Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dari
lingkungan hidup manusia. Kulit merupakan organ yang esensial dan vital serta
merupakan cermin kesehatan dan kehidupan. Salah satu kelainan kulit yang dapat
menyebabkan terganggunya fungsi kulit adalah eritroderma (Wasiaatmaja, 2007).
Dahulu, eritroderma dibagi menjadi eritroderma primer dan sekunder.
Eritroderma primer adalah eritroderma yang tidak diketahui penyebabnya
(idiopatik), dan eritroderma sekunder adalah yang disebabkan oleh penyakit kulit
lain atau penyakit sistemik. Pendapat sekarang, semua eritroderma ada
penyebabnya, jadi eritroderma selalu sekunder (Champion, 1992; Djuanda,2007).
Eritroderma adalah kelainan kulit yang ditandai dengan adanya kemerahan
atau eritema yang bersifat generalisata yang mencakup 90% permukaan tubuh
yang berlangsung dalam beberapa hari sampai beberapa minggu. Bila eritemanya
antara 50-90% dinamakan pre-eritroderma (Djuanda, 2007).

Dermatitis

eksfoliativa dianggap sinonim dengan eritroderma (Champion, 1992; Sanusi,


2012).

Eritroderma dapat terjadi akibat alergi obat, perluasan penyakit maupun

akibat keganasan. Pada banyak kasus, eritroderma umumnya kelainan kulit yang
ada sebelumnya (misalnya psoriasis atau dermatitis atopik), cutaneous T-cell
lymphoma (CTCL) atau reaksi obat. Meskipun peningkatan 50% pasien
mempunyai riwayat lesi pada kulit sebelumnya untuk onset eritroderma,
identifikasi penyakit yang menyertai menggambarkan satu dari sekian banyak
kelainan kulit (Shimizu, 2007).
Bila diagnosis dapat ditegakkan secara dini dengan pengetahuan yang
cukup mengenai eritroderma, maka dapat dilakukan terapi dengan cepat sehingga
prognosis penyakit ini akan lebih baik.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Eritroderma adalah kelainan kulit yang ditandai adanya eritema universalis
(90-100%) dan biasanya disertai skuama. Pada definisi tersebut yang mutlak harus
ada adalah eritema, sedangkan skuama tidak selalu terdapat, pada mulanya tidak
disertai skuama, baru kemudian pada stadium penyembuhan timbul skuama,
hiperpigmentasi. Dermatitis eksfoliativa dianggap sebagai sinonim dengan
eritroderma meskipun sebenarnya mempunyai pengertian yang agak berbeda.
Pada dermatitis eksfoliativa skuamanya berlapis-lapis (Djuanda, 2007).
B. Etiologi dan klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, eritroderma dibagi menjadi 3 golongan :
I. Akibat alergi obat biasanya secara sistemik.
Untuk menentukanya diperlukan anamnesis menganai riwayat masuknya
obat ke dalam badan dengan berbagai cara (per oral, infus, supposituria,
intravaginal, maupun obat luar seperti obat kumur). Keadaan ini banyak
ditemukan pada dewasa muda (Djuanda, 2007). Obat yang dapat menyebabkan
eritroderma adalah arsenik organik, emas, merkuri (jarang), penisilin,
barbiturat. Pada beberapa masyarakat, eritroderma mungkin lebih tinggi karena
pengobatan sendiri dan pengobatan secara tradisional (Kurniawan, 2007). Bila
ada obat lebih dari satu yang masuk kedalam badan yang disangka sebagai
penyebabnya adalah obat yang paling sering menyebabkan alergi (Virendra N.
Sehgal, 2004)
. Eritroderma akibat perluasan penyakit kulit
Pada penyakit tersebut yang sering terkena misalnya : psoriasis, pemfigus
foliaseus, dermatitis atopik, pitiriasis rubra pilaris, dan liken planus.
Eritroderma et causa psoriasis, merupakan eritroderma yang paling banyak
ditemukan dan dapat disebabkan oleh penyakit psoriasis maupun akibat
pengobatan psoriasis yang terlalu kuat misalnya pengobatan topical dengan ter
dengan konsentrasi yang terlalu tinggi (Virendra N. Sehgal, 2004).
Dermatitis seboroik pada bayi juga dapat menyebabkan eritroderma yang
juga dikenal penyakit Leiner. Etiologinya belum diketahui pasti. Usia penderita
2

berkisar 4-20 minggu. Ptyriasis rubra pilaris yang berlangsung selama beberapa
minggu dapat pula menjadi eritroderma. Selain itu yang dapat menyebabkan
eritroderma adalah pemfigus foliaseus, dermatitis atopik dan liken planus
(Djuanda, 2007).
Tabel 3.1. Obat yang dapat menyebabkan eritroderma (Virendra N. Sehgal, 2004)
Acetaminophen,
actinomycin-D
allopurinol
arsenic
barbiturates
captopril
chloroquine
diphosphate
chlorpromazine
cemetidine
dapsone
gold
hydantoin
sodium
interferon
isoniazid
isotretinoin
lithium

Obat
Nitrofurantoin
omeprazole
para-amino
salicylic acid
penicillin
phenotiazine
phenytoin
quinidine
rifampicin
streptomycin
sulfadiazine
sulfonylurea
tetracycline
thalidomide
tolbutamide
vancomycin
mercurials
minocycline

II. Akibat penyakit sistemik termasuk keganasan


Berbagai penyakit atau kelainan alat dalam termasuk infeksi fokal dapat
memberi kelainan kulit berupa eritroderma. Jadi setiap kasus eritroderma yang
tidak termasuk akibat alergi obat dan akibat perluasan penyakit kulit harus
dicari penyebabnya, yang berarti perlu pemeriksaan menyeluruh (termasuk
pemeriksaan laboratorium dan sinar X toraks), untuk melihat adanya infeksi
penyakit pada alat dalam dan infeksi fokal. Ada kalanya terdapat leukositosis
namun tidak ditemukan penyebabnya, jadi terdapat infeksi bakterial yang
tersembunyi (occult infection) yang perlu diobati (Djuanda, 2007).
Ada pula golongan lain yang tidak diketahui penyebabnya (5-10%),
meskipun telah dicari. Sebagian para penderita eritroderma yang mula-mula

tidak diketahui penyebabnya, kemudian berkembag menjadi sindrome Sezary


(Okoduwa, et al., 2009)..
C. Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya eritroderma belum diketahui dengan jelas, yang
jelas dapat diketahui adalah akibat suatu agent dalam tubuh, maka tubuh bereaksi
berupa pelebaran pembuluh darah kapiler (eritema) yang universal. Kemungkinan
pelbagai sitokin yang berperan (Harahap, 2000).
Eritema berarti terjadi pelebaran pembuluh darah yang menyebabkan
aliran darah kekulit meningkat sehingga kehilangan panas bertambah. Akibatnya
penderita merasa dingin dan menggigil. Pada eritroderma kronis dapat terjadi
gagal jantung. Juga dapat terjadi hipotermia akibat peningkatang perfusi kulit.
Penguapan cairan yang makin meningkat dapat menyebabkan dehidrasi. Bila suhu
badan meningkat, kehilangan panas juga meningkat. Pengaturan suhu terganggu.
Kehilangan panas menyebabkan hipermetabolisme kompensator dan peningkatan
laju metabolisme basal. Kehilangan cairan oleh transpirasi meningkat sebanding
dengan laju metabolisme basal (Djuanda, 2007).
Kehilangan skuama dapat mencapai 9 gram/m permukaan kulit atau lebih
sehari sehingga menyebabkan kehilangan protein. Hipoproteinemia dengan
berkurangnya albumin dan peningkatan relatif globulin terutama globulin
merupakan kelainan khas. Edema sering terjadi, kemungkinan disebabkan oleh
pergeseran cairan keruang ekstravaskuler. Eritroderma akut dan kronis dapat
mengganggu mitosis rambut dan kuku berupa kerontokan rambut difus dan
kehilangan kuku. Pada eritroderma yang telah berlangsung berbulan-bulan dapat
terjadi perburukan keadaan yang progresif (Harahap, 2000).
D. Gejala klinis
1. Eritroderma akibat alergi obat biasanya secara sistemik
Adanya riwayat penggunaan obat sebelum muncul gejala klinis perlu
dikaji ulang untuk menkonfirmasi penyebab terjadinya eritroderma akibat
obat. Pada umumnya alergi ini timbul secara akut dalam waktu 10 hari. Dapat
pula bervariasi mulai dari waktu masuknya obat ke dalam tubuh hingga timbul
4

penyakit dapat segera sampai sampai 2 minggu. Gambaran klinisnya berupa


eritema universal. Pada stadium akut tidak terdapat skuama, pada stadium
penyembuhan baru timbul skuama (Djuanda, 2007).
2. Eritroderma akibat perluasan penyakit kulit
Yang sering terjadi ialah akibat psoriasis dan dermatitis seboroik pada
bayi (penyakit Leiner), oleh karena itu hanya kedua penyakit ini yang akan
diuraikan.
a. Eritroderma karena psoriasis (psoriasis eritrodermik)
Riwayat psoriasis yang bersifat kronik dan residif dapat menjadi
salah satu penyebab terjadi eritroderma. Kelainan kulit berupa skuama
yang berlapis-lapis dan kasar di atas kulit yang eritematosa, sirkumskripta
Harahap, 2000).
Umumnya didapati eritema yang tidak merata. Pada tempat
predileksi psoriasis dapat ditemukan kelainan yang lebih eritematosa dan
agak meninggi dari pada disekitarnya dan skuama ditempat itu lebih tebal.
Kuku juga perlu dilihat, dicari apakah ada pitting nail berupa lekukan
miliar, tanda ini hanya menyokong dan tidak patognomonis untuk
psoriasis. Jika ragu-ragu, pada tempat yang meninggi tersebut dilakukan
biosi untuk pemeriksaan histopatologik. Kadang-kadang biopsi sekali
tidak cukup dan harus dilakukan beberapa kali (Umar, 2011).
Sebagian penderita tidak menunjukkan kelainan semacam itu, jadi
terlihat hanya eritema yang menyeluruh dan skuama. Pada penderita
demikian kami baru mengetahui bahwa penyebabnya psoriasis setelah
diberi terapi dengan kortikosteroid. Pada saat eritrodermanya mengurang,
maka mulailah tampak gejala psoriasis (Umar, 2011).

Gambar 1. Eritroderma karena perluasan penyakit


b. Penyakit Leiner
Penyakit Leiner atau eritroderma deskuamativum ini biasanya
terjadi pada penderita usia penderita antara 4 minggu sampai 20 minggu.
Keadaan umum penderita baik, biasanya tanpa keluhan. Kelainan kulit
berupa eritema universal disertai skuama yang kasar (Djuanda, 2007).
3. Eritroderma akibat penyakit sistemik termasuk keganasan
Berbagai penyakit atau kelainan alat dalam dapat menyebabkan
kelainan kulit berupa eritroderma. Jadi setiap kasus eritroderma yang tidak
termasuk golongan I dan II harus dicari penyebabnya, yang berarti harus
diperiksa secara menyeluruh, apakah ada penyakit pada alat dalam dan harus
dicari pula apakah ada infeksi dalam dan infeksi fokal. Termasuk di dalam
golongan ini ialah sindrome Sezary (Harahap, 2000).
Sindrom Sezary
Penyakit ini termasuk limfoma, ada yang berpendapat merupakan
stadium dini mikosis fungoides. Penyebabnya belum diketahui, diduga
berhubungan dengan infeksi virus HTLV-V dan dimasukkan kedalam CTCL
(Cutaneous T-Cell Lymphoma) (Okoduwa, et al., 2009).
Yang diserang adalah orang dewasa, mulainya penyakit pada pria ratarata berumur 64 tahun, sedangkan pada wanita 53 tahun. Sindrom ini ditandai
dengan eritema berwarna merah membara yang universal disertai skuama dan
rasa sangat gatal. Selain itu terdapat pula infiltrasi pada kulit dan edema. Pada
sepertiga hingga setengah para penderita didapati splenomegali, limfadenopati
superfisial, alopesia, hiperpigmentasi, hiperkeratosis palmaris dan plantaris,
serta kuku yang distrofik (Okoduwa, et al., 2009).

Pada pemeriksaan laboratorium sebagian besar kasus menunjukkan


leukositosis, 19% dengan eosinofilia dan limfositosis. Selain itu terdapat pula
limfosit atipik yang disebut sel Sezery. Sel ini besarnya 10-20 , mempunyai
sifat yang khas, di antaranya intinya homogen, lobular, dan tak teratur. Selain
terdapat dalam darah, sel tersebut juga terdapat dalam kelenjer getah bening
dan kulit.untuk menentukannya memerlukan keahlian khusus. Biopsi pada
kulit juga memberi kelainan yang agak khas, yakni terdapat infiltrat pada
dermis bagian atas dan terdapatnya sel Sezary (Okoduwa, et al., 2009).
E. Diagnosis
Diagnosis agak sulit ditegakkan, harus melihat dari tanda dan gejala yang
sudah ada sebelumnya misalnya, warna hitam-kemerahan di psoriasis dan
kuningkemerahan di pilaris rubra pityriasis; perubahan kuku khas psoriasis;
likenifikasi, erosi, dan ekskoriasi di dermatitis atopik dan eksema; menyebar,
relatif hiperkeratosis tanpa skuama, dan pityriasis rubra; ditandai bercak kulit
dalam eritroderma di pilaris rubra pityriasis; hiperkeratotik skala besar kulit
kepala, biasanya tanpa rambut rontok di psoriasis dan dengan rambut rontok di
CTCL dan pityriasis rubra, ektropion mungkin terjadi. Dengan beberapa biopsi
biasanya dapat menegakkan diagnosis (Djuanda, 2007).
F. Diagnosa Banding
Ada beberapa diagnosis banding pada eritorderma
1. Psoriasis
Eritroderma psoriasis dapat disebabkan oleh karena pengobatan topikal
yang terlalu kuat atau oleh penyakitnya sendiri yang meluas. Ketika psoriasis
menjadi eritroderma biasanya lesi yang khas untuk psoriasis tidak tampak lagi
karena terdapat menghilang dimana plak-plak psoriasis menyatu, eritema dan
skuama tebal universal. Psoriasis mungkin menjadi eritroderma dalam proses
yang berlangsung lambat dan tidak dapat dihambat atau sangat cepat. Faktor
genetik berperan. Bila orang tuanya tidak menderita psoriasis resiko mendapat
psoriasis 12 %, sedangkan jika salah seseorang orang tuanya menderita
psoriasis resikonya mencapai 34 39%. Psoriasis ditandai dengan adanya
7

bercak-bercak, eritema berbatas tegas dengan skuama yang kasar, berlapis-lapis


dan transparan disertai fenomena tetesan lilin, Auspitz, dan Kobner
(Imtikhananik, 1992).

Gambar 2. Psoriasis
2. Dermatitis seboroik
Dermatitis seboroik adalah peradangan kulit yang kronis ditandai
dengan plak eritema yang sering terdapat pada daerah tubuh yang banyak
mengandung kelenjar sebasea seperti kulit kepala, alis, lipatan nasolabial,
belakang telinga, cuping hidung, ketiak, dada, antara skapula. Dermatitis
seboroik dapat terjadi pada semua umur, dan meningkat pada usia 40 tahun.
Biasanya lebih berat apabila terjadi pada laki-laki daripada wanita dan lebih
sering pada orangorang yang banyak memakan lemak dan minum alcohol
(Imtikhananik, 1992).
Biasanya

kulit

penderita

tampak

berminyak,

dengan

kuman

pityrosporum ovale yang hidup komensal di kulit berkembang lebih subur.


Pada kepala tampak eritema dan skuama halus sampai kasar (ketombe). Kulit
tampak berminyak dan menghasilkan skuama putih yang berminyak pula.
Penderita akan mengeluh rasa gatal yang hebat. DS dapat diakibatkan oleh
ploriferasi epidermis yang meningkat seperti pada psoriasis. Hal ini dapat
menerangkan mengapa terapi dengan sitostatik dapat memperbaikinya. Pada
orang yang telah mempunyai faktor predisposisi, timbulnya DS dapat
8

disebabkan oleh faktor kelelahan sterss emosional infeksi, atau defisiensi imun
(Umar, 2011).

Gambar 3. Dermatitis Seboroik


G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan darah didapatkan albumin serum yang rendah dan
peningkatan gammaglobulins, ketidakseimbangan elektrolit, protein fase akut
meningkat, leukositosis, maupun anemia ringan (Umar, 2011).
2. Histopatologi
Pada kebanyakan pasien dengan eritroderma histopatologi dapat
membantu mengidentifikasi penyebab eritroderma pada sampai dengan 50%
kasus, biopsi kulit dapat menunjukkan gambaran yang bervariasi, tergantung
berat dan durasi proses inflamasi. Pada tahap akut, spongiosis dan
parakeratosis menonjol, terjadi edema. Pada stadium kronis, akantosis dan
perpanjangan rete ridge lebih dominan (Djuanda, 2007).
Eritroderma akibat limfoma, yang infiltrasi bisa menjadi semakin
pleomorfik, dan mungkin akhirnya memperoleh fitur diagnostik spesifik,
seperti bandlike limfoid infiltrat di dermis-epidermis, dengan sel cerebriform
mononuklear atipikal dan Pautrier's microabscesses. Pasien dengan sindrom
Sezary sering menunjukkan beberapa fitur dari dermatitis kronis, dan
eritroderma jinak mungkin kadang-kadang menunjukkan beberapa gambaran
tidak jelas pada limfoma (Djuanda, 2007).
Pemeriksaan immunofenotipe infiltrat limfoid juga mungkin sulit
menyelesaikan

permasalahan

karena

pemeriksaan

ini

umumnya

memperlihatkan gambaran sel T mmatang pada eritroderma jinak maupun


ganas. Pada psoriasis papilomatosis dan gambaran clubbing lapisan
papilerdapat terlihat, dan pada pemfigus foliaseus, akantosis superficial juga
9

ditemukan. Pada eritroderma ikhtisioform dan ptiriasis rubra pilaris, biopsi


diulang dari tempat-tempat yang dipilih dengan cermat dapat memperlihatkan
gambaran khasnya (Djuanda, 2007).
G. Pengobatan
Umumnya pengobatan eritroderma dengan kortikosteroid. Pada golongan
I, yang disebabkan oleh alergi obat secara sistemik, dosis prednison 3 x 10 mg- 4
x 10 mg. Penyembuhan terjadi cepat, umumnya dalam beberapa hari beberapa
minggu. Pada golongan II akibat perluasan penyakit kulit juga diberikan
kortikosteroid. Dosis mula prednison 4 x 10 mg- 4 x 15 mg sehari. Jika setelah
beberapa hari tidak tampak perbaikan dosis dapat dinaikkan. Setelah tampak
perbaikan, dosis diturunkan perlahan-lahan. Jika eritroderma terjadi akibat
pengobatan dengan ter pada psoriasis, maka obat tersebut harus dihentikan.
Eritroderma karena psoriasis dapat pula diobati dengan etretinat. Lama
penyembuhan golongan II ini bervariasi beberapa minggu hingga beberapa bulan,
jadi tidak secepat seperti golongan I (Djuanda, 2007).
Pengobatan penyakit Leiner dengan kortokosteroid memberi hasil yang
baik. Dosis prednison 3 x 1-2 mg sehari. Pada sindrome Sezary pengobatannya
terdiri atas kortikosteroid dan sitostatik, biasanya digunakan klorambusil dengan
dosis 2- 6 mg sehari. Pada eritroderma yang lama diberikan pula diet tinggi
protein, karena terlepasnya skuama mengakibatkan kehilangan protein. Kelainan
kulit perlu pula diolesi emolien untuk mengurangi radiasi akibat vasodilatasi oleh
eritema, misalnya dengan salep lanolin 10% (Umar, 2011).
H. Komplikasi
1. Gagal jantung
2. Gagal ginjal.
3. Kematian mendadak akibat hipotermia sentral (Djuanda, 2007).
J. Prognosa
Prognosis

eritroderma

tergantung

pada

proses

penyakit

yang

mendasarinya. Kasus karena penyebab obat dapat membaik setelah obat


10

penggunaan obat dihentikan dan diberikan terapi yang sesuai. Prognosis kasus
akibat gangguan sistemik yang mendasarinya seperti limfoma akan tergantung
pada kondisi keberhasilan pengobatan .Eritroderma disebabkan oleh dermatosa
akhirnya

dapat

diatasi

dengan

pengobatan,

tetapi

mungkin

timbul

kekambuhan.Kasus idiopatik adalah kasus yang tidak terduga,dapat bertahan


dalam waktu yang lama, sering kali disertai dengan kondisi yang lemah (Djuanda,
2007).
Eritroderma yang termasuk golongan I, yakni karena alergi obat secara
sistemik, prognosisnya baik. Penyembuhan golongan ini ialah yang tercepat
dibandingkan golongan yang lain. Pada eritroderma yang belum diketahui
sebabnya, pengobatan dengan kortikosteroid hanya mengurangi gejalanya,
penderita akan mengalami ketergantungan kortikosteroid (Imtikhananik, 1992).
Sindrome Sezary prognosisnya buruk, penderita pria umumya akan
meninggal setelah 5 tahun, sedangkan penderita wanita setelah 10 tahun.
Kematian disebabkan oleh infeksi atau penyakit berkembang menjadi mikosis
fungoides (Imtikhananik, 1992).

11

BAB III
KESIMPULAN
1. Eritroderma adalah kelainan kulit yang ditandai adanya eritema universalis
(90-100%) dan biasanya disertai skuama. Pada mulanya tidak disertai
skuama, baru kemudian pada stadium penyembuhan timbul skuama,
hiperpigmentasi.
2. Ujud kelainan kulit pada eritroderma yaitu makula eritema, skuama dan
lokalisasi biasanya generalisata.
3. Penatalaksanaan eritroderma yaitu kortikosteroid sistemik, antihistamin
sistemik dan emolien lanolin.

12

DAFTAR PUSTAKA
Champion RH eds. Rooks, textbook of dermatology, 5th ed.
Washington;Blackwell Scientific Publications. 1992.p;17.48-17.52.3.
Djuanda, A. 2007. Dermatosis Eritroskuamosa. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin.
Jakarta: FKUI. 198-200.
Harahap M. 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta : Hipokrates. 28.
Imtikhananik. 1992. Dermatitis Exfoliativa. Cermin Dunia Kedokteran. Volume
74. 16-19.
Kurniawan, Dedy. Wahyudhy, Harry Utama. 2007. Erupsi alergi obat. Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya
Okoduwa, C. W C Lambert, R A Schwartz, E Kubeyinje, A Eitokpah, Smeeta
Sinha, W Chen. 2009. Erythroderma : Review of A Potentially Life
Threatening Dermatosis. Indian J Dermatol. 54(1). 16.
Shimizu

H. Shimizus textbook of dermatology. 1 sted.


NakayamaShoten Publishers; 2007.p; 122-25, 98-101

Hokkaido:

Siregar, 2002. Eritroderma. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC.
Sanusi, Umar. 2012. Erythroderma (Generalized Exfoliative Dermatitis).
Available at: http://emedicine.medscape.com/article/1106906-overview.
Diakses tanggal 17 Juli 2012
Virendra N. Sehgal, Govind Srivastava, Kabir Sardana. 2004. Erythroderma or
exfoliative dermatitis: a synopsis. International Journal of Dermatology.
39-47.
Wasitaatmadja SM. Anatomi kulit. Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin.
5th ed. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2007.p;35.2. Champion RH. Eczema, Lichenification, prurigo, and erythroderma.
In:

13

Anda mungkin juga menyukai