Anda di halaman 1dari 13

Sindrom ovarium polikistik (SOPK) adalah merupakan kumpulan gejala dan tanda yang

terjadi akibat hiperandrogenisme dan gangguan ovulasi tanpa disertai adanya kelainan
hiperplasia adrenal kongenital, hiperprolaktinemia atau neoplasma yang mensekresi
androgen. Gejala yang timbul dapat bervariasi dari tanpa gejala sama sekali sampai
gejala seperti infertilitas, anovulasi kronik yang ditandai dengan amenorea,
oligomenorea, gangguan haid atau perdarahan uterus disfungsional dan hirsutisme.
Penampakan utama pada SOPK adalah hiperandrogenisme dan anovulasi kronik yang
sering dihubungkan dengan resistensi insulin, serta perubahan frekuensi
pengeluarangonadotropin-releasing hormone dan pengeluaran hormon-hormon
gonadotropin lainnya.
Hipotalamus dan hipofisis berperan penting dalam pengendalian perkembangan gonad
dan fungsi reproduksi. Fungsi gonad pada wanita secara langsung dikontrol oleh
hormon-hormon gonadotropik hipofisis anterior, follicle-stimulating hormone (FSH)
danluteinizing hormone (LH). Kedua hormon ini, pada gilirannya, diatur
oleh gonadotropin-releasing hormone (GnRH) hipotalamus yang sekresinya pulsatif
serta efek umpan-balik hormon-hormon gonad. Sedangkan ovarium sebagai organ
reproduksi primer wanita melakukan tugas ganda, yaitu menghasilkan ovum dan
menghasilkan hormon-hormon seks wanita seperti estrogen dan progesterone. Kedua
hormon ini bekerja bersama untuk mendorong fertilisasi ovum dan untuk
mempersiapkan sistem reproduksi wanita untuk kehamilan.
Selama fase folikel (paruh pertama siklus ovarium), folikel ovarium mengeluarkan
estrogen di bawah pengaruh FSH, LH, dan estrogen itu sendiri. Kadar estrogen yang
rendah tetapi harus meningkat tersebut menghambat sekresi FSH, yang menurun
selama bagian terakhir fase folikel, dan secara inkomplit menekan sekresi LH yang terus
meningkat selama fase folikel. Pada saat pengeluaran estrogen mencapai puncaknya,
kadar estrogen yang tinggi memicu lonjakan sekresi LH pada pertengahan siklus.
Lonjakan LH, menyebabakan ovulasi yang matang. Sekresi estrogen merosot sewaktu
folikel mati pada ovulasi.
3

Gambar 1. Kontrol lonjakan LH pada saat ovulasi


Tahap-tahap awal pertumbuhan folikel pra-antrum dan pematangan oosit tidak
memerlukan stimulasi gonadotropik, namun bantuan hormon diperlukan untuk
membentuk antrum, perkembangan folikel lebih lanjut, dan sekresi estrogen. Estrogen,
FSH, dan LH semuanya diperlukan.
Pembentukan antrum diinduksi oleh FSH. Baik FSH maupun estrogen merangsang
proliferasi sel-sel granulosa. Baik FSH maupun LH diperlukan untuk sintesis dan
sekresi estrogen oleh folikel. Baik sel granulosa maupun sel teka berpartipasi dalam
pembentukan estrogen. Perubahan kolesterol menjadi estrogen memerlukan sejumlah
langkah berurutan, dengan langkah terakhir adalah perubahan androgen menjadi
estrogen. Sel-sel teka banyak menghasilkan androgen tetapi kapasitas mereka
mengubah androgen menjadi estrogen terbatas. Sel-sel granulosa, dipihak lain mudah
mengubah androgen menjadi estrogen tetapi tidak mampu membuat androgen sendiri.
LH bekerja pada sel-sel teka untuk merangsang pembentukan androgen, sementara
FSH bekerja pada sel-sel granulosa untuk meningkatkan perubahan androgen teka
menjadi estrogen. Karena kadar basal FSH yang rendah sudah cukup untuk mendorong
perubahan menjadi estrogen ini, kecepatan sekresi estrogen oleh folikel terutama
bergantung pada kadar LH dalam darah, yang terus meningkat selama fase folikel.
Selain itu, sewaktu folikel terus tumbuh, estrogen yang dihasilkan juga meningkat
karena bertambahnya jumlah sel folikel penghasil estrogen.

Gambar 2. Pembentukan androgen oleh sel-sel teka folikel ovarium


Pada keadaan SOPK kelainan utama anovulasi tampaknya karena kelebihan produksi
androgen di dalam ovarium yang menyebabkan sejumlah besar folikel preovulasi gagal
untuk merespons FSH.
Sel theca yang membungkus folikel dan memproduksi androgen yang nantinya akan
dikonversi menjadi estrogen didalam ovarium menjadi sangat aktif dan responsif
terhadap stimulasi LH. Sel theca akan lebih besar dan akan menghasilkan androgen
lebih banyak. Sel-sel theca yang hiperaktif ini akan terhalang maturasinya sehingga
akan menyebabkan sel-sel granulosa tidak aktif dan aktifitas aromatisasinya menjadi
minimal.
2

Akibat ketidakmatangan folikel-folikel tersebut maka terjadi pembentukan kista-kista


dengan diameter antara 2-6 mm dan masa aktif folikel akan memanjang, sehingga akan
terbentuk folikel-folikel berbentuk seperti kista yang dilapisi oleh sel-sel theca yang
hiperplastik yang mengalami luteinisasi sebagai respon peningkatan kadar LH.
4

Gambar 3. Peningkatan produksi androgen oleh sel theca karena pengaruh LH yang
tinggi
Hiperespons pada ovarium dan androgen adrenal pada LH dan kortikotropin menjadi
karakteristik wanita yang mengalami SOPK akibat hasil dari peningkatan stimulasi
insulin secara kronik. Terlihat pada gambar bahwa kombinasi dari peningkatan level
androgen dan obesitas akan meningkatkan aromatisasi ekstraglandular pada jaringan
lemak dan menyebabkan pembentukan estrogen (asiklikestrogen) dalam bentuk estrone
meningkat yang berdampak umpan balik positif terhadap LH dan umpan balik negatif
terhadap FSH sehingga kadar LH meningkat dan kadar FSH menurun dalam plasma.
Akibat dari peningkatan kadar LH dalam plasma akan meningkatkan stimulasi stroma
pada sel theca dan menjadikan androgen meningkat.
6

Gambar 4. Hubungan antara obesitas dan hiperandrogenisme pada SOPK


Dalam patogenesis SOPK resistensi insulin telah memperoleh peran penting dalam
beberapa waktu. Insulin adalah hormon yang diperlukan oleh sel untuk mendapatkan
energi dari glukosa. Namun kadang-kadang sel tidak menunjukkan respon yang
memadai terhadap aktivitas insulin. Keadaan ini disebut sebagai resistensi insulin.
Resistensi insulin menyebabkan kenaikan kadar gula darah dan diabetes. Lebih dari
40% penderita SOPK menunjukkan adanya resistensi insulin, dan lebih dari 10%
diantaranya akan menderita diabetes melitus tipe 2 saat berusia sekitar 40 tahun..

Kadar insulin yang tinggi seperti ini dapat meningkatkan kadar hormon pria sehingga
keluhan SOPK menjadi semakin parah.
Gangguan akibat dari resistensi insulin mengacu pada metabolisme glukosa.
Kompensasi akibat adanya hiperinsulinemia adalah peningkatan kerja insulin dan
menyebabkan efek-efek yang berlebihan pada organ lain termasuk stimulasi sekresi
androgen ovarium oleh sel-sel adrenal. Insulin juga dapat menurunkan produksi sex
hormone-binding globulin(SHBG) di liver.
7

Gambar 5. Beberapa teori untuk menjelaskan patogenesis SOPK


MANIFESTASI KLINIK SINDROM OVARIUM POLIKISTIK
Gejala SOPK cenderung terjadi secara bertahap. Awal perubahan hormon yang
menyebabkan SOPK terjadi pada masa remaja setelah menarche. Gejala akan menjadi
jelas setelah berat badan meningkat pesat. Gejala yang timbul dapat bervariasi mulai
dari tanpa gejala sama sekali sampai gejala seperti infertilitas, anovulasi kronik yang
ditandai dengan amenorea, oligomenorea, gangguan haid atau perdarahan uterus
disfungsional, jerawat, hirsutisme atau maskulinisasi, dan obesitas.
A. Kelainan menstruasi
Pasien dapat mengeluh adanya oligomenorrhea, dimana siklus menstruasinya menjadi
sangat lama yaitu antara 35 hari sampai dengan 6 bulan, dengan periode menstruasi < 9

per tahun. Dapat terjadi amenorrhea sekunder dimana ada fase tidak adanya
menstruasi selama 6 bulan, dapat pula terjadi episode menometrorrhagia dengan
anemia.
Pada SOPK sekresi estrogen berlangsung lama dan tidak disertai ovulasi. Sekresi
tersebut juga tidak diimbangi oleh progesteron yang selanjutnya akan mempengaruhi
pelepasan gonadotropin kelenjar hipofise. Umpan balik yang dihasilkan dari estrogen
yang normal dapat mengakibatkan peningkatan sekresi LH. Peningkatan LH akan
menstimulasi sel teka ovarium untuk menghasilkan androgen dalam jumlah besar, akan
tetapi sekresi FSH sangat ditekan. Kurangnya stimulasi oleh FSH menyebabkan
kegagalan perkembangan folikel, tidak adekuatnya induksi terhadap enzim aromatisasi
yang penting untuk pembentukan estradiol serta menyebabkan kegagalan ovulasi.
B. Kelainan hiperandrogenisme

Hirsutisme
Pada wanita, hirsutisme didefinisikan sebagai adanya rambut terminal yang gelap dan
kasar yang berdistribusi sesuai pola rambut pada laki-laki. Rambut sering terlihat di
atas bibir, dagu, sekeliling puting susu, dan sepanjang linea alba abdomen. Beberapa
pasien dapat mengalami perkembangan karakterisktik seks pria (virilisasi) lainnya
seperti penurunan ukuran dada, suara berat, peningkatan massa otot, pembesaran
klitoris. Untuk menentukan derajat hirsutisme dapat digunakan sistem skoring
Ferriman-Gallwey. Pada sistem ini, distribusi rambut yang abnormal dinilai pada 9
bagian area tubuh dan dinilai dari angka 0-4.

Gambar 6. Distribusi rambut yang abnormal pada hirsutisme

C. Resistensi insulin
Resistensi insulin adalah berkurangnya respons glukosa terhadap insulin. Sindrom
metabolik atau sindrom X juga disebut sindrom resistensi insulin merupakan suatu
kumpulan faktor-faktor resiko yang bertanggung jawab terhadap peningkatan
morbiditas penyakit kardiovaskuler. Pada keadaan resistensi insulin dan obesitas,
komponen utama dari sindrom metabolik adalah:
Hipertensi

130/85 mmHg

Kadar Triglyceride

150 mg/dL

Kadar HDL-kolesterol

50 mg/dL

Obesitas abdominal

Lingkar pinggang 35 inci

Glukosa puasa

110 mg/dL

Banyak mekanisme yang menjelaskan terjadinya resistensi insulin, yaitu resistensi


target jaringan perifer, penurunan pengeluaran hepar atau peningkatan sensitifitas
pancreas. Hiperinsulinemia dapat mencetuskan hipertensi dan meningkatkan resiko
penyakit jantung coroner. Hiperinsulinemia dan sindrom ovarium polikistik juga
berhubungan dengan peningkatan produksi plasminogen activator inhibitor type1 (PAI-1) yang dapat meningkatan resiko penyakit jantung coroner.
Bukti penelitian mengindikasikan wanita dengan SOPK memiliki resistensi insulin
perifer dikarenakan defek pada aktifasi reseptor kinase, khusunya menurunkan tyrosine
autophosphorylasi pada reseptor insulin. Serine phosphorylasi dan threonine residu
pada reseptor insulin menurunkan sinyal transmis dan peningkatan serine
phosphorylasi dapat mengubah transduksi sinyal. Pada keadaan SOPK terjadi
peningkatan serine phosphorylasi.
Kebanyakan pasien dengan diabetes mellitus tidak tergantung insulin memiliki resitensi
insulin perifer, tetapi tidak semua wanita dengan resistensi insulin adalah
hiperandrogen. Terdapat beberapa alasan untuk membuktikan bahwa hiperinsulin
menjadi penyebab hiperandrogen:
1.

Pemberian insulin untuk wanita dengan SOPK meningkatkan beredarnya


androgen

A.

Pemberian glukosa untuk wanita dengan SOPK meningkatkan beredarnya


insulin dan androgen
2.
Penurunan berat badan menurunkan kadar insulin dan androgen
3.
Pada in vitro, insulin menstimulasi produksi androgen pada sel teka
A.
Penelitian dengan mengurangi kadar insulin menurunkan kadar androgen
pada wanita dengan SOPK tidak pada wanita normal
B.
Setelah menormalkan kadar androgen dengan terapi agonis GnRH, respon
hiperinsulin tetap abnormal pada wanita obesitas dengan SOPK
C.
Koreksi hiperandrogenisme dengan terapi kontrasepsi oral, surgical
wedge resection atau kauter laparoskopi tidak mengubah resistensi insulin dan
kadar abnormal lipid.
Kelainan metabolik utama sindrom ovarium polikistik adalah tidak beresponsnya tubuh
terhadap kadar insulin yang normal. Resistensi insulin ini mengakibatkan pankreas
bekerja lebih keras sementara kadar gula yang tidak terolah pun meningkat. Beberapa
penelitian menyimpulkan gangguan metabolisme insulin inilah yang mengakibatkan
wanita penderita sindrom ovarium polikistik terancam mengalami penyakit diabetes
melitus tiga kali lebih besar daripada wanita normal. Selain itu wanita penderita
sindrom ovarium polikistik juga beresiko terkena penyakit jantung yang disebabkan
oleh penyempitan pembuluh darah. Pada sindrom ini juga cenderung menyimpan
lemak dalam tubuhnya sehingga mudah menjadi terjadi obesitas .
DIAGNOSIS SINDROM OVARIUM POLIKISTIK
Diagnosis SOPK menurut konsensus Rotterdam tahun 2003 mengenai sindrom
ovarium polikistik, bahwa kriteria diagnostik untuk SOPK adanya 2 dari 3 keadaan
berikut yaitu:oligomenorrhea atau anovulasi, tandatanda hiperandrogenisme secara klinis maupun biokimia dan ovarium
polikistik dimana keadaan-keadaan tersebut diatas bukan disebabkan oleh
hyperplasia adrenal kongenital, tumor yang mensekresi androgen atau cushing
syndrome.
Tanda hiperandrogenisme jika ditemukan adanya hirsutisme (dengan nilai skore
ferryman-gallwey 8). Pengukuran biokimia hiperandrogenisme ditentukan dengan
serum androgen (testosteron bebas, testosteron total, dehydroepiandrosteron sulfat,
dan androstenedion).
Untuk mendiagnosa adanya SOPK diperlukan juga pemeriksaan-pemeriksaan
penunjang. Sindroma polikistik ovarium merupakan suatu diagnosis eksklusi. Sehingga
pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk mendiagnosis SOPK umumnya adalah
8

10

11

pemeriksaan untuk menyingkirkan adanya penyebab lain yang memberikan gambaran


yang serupa dengan SOPK
Sampel untuk pemeriksaan laboratorium harus diambil saat pagi hari, pada pasien yang
dipuasakan, dan pada wanita dengan menstruasi yang reguler yaitu antara hari ke 5
sampai hari ke 9 dari siklus menstruasinya.
Adanya peningkatan androgen dapat diketahui dengan mengukur kadar testosteran
bebas dan kadar testosteron total atau index androgen bebas. Kadar testosteron bebas
yang meningkat adalah suatu indikator yang sensitif untuk peningkatan hormon
androgen.
Adapun pemeriksaan yang dilakukan untuk menyingkirkan penyakit lain, seperti:

Kadar serum hCG harus diperiksa untuk menyingkirkan kehamilan pada pasien

dengan oligomenorhea atau amenorrhea.


Pasien dengan tumor adrenal atau tumor ovarium yang menghasilkan androgen

dapat juga memberikan gambaran klinis hirsutisme dan amenorrhea. Namun, tumor
ini biasanya sangat progresif, dan pasien dapat memiliki kadar androgen yang tinggi.
Kadar testosteronenya dapat lebih besar dari 150 ng/dL, dan kadar DHEA-S nya
mencapai 800 mcg/dL atau lebih.
Hiperplasia adrenal kongenital dengan onset terlambat oleh karena defisiensi 21-

hydrolase dapat disingkirkan dengan mengukur kadar 17-hydroxyprogesteron serum


setelah tes stimulasi cosyntropin. Kadar 17-hydroxyprogesteron kurang dari 1000
ng/dL, yang diukur 60 menit setelah tes stimulasi cosyntropin, menyingkirkan
adanya hiperplasia adrenal kongenital dengan onset terlambat
Sindroma Cushing dapat disingkirkan dengan memeriksa kadar kortisol bebas

dan kreatinin pada sample urin 24 jam. Kadar kortisol bebas pada urin 24 jam yang
4 kali lipat dari batas normal adalah kadar diagnostik untuk sindroma cushing.
Hiperprolaktinemia dapat disingkirkan dengan memeriksa konsentrasi serum

prolaktin saat puasa.


Oleh karena prevalensi toleransi glukosa terganggu dan diabetes mellitus tipe 2 pada
wanita dengan SOPK, test toleransi 75 gram glukosa dapat dilakukan. Glukosa 2 jam
postprandial kurang dari 140 mg/dL mengindikasikan toleransi glukosa yang normal,
nilai 140-199 mg/dL mengindikasikan adanya toleransi glukosa yang terganggu, dan
nilai 200 mg/dL atau lebih mengindikasikan diabetes mellitus.

Profil lipid saat puasa biasanya abnormal dan menunjukkan adanya kenaikan
trigliserida dan kadar kolesterol lipoprotein berdensitas rendah dan penurunan kadar
HDL-C.
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis adanya SOPK adalah
dengan suatu studi pencitraan yaitu dengan sonografi. Secara histologis polikistik
ovarium tampak sebagai peningkatan volume, jumlah dari folikel matang, ketebalan
stromal korteks. Banyak dari perubahan jaringan ini dapat dilihat melalui sonografi,
dan pemeriksaan sonografis pelvik biasanya digunakan untuk mengevaluasi ovarium
pada wanita dengan kecurigaan SOPK. Sonografi penting pada wanita dengan SOPK
untuk melihat kesuburan dan pada wanita dengan tanda virilisasi.
Kriteria sonografi untuk polikistik ovarii dari konferensi Rotterdam tahun 2003
temasuk kista kecil 12 buah (diameter 2-9 mm) atau peningkatan volume ovarium
(>10mL) atau keduanya. Terkadang ada peningkatan jumlah stroma bersamaan dengan
peningkatan folikel. Hanya satu ovarium dengan penemuan ini cukup untuk
mendefinisikan SOPK. Bagaimanapun juga, kriteria tidak dapat diterapkan pada wanita
yang mengkonsumsi pil kontrasepsi kombinasi.
Lebih lanjut lagi, beberapa konferensi telah menetapkan kriteria diagnostik untuk
menegakkan sindroma polikistik ovarii ini. Seperti sebuah konferensi para ahli pada
tahun 1990 yang disponsori oleh National Institue of Child Health and Human Disease
dari United States National Institutes of Health membuat suatu kriteria diagnosis dari
SOPK, yaitu :
1.

oligo-ovulasi atau anovulasi yang bermanifestasi sebagai oligomenorea dan


amenorrhea.
2.
Hiperandrogenisme (secara klinis ada peningkatan androgen) atau
hiperandrogenemia (secara biokimiawi terdapat peningkatan hormon androgen)
3.
Telah disingkirkannya penyebab-penyebab lain yang dapat menimbulkan
kelainan mestruasi dan hiperandrogenisme.
Ada juga kriteria diagnosis yang direkomendasikan oleh The European Society for
Human Reproduction and Embryology dan The American Society for Reproductive
Medicine . Dimana untuk menegakkan diagnosis SOPK apabila sekurangnya 2 dari
kriteria yang ada terpenuhi. Kriteria diagnosisnya adalah:

1.

oligo-ovulasi atau anovulasi yang bermanifestasi sebagai oligomenorea dan


amenorrhea.
2.
Hiperandrogenisme (secara klinis ada peningkatan androgen) atau
hiperandrogenemia (secara biokimiawi terdapat peningkatan hormon androgen)
3.
Polikistik ovarii ( seperti yang tampak melalui pemeriksaan ultrasonografi.
Polikistik ovarii didefinisikan sebagai adanya 12 atau lebih folikel pada sekurangnya 1
ovarium dengan ukuran diameter 2-9 mm atau volume total ovarium > 10 cm .
TERAPI SINDROM OVARIUM POLIKISTIK
Terdapat beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan ketika mengevaluasi dan
mengobati SOPK. Pengobatan terapi bertujuan, pertama melancarkan siklus haid dan
mengembalikan kesuburan, kedua merubah gangguan metabolik glukosa dan
metabolisme lipid, ketiga mengidealkan berat badan karena kejadiannya berhubungan
dengan kesakitan dan keempat untuk mengatasi aspek psikologis. Pengobatan SOPK
adalah bersifat simptomatis. Merubah gaya hidup adalah terapi utama pada SOPK.
Intolerasi glukosa
Intoleransi glukosa dapat diatur dengan diet dan olahraga, dan pengontrolan berat
badan adalah yang paling tepat. Metformin dapat mengubah sensitifitas insulin dan
metabolisme glukosa dan memperbaiki hiperandrogenisme dan haid yang tidak teratur.
Metformin juga bermanfaat untuk menormalkan lipid. Metformin diberikan pada dosis
yang bervariasi mulai dari 1,5-2,5 mg/hari dibagi dalam 2 atau 3 dosis. Efek samping
ringan yang dialami seperti gejala gangguan sistem pencernaan (mual, rasa logam di
mulut, dan perubahan frekuensi buang air besar) dapat terjadi pada 5-10% kasus, tapi
obat dapat ditoleransi dengan baik jika peningkatan dilakukan secara bertahap.
Komplikasi yang paling ditakutkan adalah asidosis laktat yang untungnya terjadi sangat
jarang dan hampir selalu berhubungan dengan kondisi hipoksia yang menjadi
kontraindikasi terapi dengan metformin.
Infertilitas
Pengobatan terhadap infertilitas akibat gangguan ovulasi terdiri dari bermacam-macam
modalitas. Cara konvensional yang paling sering dilakukan adalah induksi ovulasi
dengan preparat anti estrogen clomiphene citrate (CC). Preparat lain yang juga sering
digunakan termasuk preparat gonadotropin (Human Menopausal Gonadotropin). Cara
bedah untuk memicu ovulasi seperti tusukan elektrokauter pada ovarium
(TEKO)/ovarian drilling dengan laparoskopi juga mulai banyak digunakan karena
diperkirakan angka keberhasilan untuk hamil lebih tinggi dibandingkan dengan terapi
konvensional.
3

12

13

14

Terapi lini utama yang dapat diberikan untuk menginduksi ovulasi dan infertilitas pada
pasien SOPK diantaranya metformin dan CC, dapat diberikan tunggal atau kombinasi.
Clomiphene citrate merupakan estrogen lemah sintetis yang meniru aktivitas antagonis
estrogen bila diberikan pada dosis farmakologi khas untuk induksi ovulasi. Fungsi
hipofise-hipotalamus-ovarium axis diperlukan untuk kerja CC yang tepat. Lebih khusus
lagi, CC diperkirakan dapat mengikat dan memblokir reseptor estrogen di hipotalamus
untuk periode yang lama, sehingga mengurangi umpan balik estrogen normal
hipotalamus-ovarium. Blokade ini meningkatkan jumlah GnRH di beberapa wanita
yang anovulatoir. Peningkatan kadar GnRH menyebabkan peningkatan sekresi hipofise
gonadotropin, yang memperbaiki perkembangan folikel ovarium. Clomiphene
citrate juga dapat mempengaruhi ovulasi melalui tindakan langsung pada hipofisis atau
ovarium. Sayangnya, efek antiestrogen CC pada tingkat endometrium atau serviks
memiliki efek yang merugikan pada kesuburan pada sebagian kecil
individu. Penggunaan CC untuk induksi ovulasi memiliki hasil yang sangat baik.
Bahkan, pada beberapa populasi, 80% hingga 85% wanita akan berovulasi dan 40%
akan hamil.
Metformin adalah suatu biguanide, obat yang paling banyak digunakan sebagai terapi
diabetes tipe II di seluruh dunia. Kerja utamanya adalah untuk menghambat produksi
glukosa hepatik, dan juga meningkatkan sensitivitas jaringan perifer terhadap insulin.
Peningkatan sensitivitas insulin, yang memberikan kontribusi terhadap kemanjuran
metformin dalam terapi diabetes, juga terjadi pada wanita non diabetik dengan sindrom
ovarium polikistik. Pada wanita dengan sindrom ini, terapi jangka panjang dengan
metformin dapat meningkatkan ovulasi, memperbaiki siklus menstruasi, dan
menurunkan kadar androgen serum serta penggunaan metformin juga dapat
memperbaiki hirsutism.
14

DAFTAR PUSTAKA
1.

Winkjosastro, hanifa . Ilmu Kandungan.Jakarta: Yayasan Bina Pustaka


SarwonoPrawirohadjo.2005.
2.
Fairley, hamilton diana, Alison Taylor.2009. Anovulation. BMJ 2009; 327: 546549
3.
Sari, flori ratna. http://sweetnessofsweat.blogspot.com/2010/05/sindromovarium-polikistik-diam-diam.html. 2001

4.

Ahmed, M.I. Naltrexone treatment in clomiphene resistant woman with


polycystic ovary syndrome. Human reproduction 2008; 23(11):2564-2569.
5.
Sherwood, Lauralee .Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta : EGC. 2001
6.
Hadibroto, budi. Sindrom ovarium polikistik. Majalah kedokteran
nusantaraFKUSU.2005. 38(4):333-337
7.
Brassard, maryse. Et all. Basic Infertility Including Polycystic Ovary Syndrom
.Med Clin N Am;2008: 92 : 11631192.
8.
Speroff, L, Frist, MA. 2005. Clinical Gynecplogic Endocrinology And
Infertility.2005;7(2): 493-511. Lippincoth Williams And Wilkins
9.
Cibula D, Cifkova R, Fanta M, et al. Increased risk of non-insulin dependent
diabetes mellitus, arterial hypertension and coronary artery disease in
perimenopausal women with a history of the polycystic ovary syndrome. Hum
Reprod 2000;15(4):785-9.
10.
Aida, hanjalic-beck. et all. Metformin versus acarbose therapy in patients with
polycystic ovary syndrome (PCOS): a prospective randomised double-blind study.
Gynecological Endocrinology. 2010; 26(9): 690697
11.
Lamb JD, Johnstone EB, Rousseau J-A, et al. Physical activity in women with
polycystic ovary syndrome: prevalence, predictors, and positive
12.
Norman RJ, Davies MJ, Lord J, Moran LJ. The role of lifestyle modification in
polycystic ovary syndrome. Trends Endocrinol Metab. 2002;13: 251257.
13.
Nestler JE. Metformin for the treatment of the polycystic ovary syndrome. N Engl
J Med 2008; 358: 4754.
14.
Riesma, viovica. http://riesmaviovica.blogspot.com/2011/10/polycystic-ovarysyndrome-pcos.html. 2011

Anda mungkin juga menyukai