Disusun oleh :
Clara Rashinta Dewi
22030113120058
I.
Oleic acid atau asam oleat merupakan MUFA dengan 18 karbon dan termasuk dalam
asam lemak omega-9 (2). Omega-9 sendiri merupakan lemak tidak jenuh dan
termasuk MUFA (Monounsaturated fatty acid). Asam oleat tersusun dari 18 atom C
dengan satu ikatan rangkap di antara atom C ke 9 dan ke-10. Asam oleat merupaakan
MUFA predominan dalam berbagai diet (2). Oleic acid banyak ditemukan pada
minyak zaitun, minyak canola, minyak kacang, dan kacang mete (1).
Dari berbagai penelitian terdahulu, fortifikasi asam oleat kedalam susu telah
banyak dilakukan untuk berbagai tujuan penelitian. Fortifikasi asam oleat kedalam
susu ternyata membuat susu mencari lebih kaya zat gizi dan membuat susu menjadi
lebih sehat karena dapat menurunkan intake lemak jenuh, mengurangi kadar LDLkolesterol dan trigliserida, serta meningkatkan HDL-kolesterol. Selain itu fortifikasi
asam oleat kedalam susu dapat menjaga kesehatan kardiovaskular dan mencegah
hyperlipidemia. Asam oleat dapat menggantikan 5% energi dari asam lemak jenuh
dan dapat mengurangi resiko penyakit jantung koroner sebesar 20-40% karena
berkurangnya LDL-kolesterol (3). Selain itu susu yang dikenal sebagai minuman
harian sebagian besar masyarakat, merupakan pangan yang efisien untuk menyerapan
lemak dan komponen larut lemak yang baik karena terdispersi dalam micelle (4). Hal
ini membuat banyak peneliti melakukan penelitian tentang fortifikasi asam oleat pada
susu. Hanya saja, fortifikasi asam oleat pada susu hingga saat ini jarang ditujukan
untuk produk komersial yang bisa dirasakan oleh masyarakat. Kebanyakan fortifikasi
asam oleat pada susu lebih ditujukan untuk penelitian khusus seperti meneliti efek
fortifikasi asam oleat pada susu terhadap berbagai penyakit, seperti penyakit
kardiovaskular, dan hyperlipidemia. Hal ini didasarkan pada manfaat yang ada pada
asam oleat itu sendiri dan effisiensi yang timbul jika asam oleat difortifikasikan
kedalam susu (5,6).
II.
Sesungguhnya asam oleat sendiri telah ada pada susu secara alami. Kosentrasi
asam oleat tertinggi ada pada whole milk, yaitu sekitar 8gr/liter. Lemak pada susu
menyumbang 25% asam oleat yang ada pada susu. Sehingga pada dasarnya susu
sendiri telah memiliki kandungan asam oleat yang tinggi bahkan mampu mencukupi
asupan harian asam oleat (7). Pada fortifikasi asam oleat kedalam susu, asam oleat
lebih bersifat sebagai zat gizi yang sengaja ditambahkan kedalam susu agar susu
menjadi lebih kaya gizi, dan agar susu tersebut memenuhi tujuan penelitian. Biasanya
fortifikasi asam oleat kedalam susu lebih sebagai pengganti asam lemak jenuh dan
pelengkap asam lemak (46,8). Kadar asam oleat yang ditambahkan pada susu juga
bervariasi tergantung pada penelitian itu sendiri. Selain bersifat sebagai penambah zat
gizi, pengganti asam lemak jenuh dan pelengkap asam lemak, asam oleat juga sebagai
emulsifier dan pemberi aroma yang khas. Untuk kedua sifat terakhir memang belum
ada penelitian lebih lanjut yang membahas seputar sifat asam lemak sebagai
emulsifier dan pemberi aroma khas pada susu (9).
III.
Berdasarkan tabel diatas kadar asam oleat yang difortifikasikan kedalam susu
berbeda-beda tergantung pada design penelitian, kelompok intervensi, dan lamanya
intervensi. Sebagai contoh pada design penelitian control non randomised (CnR)
dengan intervensi berupa semi-skimmed milk yang berlangsung selama 4 minggu,
asam oleat yang difortifikasikan kedalam susu sebesar 1,82 gr/500mL sedangkan
dengan design penelitian randomised control trial (RCT) dengan intervensi berupa
semi-skimmed milk yang berlangsung selama 3 bulan, asam oleat yang
difortifikasikan kedalam susu sejumlah 1,85 gr/500mL. Berdasarkan contoh tersebut
jumlah asam oleat yang difortifikasikan kedalam produk berupa susu juga bergantung
pada jenis susu, design penelitian, dan lamanya intervensi. Rekomendasi asupan
harian asam oleat untuk mensubstitusi asam lemak jenuh pada produk susu berkisar 210 gram dan biasanya sekitar 5 gram. Sedangkan implementasinya pada produk susu
komersial masih sangat jarang ditemukan namun kemungkinan tetap didasarkan pada
rekomentasi asupan harian asam oleat (3).
IV.
PENGARUH PENGOLAHAN
Proses pengolahan yang terjadi pada susu yang difortifikasi asam oleat
kemungkinan kecil membawa pengaruh terhadap asam oleat itu sendiri maupun pada
susu. Pada saat asam oleat difortifikasikan kedalam susu, tidak ada perubahan yang
berarti pada kadar asam oleat yang telah difortifikasikan kedalam susu. Sifat fisik dan
kimia pada asam oleat kemungkinan hanya sedikit yang mengalami perubahan.
Namun beberapa hal dalam pengolahan dapat menjadi celah terjadinya perubahan
pada asam oleat, seperti pemanasan susu, penambahan air, dan penempatan susu
pasca di fortifikasi.
Pemanasan susu yang terlalu tinggi (>300 0C) dapat menyebabkan kerusakan pada
asam oleat karena titik didih yang dimiliki asam oleat berkisar 285 0C, namun
kerusakan pada asam oleat tidak dalam jumlah yang besar. Kemudian ketika terlalu
banyak campuran air yang ditambahkan kedalam susu dapat menyebabkan asam oleat
tidak larut. Hal ini dikarenakan sifat fisika asam oleat yang tidak larut dalam air.
Selanjutnya ketika susu telah difortifikasi dengan asam oleat kemudian dibiarkan
dalam suhu kamar maka akan menyebabkan asam oleat tidak stabil dan menyebabkan
perubahan sifat kimia pada asam oleat. Sedangkan untuk susu sendiri, perubahan yang
terjadi karena proses pengolahan hanya sebatas pada aroma. Dari suatu penelitian
hanya aroma yang mengalami perubahan. Susu yang mengalami proses pengolahan
dan fortifikasi asam oleat cenderung memiliki aroma yang lebih sedap dan khas (5).
Suatu penelitian meneliti tentang lipid carriers untuk fortifikasi makanan. Pada
penelitian ini produk yang digunakan adalah susu. Solid lipid nanoparticles yang salah
satunya berisi asam oleat difortifikasikan kedalam susu. Subjek terpilih dalam
penelitian ini melakukan uji sensoris. Sedangkan pengujian lain yang dilakaukan
adalah pelepasan SLN dalam sistem pencernaan. Ketika pengolahan produk susu yang
difortifikasikan asam oleat melalui SLN, membawa perubahan pada sensorik
pelepasan zat gizi didalam nya. Sifat sensorik yang tampak adalah warna susu
menjadi lebih kekuningan, kurang homogen, dan adanya rasa pahit. Hal ini
kemungkinan karena carrier yang digunakan saat fortifikasi yaitu solid lipid
BIOAVAILABILITAS
Penelitian tentang bioavailabilitas asam oleat telah banyak diteliti baik secara in
vitro maupun in vivo. Penelitian tentang bioavailabilitas asam oleat diawali dengan
penelitian pada binatang coba yang diberikan intervensi berupa diet asam oleat dari
berbagai sumber bahan pangan. Pada suatu penelitian yang dipublikasikan pada tahun
2014, telah melakukan percobaan terhadap tikus Weanling albino jantan yang
mengalami defisiensi lutein. Tikus-tikus tersebut diberikan diet yang mengandung 7,5
mM asam oleat beserta berbagai lemak lainnya yang berasal dari berbagai bahan
pangan. Selanjutnya dilakukan serangkaian test dan didapatkan hasil yaitu terjadi
peningkatan kadar asam oleat dalam plasma (45%), sistem pencernaan (66%), hati
(44%) pada kelompok tikus yang diberikan perlakuan (10). Sedangkan di Barcelona
telah dilakukan sebuah studi tentang asam oleat pada 48 tikus Sparague-Dawley.
Tikus-tikus tersebut dibagi menjadi 6 kelompok dan masing-masing kelompok
diberikan diet lemak yang berbeda-beda. Pada tiap jenis diet memiliki kadar asam
oleat yang berbeda-beda agar kadar asam oleat tidak berkorelasi dengan kadar asam
lemak lainnya yang ada pada diet. Pemberian diet ini berlangsung selama 4 minggu
dan sesudahnya dilakukan penelitian tentang bioavailabilitas asam oleat pada
beberapa jaringan tubuh tikus (11). Berikut adalah tabel hasil penelitian tersebut
Berdasarkan tabel tersebut presentase asam oleat didalam berbagai jaringan tubuh
semakin tinggi ketika presentase jumlah asupan asam oleat semakin besar. Asam oleat
tertinggi pada omental adiposite tissue yaitu sebesar 65,8% ketika presentase jumlah
asupan asam oleat sebesar 79% dari total lemak yang ada pada diet. Sedangkan asam
oleat terendah pada epididimal adipose tissue yaitu sebesar 26,6% ketika presentase
jumlah asupan asam oleat sebesar 18,2% dari total lemak yang ada pada diet (11).
Namun tidak semua bioavailabilitas yang dimiliki oleh asam oleat selalu
meningkat. Suatu penelitian meneliti pengaruh konsumsi susu yang difortifikasi
dengan asam oleat beserta berbagai asam lemak dan vitamin lainnya pada 72
partisipan. Partisipan dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok kontrol yang
mengkonsumsi susu semiskim dan kelompok E yang diberi susu yang telah
difortifikasi. Antara susu semiskim dan susu yang difortifikasi memiliki perbedaan
kadar asam oleat. Susu yang difortifikasi memiliki asam oleat sebesar 5,17g per
500ml, sedangkan susu semiskim hanya memiliki 2,05g per 500ml. Kemudian setelah
dilakukan tes terhadap plasma asam lemak ternyata terjadi penurunan presentase
kadar asam lemak dari total asam lemak yang ada pada plasma baik di kelompok
kontrol ataupun kelompok yang diberi susu fortifikasi (12).
Tabel 3. Perbedaan plasma asam lemak, vitamin, dan kalsium pada subjek
DAFTAR PUSTAKA
1.
Thompson JL; MMM; LAV. The Science of Nutrition. 2nd ed. San Francisco: Pearson
Benjamin Cummings; 2011.
2.
3.
Lopez-huertas E. Health effects of oleic acid and long chain omega-3 fatty acids ( EPA
and DHA ) enriched milks . A review of intervention studies. Pharmacol Res [Internet].
Carrero JJ, Baro L, Fonolla J, Mart A, Boza JJ, Lo E. Cardiovascular Effects of Milk
Enriched With -3 Polyunsaturated Fatty Acids , Oleic Acid , Folic Acid , and
Vitamins E and B6 in Volunteers With Mild Hyperlipidemia. J Nutrtion. 2004;20:521
7.
5.
6.
7.
Haug A, Hstmark AT, Harstad OM. Bovine milk in human nutrition a review. J
Lipids Heal Dis. 2007;16:116.
8.
Fonolla J, Pen JL, Lo E. n-3 Fatty acids plus oleic acid and vitamin supplemented milk
consumption reduces total and LDL cholesterol , homocysteine and levels of
endothelial adhesion molecules in healthy humans . J Clin Nutr. 2003;22:17582.
9.
10.
Nidhi B, Ramaprasad TR, Baskaran V. Dietary fatty acid determines the intestinal
absorption of lutein in lutein deficient mice. FRIN [Internet]. Elsevier Ltd;
2014;64:25663. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.foodres.2014.06.034
11.
12.