Anda di halaman 1dari 14

REVIEW JURNAL

DENSE PHASE CO2 PADA JUS JERUK


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Teknologi Pangan
Dosen pengampu : Fitriyono Ayustaningwarno, S.TP, M.Si

Disusun oleh :
Clara Rashinta Dewi
22030113120058

Program Studi ilmu Gizi


Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro Semarang
2014

REVIEW JURNAL
DENSE PHASE CO2 PADA JUS JERUK
A. Prinsip Proses
Teknologi Dense Phase CO2 (DPCD) merupakan metode pasteurisasi pada suhu rendah
yang memanfaatkan efek antimikrobial dari CO2 dan tekanan tinggi. DPCD diketahui dapat
menonaktifkan patogen, beberapa organisme perusak, dan enzim yang dapat mengganggu
kualitas produk makanan. DPCD diaplikasikan pada makanan dalam bentuk cair/minuman
pada suhu dibawah 60O C (biasanya pada suhu dibawah 35O C) dengan tekanan dibawah 50
MPa. (BUKU PAK YUSTA). Dengan teknologi DPCD, makanan/minuman tidak akan
terpapar panas selama proses pengawetan dan membuat kualitas sensoris, zat gizi, dan
keadaan fisik yang sama seperti ketika produk dalam keadaan segar. Fraser adalah seseorang
yang pertama kali mengenalkan teknologi DPCD yang mampu menonaktifkan sel bakteri.
Sejak saat itu, berbagai studi telah meneliti efek DPCD pada organisme perusak, patogen, sel
vegetatif, spora dan ragi, jamur, enzim beserta aktifitasnya, serta pada kualitas makanan.
(REVIEW OF DENSEPHASE MICROBIAL AND ENZIME INACTIVATION AND
EFFECT ON FOOD QUALITY).
Terdapat berbagai macam pengaplikasian DPCD seperti several batch, semi-continous,
dan continous system. Pada batch system, CO2 dan larutan/sampel yang akan diberi perlakuan
tetap berada didalam kontainer selama dilakukan perlakuan DPCD. Jenis batch system
memiliki silinder gas CO2 , pengatur tekanan, pressure vessel, pemanas air, dan katup pelepas
CO2. Sampel ditempatkan pada pressure vessel dan suhu diatur sesuai keinginan. Kemudian
CO2 dimasukkan kedalam bejana hingga sampel larut pada tekanan dan suhu yang diinginkan.
Sampel akan tersisa didalam bejana pada waktu tertentu dan katup yang menjadi jalan keluar
CO2 akan terbuka untuk melepaskan gas. (REVIEW OF DENSEPHASE MICROBIAL AND
ENZIME INACTIVATION AND EFFECT ON FOOD QUALITY).
Pada tahun 1995, Ishikawa dan rekan nya mengembangkan semi-continous system
menggunakan penyaring silindris agar gelembung mikro CO2 dapat masuk kedalam pressure
vessel.Ternyata diketahui bahwa dengan menggunakan micropore filter dapat menonaktifkan
enzim 3 kali lebih banyak, filter ini juga meningkatkan konsentrasi CO 2 yang tidak pecah
dalam sampel sebanyak 0,4-0,92 mol/L pada 25 MPa dan suhu 35oC. Pada sistem ini, CO2 cair

dan larutan garam dipompa melewati bejana. CO2 cair berubah menjadi gas menggunakan
evaporator lalu melebur menjadi larutan garam dari lubang penyaring anti karat dengan
ukuran lubang 10m. Gelembung CO2 berukuran mikro akan naik ketika melebur menjadi
larutan. Kemudian larutan akan terlarut dengan CO2 melewati pemanas untuk mencapai suhu
yang diharapkan dan suspensi mikroorganisme dipompa.
Kemudian pada tahun 1999, Praxair mengembangkan continous flow DPCD system. CO2
dan produk dipompa melalui sistem dan bercampur sebelum melewati pompa bertekanan
tinggi. Suhu pada produk diatur pada holding coils. Waktu tinggal disesuaikan oleh
pengaturan laju aliran produk. Pada akhir dari proses DPCD, expansion valve digunakan
untuk melepas CO2 dari campuran. Hal ini memungkinkan untuk menarik keluar sisa-sisa CO2
pada makanan dalam vacuum tank. (REVIEW OF DENSE PHASE CO2 TECHNOLOGY
MICROBIAL AND ENZYME INACTIVATION AND EFFECT ON FOOD QUALITY)
Bagaimana inaktifasi miroba dengan DPCD masih belum jelas, beberapa studi
menujukkan beberapa kemungkinan proses penonaktifan yang dimaksud dalam teknologi
DPCD. CO2 dapat menurunkan pH ketika terlarut dalam bagian cair dari sebuah makanan
dengan terbentuk nya asam karbonat, serta dapat menurunkan pH internal dari sel mikroba
dengan menyebar ke keseluruh membran sel. Ketika pH internal sel mikroba menurun, sel
mengalami inaktivasi dan terjadi penghambatan metabolisme enzim. Selanjutnya beberapa
studi menunjukkan pecahnya sel mikroba karena DPCD. Hal ini terjadi karena pemuaian CO 2
selama adanya tekanan yang menyebabkan gangguan pada sel. Walaupun mekanisme
penonaktifan miroba oleh DPCD merupakan hal yang terpenting namun belum diketahui
dengan jelas. Para peneliti setuju bahwa penonaktifan ini karena peran CO 2. (BUKU PAK
YUSTA).
Inaktivasi enzim yang terjadi pada DPCD telah diungkap oleh para peneliti. DPCD
terbukti dapat menonaktifkan beberapa enzim seperti pektinesterase (PE), polyphenol oxidase
(PPO), lypoxygenase (LOX), dan peroksidase (POD). Enzim-enzim tersebut menyebabkan
berbagai kerugian bagi bahan pangan terutama buah dan sayuran yang diolah menjadi jus.
Inaktivasi enzim oleh DPCD dapat disebabkan oleh berbagai hal yang terjadi selama DPCD
berlangsung, seperti turunnya pH, terjadinya perubahan pada enzim, dan adanya
penghambatan efek molekular CO2 pada aktifitas enzim. Namun inaktivasi enzim
menggunakan DPCD tergantung pada jenis dan sumber enzim serta kondisi perlakuan DPCD

seperti teknan, suhu, waktu dan medium. Inaktivasi enzim menggunakan DPCD jauh lebih
efektif dibandingkan proses termal, serta dapat menginaktivasi enzim menggunakan tekanan
yang lebih rendah dibandingkan dengan Ultra High Presure.

(REVIEW OF DENSE

PHASE....FOOD QUALITY
DPCD atau supercritical and liquid CO2 (SC-CO2) sangat cocok digunakan untuk
mengawetkan minuman seperti jus dan produk susu, karena jika menggunakan termal
pasteurization akan menyebabkan penurunan antosianin (16%), soluble phenolics (26%), dan
antioksidan (10%). (POTENTIAL OF NON THERMAL......SOUTHEAST ASIAN) Namun
terdapat perbedaan tujuan antara DPCD dan SC-CO 2. SC-CO2

lebih ditujukan untuk

ekstraksi, seperti dalam sebuah studi di Jepang yang meneliti tentang ekstrasi menggunakan
SC-CO2 pada Citrus sphaerocarpa Tanaka. Ekstraksi yang dilakukan pada salah satu jenis
jeruk asal Jepang ini ditujukan untuk mendapatkan essential oil. Hasil ekstraksi esential olil
menggunakan SC-CO2 terbukti lebih tinggi jika dibandingkan dengan metode cold press,
namun tidak lebih tinggi jika dibandingkan dengan steam destilation.

(SUPERCRITICAL EXTRACTION.....TANAKA PEELDilain sisi, SC-CO2 dapat digunakan untuk mengolah berbagai macam jus seperti jus
jeruk. Penggunakan SC-CO2 didasarkan pada sifat karbon dioksida yang tidak beracun, tidak
reaktif, tidak mudah terbakar, murah, dan aman bagi lingkungan. (DITAMBAH JURNAL
SUPERCRITICAL co2 ORANGE JUICE

B. Mekanisme Pengawetan
Biasanya jus jeruk diproses dengan teknologi termal. Teknologi termal yang digunakan
adalah pasterurisasi pada suhu 90oC selama 10 detik dan terjadilah penonaktifan enzim
pektinesterase yang menyebabkan loss of cloud pada jus jeruk. Pasteurisasi menyebabkan
aroma dan rasa pada jus jeruk berubah. Berbagai kerugian yang disebabkan oleh proses termal
membuat jus jeruk dirasa lebih cocok menggunakan proses non thermal. (APP OF NON
THERMAL PROCESS FOR PRESERVATION dan BUKU PAK YUSTA). Salah satu proses
non termal yang cocok digunakan pada jus jeruk adalah DPCD. Hal yang menjadi sorotan
dalam DPCD adalah kemampuan nya untuk menonaktifkan berbagai mikroba dan enzim.
2.1 Penonaktifan Mikroba
DPCD diketahui mampu menonaktifkan berbagai macam mikroba. Beberapa mikroba
yang dapat di nonaktifkan adalah Saccharomices cerevisiae, Staphylococcus aureus,dan
Escherichia coli.
2.11 Saccharomices cerevisiae
Pengaplikasian SC-CO2 pada jus jeruk untuk menonaktifkan Saccharomices
cerevisiae telah diinvestigasi melalui beberapa studi. Dalam suatu studi
membandingkan teknik SC-CO2 dan proses termal dalam menonaktifkan
Saccharomices cerevisiae pada jus jeruk. Studi tersebut menggunakan peralatan
SC-CO2 dengan tekanan lebih dari 1000 bar dan bejana bertekanan tinggi yang
memiliki volume 1 liter. CO2 cair yang digunakan memiliki kemurnian 99,8%
(APPS OF....PRESERVATION). Pada setiap eksperimen,

10 ml jus jeruk

dituangkan dalam sterile test tube dan ditutup dengan kapas steril. Sterile test tube
dimasukkan dalam bejana SC-CO2 kemudian diberi tekanan. Sampel diberikan
tekanan 6, 10, 20, dan 25 Mpa dengan suhu 30 hingga 50oC . Pada akhir perlakuan
SC-CO2, perlahan tekanan pada bejana dikurangi selama 15 menit kemudin
sampel dikeluarkan dan segera di dinginkan pada ice bath. Hasil yang didapatkan
dari perlakuan SC-CO2 terhadap jus jeruk pada suhu 50oC selama 15 menit
menghasilkan inaktivasi Saccharomices cerevisiae lebih dari 6 log. Pengaruh
inaktivasi ini tergantung pada tekanan yang diberikan. Hal ini mengindikasikan
bahwa tekanan 6 Mpa cukup untuk menonaktifkan Saccharomices cerevisiae pada
suhu yang moderat menggunakan CO2 cair.

Sedangkan jika dibandingkan dengan proses termal, kurang dari 1 log


Saccharomices cerevisiae yang dapat di nonaktifkan dari jus jeruk pada suhu 50oC
selama 15 menit. (APP OF NON THERMAL PROCESSING & apps.
...preservation).

Hal ini menunjukkan bahwa dengan menggunakan SC-CO2 dapat menonaktifkan


Saccharomices cerevisiae lebih banyak daripada proses termal yang konvensional.
2.12 Staphylococcus aureus
Dalam sebuah studi, ternyata inaktivasi Staphylococcus aureus menggunakan
DPCD sangat diperlukan, terutama pergerakan dari beberapa variabel seperti

come-up time (CUT) of pressurization dan come-down time (CDT) of


depressurization serta temperature fluctuation of depressurization.Pada studi
tersebut, hal yang dilakukan pertama kali adalah melakukan degassed pada
pressure vessel menggunakan pompa vakum. Dalam keadaan hampa udara, 100
mL sampel diangkut secara otomatis menuju pressure vessel melalui sample inlet
valve. Katup tersebut akan menutup setelah pengangkutan selesai yaitu ketika CO 2
inlet valve terbuka. Tekanan udara dibawa keluar menuju preset pressure level
yang diatur oleh pressure transducer dan plunger pump.Ketika tekanan dan suhu
yang diinginkan telah tercapai, tekanan harus mulai dipertahankan. Setelah itu,
depressurization dilakukan dengan memanipulasi presure relief valve pada saluran
keluar CO2 yang ada pada pressure vessel. Setelah proses DPCD, sampel diangkut
menuju labu steril melalui sample outlet valve. Kemudian dilakukan tes terhadap
Staphylococcus aureus dari 25 ml sampel.

Grafik tersebut menunjukkan efek proses tekanan pada inaktivasi


Staphylococcus aureus yang terpapar DPCD pada suhu 37 oC selama 30 dan 60
menit

HPT.

Proses

pemberian

tekanan

berpengaruh

pada

inaktivasi

Staphylococcus aureus dan perilaku inaktivasi nya bergantung pada tingkatan


tekanan. Pengurangan jumlah log dari Staphylococcus aureus pada 40 MPa
selama 30 menit HPT cukup signifikan. Efek antimikroba dari DPCD didasarkan
pada interaksi yang spesifik antara CO2 dan sel mikroba. Secara umum, setiap

efek dapat meningkatkan level dan laju kelarutan CO2 dan karena itu penetrasi ke
sel dalam medium perlakuan dapat meningkatkan inaktifasi mikroba oleh DPCD.
(inactv. Staphilococcus aureus KALO MAU DITAMBAH YG EFEK WAKTU
DPCD)
2.13 Escherichia coli
E. Coli bila terdapat dalam bahan pangan dan dalam jumlah yang berlebihan
dapat membahayakan manusia. Maka diperlukan penonaktifan bakteri ini agar
tidak merugikan manusia. Dalam sebuah penelitian, dilakukan penggabungan
antar SC-CO2 dengan high power ultrsound (HPU) untuk mengetahui pergerakan
inaktvasi Escherichia coli. Pada penelitian tersebut, 55 mL jus jeruk yang telah
diberi Escherichia coli diberikan perlakuan SC-CO2 dan HPU namun dengan
kondisi yang berbeda-beda. Untuk mengetahui efek dari tekanan, sampel diberi
perlakuan oleh SC-CO2 dan HPU pada suhu 36oC dan tekanan 100, 225, dan 350
bar. Di lain sisi, untuk mengetahui efek dari suhu, sampel diberikan perlakuan
dengan SC-CO2 dan HPU pada tekanan 225 bar dan suhu 31, 36, dan 41 oC.
Interval tekanan dan suhu yang dipilih lebih tinggi dari titik kritis CO 2 dan lebih
rendah dari lethal level yang dimiliki Escherichia coli.
Grafik dibawah menunjukkan kurva inaktivasi Escherichia coli pada jus
jeruk yang diberi perlakuan SC-CO2 dan HPU. Penurunan sebanyak 4,12, 4,62,
dan 6,15 log-cycle didapatkan setelah 1 menit perlakuan SC-CO 2 dan HPU pada
suhu 31, 36, dan 41oC, namun tidak ada perbedaan antara inaktivasi pada suhu 31
dan 36oC. Tetapi ketika suhu dinaikkan menjadi 41oC, secara signifikan terjadi
inaktivasi Escherichia coli yang cepat.Walaupun laju inaktivasi menurun setelah
menit pertama, dibutuhkan 7 menit untuk mencapai total inaktivasi sebanyak 7
hingga 8 log-cycle pada suhu 31 dan 36 oC, sedangkan pada suhu 41oC
membutuhkan waktu sebanyak 3 menit.
Sehubungan dengan efek tekanan terhadap inaktivasi Escherichia coli
,terdapat penurunan sebanyak 2,5, 4,6, dan 5,4 log-cycle yang dicapai setelah 1
menit diberikan perlakuan SC-CO2 dan HPU pada suhu 36oC dan tekanan 100,
225, dan 350 bar. Setelah menit pertama, penurunan populasi melambat dan
setelah 7 menit pemberian perlakuan SC-CO2 dan HPU terjadi penurunan sebesar

5,8, 7,2, dan 7,9 log-cycle pada tekanan 100, 225, dan 350 bar. Rata-rata, laju
inaktivasi meningkat dengan signifikan pada tekanan 100-225 bar serta pada 225350 bar. Sehingga disimpulkan bahwa dengan perlakuan SC-CO2 dan HPU dapat
menurunkan populasi Escherichia coli .(MODELLING OF THE ACTIVATION
KINETICS......SUPERCRITICAL
2.2 Penonaktifan Enzim
CO2 diketahui memiliki peranan dalam inaktivasi enzim. Enzim yang dapat
dinonaktifakan diantaranya adalah Pekstinesterase (PE) dan Pectin Methyl Esterase
(PME).
2.21 Pektinesterase (PE)
Dalam sebuah studi pada jus jeruk dilakukan pengamatan terhadap penurunan
aktivitas pektinesterase (PE). Inaktivasi PE pada jus jeruk diketahui dapat
menggunakan SC-CO2. (A REVIEW ON THE EFFECT OF SUPERCRITICAL

CARBON DIOXIDE ON ENZYME ECTIVITY). Perlakuan dengan SC-CO2 pada


suhu 40oC, 31 MPa, selama 45 menit menghasilkan penurunan aktivitas PE
sebesar 31%. Jus yang ditambahkan HCl dengan ph 3,1 serta di beri tekanan
dengan N2 sebanyak 24 MPa, suhu 40oC selama 45 menit, dapat penurunkan
aktifitas PE sebanyak 36%. Sedangkan jus jeruk yang diberi citrate buffer dengan
pH 3,8 lalu diberi perlakuan SC-CO2 dengan tekanan 31Mpa, suhu 40oC selama
45 menit telah mengurangi PE sebanyak 23%. Kemudian jus yang diberi tekanan
dengan N2 sebanyak 20.6 MPa, suhu

55 C, selama 1 jam menunjukkan

peningkatan aktivitas PE. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas PE pada buffered
juice akan menurun jika hanya diakibatkan oleh efek molekular CO2, ketika
unbuffered CO2 akan mengkombinasikan efek penurunan pH dan efek CO 2. Perlu
diketahui bahwa pemberian tekanan N2 tidak menurunkan pH. (REVIEW OF
DENSE PHASE CO2 TECH MICROBIAL AND ENZYME INACTIVATION
AND EFFECT ON FOOD QUALITY)
2.22 Pektin Metil Esterase (PME)
Terdapat suatu studi tentang SC-CO2 yang mempelajari kuantitas dan efek
penambahan etanol serta pembongkaran permukaan pada inaktivasi pectin methyl
esterase (PME). PME merupakan salah satu jenis enzim dalam jus. PME ini
terdapat dalam semua jenis jeruk sebagai enzim pengikat dinding sel dan enzim
ini dilepaskan ketika proses perubahan buah segar menjadi jus. PME dapat
menghidrolisis pektin dan mengubah pektin menjadi low methoxy pectin dan asam
pektin yang kemudian membentuk suatu bentuk komplek yang tidak larut dengan
ion kalsium, sehingga dapat mengakibatkan presipitasi pektin dan hilang nya
cloud. Hilangnya cloud dapat berakibat pada kualitas jus. Inaktivasi enzim ini
biasanya menggunakan metode SC-CO2. (ENHANCED INACTIVATION
PECTIN METYL ESTERASE)
Perlakuan menggunakan sistem SC-CO2 dimulai dengan memasukkan 500ml
sampel jus jeruk pada bejana bertekanan anti karat, kemudian dipanaskan
menggunakan heating tape serta dimonitor dengan thermocouple internal dan
eksternal. Preheated vessel di segel dan dialiri CO2 cair. Lalu bejana tersebut
dibawa menuju operatoring pressure dengan kompresor gas bertekanan tinggi dan

diatur oleh back pressure regulator. Ketika tekanan yang diinginkan telah
tercapai, bejana akan berada pada tekanan tertentu dalam waktu tertentu. Pada
akhir pemberian perlakuan SC-CO2, katup depresurisasi yang panas terbuka dan
CO2 dilepaskan. Suhu yang digunakan berkisar 40 hingga 55oC, tekanan 20
hingga 30 MPa selama 10 hingga 70 menit. Sebelumnya telah disebutkan bahwa
studi ini juga menilai kuantitas dan efek penambahan etanol serta pembongkaran
permukaan pada inaktivasi pectin methyl esterase (PME). Ketika dilakukan SCCO2, ditambahkan etanol didalam nya. Etanol yang ditambahkan sekitar 1%
hingga 5% dari total volume CO 2 menggunakan wetting glass wool yang
ditempatkan di dasar bejana bertekanan tinggi.
Dari penelitian tersebut didapatkan berbagai hasil dari inaktivasi PME.
Denaturasi enzim menggunakan SC-CO2 telah diketahui bergantung pada
berbagai kondisi seperti suhu dan tekanan. Inaktivasi maksimum yang mampu
dicapai menggunakan SC-CO2 pada suhu 40oC, tekanan 30 MPa selama 60 menit,
sedangkan inaktivasi minimum dicapai pada tekanan 20 Mpa, suhu 40 oC selama
60 menit perlakuan SC-CO2. Pada berbagai studi yang sebelumnya, meningkatnya
tekanan dapat mengakibatkan tingginya inaktivasi, tapi tidak ada perbedaan yang
ditemukan ketika terjadi kenaikan suhu. Penambahan waktu dari 60 menit menjadi
70 menit tidak meningkatkan inaktivasi yang signifikan. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan aktivasi PME yang signifikan dari
perlakuan SC-CO2 yang didasarkan pada suhu dan tekanan.
Etanol yang ditambahkan ketika dilakukan SC-CO 2 pada jus jeruk ternyata
memiliki efek yang signifikan terhadap inaktivasi PME. Terjadi peningkatan
inaktivasi sebanyak 12% jika dibandingkan dengan perlakuan tanpa etanol.
Meningkatnya inaktivasi PME karena etanol kemungkinan disebabkan oleh sifat
etanol yaitu molekul amfoterik yang dapat merusak pembentukan sisi aktif enzim
lalu mengakibatkan denaturasi parsial dan mengurangi aktifitas katalitik enzim.
(ENHANCED INACTIVATION PME)
Pada studi lain meneliti inaktivasi PME namun menggunakan kombinasi
perlakuan SC-CO2 dan HPU. Pada penelitian tersebut, 55 mL jus jeruk diberikan
perlakuan SC-CO2 dan HPU namun dengan kondisi yang berbeda-beda. Untuk

mengetahui efek dari tekanan, sampel diberi perlakuan oleh SC-CO 2 dan HPU
pada suhu 36oC dan tekanan 100, 225, dan 350 bar. Di lain sisi, untuk mengetahui
efek dari suhu, sampel diberikan perlakuan dengan SC-CO2 dan HPU pada
tekanan 225 bar dan suhu 31, 36, dan 41oC.
Dari perlakuan SC-CO2 dan HPU didapatkan hasil bahwa residual activity
(RA) PME menurun jika lamanya perlakuan semakin ditambah. Terjadinya
penurunan RA diduga karena denaturasi protein yang dapat terjadi karena
berbagai mekanisme seperti turunnya Ph, penghambatan ektivitas enzim karena
molekul CO2, dan fakta bahwa sesungguhnya SC-CO2 menyebabkan perubahan
bentuk enzim. (SUPERCRITICAL CO2 JUS JERUK)

3. Perubahan Nilai Gizi

Pada proses pengolahan jus jeruk, zat gizi yang biasanya disorot adalah asam askorbat.
Asam askorbat merupakan salah satu zat gizi yang rentan terhadap berbagai perlakuan
pengolahan. Pada proses pengolahan termal jelas terjadi penurunan kadar asam askorbat pada
jus jeruk karena asam askorbat merupakan zat gizi yang tidak tahan panas dan mudah
teroksidasi. Namun dengan menggunakan DPCD, kadar asam askorbat tidak akan berkurang
secara signifikan. Pada DPCD terjadi penahanan asam askorbat sebesar 71-95% maka asam
askorbat pada jus jeruk dapat bertahan dengan perlakuan DPCD. (BUKU PAK YUSTA).
Tingginya penahanan asam askorbat dengan perlakuan DPCD dikarenakan tingginya stabilitas
asam askorbat pada pH rendah dan pada lingkungan tanpa CO2.
Dengan SC-CO2 kadar asam askorbat tidak banyak berkurang. Hal ini mengindikasikan
bahwa SC-CO2 yang terjadi pada suhu rendah tidak mendegradasi asam askorbat. Pada
sebuah studi yang mempelajari tentang efek SC-CO 2 terhadap asam askorbat yang ada dalam
jus jeruk menggunakan batch system, menemukan bahwa kadar asam askorbat yang
bervariasi pada nilai antara 71 dan 98% tergantung pada tekanan (13-27Mpa) dan suhu (44600C). Pada studi tersebut, degradasi asam askorbat tertinggi ditemukan ketika SC-CO 2
dilakukan pada suhu tertinggi. Selain itu, ditemukan juga fakta bahwa asam askorbat yang
rendah pada salah satu sampel control disebabkan karena adanya oksigen yang dapat
mendegradasi asam askorbat. Hal ini menunjukkan bahwa CO 2 dapat membantu dalam
menstabilkan asam askorbat (SUPERCRITICAL CO2 ORANGE JUICE).

Anda mungkin juga menyukai