Penyakit Kulit Nematoda
Penyakit Kulit Nematoda
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Penyakit kulit dan kelamin yang disebabkan oleh nematoda mempunyai
jenis yang beranekaragam. Jenis nematoda yang menginfeksinyapun dari
berbagai macam jenis. Nematoda adalah cacing yang bentuknya panjang,
silindrik, tidak bersegmen, dan tubuhnya bilateral simetrik, panjang cacing ini
mulai dari 2 mm hingga 1 m. Nematoda yang ditemukan dalam manusia
terdapat pada organ usus, jaringan, dan sistem peredaran darah. Keberadaan
cacing ini menimbulkan manifestasi klinik yang beraneka ragam tergantung
pada spesiesnya dan organ yang dihinggapi. Beberapa penyakit kulit dan
kelamin yang disebabkan oleh nematode adalah larva kurens, filariasis dan
drakunkuliasis.
Filariasis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh cacing
filaria yang ditularkan melalui berbagai jenis nyamuk. Terdapat tiga spesies
cacing penyebab Filariasis yaitu Wuchereria bancrofti; Brugia malayi;
Brugia timori. Semua spesies tersebut terdapat di Indonesia, namun lebih dari
70% kasus filariasis di Indonesia disebabkan oleh Brugia malayi. Cacing
tersebut hidup di kelenjar dan saluran getah bening sehingga menyebabkan
kerusakan pada sistem limfatik yang dapat menimbulkan gejala akut dan
kronis. Gejala akut berupa peradangan kelenjar dan saluran getah bening
(adenolimfangitis) terutama di daerah pangkal paha dan ketiak tapi dapat pula
di daerah lain. Gejala kronis terjadi akibat penyumbatan aliran limfe terutama
di daerah yang sama dengan terjadinya peradangan dan menimbulkan gejala
seperti kaki gajah (elephantiasis), dan hidrokel. Berdasarkan laporan dari
kabupaten/kota, jumlah kasus kronis filariasis yang dilaporkan sampai tahun
2009 sudah sebanyak 11.914 kasus (Wahyono, Purwantyastuti, & Supali,
2010).
Filariasis menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Dari tahun ke
tahun jumlah provinsi yang melaporkan kasus filariasis terus bertambah.
Bahkan di beberapa daerah mempunyai tingkat endemisitas yang cukup
tinggi. Berdasarkan laporan tahun 2009, tiga provinsi dengan jumlah kasus
worm atau
Guinea
worm oleh
karena
daerah
tempat
masih adanya daerah di Indonesia yang belum memiliki sumber air minum
yang benar-benar bebas dari Cyclops (Greenaway, 2004).
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Penulisan referat ini bertujuan untuk mengetahui lebih mendalam
mengenai penyakit kulit dan kelamin yang disebabkan oleh nematoda
khususnya larva kurens, filariasis, dan drakunkuliasis.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penulisan Referat ini adalah untuk mengetahui halhal yang berhubungan mengenai penyakit kulit dan kelamin yang
disebabkan oleh nematode khususnya larva kurens, filariasis, dan
drakunkuliasis, meliputi :
1. Definisi
2. Klasifikasi
3. Etiologi
4. Epidemiologi
5. Pemeriksaan penunjang
6. Penatalaksanaan
7. Prognosis
C. Manfaat
Manfaat dari penulisan Referat adalah menambah wawasan mengenai
penyakit kulit dan kelamin yang disebabkan oleh nematode khususnya larva
kurens, filariasis, dan drakunkuliasis. yang ditemui di praktek klinik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. LARVA CURENS
1. Definisi
Larva curens merupakan suatu penyakit kulit yang disebabkan oleh
parasit yaitu Strongiloides stercolaris. Cacing ini umumnya menyerang
duodenum dan bagian atas jejunum (Anonim. 2009).
2. Gejala Klinis
Gejala klinis yang muncul antara lain timbulnya dermatitis ringan
pada saat larva cacing masuk ke dalam kulit pada awal infeksi (Verawati,
2012).
Timbulnya dermatitis yang sangat gatal karena gerakan larva
menyebar dari arah dubur; dapat juga timbul peninggian kulit yang
stationer yang hilang dalam 1-2 hari atau ruam yang menjalar dengan
kecepatan beberapa sentimeter per jam pada tubuh (reddish serpiginous
(snake-like) pattern) (Verawati, 2012).
3. Diagnosa
Diagnosa dibuat dengan menemukan larva cacing pada spesimen
tinja segar atau dengan metode pelat agar, pada aspirat duodenum atau
kadang-kadang larva ditemukan pada sputum (Anonim. 2009).
Pemeriksaan serologi menggunakan Elisa dengan antigen larva.
Pemeriksaan tinja dapat dilakukan secara langsung; setelah konsentrasi
(formalin-ethyl acetate); dengan biakan tinja cara isolasi Baerman; setelah
kultur dengan teknik Harada-Mori filter paper; kultur di agar plates
(metode Charcoal).
4. Distribusi penyakit
Distribusi penyakit ini tersebar di daerah beriklim tropis atau
subtropis, umumnya di daerah panas dan lembab. Prevalensi tinggi
ditemukan pada masyarakat dengan kondisi kebersihan perorangan yang
jelek (Anonim. 2009).
5. Siklus Hidup
Manusia adalah reservoir utama cacing ini. Cara penularan cacing
ini adalah sebagai berikut (Verawati, 2012):
Larva infektif (filariform) berkembang dalam tinja atau tanah lembab
yang terkontaminasi oleh tinja, menembus kulit masuk ke dalam darah
vena di bawah paru
Di paru, larva menembus dinding kapiler masuk ke dalam alveoli
Bergerak naik menuju ke trakea kemudian mencapai epiglotis
Larva turun masuk ke dalam saluran pencernaan
Di sini cacing betina menjadi cacing dewasa , yaitu cacing betina yang
berkembang biak dengan cara partogenesis hidup menempel pada sel-sel
epitelium mukosa intestinum terutama duodenum (tempat cacing
meletakkan telurnya)
Telur menetas melepaskan larva non infektif rhabditiform
Larva ini bergerak masuk ke dalam lumen usus, keluar dari hospes
melalui tinja dan berkembang menjadi larva infektif filariform
6. Waktu inkubasi
Waktu yang diperlukan mulai saat larva infektif filariform
menembus kulit sampai ditemukan larva non infektif rhabditiform dalam
tinja penderita adalah 2-4 minggu. Sedangkan waktu dari masuknya larva
infeksi sampai timbul gejala tidak pasti, bervariasi dari satu hospes dengan
hospes yang lain (Verawati, 2012).
Autoinfeksi dapat terjadi karena adanya larva infektif filariform
yang melakukan penetrasi kulit perianal pada penderita dengan higiene
yang buruk, konstipasi, defekasi dibersihkan dengan tisu (Anonim. 2009).
7. Terapi
a) Thiabendazol
b) Albendazol
c) Simptomatik jika terdapat gejala diare, dehidrasi, atau gangguan
elektrolit (Verawati, 2012).
8. Pencegahan
a) Pengobatan penderita
b) Mengatur pembuangan tinja
c) Edukasi tentang higiene kesehatan
d) Anjuran memakai alas kaki pada daerah endemis (Verawati, 2012).
B. FILARIASIS
1. Definisi
Filariasis ialah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh
infeksi cacing filaria yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk pada
kelenjar getah bening. Penyakit ini bersifat menahan (kronis) dan bila
tidak mendapatkan pengobatan dapat menimbulkan cacat menetap berupa
pembesaran kaki, lengan dan alat kelamin baik perempuan maupun lakilaki (Oemiyati, 2006).
2. Cara Penularan
Seseorang dapat tertular atau terinfeksi filariasis apabila orang
tersebut digigit nyamuk yang sudah terinfeksi, yaitu nyamuk yang dalam
tubuhnya mengandung larva (L3). Nyamuk sendiri mendapat mikro filarial
karena menghisap darah penderita atau dari hewan yang mengandung
mikrofolaria. Nyamuk sebagai vector menghisap darah penderita
(mikrofilaremia) dan pada saat itu beberapa microfilaria ikut terhisap
bersama darah dan masuk dalam lambung nyamuk. Dalam tubuh nyamuk
rawa, hutan ). Ciri- ciri dari cacing dewasa atau makrofilaria adalah
(Oemiyati, 2006):
a) Berbentuk silindris, halus seperti benang, putih dan hidup di dalam
sisitemmlimfe.
b) Ukuran 55 100 mm x 0,16 mm
c) Cacing jantan lebih kecil: 55 mm x 0,09 mm
d) Berkembang secara ovovivipar
Sedangakan ciri-ciri microfilaria adalah
a) Merupakan larva dari makrofilaria sekali keluar jumlahnya puluhan
ribu.
b) Mempunyai sarung. 200 600 X 8 um
Didalam tubuh nyamuk mikrofilaria yang diisap nyamuk akan
berkembang dalam otot nyamuk. Setelah 3 hari menjadi larva L1, 6 hari
menjadi larva L2, 8-10 hari untuk brugia atau 10 14 hari untuk
wuchereria akan menjadi larva L3. Larva L3 sangat aktif dan merupakan
larva infektif.ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk (tetapi
tidak seperti malaria). Manusia merupakan hospes definitive Hampir
semua dapat tertular terutama pendatang dari daerah non-endemik
Beberapa hewan dapat bertindak sebagai hospes reservoir (Oemiyati,
2006).
Penularan dapat terjadi apabila ada 5 unsur yaitu sumber penular
(manusia dan hewan), Parasit, Vektor, Manusia yang rentan, Lingkungan
(fisik, biologik dan sosial ekonomibudaya (Oemiyati, 2006)).
obat
Diethyl
Carbamazine
Citrate
(DEC)
10
b) Pengobatan Selektif
Dilakukan kepada orang yang mengidap mikrofilaria serta
anggota keluarga yang tinggal serumah dan berdekatan dengan
penderita di daerah dengan hasil survey mikrofilaria < 1% (non
endemis) (Oemiyati, 2006).
c) Pengobatan Individual (penderita kronis)
Semua kasus klinis diberikan obat DEC 100 mg, 3x sehari
selama 10 hari sebagai pengobatan individual serta dilakukan
perawatan terhadap bagian organ tubuh yang bengkak (Oemiyati,
2006).
C. DRAKUNKULIASIS
1. Definisi
Drakunkuliasis atau yang dikenal dengan Guinea Worm Disease
adalah infeksi yang disebabkan oleh cacing nematoda bernama
Dracunculus medinensis. Infeksi tersebut disebabkan oleh air minum yang
mengandung kutu air spesies Cylops yang menelan larva Dracunculus
tersebut (WHO, 2013).
11
Drakunkuliasis telah ada sejak lama kira-kira 3000 tahun lalu. Pertama
kali ditemukan pada mummy bangsa Yunani yang diawetkan. Pada masa
kini, munculnya penyakit ini dihubungkan pada tingkat kemiskinan
dimana terjadi kekurangan air minum bersih di masyarakat. Infeksi cacing
ini hanya ditemukan di 13 negara Sub-sahara Afrika (Carter center, 2009).
2. Etiologi
Drakunkuliasis disebabkan oleh cacing Dranculus medinesis. Cacing
ini termasuk dalam golongan Nematoda atau cacing pipih. Cacing betina
dapat memiliki panjang hingga 1 m dengan rata-rata 2-3 mm. Sedangkan
cacing jantan memiliki panjang rata-rata 2 cm. Cacing ini dapat hidup
dalam tubuh manusia, ternak, anjing, dan kuda.
Cacing Dranculus medinesis memasuki tubuh manusia melalui
hospes perantara yaitu Cyclops. Cyclops merupakan spesies kutu air yang
sangat kecil dengan panjang 0,5 5mm. Cyclops memiliki mata merah
dan hitam yang besar air (Maxey, 2012; CDC, 2011).
12
Gambar 5. Cyclops
(Dari: www.oucom.ohiou.edu)
3. Daur hidup
Pada mulanya cacing Dracunculus medinensis dewasa yang telah
hidup menginfeksi tubuh host (manusia) akan menimbulkan manifestasi
klinis. Sebagai upaya mengurangi gejala ataupun karena aktivitas yang
menuntut host tersebut masuk ke dalam air sungai, sehingga bagian ulkus
yang masuk ke dalam air akan memicu cacing mengeluarkan ratusan
hingga ribuan larva imatur stadium pertama tersebar dalam air (Maxey,
2012; CDC, 2011).
Larva tersebut akan tertelan oleh kutu air spesies Cyclops yang
kemudian berkembang dalam tubuh Cyclops. Dalam waktu 10-14 hari
larva akan
13
4. Manifestasi klinis
Orang yang mengalami drakunkuliasis jarang yang menampakan
suatu gejala. Setelah 1 tahun berselang dan cacing betina dewasa yang
berada di kaki akan menyebabkan terbentuknya suatu pustul atau vesikel.
Kelainan ini akan disertai dengan rasa nyeri dan sensasi terbakar, sehingga
orang-orang cenderung memasukan lukanya ke dalam air. Dalam waktu
24-72 jam, pustul akan pecah dan mengeluarkan cairan berwarna putih
yang didalam terkandung larva cacing. Beberapa hari sebelum cacing
keluar, penderita akan mengalami demam dan pembengkakan pada area
lesi. Lesi terbuka tersebut lama kelamaan dapat memicu terjadinya infeksi
sekunder yang dapat disebabkan oleh bakteri (Maxey, 2012).
14
15
16
17
dengan penyakit ini, dan gangguan fisik permanen dalam bentuk lutut atau
sendi lain "terkunci" terjadi pada 0,5% dari populasi ini. Selama migrasi
mereka, cacing dapat berakhir pada lokasi seperti pankreas, jaringan paruparu, periorbital, testis, pericardium dan nervus spinalis, kemudian
menyebabkan gejala lokal yang komprehensif dan pembentukan abses
lokal (Greenaway, 2004).
8. Penatalaksanaan
Ketika cacing Guinea siap untuk keluar dari tubuh maka dia akan
menciptakan lepuhan dengan rasa terbakar yang menyakitkan pada kulit.
Ketika orang yang terinfeksi merendam bagian kulit yang melepuh di air
dingin untuk meredakan gejala, cacing Guinea menerobos keluar melalui
bagian yang melepuh dan bagian dari cacing akan terlihat. Manajemen
drakunkuliasis pada umumnya melibatkan pengambilan cacing secara
keseluruhan dan perawatan luka. Tidak ada obat khusus untuk mengobati
atau mencegah penyakit ini. Tidak ada juga vaksin untuk mencegahnya.
Satu-satunya cara untuk menghindari infeksi adalah untuk mencegah
paparan larva cacing Guinea di sumber air minum yang terkontaminasi
(Ruiz-Tiben, and Hopkins, 2006). Pengelolaan yang optimal dari penyakit
ini melibatkan langkah-langkah berikut:
1. Pertama, pada bagian tubuh yang terkena direndam dalam air untuk
mendorong lebih banyak cacing yang keluar setiap hari. Untuk
mencegah kontaminasi, orang yang terinfeksi tidak diizinkan untuk
memasuki sumber air minum.
2. Selanjutnya, luka dibersihkan.
3. Kemudian, traksi lembut diterapkan pada cacing untuk kemudian
menariknya keluar secara perlahan-lahan. Penarikan berhenti ketika
didapatkan tahanan untuk menghindari terputusnya cacing. Karena
cacing dapat mencapai panjang satu meter, ekstraksi penuh dapat
memakan waktu beberapa hari sampai minggu.
4. Cacing ini kemudian dililitkan pada gulungan kain kasa atau sepotong
batang kecil untuk mempertahankan ketegangan pada cacing dan lebih
19
mendorong dari cacing yang muncul. Hal ini juga mencegah cacing
masuk kembali ke dalam.
5. Setelah itu, antibiotik topikal diberikan pada luka untuk mencegah
infeksi bakteri sekunder.
6. Bagian tubuh yang terkena kemudian dibalut dengan kasa bersih untuk
melindungi lokasi tersebut. Obat-obatan, seperti aspirin atau ibuprofen,
diberikan untuk membantu meringankan rasa sakit dari proses ini dan
mengurangi peradangan.
7. Langkah-langkah tersebut diulang setiap hari sampai seluruh cacing
berhasil ditarik keluar.
Ketika cacing guinea muncul melalui lesi kulit, orang yang
terinfeksi dapat menariknya keluar secara perlahan-lahan dan hati-hati
(untuk meminimalkan peradangan dan nyeri) seperti langkah di atas. Rasa
sakit akibat proses tersebut dapat dikurangi dengan kompres basah pada
lesi dan penggunaan analgesik oral. Risiko superinfeksi bakteri dapat
dikurangi dengan penggunaan antiseptik topikal atau salep antibiotik
(Greenaway, 2004).
Penggunaan niridazole (25 mg per kg berat badan setiap hari
selama 10 hari), thiabendazole (50 mg per kg berat badan setiap hari
selama tiga hari), atau metronidazle (400 mg untuk orang dewasa setiap
hari selama 10 sampai 20 hari) dapat membantu mengurangi reaksi
jaringan yang intens, membuat ekstraksi lebih mudah, dan dapat
meredakan rasa sakit. Namun, telah disarankan oleh Chippaux bahwa
pengobatan mebendazole dengan dosis tinggi dapat mengakibatkan
munculnya cacing dari situs yang tidak biasa sehingga membahayakan
kehidupan orang yang terinfeksi. Ivermectin tidak berpengaruh pada
cacing sebelum keluar dan itu tidak mempengaruhi rute migrasi (Karam,
dan Tayeh, 2006).
Ekstraksi bedah sebelum cacing keluar dipraktekkan di India dan
dapat menghilangkan cacing tanpa rasa sakit dengan menggunakan teknik
aseptik dan anestesi lokal. Meskipun teknik ini mungkin berguna untuk
pengobatan kasus-kasus individu, namun tidak direkomendasikan sebagai
intervensi untuk tujuan kesehatan masyarakat. Tindakan pembedahan
20
21
dikaitkan dengan infeksi lesi sekunder dan hal ini terjadi di sekitar
setengah kasus (Cairncross et al., 2002).
Dampak dari penyakit cacing ini tidak berakhir ketika cacing telah
keluar dan penderita kembali bekerja. Sebuah studi di Ghana menemukan
bahwa, antara 12 dan 18 bulan setelah munculnya cacing, 34% dari pasien
masih memiliki beberapa kesulitan melakukan kegiatan sehari-hari,
biasanya disebabkan karena nyeri pada lokasi. Walaupaun cacat ini tidak
permanen, namun dapat meluas melampaui ketidakmampuan yang terjadi
selama munculnya cacing (Cairncross et al., 2002).
III. KESIMPULAN
Terdapat berbagai mcam penyakit kulit dan kelamin yang disebabkan oleh
nematoda. Sebagai contohnya adalah larva currens, filariasis, dan drakunkuliasis.
Filariasis ialah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi
cacing filaria yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk pada kelenjar getah
bening. Seseorang dapat tertular atau terinfeksi filariasis apabila orang tersebut
digigit nyamuk yang sudah terinfeksi, yaitu nyamuk yang dalam tubuhnya
mengandung larva. Penyakit ini disebabkan oleh 3 spesies cacing filarial :
Wuchereria Bancrofti, Brugia Malayi, Brugia Timori.
Gejala dan tanda klinis terkena filariasis adalah demam 3-5 hari,
pembengkakan kelenjar getah benih pada daerah lipatan paha dan ketiak yang
menyebabkan rasa panas dan sakit, kemudian terjadi pembesaran tungkai, lengan,
buah dada, dan alat kelamin perempuan ataupun laki-laki yang tampak kemerahan
dan terasa panas. Jika penyakit ini telah kronis akan menimbulkan gejala
limfedema, hidrokel, maupun kiluria. Diagnosis filariasis dapat ditegakan melalui
pemeriksaan klinis dan laboratorium.
Drakunkuliasis atau yang dikenal dengan Guinea Worm Disease adalah
infeksi yang disebabkan oleh cacing nematoda bernama Dracunculus medinensis.
Drakunkuliasis telah ada sejak lama kira-kira 3000 tahun lalu. Pertama kali
ditemukan pada mummy bangsa Yunani yang diawetkan.
22
septik
atau
sepsis
sistemik.
Infeksi
sendi
selanjutnya
dapat
23
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009. Strongyloidiasis. Pustaka Kedokteran. Diunduh
http://penyakitdalam.wordpress.com/2009/11/10/strongyloidiasis/.
Februari 2013.
dari
12
Meredith.
2012.
Dracunculiasis.
Tersedia
pada:
http://www.oucom.ohiou.edu/tdi/2012Site/Diseases_Info/Topics_Internati
onal_Health/Dracun_2.htm Diunduh tanggal 11 Februari 2013.
24
2013.
Dracunculiasis.
Tersedia
pada:
http://www.who.int/topics/dracunculiasis/en/. Diunduh tanggal 11 Februari
2013.
25