Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Penyakit kulit dan kelamin yang disebabkan oleh nematoda mempunyai
jenis yang beranekaragam. Jenis nematoda yang menginfeksinyapun dari
berbagai macam jenis. Nematoda adalah cacing yang bentuknya panjang,
silindrik, tidak bersegmen, dan tubuhnya bilateral simetrik, panjang cacing ini
mulai dari 2 mm hingga 1 m. Nematoda yang ditemukan dalam manusia
terdapat pada organ usus, jaringan, dan sistem peredaran darah. Keberadaan
cacing ini menimbulkan manifestasi klinik yang beraneka ragam tergantung
pada spesiesnya dan organ yang dihinggapi. Beberapa penyakit kulit dan
kelamin yang disebabkan oleh nematode adalah larva kurens, filariasis dan
drakunkuliasis.
Filariasis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh cacing
filaria yang ditularkan melalui berbagai jenis nyamuk. Terdapat tiga spesies
cacing penyebab Filariasis yaitu Wuchereria bancrofti; Brugia malayi;
Brugia timori. Semua spesies tersebut terdapat di Indonesia, namun lebih dari
70% kasus filariasis di Indonesia disebabkan oleh Brugia malayi. Cacing
tersebut hidup di kelenjar dan saluran getah bening sehingga menyebabkan
kerusakan pada sistem limfatik yang dapat menimbulkan gejala akut dan
kronis. Gejala akut berupa peradangan kelenjar dan saluran getah bening
(adenolimfangitis) terutama di daerah pangkal paha dan ketiak tapi dapat pula
di daerah lain. Gejala kronis terjadi akibat penyumbatan aliran limfe terutama
di daerah yang sama dengan terjadinya peradangan dan menimbulkan gejala
seperti kaki gajah (elephantiasis), dan hidrokel. Berdasarkan laporan dari
kabupaten/kota, jumlah kasus kronis filariasis yang dilaporkan sampai tahun
2009 sudah sebanyak 11.914 kasus (Wahyono, Purwantyastuti, & Supali,
2010).
Filariasis menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Dari tahun ke
tahun jumlah provinsi yang melaporkan kasus filariasis terus bertambah.
Bahkan di beberapa daerah mempunyai tingkat endemisitas yang cukup
tinggi. Berdasarkan laporan tahun 2009, tiga provinsi dengan jumlah kasus

terbanyak filariasis adalah Nanggroe Aceh Darussalam (2.359 orang), Nusa


Tenggara Timur (1.730 orang) dan Papua (1.158 orang). Tiga provinsi dengan
kasus terendah adalah Bali (18 orang), Maluku Utara (27 orang), dan
Sulawesi Utara (30 orang). Menurut kabupaten, pada tahun 2009 tiga
kabupaten dengan kasus terbanyak filariasis adalah Aceh Utara (1.353 kasus),
Manokwari (667 kasus) dan Mappi (652 kasus) (Wahyono, Purwantyastuti, &
Supali, 2010).
Tingkat endemisitas di Indonesia berkisar antara 0%-40%. Dengan
endemisitas setiap provinsi dan kabupaten berbeda-beda. Untuk menentukan
endemisitas dilakukan survei darah jari yang dilakukan di setiap
kabupaten/kota. Dari hasil survei tersebut, hingga tahun 2008, kabupaten/kota
yang endemis filariasis adalah 335 kabupaten/kota dari 495 kabupaten/kota
yang ada di Indonesia (67%), 3 kabupaten/kota yang tidak endemis filariasis
(0,6%), dan 176 kabupaten/kota yang belum melakukan survey endemisitas
filariasis. Pada tahun 2009 setelah dilakukan survei pada kabupaten/kota yang
belum melakukan survei tahun 2008, jumlah Kabupaten/kota yang endemis
filariasis meningkat menjadi 356 kabupaten/kota dari 495 kabupaten/kota di
Indonesia atau sebesar 71,9% sedangkan 139 kabupaten/kota (28,1%) tidak
endemis filariasis (Wahyono, Purwantyastuti, & Supali, 2010).
Dracunculiasis atau Dracontiasis adalah infeksi yang disebabkan oleh
cacing Dracunculus medinensis, nematoda jaringan yang sangat panjang.
Nama ilmiah yang pertama sekali diberikan pada cacing ini adalah Gordius
medinensis Linnaeus, pada tahun 1758. Nama umumnya adalah Dracunculus
yang berarti ular kecil. Disebut pula Serpent worm atau Dragon worm
oleh karena bentuknya seperti ular naga. Sebagian lagi menyebutnya
Medina

worm atau

Guinea

worm oleh

karena

daerah

tempat

penyebarannya. Pada Helmintologi cacing ini masuk dalam Famili


Dracunculidae dan subordo Camallanina.1 Walau masih ada sebagian
menganggapnya termasuk filaria. Walaupun di Indonesia insiden penyakit ini
bersifat sporadis, namun bahayanya tetap saja ada, mengingat Cyclops juga
terdapat di Indonesia. Pada era globalisasi saat ini, sangat memungkinkan
bagi seorang penderita dari daerah endemik masuk ke wilayah Indonesia dan
kontak dengan sumber air, terutama di daerah wisata berbasiskan air. Juga

masih adanya daerah di Indonesia yang belum memiliki sumber air minum
yang benar-benar bebas dari Cyclops (Greenaway, 2004).
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Penulisan referat ini bertujuan untuk mengetahui lebih mendalam
mengenai penyakit kulit dan kelamin yang disebabkan oleh nematoda
khususnya larva kurens, filariasis, dan drakunkuliasis.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penulisan Referat ini adalah untuk mengetahui halhal yang berhubungan mengenai penyakit kulit dan kelamin yang
disebabkan oleh nematode khususnya larva kurens, filariasis, dan
drakunkuliasis, meliputi :
1. Definisi
2. Klasifikasi
3. Etiologi
4. Epidemiologi
5. Pemeriksaan penunjang
6. Penatalaksanaan
7. Prognosis
C. Manfaat
Manfaat dari penulisan Referat adalah menambah wawasan mengenai
penyakit kulit dan kelamin yang disebabkan oleh nematode khususnya larva
kurens, filariasis, dan drakunkuliasis. yang ditemui di praktek klinik.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. LARVA CURENS
1. Definisi
Larva curens merupakan suatu penyakit kulit yang disebabkan oleh
parasit yaitu Strongiloides stercolaris. Cacing ini umumnya menyerang
duodenum dan bagian atas jejunum (Anonim. 2009).
2. Gejala Klinis
Gejala klinis yang muncul antara lain timbulnya dermatitis ringan
pada saat larva cacing masuk ke dalam kulit pada awal infeksi (Verawati,
2012).
Timbulnya dermatitis yang sangat gatal karena gerakan larva
menyebar dari arah dubur; dapat juga timbul peninggian kulit yang
stationer yang hilang dalam 1-2 hari atau ruam yang menjalar dengan
kecepatan beberapa sentimeter per jam pada tubuh (reddish serpiginous
(snake-like) pattern) (Verawati, 2012).
3. Diagnosa
Diagnosa dibuat dengan menemukan larva cacing pada spesimen
tinja segar atau dengan metode pelat agar, pada aspirat duodenum atau
kadang-kadang larva ditemukan pada sputum (Anonim. 2009).
Pemeriksaan serologi menggunakan Elisa dengan antigen larva.
Pemeriksaan tinja dapat dilakukan secara langsung; setelah konsentrasi
(formalin-ethyl acetate); dengan biakan tinja cara isolasi Baerman; setelah
kultur dengan teknik Harada-Mori filter paper; kultur di agar plates
(metode Charcoal).
4. Distribusi penyakit
Distribusi penyakit ini tersebar di daerah beriklim tropis atau
subtropis, umumnya di daerah panas dan lembab. Prevalensi tinggi
ditemukan pada masyarakat dengan kondisi kebersihan perorangan yang
jelek (Anonim. 2009).

5. Siklus Hidup
Manusia adalah reservoir utama cacing ini. Cara penularan cacing
ini adalah sebagai berikut (Verawati, 2012):
Larva infektif (filariform) berkembang dalam tinja atau tanah lembab
yang terkontaminasi oleh tinja, menembus kulit masuk ke dalam darah
vena di bawah paru
Di paru, larva menembus dinding kapiler masuk ke dalam alveoli
Bergerak naik menuju ke trakea kemudian mencapai epiglotis
Larva turun masuk ke dalam saluran pencernaan
Di sini cacing betina menjadi cacing dewasa , yaitu cacing betina yang
berkembang biak dengan cara partogenesis hidup menempel pada sel-sel
epitelium mukosa intestinum terutama duodenum (tempat cacing
meletakkan telurnya)
Telur menetas melepaskan larva non infektif rhabditiform
Larva ini bergerak masuk ke dalam lumen usus, keluar dari hospes
melalui tinja dan berkembang menjadi larva infektif filariform
6. Waktu inkubasi
Waktu yang diperlukan mulai saat larva infektif filariform
menembus kulit sampai ditemukan larva non infektif rhabditiform dalam
tinja penderita adalah 2-4 minggu. Sedangkan waktu dari masuknya larva
infeksi sampai timbul gejala tidak pasti, bervariasi dari satu hospes dengan
hospes yang lain (Verawati, 2012).
Autoinfeksi dapat terjadi karena adanya larva infektif filariform
yang melakukan penetrasi kulit perianal pada penderita dengan higiene
yang buruk, konstipasi, defekasi dibersihkan dengan tisu (Anonim. 2009).

7. Terapi
a) Thiabendazol
b) Albendazol
c) Simptomatik jika terdapat gejala diare, dehidrasi, atau gangguan
elektrolit (Verawati, 2012).

8. Pencegahan
a) Pengobatan penderita
b) Mengatur pembuangan tinja
c) Edukasi tentang higiene kesehatan
d) Anjuran memakai alas kaki pada daerah endemis (Verawati, 2012).

B. FILARIASIS
1. Definisi
Filariasis ialah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh
infeksi cacing filaria yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk pada
kelenjar getah bening. Penyakit ini bersifat menahan (kronis) dan bila
tidak mendapatkan pengobatan dapat menimbulkan cacat menetap berupa
pembesaran kaki, lengan dan alat kelamin baik perempuan maupun lakilaki (Oemiyati, 2006).
2. Cara Penularan
Seseorang dapat tertular atau terinfeksi filariasis apabila orang
tersebut digigit nyamuk yang sudah terinfeksi, yaitu nyamuk yang dalam
tubuhnya mengandung larva (L3). Nyamuk sendiri mendapat mikro filarial
karena menghisap darah penderita atau dari hewan yang mengandung
mikrofolaria. Nyamuk sebagai vector menghisap darah penderita
(mikrofilaremia) dan pada saat itu beberapa microfilaria ikut terhisap
bersama darah dan masuk dalam lambung nyamuk. Dalam tubuh nyamuk

microfilaria tidak berkembang biak tetapi hanya berubah bentuk dalam


beberapa hari dari larva 1 sampai menjadi larva 3, karenanya diperlukan
gigitan berulang kali untuk terjadinya infeksi. Didalam tubuh manusia
larva 3 menuju sistem limfe dan selanjutnya tumbuh menjadi cacing
dewasa jantan atau betina serta bekembang biak (Oemiyati, 2006).
3. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh 3 spesies cacing filarial : Wuchereria
Bancrofti, Brugia Malayi, Brugia Timori. cacing ini menyerupai benang
dan hidup dalam tubuh manusia terutama dalam kelenjar getah bening dan
darah. Cacing ini dapat hidup dalam kelenjar getah bening manusia selama
4 - 6 tahun dan dalam tubuh manusia cacing dewasa betina menghasilkan
jutaan anak cacing (microfilaria) yang beredar dalam darah terutama
malam hari (Oemiyati, 2006).

Gambar 1. Cacing penyebab filariasis


Penyebarannya diseluruh Indonesia baik di pedesaan maupun
diperkotaan. Nyamuk merupakan vektor filariasis Di Indonesia ada 23
spesies nyamuk yang diketahui bertindak sebagai vektor dari genus:
mansonia, culex, anopheles, aedes dan armigeres (Oemiyati, 2006).
a) W. bancrofti perkotaan vektornya culex quinquefasciatus
b) W. bancrofti pedesaan: anopheles, aedes dan armigeres
c) B. malayi : mansonia spp, an.barbirostris.
d) B. timori : an. barbirostris.
Mikrofilaria mempunyai periodisitas tertentu tergantung dari spesies
dan tipenya. Di Indonesia semuanya nokturna kecuali type non periodic
Secara umum daur hidup ketiga spesies sama tersebar luas di seluruh
Indonesia sesuai dengan keadaan lingkungan habitatnya ( got, sawah,

rawa, hutan ). Ciri- ciri dari cacing dewasa atau makrofilaria adalah
(Oemiyati, 2006):
a) Berbentuk silindris, halus seperti benang, putih dan hidup di dalam
sisitemmlimfe.
b) Ukuran 55 100 mm x 0,16 mm
c) Cacing jantan lebih kecil: 55 mm x 0,09 mm
d) Berkembang secara ovovivipar
Sedangakan ciri-ciri microfilaria adalah
a) Merupakan larva dari makrofilaria sekali keluar jumlahnya puluhan
ribu.
b) Mempunyai sarung. 200 600 X 8 um
Didalam tubuh nyamuk mikrofilaria yang diisap nyamuk akan
berkembang dalam otot nyamuk. Setelah 3 hari menjadi larva L1, 6 hari
menjadi larva L2, 8-10 hari untuk brugia atau 10 14 hari untuk
wuchereria akan menjadi larva L3. Larva L3 sangat aktif dan merupakan
larva infektif.ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk (tetapi
tidak seperti malaria). Manusia merupakan hospes definitive Hampir
semua dapat tertular terutama pendatang dari daerah non-endemik
Beberapa hewan dapat bertindak sebagai hospes reservoir (Oemiyati,
2006).
Penularan dapat terjadi apabila ada 5 unsur yaitu sumber penular
(manusia dan hewan), Parasit, Vektor, Manusia yang rentan, Lingkungan
(fisik, biologik dan sosial ekonomibudaya (Oemiyati, 2006)).

Gambar 2. para penderita filariasis


4. Eliminasi Filaria
Bertujuan pemutusan rantai penularan dengan pengobatan Massal
(MDA) pada penduduk yang beresiko (population at risk) thd Filariasis
dan Disability prevention and Control : ditingkat masyarakat(CHBC) pada
kasus : limfedema, hidrokel dan Limfedema/hidrokel dengan serangan
akut serta ditingkat RS pada kasus, perbaikan/operasi Hidrokel, limfedema
skrotum. Filaria belum bisa tereliminasi karena (Oemiyati, 2006) :
a) Belum adanya kesamaan persepsi tentang kegiatan Eliminasi Kaki Gajah
b) Kab/kota Eliminasi Kaki Gajah belum merupakan prioritas
c) Issue Eliminasi Kaki Gajah belum terangkat ke permukaan
sehingga belum banyak diketahui
5. Gejala dan Tanda Filariasis
a) Gejala dan tanda klinis akut (Oemiyati, 2006) :
1) Demam berulang ulang selama 3-5 hari, demam dapat hilang bila
istirahat dan timbul lagi setelah bekerja berat
2) Pembengkakan kelenjar getah bening (tanpa ada luka) di daerah
lipatan paha, ketiak (limfadenitis) yang tampak kemerahan, panas
dan sakit
3) Radang saluran kelenjar getah bening yang terasa panas dan sakit
yang menjalar dari pangkal ke arah ujung kaki atau lengan

4) Abses filaria terjadi akibat seringnya pembengkakan kelenjar getah


bening, dapat pecah dan dapat mengeluarkan darah serta nanah
5) Pembesaran tungkai, lengan, buah dada dan alat kelamin
perempuan dan laki-laki yang tampak kemerahan dan terasa panas.
b) Gejala dan tanda klinis kronis (Oemiyati, 2006) :
1) Limfedema : Infeksi Wuchereria mengenai kaki dan lengan,
skrotum, penis, vulva vagina dan payudara, Infeksi Brugia dapat
mengenai kaki dan lengan dibawah lutut / siku lutut dan siku
masih normal
2) Hidrokel : Pelebaran kantung buah zakar yang berisi cairan limfe,
dapat sebagai indikator endemisitas filariasis bancrofti
3) Kiluria : Kencing seperti susu kebocoran sel limfe di ginjal,
jarang ditemukan
6. Diagnosis Filariasis
a) Klinis - diagnosis klinis ditegakkan bila ditemukan gejala dan tanda
klinis akut ataupun kronis
b) Laboratorium - Seseorang dinyatakan sebagai penderita falariasis
apabila di dalam darahnya positif ditemukan mikrofilaria. Untuk uji
laboratorium sebaiknya gunakan darah jari yang diambil pada malam
hari (pukul 20.00 - 02.00) (Oemiyati, 2006).
7. Pengobatan
a) Pengobatan Masal
Dilakukan di daerah endemis (mf rate > 1%) dengan
menggunakan

obat

Diethyl

Carbamazine

Citrate

(DEC)

dikombilansikan dengan Albendazole sekali setahun selama 5 tahun


berturut-turut. Untuk mencegah reaksi pengobatan seperti demam atau
pusing dapat diberikan Paracetamol (Oemiyati, 2006).
Pengobatan massal diikuti oleh seluruh penduduk yang berusia 2
tahun ke atas, yang ditunda selain usia 2 tahun, wanita hamil, ibu
menyusui dan mereka yang menderita penyakit berat (Oemiyati, 2006).

10

b) Pengobatan Selektif
Dilakukan kepada orang yang mengidap mikrofilaria serta
anggota keluarga yang tinggal serumah dan berdekatan dengan
penderita di daerah dengan hasil survey mikrofilaria < 1% (non
endemis) (Oemiyati, 2006).
c) Pengobatan Individual (penderita kronis)
Semua kasus klinis diberikan obat DEC 100 mg, 3x sehari
selama 10 hari sebagai pengobatan individual serta dilakukan
perawatan terhadap bagian organ tubuh yang bengkak (Oemiyati,
2006).

Gambar 3. Organ tubuh yang bengkak pada filariasis


8. Pencegahan dan Pemberantasan
a) Menghindarkan diri dari gigitan nyamuk
b) Memberantas nyamuk serta sumber perindukan
c) Meminum obat anti penyakit gajah secara masal (Oemiyati, 2006).

C. DRAKUNKULIASIS
1. Definisi
Drakunkuliasis atau yang dikenal dengan Guinea Worm Disease
adalah infeksi yang disebabkan oleh cacing nematoda bernama
Dracunculus medinensis. Infeksi tersebut disebabkan oleh air minum yang
mengandung kutu air spesies Cylops yang menelan larva Dracunculus
tersebut (WHO, 2013).

11

Drakunkuliasis telah ada sejak lama kira-kira 3000 tahun lalu. Pertama
kali ditemukan pada mummy bangsa Yunani yang diawetkan. Pada masa
kini, munculnya penyakit ini dihubungkan pada tingkat kemiskinan
dimana terjadi kekurangan air minum bersih di masyarakat. Infeksi cacing
ini hanya ditemukan di 13 negara Sub-sahara Afrika (Carter center, 2009).
2. Etiologi
Drakunkuliasis disebabkan oleh cacing Dranculus medinesis. Cacing
ini termasuk dalam golongan Nematoda atau cacing pipih. Cacing betina
dapat memiliki panjang hingga 1 m dengan rata-rata 2-3 mm. Sedangkan
cacing jantan memiliki panjang rata-rata 2 cm. Cacing ini dapat hidup
dalam tubuh manusia, ternak, anjing, dan kuda.
Cacing Dranculus medinesis memasuki tubuh manusia melalui
hospes perantara yaitu Cyclops. Cyclops merupakan spesies kutu air yang
sangat kecil dengan panjang 0,5 5mm. Cyclops memiliki mata merah
dan hitam yang besar air (Maxey, 2012; CDC, 2011).

Gambar 4. Dracunculus medinensis


(Dari: www.oucom.ohiou.edu)

12

Gambar 5. Cyclops
(Dari: www.oucom.ohiou.edu)

3. Daur hidup
Pada mulanya cacing Dracunculus medinensis dewasa yang telah
hidup menginfeksi tubuh host (manusia) akan menimbulkan manifestasi
klinis. Sebagai upaya mengurangi gejala ataupun karena aktivitas yang
menuntut host tersebut masuk ke dalam air sungai, sehingga bagian ulkus
yang masuk ke dalam air akan memicu cacing mengeluarkan ratusan
hingga ribuan larva imatur stadium pertama tersebar dalam air (Maxey,
2012; CDC, 2011).
Larva tersebut akan tertelan oleh kutu air spesies Cyclops yang
kemudian berkembang dalam tubuh Cyclops. Dalam waktu 10-14 hari
larva akan

mencapai stadium tiga (stadium infektif). Manusia yang

mengkonsumsi air yang terkontaminasi tersebut tanpa dimasak akan


menularkan kembali dalam tubuh manusia. Asam lambung akan
membunuh cyclops namun larva cacing masih hidup masuk ke saluran
pencernaan hingga menembus dinding usus dan memasuki rongga tubuh
lain air (Maxey, 2012; CDC, 2011).
Dalam waktu 10-14 bulan cacing dewasa jantan dan betina akan
melakukan perkawinan. Cacing jantan akan mati sedangkan cacing betina
akan terisi hingga 1000 larva dalam jaringan ikat tubuhnya. Cacing betina
akan bergerak pindah yang biasanya ke tungkai bawah dan kaki. Larvalarva tersebut siap dikeluarkan saat ulkus masuk ke dalam air air (Maxey,
2012; CDC, 2011).

13

Gambar 6. Daur Hidup Dracunculus medinensis

4. Manifestasi klinis
Orang yang mengalami drakunkuliasis jarang yang menampakan
suatu gejala. Setelah 1 tahun berselang dan cacing betina dewasa yang
berada di kaki akan menyebabkan terbentuknya suatu pustul atau vesikel.
Kelainan ini akan disertai dengan rasa nyeri dan sensasi terbakar, sehingga
orang-orang cenderung memasukan lukanya ke dalam air. Dalam waktu
24-72 jam, pustul akan pecah dan mengeluarkan cairan berwarna putih
yang didalam terkandung larva cacing. Beberapa hari sebelum cacing
keluar, penderita akan mengalami demam dan pembengkakan pada area
lesi. Lesi terbuka tersebut lama kelamaan dapat memicu terjadinya infeksi
sekunder yang dapat disebabkan oleh bakteri (Maxey, 2012).

14

Gambar 7. UKK pada drakunkuliasis


5. Penegakan Diagnosis
Pada daerah endemis diagnosis dapat ditegakkan tanpa ragu ketika
ditemukan kulit yang melepuh dari lokasi gatal dengan nyeri yang tajam,
sering pula diikuti gejala alergi yang umum seperti urtikaria (Cairncross et
al., 2002). Beberapa jam sebelum lepuhan berkembang, gejala yang ada
dapat diperburuk dengan adanya eritema, ruam urtikaria, pruritus yang
intens, mual dan muntah, diare, dyspnea, pusing dan pingsan. Kulit yang
melepuh kemudian akan berkembang dalam beberapa jam dengan
membentuk papul yang berpusat pada vesikel dan dikelilingi oleh indurasi
(Karam, dan Tayeh, 2006). Lepuhan yang terjadi dapat terbentuk di mana
saja pada kulit. Namun, lepuhan pada bagian tubuh yang lebih rendah
terjadi dalam 80% -90% kasus. Lepuhan ini akan lebih besar selama
beberapa hari dan menyebabkan rasa sakit seperti terbakar. Ketika
seseorang menempatkan ini di bagian tubuh yang terkena air dingin untuk
meredakan gejala, cacing akan mendeteksi perubahan suhu dan
mengeluarkan semburan untuk melepaskan ratusan ribu larva ke dalam air
yang dapat dilihat secara mikroskopis dibawah daya rendah (Greenaway,
2004; Ruiz-Tiben, and Hopkins, 2006).
Beberapa cacing tidak muncul dan terkalsifikasi dalam jaringan.
Sebagian besar cacing yang terkalsifikasi tetap asimtomatik dan dapat

15

ditemukan saat melakukan pemeriksaan radiologi X-ray atau selama


intervensi bedah. Dalam foto polos dapat ditemukan adanya kalsifikasi
ireguler berbentuk linier pada jaringan lunak (Karam, dan Tayeh, 2006).
Metode imunodiagnostik tidak berguna dalam praktik karena hal
tersebut belum terbukti dapat mendeteksi infeksi prepaten, terutama karena
kurangnya sampel serum prepaten. Namun, antibodi dapat dideteksi pada
infeksi paten dengan Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) atau
dot-enzymed-linked immunosorbent assay, menggunakan antigen cacing
keseluruhan. Reaksi paling spesifik yang muncul adalah sebagai deteksi
immunoglobulin G4. Tes ini mungkin dapat mendeteksi infeksi prepaten
hingga 6 bulan sebelum munculnya cacing dimana dapat menjadi
kepentingan praktis. Belum ditemukan fakta tentang adalnya antigen
sirkulasi (Cairncross et al., 2002).
6. Diagnosis Banding
Diagnosis banding drakunkuliasis ditentukan oleh gejala yang
muncul pada lesi kulit dan dapat dilihat dalam tabel berikut ini
(Mawhorter SD dan Longworth DL, 2011).

16

17

Gambar 8. Diagnosis banding pada drakunkuliasis


7. Komplikasi
Selain rasa sakit dari lepuhan, pengambilan cacing ini juga sangat
menyakitkan. Selanjutnya, tanpa perawatan luka yang tepat sering terjadi
infeksi oleh bakteri (Greenaway, 2004; Ruiz-Tiben, and Hopkins, 2006).
Infeksi sekunder dari ulkus dapat terjadi dalam banyak kasus karena
masyarakat pedesaan memiliki sedikit akses ke perawatan medis. Selain
selulitis lokal, komplikasi luka dapat menyebabkan pembentukan abses,
tetanus, arthritis septik atau sepsis sistemik. Infeksi sendi selanjutnya
dapat mengakibatkan kecacatan atau kontraktur (Greenaway, 2004).
Jika cacing putus selama pengambilan maka dapat menyebabkan
peradangan yang intens karena bagian yang tersisa dari cacing mati mulai
terdegradasi dalam tubuh. Hal ini menyebabkan rasa sakit yang lebih
hebat, bengkak, dan selulitis di sepanjang jejak cacing (Karam, dan Tayeh,
2006).
Ketidakmampuan berkepanjangan setiap episode penyakit ini
adalah karena munculnya cacing dari bagian bantalan berat badan dari
tubuh dan tingginya tingkat infeksi sekunder. Rasa nyeri yang berlanjut
selama 12-18 bulan setelah munculnya cacing dialami oleh 28% dari orang
18

dengan penyakit ini, dan gangguan fisik permanen dalam bentuk lutut atau
sendi lain "terkunci" terjadi pada 0,5% dari populasi ini. Selama migrasi
mereka, cacing dapat berakhir pada lokasi seperti pankreas, jaringan paruparu, periorbital, testis, pericardium dan nervus spinalis, kemudian
menyebabkan gejala lokal yang komprehensif dan pembentukan abses
lokal (Greenaway, 2004).
8. Penatalaksanaan
Ketika cacing Guinea siap untuk keluar dari tubuh maka dia akan
menciptakan lepuhan dengan rasa terbakar yang menyakitkan pada kulit.
Ketika orang yang terinfeksi merendam bagian kulit yang melepuh di air
dingin untuk meredakan gejala, cacing Guinea menerobos keluar melalui
bagian yang melepuh dan bagian dari cacing akan terlihat. Manajemen
drakunkuliasis pada umumnya melibatkan pengambilan cacing secara
keseluruhan dan perawatan luka. Tidak ada obat khusus untuk mengobati
atau mencegah penyakit ini. Tidak ada juga vaksin untuk mencegahnya.
Satu-satunya cara untuk menghindari infeksi adalah untuk mencegah
paparan larva cacing Guinea di sumber air minum yang terkontaminasi
(Ruiz-Tiben, and Hopkins, 2006). Pengelolaan yang optimal dari penyakit
ini melibatkan langkah-langkah berikut:
1. Pertama, pada bagian tubuh yang terkena direndam dalam air untuk
mendorong lebih banyak cacing yang keluar setiap hari. Untuk
mencegah kontaminasi, orang yang terinfeksi tidak diizinkan untuk
memasuki sumber air minum.
2. Selanjutnya, luka dibersihkan.
3. Kemudian, traksi lembut diterapkan pada cacing untuk kemudian
menariknya keluar secara perlahan-lahan. Penarikan berhenti ketika
didapatkan tahanan untuk menghindari terputusnya cacing. Karena
cacing dapat mencapai panjang satu meter, ekstraksi penuh dapat
memakan waktu beberapa hari sampai minggu.
4. Cacing ini kemudian dililitkan pada gulungan kain kasa atau sepotong
batang kecil untuk mempertahankan ketegangan pada cacing dan lebih

19

mendorong dari cacing yang muncul. Hal ini juga mencegah cacing
masuk kembali ke dalam.
5. Setelah itu, antibiotik topikal diberikan pada luka untuk mencegah
infeksi bakteri sekunder.
6. Bagian tubuh yang terkena kemudian dibalut dengan kasa bersih untuk
melindungi lokasi tersebut. Obat-obatan, seperti aspirin atau ibuprofen,
diberikan untuk membantu meringankan rasa sakit dari proses ini dan
mengurangi peradangan.
7. Langkah-langkah tersebut diulang setiap hari sampai seluruh cacing
berhasil ditarik keluar.
Ketika cacing guinea muncul melalui lesi kulit, orang yang
terinfeksi dapat menariknya keluar secara perlahan-lahan dan hati-hati
(untuk meminimalkan peradangan dan nyeri) seperti langkah di atas. Rasa
sakit akibat proses tersebut dapat dikurangi dengan kompres basah pada
lesi dan penggunaan analgesik oral. Risiko superinfeksi bakteri dapat
dikurangi dengan penggunaan antiseptik topikal atau salep antibiotik
(Greenaway, 2004).
Penggunaan niridazole (25 mg per kg berat badan setiap hari
selama 10 hari), thiabendazole (50 mg per kg berat badan setiap hari
selama tiga hari), atau metronidazle (400 mg untuk orang dewasa setiap
hari selama 10 sampai 20 hari) dapat membantu mengurangi reaksi
jaringan yang intens, membuat ekstraksi lebih mudah, dan dapat
meredakan rasa sakit. Namun, telah disarankan oleh Chippaux bahwa
pengobatan mebendazole dengan dosis tinggi dapat mengakibatkan
munculnya cacing dari situs yang tidak biasa sehingga membahayakan
kehidupan orang yang terinfeksi. Ivermectin tidak berpengaruh pada
cacing sebelum keluar dan itu tidak mempengaruhi rute migrasi (Karam,
dan Tayeh, 2006).
Ekstraksi bedah sebelum cacing keluar dipraktekkan di India dan
dapat menghilangkan cacing tanpa rasa sakit dengan menggunakan teknik
aseptik dan anestesi lokal. Meskipun teknik ini mungkin berguna untuk
pengobatan kasus-kasus individu, namun tidak direkomendasikan sebagai
intervensi untuk tujuan kesehatan masyarakat. Tindakan pembedahan

20

harus dipertimbangkan dan dilakukan di lingkungan rumah sakit karena


memerlukan perawatan pasca operasi dan tindak lanjut untuk menghindari
komplikasi (Karam, dan Tayeh, 2006).
Durasi rata-rata kecacatan akibat penyakit cacing ini adalah 50%
lebih pendek antara pasien mendapat intervensi pengobatan dibandingkan
dengan yang tidak mendapat intervensi. Tidak ada obat obat cacing dan
vaksin.efektif terhadap penyakit ini. Pencegahan adalah satu-satunya
intervensi yang efektif untuk mengurangi kejadian penyakit cacing guinea
(Greenaway, 2004).
Pengembangan dan pemilihan intervensi yang paling efektif untuk
pencegahan Drakunkuliasis didasarkan pada siklus transmisi parasit dan
tidak adanya vaksin yang efektif (Cairncross et al., 2002). Sejumlah
intervensi yang layak dipertimbangkan antara lain adalah:
1. Penyediaan pasokan air bersih
2. Filtrasi (penyaringan) air minum untuk menghilangkan Cyclops
3. Mencari pasien dengan kasus aktif dan melakukan manajemen yang
tepat pada kasus tersebut
4. Memastikan bahwa pasien menghindari kontak dengan sumber air
5. Membunuh atau menghapus Cyclops yang ada di sumber air
9. Prognosis
Drakunkuliasis jarang berakibat fatal, studi di India berdasarkan
catatan medis menunjukkan bahwa tingkat fatalitas kasus sebesar 0,1%
atau kurang, dan ini hanya merupakan kemungkinan karena orang-orang
dengan komplikasi parah biasanya mencari pengobatan dari fasilitas
kesehatan. Proporsi pasien yang mengalami cacat permanen karena
penyakit ini juga kecil, sejumlah studi telah menemukannya yaitukurang
dari 1% (Cairncross et al., 2002).
Dampak sosial dari penyakit cacing guinea terutama disebabkan
oleh cacat sementara yang diderita oleh pasien. dua studi longitudinal di
Nigeria menemukan bahwa 58 sampai 76% pasien tidak dapat
meninggalkan tempat tidur mereka kurang lebih satu bulan selama dan
setelah munculnya cacing. Kecacatan yang berat dan berlarut-larut

21

dikaitkan dengan infeksi lesi sekunder dan hal ini terjadi di sekitar
setengah kasus (Cairncross et al., 2002).
Dampak dari penyakit cacing ini tidak berakhir ketika cacing telah
keluar dan penderita kembali bekerja. Sebuah studi di Ghana menemukan
bahwa, antara 12 dan 18 bulan setelah munculnya cacing, 34% dari pasien
masih memiliki beberapa kesulitan melakukan kegiatan sehari-hari,
biasanya disebabkan karena nyeri pada lokasi. Walaupaun cacat ini tidak
permanen, namun dapat meluas melampaui ketidakmampuan yang terjadi
selama munculnya cacing (Cairncross et al., 2002).

III. KESIMPULAN
Terdapat berbagai mcam penyakit kulit dan kelamin yang disebabkan oleh
nematoda. Sebagai contohnya adalah larva currens, filariasis, dan drakunkuliasis.
Filariasis ialah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi
cacing filaria yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk pada kelenjar getah
bening. Seseorang dapat tertular atau terinfeksi filariasis apabila orang tersebut
digigit nyamuk yang sudah terinfeksi, yaitu nyamuk yang dalam tubuhnya
mengandung larva. Penyakit ini disebabkan oleh 3 spesies cacing filarial :
Wuchereria Bancrofti, Brugia Malayi, Brugia Timori.
Gejala dan tanda klinis terkena filariasis adalah demam 3-5 hari,
pembengkakan kelenjar getah benih pada daerah lipatan paha dan ketiak yang
menyebabkan rasa panas dan sakit, kemudian terjadi pembesaran tungkai, lengan,
buah dada, dan alat kelamin perempuan ataupun laki-laki yang tampak kemerahan
dan terasa panas. Jika penyakit ini telah kronis akan menimbulkan gejala
limfedema, hidrokel, maupun kiluria. Diagnosis filariasis dapat ditegakan melalui
pemeriksaan klinis dan laboratorium.
Drakunkuliasis atau yang dikenal dengan Guinea Worm Disease adalah
infeksi yang disebabkan oleh cacing nematoda bernama Dracunculus medinensis.
Drakunkuliasis telah ada sejak lama kira-kira 3000 tahun lalu. Pertama kali
ditemukan pada mummy bangsa Yunani yang diawetkan.

22

Cacing Dranculus medinesis memasuki tubuh manusia melalui hospes


perantara yaitu Cyclops. Manusia yang mengkonsumsi air yang terkontaminasi
oleh Cyclops tanpa dimasak akan menularkan kembali dalam tubuh manusia.
Setelah 1 tahun berselang dan cacing betina dewasa yang berada di kaki akan
menyebabkan terbentuknya suatu pustul atau vesikel yang akan pecah dalam
beberapa jam kemudian dan megeluarkan cairan putih yang berisi larva cacing
tersebut. Komplikasi luka dapat menyebabkan pembentukan abses, tetanus,
arthritis

septik

atau

sepsis

sistemik.

Infeksi

sendi

selanjutnya

dapat

mengakibatkan kecacatan atau kontraktur.


Manajemen drakunkuliasis pada umumnya melibatkan pengambilan
cacing secara keseluruhan dan perawatan luka. Tidak ada obat khusus untuk
mengobati atau mencegah penyakit ini. Tidak ada juga vaksin untuk
mencegahnya. Satu-satunya cara untuk menghindari infeksi adalah untuk
mencegah paparan larva cacing Guinea di sumber air minum yang terkontaminasi.

23

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009. Strongyloidiasis. Pustaka Kedokteran. Diunduh
http://penyakitdalam.wordpress.com/2009/11/10/strongyloidiasis/.
Februari 2013.

dari
12

Cairncross S, Muller R dan Zagaria N. 2002. Dracunculiasis (Guinea Worm


Disease) and the Eradications Initiative. Clinical Microbiology Reviews.
15(2): 223-246.
CDC.

2011. Dracunculiasis - Guniea Worm disease. Tersedia pada:


http://www.docstoc.com/docs/51746789/Dracunculiasis---Guinea-WormDisease. Diunduh tanggal 11 februari 2013.

Greenaway, C. 2004. Dracunculiasis (guinea worm disease). Canadian Medical


Association Journal. 170(4): 495-500.
Karam, M dan Tayeh, A. 2006. Dracunculiasis eradication. Bull Soc Pathol Exot.
99(5): 377-385.
Mawhorter SD dan Longworth DL. 2011. Cutaneous Lesion. In Tropical
Infectious Diseases. 3rd Edition. Edited by Guerrant RL, Walker DH dan
Weller PF. Philadephia: Saunders. Hal 1496-1534.
Maxey,

Meredith.
2012.
Dracunculiasis.
Tersedia
pada:
http://www.oucom.ohiou.edu/tdi/2012Site/Diseases_Info/Topics_Internati
onal_Health/Dracun_2.htm Diunduh tanggal 11 Februari 2013.

24

Oemijati S, Kurniawan A. Epidemiologi Filariasis. Dalam: Gandahusada S,


Ilahude HD, Pribadi W, editor. Parasitologi kedokteran. Edisi 3. Jakarta:
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia; 2006: 42-44.
Ruiz-Tiben, E. dan D.R. Hopkins. 2006. Dracunculiasis (Guinea worm disease)
eradication. Adv Parasitol, 61:275-309.
Verawati,
Diah.
2012.
Strongyloides
stercoralis.
Diunduh
dari
http://tobeadoctor.com/2012/03/strongyloides-stercoralis.html. 12 Februari
2013.
Wahyono, T. Y., Purwantyastuti, & Supali, T. 2010. Filariasis Di Indonesia.
Buletin Jendela Epidemiologi , 1, 1-20.
WHO.

2013.
Dracunculiasis.
Tersedia
pada:
http://www.who.int/topics/dracunculiasis/en/. Diunduh tanggal 11 Februari
2013.

25

Anda mungkin juga menyukai