Oleh :
Nurul Haromain (L1C016074)
3
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana analisis konstruksi gender terhadap perbedaan peran antara laki-laki dan
perempuan?
2. Bagaimana analisis dampak perbedaan gender terhadap ketidakadilan dalam bidang
kesehatan?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui analisis konstruksi gender terhadap perbedaan peran antara laki-
laki dan perempuan
2. Untuk mengetahui analisis dampak perbedaan gender terhadap ketidakadilan dalam
bidang kesehatan
1.4 Manfaat
1. Menambah pengetahuan mengenai permasalahan gender dan kesehatan di Indonesia
2. Mengetahui isu-isu yang menjadi bahan pembahasan dalam makalah ini
3. Dapat dijadikan sumber belajar untuk mahasiswa lainnya
4. Sebagai pembahasan lajutan di dalam ruangan mata kuliah Sosiologi Kesehatan dan
sebagai refrensi, terutama dosen maupun teman-teman yang mengikuti perkuliahan
Sosiologi Kesehatan
4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 KAJIAN TEORITIS
a. Konstruksi Sosial Peter L Berger dan Thomas Luckman
Dalam menganalisis permasalahahan di atas penulis menggunakan Teori Konstruksi
Sosial atas Realitas (Social Construction of Reality) dicetuskan oleh Peter L. Berger dan
Thomas Luckmann.Teori ini didefinisikan sebagai proses sosial melalui tindakan dan
interaksi dimana individu atau sekelompok individu, menciptakan secara terus-menerus suatu
realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif. Teori ini berakar pada paradigma
konstruktivis yang melihat realitas sosial sebagai konstruksi sosial yang diciptakan oleh
individu, yang merupakan manusia bebas. Individu menjadi penentu dalam dunia sosial yang
dikonstruksi berdasarkan kehendaknya, yang dalam banyak hal memiliki kebebasan untuk
bertindak di luar batas kontrol struktur dan pranata sosialnya. Dalam proses sosial, manusia
dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relatif bebas di dalam dunia sosialnya.
Peter L. Berger dan Thomas Luckman memperkenalkan konsep konstruksionisme
melalui tesisnya tentang konstruksi atas realitas. Teori konstruksi sosial Peter L. Berger
menyatakan bahwa, realitas kehidupan sehari-hari memiliki dimensi subjektif dan objektif.
Menurut Berger dan Luckman (1966) dalam Calhoun dkk (2007:43) semua aktivitas
manusia adalah suatu subyek kebiasaan. Setiap tindakan merupakan pengulangan yang
terpola, bersifat rutin dalam stok pengetahuan individu, diterima begitu saja dan menjadi
panduan untuk tindakan berikutnya di masa depan.
Tindakan manusia oleh Berger dan Luckman (Calhoun dkk, 2007:46) akan
menghasilkan resiprokasi hubungan dengan orang lain dan menjadikan dunia sosial sebagai
produknya. Terus demikian, timbalbalik, yang oleh Berger memenuhi tahapan: ekternalisasi-
obyektivasiinternalisasi. Eksternalisasi dianggap sebagai suatu keharusan antropologis.
Keberadaan manusia harus terusmenerus mengeksternalisasikan diri dalam aktivitas (Berger
& Luckman, 2012:71).
Aktivitas dilembagakan sehingga memiliki nilai obyektif melalui obyektivasi.
Masyarakat merupakan produk manusia. Masyarakat merupakan kenyataan obyektif.
Manusia merupakan produk sosial (Berger & Luckman, 2012:83). Selanjutnya hubungan
dialektis antara masyarakat dan individu ini kemudian digambarkan dalam proses
internalisasi. Internalisasi merupakan pemahaman atau penafsiran yang langsung dari suatu
peristiwa obyektif sebagai pengungkapan suatu makna; artinya, sebagai suatu manifestasi
5
dari proses-proses subyektif orang lain yang dengan demikian menjadi bermakna subyektif
bagi orang yang lain lagi (Berger & Luckman, 2012:177). Menurut Berger dan Luckman
konstruksi sosial adalah pembentukan pengetahuan yang diperoleh dari hasil penemuan
sosial. Realitas sosial menurut keduanya terbentuk secara sosial.
b. Gender dan Stereotipe
Gender adalah seperangkat peran yang, seperti halnya kostum dan topeng di teater,
menyampaikan kepada orang lain bahwa kita adalah feminin atau maskulin. Perangkat
perilaku khusus ini bukan berdasarkan perbedaan biologis, namun lebih merupakan hasil
konstruksi budaya yang membedakan laki-laki dan perempuan dalam peran-peran sosial.
Penampilan, pakaian, sikap, kepribadian, bekerja di dalam dan di luar rumah tangga,
seksualitas, tanggung jawab keluarga dan sebagainya – secara bersama-sama memoles peran
gender kita (Mosse, 1996).
Misalnya, gambaran yang ada dalam masyarakat seperti perempuan yang dianggap
rapi, bersih, sering merawat diri, dan memperhatikan hal secara detail sedangkan laki-laki
dianggap harus kuat, perkasa, tidak boleh nangis dang hebat dalam hal fisik. Pandangan ini
yang menunjukkan perbedaan jelas antara laki-laki maupu perempuan
Stereotip ini tetap berlaku sampai saat ini, walaupun di zaman modern saat ini, fakta
telah menemukan banyak kontradiksi antara keduanya. Stereotip adalah pelabelan atau
penandaan terhadap suatu kelompok tertentu. Stereotipe dapat berupa prasangka positif dan
negatif, dan kadang-kadang dijadikan alasan untuk melakukan tindakan diskriminatif dan
ketidakadilan (Fakih, 2012, p. 16).
6
Hingga saat ini masih ditengarai terjadi ketidaksejajaran peran antara laki-laki dan
perempuan, yang sebenarnya lebih didasarkan pada kelaziman budaya setempat.Terkait
dalam kehidupan keseharian, konstruksi budaya memiliki kontribusi yang kuatdalam
memposisikan peran laki-laki - perempuan. Banyaknya ketidaksetaraan ini padaakhirnya
memunculkan gerakan feminis yang menggugat dominasi laki-laki atas perempuan
Selain itu, dalam keluarga secara tidak sengaja juga dilakukan sosialisasipembagian
kerja berdasarkan jenis kelamin. Anak perempuan membantu memasak,anak laki-laki
membantu ayah mengerjakan pekerjaan ayah --tentunya jugamengerjakan pekerjaan yang
identik laki-laki-- Proses pewarisan nilai ini pada akhirnyaakan menjadikan anak terus
memegang ajaran apa yang harus dilakukan oleh anaklaki-laki dan apa yang tidak boleh
dilakukannya, demikian juga untuk anak perempuanada seperangkat aturan yang tidak boleh
dilanggarnya karena budaya melarangnya,konsep ini belakang dikenal dengan ideologi peran
gender (gender role ideology, Matsumoto, 1996).
Gender adalah suatu konstruk yang berkembang pada anak-anak sebagaimana mereka
disosialisasaikan dalam lingkungannya. Dengan bertambahnya usia, anak-anak mempelajari
perilaku spesifik dan pola-pola aktivitas yang sesuai dan tidak sesuai --dalam terminologi
budaya mereka-- dengan jenis kelamin mereka, serta mengadopsi atau menolak peran-peran
gender tersebut.
7
Pada saat anak lahir ia memiliki jenis kelamin, tetapi tanpa gender. Pada saat lahir,
jenis kelamin menentukan dasar anatomis fisik. Pada phase kehidupan selanjutnya
pengalaman, perasaan dan tingkah laku yang diasosiasikan oleh orang dewasa, masyarakat
sekitarnya serta budaya, perbedaan biologis ini memberikan bias gender pada individu
tersebut. Banyak kenyataan mengenai bagaiman anak laki-laki dan perempuan berbeda dan
bagaimana sama, yang akan dipahami sebagai konstruksi budaya yang didasarkan pada
perbedaan biologis.
Dalam konsep keseharian ada dua istilah yang kerap saling tumpang tindih dalam
memaknainya, yaitu peran jender dan peran jenis kelamin. Virginia Prince (dalam
Matsumoto, 1996) memberi makna peran jender (gender roles) sebagai derajat dimana
seseorang mengadopsi perilaku yang sesuai atau spesifik jender yang diberikan oleh
budayanya. Lebih lanjut Prince memaknai peran jenis kelamin (sex roles) sebagai perilaku
dan pola-pola aktivitas laki-laki dan perempuan yang secara langsung dihubungkan dengan
perbedaan biologis dan proses reproduksi.
Mengacu pada pendapat Prince ini, maka peran jenis kelamin merupakan satu
aktivitas yang hanya mampu dilakukan oleh jenis kelamin tertentu. Peran jenis kelamin (sex
roles) yang ada dalam masyarakat misalnya laki-laki membuahi sel telur dan perempuan
hamil serta melahirkan anak-anaknya.
Pada giliran berikutnya perbedaan biologis dan system reproduksi ini membawa
implikasi pada perbedaan jender. Salah satu hasil temuan yang terpenting dari perbedaan
jender yang ditemukan dari banyak budaya dii seluruh dunia adalah perempuan tinggal di
rumah dan merawat anak-anaknya,dan laki-laki meninggalkan rumah untuk memperoleh
makanan (Berry dan Child; Prince; Low; dalam Matsumoto,1996).
Perbedaan gender tersebut membawa keuntungan khususnya bagi laki-laki yaitu (1)
laki-laki dapat memberikan jaminan pada keluarga untuk tetap melangsungkan hidupnya
(survive) dengan tercukupinya kebutuhan keluarga yang selanjutnya anakanak akan dapat
meneruskan pekerjaan ayahnya kelak. (2) Kesempatan untuk ekspresi seksual. Bila laki-laki
membangun kehidupan dengan perempuan yang diberi makanan dan kesempatan hidup
lainnya, maka laki-laki dapat mengharapkan hubungan seksual.
8
Implikasi lebih lanjut dari peran gender antara laki-laki dan perempuan membawa
pada pengembangan trait tertentu yang didistribusikan secara berbeda. Jika perempuan
tinggal di rumah dan merawat anak-anak, mereka mengembangkan trait ‘pengasuhan’
(nurturance). Selanjutnya, perempuan yang masih lemah setelah melahirkan membutuhkan
bantuan untuk merawat anak-anak lainnya. Konsekuensinya, perempuan mengembangkan
hubungan positif dengan perempuan lain seperti saudara perempuannya, saudara ipar,
sepupunya untuk merawat anak-anaknya. Keadaan ini membawa trait pada ‘kepekaan
hubungan’ (relatedness).
Pada akhirnya ada beberapa perilaku yang dilazimkan harus dimiliki oleh jenis
kelamin tertentu, seperti:
9
2. Pengasuhan/Nurturance dan kepatuhan didominasi perempuan. Bila laki-laki
agresif, maka sifat pengasuhan dan patuh yang disosialisasikan bagi perempuan.
Dalam banyak budaya, perempuan dituntut memiliki sifat kepatuhan yang tinggi --
terutama kepatuhan terhadap suaminya dan orang tua mereka--. Secara eksplisit
dalam budaya muncul idion swargo nunut, neroko katut (ke surga ikut, ke neraga
turut). Idiom ini secara tidak langsung mengkonstruksi fenomena masyarakat
tersebut betapa isteri (perempuan) harus mengikuti gerak yang dilakukan suami,
bahkan untuk persoalan yang sakral-pun harus merelakan dengan tingkat
kepatuhan yang dalam. Pada sisi lain, untuk banyak budaya kepatuhan penting
bagi laki-laki karena perempuan yang memiliki sifat ini akan mengikuti aturan-
aturan umum sehingga menguatkan dominasi laki-laki. Pada sisi ini, terlepas dari
jenis kelaminnya, tampaknya secara psikologis orang yang berposisi di atas,
menghendaki tingkat kepatuhan yang tinggi daripara bawahannya, demi menjaga
kekuasaan yang dimilikinya.
10
Meski dipahami bahwa tidak semua aktivitas dapat bertukar peran antara laki laki dan
perempuan, namun senyampang aktivitas tersebut tidak terkait dengan kondisi biologis jenis
kelamin, maka sebenarnyalah dapat terjadi tukar peran antara jenis kelamin yang berbeda.
Kondisi inilah yang tampak belum secara arif dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat kita,
dan budaya pada akhirnya menguatkannya dan menjadikan sesuatu yang sakral. Hingga pada
akhirnya, akan terlihat canggung tatkala ada seorang bapak yang menggendong anaknya,
sementara sang ibu berjalan lenggang, atau sulit terjadi dalam teks-teks buku bahasa
Indonesia dicontohkan perilaku seperti, ibu membaca koran, ayah memasak di dapur. Padahal
kondisi itu telah secara empirik ada dalam masyarakat kita, meski persentasenya belum
banyak.
Pada akhirnya disadari bahwa budaya memainkan peran penting dalam kontruksi
gender seseorang. Beberapa contoh hasil temuan penelitian menungkap begitu besarnya
peran budaya pada konstruksi gender yang dimilliki seseorang. Sebut saja penelitian yang
dilakukan oleh Maccoby dan Jacklin (1974) bahwa laki-laki lebih baik dalam bidang
matematika dan tugas-tugas yang membutuhkan pemikiran sementara perempuan lebih baik
dalam hal tugas-tugas yang berkaitan dengan pemahaman verbal. Perbedaan tersebut
ditunjukan setelah melalui serangkaian tes masuk pada sekolah dasar, sampai perguruan
tinggi.
11
Merujuk pada budaya yang di Indonesia, tampak ada perbedaan peran gender antara
suku bangsa yang ada. Sebagai misal beberapa suku di tanah Sumatra memposisikan
perempuan begitu tinggi, sementara suku lainnya justru sebaliknya. Begitu juga yang terjadi
di Jawa, Kalimantan, ataupun daerah-daerah lainnya di Indonesia. Secara umum sistem
patrilinial lebih dominan dibanding matrilinial, yang secara tidak langsung memposisikan
jenis kelamin tertentu memiliki kontruksi sosial yang lebih tinggi dibanding jenis kelamin
lainnya. Pada giliran selanjutnya, posisi tersebut menentukan peran jenis yang akhirnya
terbentuklah konstruksi gender sebagaimana saat ini ada.
12
Gambar 1. Produk kesehatan laki-laki Gambar 2. Produk kesehatan Perempuan
Selain dalam produk kesehatan, gender juga mempengaruhi dalam mendapatkan
pekerjaan pada bidang kesehatan khususnya pada bidang perawat. Marginalisasi peran
perempuan di ranah publik akibat dari relasi kuasa yang dibangun dan berkembang dalam
profesi keperawatan membentuk stereotype bahwa profesi keperawatan merupakan profesi
yang dipandang lebih cocok untuk para perempuan ketimbang laki-laki. dunia keperawatan
memang identik dengan dunia perempuan. Karena tugastugas yang dijalankan lebih dekat
dengan dunia perempuan. Misalnya saja, untuk melakukan tugas keperawatan, diperlukan
ketelititan, ketelatenan dan kesabaran, sebuah sikap dimana perempuan dianggap memiliki
nilai lebih dibandingkan dengan laki-laki. Bahkan ada yang mengatakan bahwa tugas
keperawatan bermula dari naluri keibuan (mother instinct).
Adanya konsep gender, menyebabkan ada jenis pekerjaan yang hanya dianggap cocok
untuk perempuan. Misalnya karena perempuan dianggap tekun, sabar, teliti. Di samping
perawat, ada pula pekerjaanpekerjaan lain seperti , guru, penerima tamu, sekretaris, atau
pembantu rumah tangga. Pekerjaan-pekerjaan tersebut dipandang masih merupakan
perpanjangan tangan dari pekerjaan rumah tangga. Stereotype terhadap profesi keperawatan
sebagai pekerjaan yang cocok untuk perempuan ini diperkuat dengan faktor sejarah yang
mewarnai profesi ini.
b. Ketidakadilan gender dalam kesehatan
Ketidaksetaraan gander yang terjadi di Indonesia memang banyak sekali karena ini
disebabkan oleh multicultural masyarakat kita yang merupakan ciri-ciri bangsa Indonesia.
Melihat arti bahasa dari ketidaksetaraan gander sama artinya dengan ketidakadilan.jadi dalam
pembahasan ini akan membahas tentang ketidakadilan gander dalam kesehatan. keadilaan
gander merupakan keadilaan pendistribusian manfaat dan tanggung jawab perempuan dan
laki-laki. Konsep yang mengenali adanya perbedaan kebutuhan dan kekuasaan antara
perempuan dan laki-laki yang harus didefinisikan dan diatasi dengan cara memperbaiki
ketidakseimbangan antara jenis kelamin.
Dalam berbagai aspek ketidaksetaraan gander tersebut sering ditemukan pula
ketidakadilan gander, yaitu ketidakadilan berdasarkan norma dan standar yang berlaku dalam
hal distribusi manfaat dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan (dengan
pemahaman bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai perbedaan kebutuhan dan
kekuasaan).
13
Keadilan antara lain ditentukan oleh norma atau standar yang dianggap pantas atau
adil dalam suatu masyarakat,yang mungkin berbeda satu dengan yang lain dan mungkin
berubah dari waktu ke waktu.sering kali sulit untuk menentukan norma atau standar yang
dpat diterima oleh berbagai pihak,karena terkait dengan nilai-nilai dan penentuan
keputusan,sehingga istilah ketidaksetaraan lebih sering digunakan.
Istilah “ketidaksetaraan” menyiratkan bahwa kesenjangan yang terjadi tidak dinilai apakah
ahal tersebut dapat dikatakan bahwa ketidakadilan adalah ketidaksetaraan yang tidak pantas
atau tidak adil.
Contoh-contoh isu tentang ketidakadilan gander dalam bidang kesehatan:
1. Ketidakadilan dalam hal penyakit dan kematian
Dibeberapa wilayah dunia, ketidakadilan anatara perempuan dan laki-laki berkaitan
langsung dengan perkara hidup dan mati terutama bagi kaum perempuan misalnya
tergambarkan dari tingginya angka kesakitan dan kematian perempuan. Hal ini terjadi
karena berbagai bentuk pengabdian terhadap kesehatan gizi dan kebutuhan
perempuan secara langsung kualitas bayi.
2. Ketidakadilan dalam kelahiran bayi
Anak laki-laki lebih diinginkan kehadirannya daripada anak perempuan sekalipun kita
tahu agama tidak membedakan jenis kelamin anak.namun karena kebanyakan laki-
laki lebih tinggistatus di masyarakat,maka mencuatnya anak laki-laki dari pada anak
perempuan.
3. Ketidakadilan dalam rumah tangga
Seringkali terdapat ketidakadilan gander yang mendasar di dalam rumah tangga dan
bentuknya bermacam-macam.dari perkara yang sederhana sampai keadaan yang rumit
begitu juga pembagian peran dan tanggung jawab dalam rumah tangga, sering kali
tidak adil misalnya dalam pembagian tugas mengurus rumah tangga dan mengurus
anak.
4. Perempuan lebih mudah terkena penyakit HIV/AIDS
Ketimpangan gender membuat perempuan dianggap sebagai penular penyakit
HIV/AIDS. Hal ini tentu disebabkan karena perempuan memilik peluang unutk
bekerja sebagai PSK.
14
2.3 ANALISIS KASUS
Permasalahan gender tersebut akan dianalisis menggunakan teori dari Peter L. Berger
dan Lukman denagn pendekatan konstruksi sosial, dimana dalam memahami masyarakat
Berger mengunakan realitas subyektif dan realitas obyektif. Pada realitas Subyektif bahwa
konstruksi gender terbentuk atas munculnya sebuah tindakan awal atau pandangan awal yang
berasal dari sejarah maupun orang-orang terdahulu seperti halnya dengan produk kesehatan
yang membedakan antara laki-laki dan perempuan, dimana pada masyarakat terdahulu,
pembagian kerja selalu dibagi atas perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan.
Laki-laki pada biasanya kelur rumah dan berburu hewan untuk dimakan sehingga laki-laki
dibentuk harus kuat dan perkasa, tidak boleh lemah, dan berani sedangkan perempuan yang
selalu berada pada urusan domestik atau rumah tangga sehingga sering bersih-bersih, dan
senang akan kecantikan maupun kebersihan. Hal inilah yang terus terbentuk hingga sekarang,
meskipun perubahan jaman tetapi masyarakat tetap berpikir seperti halnya orang jaman
dahulu. Oleh krena itu muncullah saat ini realitas byektif, dimana realitas tersebut yang
membentuk masyarakat saat ini. Masyarakat dipandang cenderung ikut dalam konstruksi
karena dianggap benar dan harus dilakukan sehingga sampai saat ini beberapa masyarakat
memandang perempuan harus berada di domestik dan suka bersih, hal-hal yang cantik
sedangkan laki-laki harus bertanggungjawab, kuat dan tidak mudah menyerah.
Selain dari dua pandangan realitas tersebut. Peter L. Berger juga menggunakan tiga
tahap dalam terjadinya konsruksi sosial yaitu Eksternalisasi. Obyektivasi, dan Internalisasi.
Dalam tahap Eksteralisasi Konstruksi gender memang merupakan sebuah sejarah dari masa
lalu dimana pada awalnya sebuah kebutuhan yang membuat terjadinya pembagian kerja
antara laki-laki dan perempuan, hal ini muncul dari pengalaman, penegtahuan serta interaksi
yang dilakukan sehingga memunculkan tindakan bahwa perempuan harus bisa bersih-bersih
bahkan merawat diri, sedangkan laki-laki harus kuat dan sebagainya. Kemudian Obyektivasi
yaitu sebagai legitimasi dimana pada tahap obyektivasi masyarakat mulai memahami
perpedaan peran ini, dan memang sangat dibutuhkan karena pada dasarnya bahwa terdapat
kebutuhan yang harus dipenuhi bersama. Legitimasi ini dapat berupa llegitimasi tokoh
dimana masyarakat mengikuti tokoh yang dianggap berpengaruh dan melakuka tindakan
yang membedakan peran laki-laki dan perempuan ataupun legitimasi ideologi diaman
pandangan dan cara berpikir masyarakat memang searah dengan padangan konstruksi gender
tersebut. Selanjutnya pada tahap internalisasi dimana tahap ini yang membentuk kosntruksi
sosial sampai saat ini sehingga dapat dilakukan polanya secara terus-menerus dan
15
membentuk pemikiran masyarakat bahwa laki-laki ideal harus kuat, dan perempuan ideal
harus bsa bersih-bersih atau merawat diri maupun orang lain. Kemudian dari internalisasi ini
juga yang membentuk sebuah pola baru yatu feminim dan maskulin.
Pada realitas gender pada bidang kesehatan emang terentuknya produk kesehatan
mengikuti pola feminim dan maskulin tersebut, dimana seorang oeminim harus
berpenampilan cantik, dan bersih sehingga produk itu muncul sebagai bentuk bawah seorang
perempuan untuk mendapatkan dirinya yang idea harus membeli produk kesehatan yang
dapat merawat kulit, merawat wajah, dan merawat rambut sehingga terlihat cantik sedangkan
untuk laki-laki dimpandang harus kuat dan agar terlihat kuat pada bidang keehatan
mengeluarkan produk bahkan suplemen makanan yang dapat membentuk otot-otot laki-laki
sehingga terlihat maskulin dan lebih dapat diandalkan, ketimbang yang memiliki tubuh biasa
saja. Hal tersebut tidak lain merupakan kostruksi sosial pada jaman dahulu ketika pembagian
kerja antara laki-laki dan perempuan.
Selanjutnya dibidang kesehatan juga perempuan identik dengan profesi perawat,
dimana kembali pada jaman dahulu perempuan memang selalu dapat merawat anggota
keluarganya baik anak-anak, maupun ayah, sehingga terinternalisasiah bahwa seorang yang
pandai merawat adalah perempuan karena dianggap punya jiwa keibuan. Di beberapa hal
juga yang melegitimasi masyarakat bahwa yang lebih cocok menjadi perawat adalah
perempuan yaitu Tokoh-tokoh yang menonjol dalam perkembangan dunia keperawatan juga
para perempuan. Di dunia barat, dikenal seorang tokoh yang mempelopori dunia keperawatan
modern seperti Genevieve Bouzuet, Perawat Perancis pada masa setelah revolusi Perancis
yang memelopori pekerjaan perawat yang dijalankan oleh orang-orang yang tidak terikat
dengan ordo keagamaan. Kemudian, ada juga Florence Nightingale (1820), seorang Perawat
Inggris yang memelopori dunia keperawatan modern dengan pemikiran-pemikirannya.
Dari hal tersebut kostruksi sosial gender ternyata mempengaruhi pola pikir
masyarakat saat ini. Meskipun dalam perkembangan pada era modernisasi dan globalisasi,
masyarakat mulai sadar akan perubahan bahwa peran dan fungsi dapat ditukar bukan hal
yang mutlak namun pada masyarakat patriarki akan danggap anomali karena tidak wajar
bahkan tidak seharusnya.
Selain itu karena perbedaan peran serta pandangan terhadap laki-laki dan perempuan,
memunculkan stereoype dalam masyarakat bahwa perempuan lebh rendah dari laki-laki. Hal
ini yang memunculkan ketidakadilan gender, dimana perempuan menjadi subordinat dan
dimarginalkan. Dalam bidang kesehatan juga tidak jauh berbeda, karena dalam pandangan
16
masyarakat bahwa perempuan itu lemah, sehingga bbanyak terjadi kekerasan terhadap
perempuan yang membuat perempuan terintimidasi. Dalam keluarga juga streotipe terhadap
perempuan yang lebih rendah membuat perempuan tidak berdaya, seperti dalam hal
kesehatan, perempuan selalu dipandang lebih rentan terkena penyakit seperti HIV/AIDS.
Kerentanan perempuan terhadap HIV/AIDS ini lebih banyak disebabkan adanya ketimpangan
gender yang berdampak pada ketidakmampuan perempuan mengontrol perilaku seksual
suami. Hal ini disebabkan karena suami dalam kelurga lebh berkuasa daripada istri sehingga
posisi lebih rendah. Streotipe masyarakat tentang HIV/AIDS hanya dialami perempuan
penjaja seks komersial (PSK) ternyata tidak selamanya benar karena laki-lakipun juga
berpotensi untuk menalami penyakit HIV/AIDS. Selain penyakit untuk kelahiran bayi pada
masyarakat dengan bidaya patriarki ternyata memandang bayi laki-laki lebih diharapkan
karena memiliki masa depan yang lebih cerah untuk keluarga. Hal ini juga membuat
ketidakadilan geder diaman perempuan sulit dalam menjalani hidupnya.
17
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Secara sosial kostruksi sosial gender pada denga membagi perempuan dengan feminis
dan maskuli merupakan hal yang sehaarusnya karena dari peran, fungsi, bahkan cara
berpakaianlah yang dapat membedakan perempuan dan laki-laki, namun pada kenyataannya
perbedaan tersebut membentuk suatu hierarki yang membuat posisi perempuan lebih rendah
daripada laki-laki sehingga perempuan terus ditindas dan terintimidasi. Hal inilah yang
menyebabkan munculnya ketidak adilan gender dalam masyarakat, ketidak adilan gender ini
bahkan merujuk pada kesehatan dimana perempuan sulit mendapat kesehatan yang layak dan
lebih baik.
3.2 Rekomendasi
Perbedaan peran akibat konstruksi sosial dan streotipe dari masyarakat ternyata
berdampak pada bidang kesehatan dimana keadilan gender masih diperjuangkan oleh
perempuan. Perempuan berhak medapatkan perlindungan kesehatan yang lebih karena dari
kondisi masyarakat patriarki perempuan dipandang menyusahkan dan tidak berdaya. Oleh
karena itu fasilitas perempuan lebih dikuatkan lagi dan kosntruksi sosial tentang perempuan
sedikit demi sedkit perlu dihilangkan karena perbedaan jaman dahulu dengan jaman modern
sudah sangat jauh berbeda sehingga perlu ada perlindungan. Gerakan feminisme memang
sudah dilkukan, beberapa kostruksi sosial sudah bergeser, dan pandangan masyarakat juga
berubag terhadap perempuan, dimana perempuan saat ini dapat bekerja dibidang publik serta
dapan bantuan kesehatan yang lebih baik lagi.
18
REFRENCE
Buku
Ritzer, George. 2002. “ Sosiologi Ilmi Berparadigma Ganda”. PT Rajawali Press,
Jakarta
Peter L Berger dan Thomas Luckman, Tafsir Sosial atas Kenyataan, (Jakarta : LP3S,
1990)
Website
Fitri Lestari. 2015. Seks, Gender, dan Konstruksi Sosial
https://www.jurnalperempuan.org/wacana-feminis/seks-gender-dan-
konstruksi-sosial (diakses 3 mei)
Melda Savitri, Konstruksi Gender Dalam Budaya
https://www.academia.edu/3270268/Konstruksi_Gender_dalam_Budaya
(diakses 16 mei)
19