan. Kami berjanji

21

kami tidak akan pernah membiarkan erosi pencurian terhadap alam.


Kami berjanji kami tidak akan pernah menerima pematenan,
modifikasi genetis, atau membiarkan biodiversitas kami dicemari
dalam segala bentuknya, dan kami berjanji bahwa kami akan
berlaku sebagai manusia-manusia dalam biodiversitas tersebut.
Dalam aksi yang menolak pematenan kehidupan ini, beberapa kelompok
menulis surat kepada Mike Moore, Direktur Jenderal WTO, yang berbunyi:
Kami perhatikan anda telah meloloskan sebuah hukum yang
bernama Trade-Related Intellectual Property Rights. Kami juga
perhatikan bahwa di bawah undang-undang ini anda ingin
memonopoli seluruh kehidupan. Sayangnya, sumber-sumber daya ini
berada di luar wilayah hukum anda, dan anda telah bertindak
melampaui batas.
Surat serupa disampaikan kepada Perdana Menteri India:
Anda adalah Perdana Menteri di negeri ini, tetapi kamilah penjaga
biodiversitas. Ini bukan wilayah hukum ada. Anda tak bisa menjual
kekayaan alam ini. Kekayaan alam ini bukan milik anda. Kami tak
pernah memberikan mandat kepada anda.
Jika faktanya adalah bahwa korporasi globalisasi berkaitan dengan
privatisasi yang agresif terhadap air, biodiversitas, dan sistem pangan di Bumi,
maka ketika komunitas-komunitas itu mendeklarasikan kedaulatan dan bertindak
untuk mempertahankan kedaulatan itu, berarti mereka telah membangun sebuah
respon yang tangguh terhadap globalisasi. Dan sudah sepatutnya jika hal itu
memberikan inspirasi bagi kita untuk juga bertindak memperbaiki diri dan kondisi
lingkungan hidup kita.

2.8. Pembangunan Responsif Gender Sebagai Upaya Peningkatan Peranan


Perempuan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup
Istilah gender dikemukakan oleh para ilmuwan sosial dengan maksud
untuk menjelaskan perbedaan perempuan dan laki-laki yang mempunyai sifat
bawaan (ciptaan Tuhan) dan bentukan budaya (konstruksi sosial). Seringkali
orang mencampuradukkan ciri-ciri manusia yang bersifat kodrati (tidak berubah)
dengan yang bersifat non-kodrati (gender) yang bisa berubah dan diubah.
Perbedaan peran gender ini juga menjadikan orang berpikir kembali tentang

22

pembagian peran yang dianggap telah melekat, baik pada perempuan maupun
laki-laki.
Gender adalah perbedaan peran, fungsi, dan tanggung jawab antara
laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial dan dapat
berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Seks adalah perbedaan jenis
kelamin yang ditentukan secara biologis. Seks melekat secara fisik sebagai alat
reproduksi. Oleh karena itu, seks merupakan kodrat atau ketentuan Tuhan
sehingga bersifat permanen dan universal.
Dalam upaya mengubah perilaku seseorang terhadap pemahaman gender,
ada beberapa istilah yang perlu diketahui:
a. Buta Gender (gender blind), yaitu kondisi/keadaan seseorang yang tidak
memahami tentang pengertian/konsep gender karena ada perbedaan
kepentingan laki-laki dan perempuan.
b. Sadar Gender (gender awareness), yaitu kondisi/keadaan seseorang yang
sudah menyadari kesamaan hak dan kewajiban antara perempuan dan
laki-laki.
c. Peka/Sensitif Gender (gender sensitive), yaitu kemampuan dan kepekaan
seseorang dalam melihat dan menilai hasil pembangunan dan aspek
kehidupan lainnya dari perspektif gender (disesuaikan kepentingan yang
berbeda antara laki-laki dan perempuan).
d. Mawas Gender (gender perspective), yaitu kemampuan seseorang
memandang suatu keadaan berdasarkan perspektif gender.
e. Peduli/Responsif

Gender

(gender

concern/responcive),

yaitu

kebijakan/program/kegiatan atau kondisi yang sudah dilakukan dengan


memperhitungkan kepentingan kedua jenis kelamin.
Untuk memahami gender lebih lanjut, perlu diperhatikan juga mengenai
terjadinya ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender atau diskriminasi gender
merupakan akibat dari adanya sistem (struktur) sosial dimana salah satu jenis
kelamin (laki-laki maupun perempuan) menjadi korban. Hal ini terjadi karena
adanya keyakinan dan pembenaran yang ditanamkan sepanjang peradaban
manusia dalam berbagai bentuk dan cara yang menimpa kedua belah pihak,
walaupun dalam kehidupan sehari-hari lebih banyak dialami oleh perempuan.

23

Ketidakadilan atau diskriminasi gender sering terjadi dalam keluarga


dan masyarakat serta di tempat kerja dalam berbagai bentuk, yaitu:
a. Stereotip/Citra Baku, yaitu pelabelan terhadap salah satu jenis kelamin
yang seringkali bersifat negatif dan pada umumnya menyebabkan
terjadinya ketidakadilan. Misalnya, karena perempuan dianggap ramah,
lembut, rapi, maka lebih pantas bekerja sebagai sekretaris, guru Taman
Kanak-kanak; kaum perempuan ramah dianggap genit; kaum laki-laki
ramah dianggap perayu.
b. Subordinasi/Penomorduaan, yaitu adanya anggapan bahwa salah satu
jenis kelamin dianggap lebih rendah atau dinomorduakan posisinya
dibandingkan dengan jenis kelamin lainnya. Contoh: Sejak dulu,
perempuan mengurus pekerjaan domestik sehingga perempuan dianggap
sebagai orang rumah atau teman yang ada di belakang.
c. Marginalisasi/Peminggiran, adalah kondisi atau proses peminggiran
terhadap salah satu jenis kelamin dari

arus/pekerjaan utama yang

berakibat kemiskinan. Misalnya, perkembangan teknologi menyebabkan


apa yang semula dikerjakan secara manual oleh perempuan diambil alih
oleh mesin yang pada umumnya dikerjakan oleh laki-laki.
d. Beban Ganda/Double Burden, adalah adanya perlakuan terhadap salah
satu jenis kelamin dimana yang bersangkutan bekerja jauh lebih
banyak dibandingkan dengan jenis kelamin lainnya.
e. Kekerasan/Violence, yaitu suatu serangan terhadap fisik maupun
psikologis

seseorang,

sehingga

kekerasan

tersebut

tidak

hanya

menyangkut fisik (perkosaan, pemukulan), tetapi juga nonfisik (pelecehan


seksual, ancaman, paksaan, yang bisa terjadi di rumah tangga, tempat
kerja, tempat-tempat umum.
Akibat Diskriminasi berbagai bentuk diskriminasi merupakan hambatan
untuk tercapainya keadilan dan kesetaraan gender atau kemitrasejajaran yang
harmonis antara perempuan dan laki-laki, karena dapat menimbulkan:
a. konflik
b. stres pada salah satu pihak
c. relasi gender yang kurang harmonis

24

Dengan mengetahui dan memahami pengertian gender dan seks, seseorang


diharapkan tidak lagi mencampuradukkan pengertian kodrat (ciptaan Tuhan) dan
non-kodrati (buatan masyarakat yang bisa berubah sepanjang jaman). Konstruksi
sosial dapat terjadi karena pada dasarnya sikap dan perilaku manusia dipengaruhi
oleh faktor internal dan eksternal, yaitu konstruksi biologis, konstruksi sosial, dan
konstruksi agama.
Pemahaman tentang perbedaan seks dan gender sangat penting karena
keduanya merupakan kunci untuk tidak terjadinya kesalahan analisis, baik dalam
keluarga maupun dalam masyarakat yang seringkali menimbulkan ketidakadilan
gender. Ketidakadilan gender dapat dihilangkan apabila masyarakat memahami
dan mawas diri serta bertekad mengubah perilaku ke arah yang responsif gender
dalam setiap kegiatan. Dengan demikian, perlu adanya kesepakatan dalam hal
pembagian peran, sehingga laki-laki dan perempuan dapat menjadi mitra yang
setara dan seimbang dalam kehidupan di keluarga, masyarakat, dan pemerintahan.

25

III. PENUTUP

Undang-Undang 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan


Lingkungan Hidup bersifat menyempurnakan dari undang-undang sebelumnya.
Undang-Undang ini berorientasi pada peran seluruh elemen termasuk masyarakat
untuk memandang kasus lingkungan sebagai problem bersama yang subtansial.
Pemberian kewenangan kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup kepada pemerintah daerah, telah memberikan peluang kepada masyarakat
untuk ikut berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup dan sudah tidak lagi
bersifat sentralistik.
Perempuan sebagai bagian dari masyarakat tentunya secara tidak langsung
diberikan kesempatan untuk ikut terlibat dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup. Melalui partisipasi masyarakat, perempuan dapat menjadi
pelopor dalam menjaga lingkungan dan kritis terhadap kebijakan pembangunan di
daerah yang bersifat merusak lingkungan. Selain pengawasan social, melalui
kuota 30 % perempuan dalam lembaga legislatif juga dapat ikut berperan dalam
penyususan RPPLH dan KLHS. Demikian pula undang-undang PPLH mengatur
peran perempuan dalam pengelolaan lingkungan hidup. Meskipun tidak
disebutkan secara jelas, namun melalui peran masyarakat perempuan dapat
berpartisipasi baik mulai dari perencanaan, penyusunan program, pelaksanaan dan
evaluasi kebijakan lingkungan hidup.
Pemahaman terhadap tentang peran perempuan dalam pengelolaan
lingkungan hidup, strategi penguatan kelembagaan, HAM dan lingkungan serta
pemahaman tentang UU lingkungan hidup dengan pola perspektif ekofeminisme
dapat mendorong kaum perempuan untuk melakukan evaluasi terhadap
kepedulian dan peran kaum perempuan di wilayahnya. Sehingga kaum perempuan
juga menjadi faktor penting dalam peranannya sebagai penentu kebijakan
pengelolaan dan kualitas lingkungan.

26

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2006. Pengetahuan Perempuan. Jurnal Perempuan No. 48.


Amiruddin, M. 2005. Pembangunan melahirkan Tunawisma di Kampung Dunia.
Jurnal perempuan No.42. Hal 128.
CEDAW. 2006. Convention on the Elimination of Discrimination Against
Women.
Irwan, Z.D. 2009. Besarnya Eksploitasi Perempuan dan Lingkungan di Indonesia :
Siapa Bilang Bisa Mengendalikan Penyulutnya. Elex Media
Komputindo. Jakarta.
Kasim, I. 2004. Hak atas Lingkungan Hidup dan Tanggung Gugat Korporasi
Internasional. Jurnal SUAR. Vol 5 No. 10 dan 11. Hal 25.
Khatimah, H. 2009. Perempuan dan Penyelamatan Lingkungan. Tabloid
Suplemen Edisi 05. No. 24 Th. VIII. Swara Rahima. Jakarta.
Kompas. 2010. UU PPLH No.32 tahun 2009: Tonggak Baru Keberlanjutan LH.
Cetakan 14 Agustus 2010.
Saleh, M.R. 2005. Ecoside : Politik Kejahatan lingkungan dan Pelanggaran Hak
Asasi Manusia. Walhi. Jakarta.
Simatauw, M., L. Simanjuntak., P.T. Kuswardono. 2001. Gender & Pengelolaan
Sumber Daya Alam : Sebuah Panduan Analisis. Yayasan PIKUL.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Undang-Undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif.
Undang-Undang No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.

Anda mungkin juga menyukai