Anda di halaman 1dari 3

Wanita-Wanita Permata Dan Genosida

Gaza
9 Comments
Logika apa yang dipakai oleh agresor Israel yang sampai hati membantai ratusan penduduk
Palestina di Gazza? Alibi kerdil apa yang sampai bisa memasung kepedulian bangsa Arab
untuk sekadar menonton pembantaian massal di Palestina? Sudah terlalu menggunungkah
dosa-dosa kita yang kemudian mengatup nurani untuk melek menyaksikan kejahatan perang
tak termaafkan dalam sejarah itu?
Manusia-manusia Islam yang sudah kehilangan kepedulian saudara-saudaranya di
belahan bumi yang lain itu, hanya kuasa menjerit pilu. Cuma bisa mengerang tak bisa berbuat
apa apa, tatkala suami-suami mereka jatuh tersungkur bermandi darah; ketika bocah-bocah
yang lucu dan menggemaskan itu berteriak kesana-kemari dalam derai kepanikan; manakala
puluhan apartemen usang yang menjadi tempat berteduh keluarga-keluarga malang itu
seketika roboh dihantam peluru raksasa Israel. Yang tersisa adalah gelimpangan mayat, jasad
bocah-bocah suci yang tersenyum tenang, dan puing-puing bangunan yang menyatu ke bumi.
Israel kembali menggunakan logika kematian. Strategi bertaruh nyawa yang tentu
saja membuat bulu kuduk pemimpin-pemimpin Arab merinding. Karena kumpulan orangorang yang mengaku diri mulia dan terhormat itu tidak pernah mengerti bahwa hanya dengan
pertaruhan darah demi membela kemerdekaan sejati, manusia baru bisa mulia lalu
mendapatkan kehormatan abadi. Bukan dengan bersembunyi di balik ketiak kepengecutan,
atau menggelar ratusan pertemuan di meja-meja konferensi OKI, Liga Arab, yang selalu saja
berakhir dengan rekomendasi bualan. Tanpa bukti. Pantas mereka menjadi kurcaci
dihadapkan dengan logika kematian Israel?
Bagi rakyat Palestina sendiri dari dulu hingga sekarang, mereka sudah memahami
bahwa letak krisis Palestina bukan karena Israel yang tak henti-hentinya melakukan
pembunuhan dan perampasan. Masalah kematian bagi mereka tak menjadi soal, sebab
mereka faham bahwa kesucian dan kemuliaan diri itu selalu harus ditebus dengan darah dan
air mata.
Sumber genosida di Gazza adalah sikap pengecut pemimpin-pemimpin Arab dan umat
Islam yang telah kehilangan semangat altruistik. Lelap berselimut egoistis hingga tak lagi
peka akan nilai-nilai humanisme, yang tak lagi menyemat spirit kohesif yang menjadi pilar
kekuatan Islam dan bangsa Arab. Dan, oleh karenanya kita dilindas Israel (Barat) yang sukses
mengaplikasi semangat altruistik dan spirit kohesif! Maka wajar kita kalah.
Kontribusi Wanita Permata
Kenapa Palestina yang tinggal sekerat itu masih tetap bertahan menggelorakan
semangat perlawanan tanpa batas dan tidak lekang dari bumi? Sebab di atas tanah milik umat
Islam itu ada wanita-wanita luar biasa.

Bak permata. Meskipun tak menyimpan permata dan perhiasan mewah. Kemilaunya
memancar dari kepribadian. Wanita yang mungkin tersembunyi, terbenam bersama
perjuangan membina generasi pejuang. Mereka tidak populer, tapi selalu membisikkan spirit
kepahlawanan ke telinga-telinga putera-puteri tercinta. Nak, kehidupan abadi itu di surga.
Kemuliaan itu senantiasa harus ditebus dengan tetes darah dan derai air mata!
Begitulah Ummu Nidhol, wanita permata Palestina yang kerap membisikkan spirit
perjuangan kepada ketiga puteranya. Ia deskripsikan surga di pangkal mata. Ia tak pernah
pacu sang anak untuk merengkuh kehidupan hedonis yang acapkali membinasakan mental
ukhrawi. Ia tak cita-citakan puteranya untuk mengemis harta bertuhankan nafsu. Ia hanya
inginkan buah hatinya masuk surga, dengan berkorbankan darah.
Usai putera ketiganya yang baru berusia 16 tahun syahid dalam drama ledakan
dahsyat di jantung kekuatan Israel, Ummu Nidhol menangis. Ketika ditanya perihal penyebab
ia menangis. Wanita permata itu berkata: Saya tidak punya lagi anak yang bisa saya
persembahkan untuk kemuliaan Palestina!
Lalu Ibunda Muh. Al-Fatih, sang penakluk Konstantinopel tahun 1453 M. Dalam usia
23 tahun, Al-Fatih berhasil memaksa hengkang Raja Constantine XI Paleologus dari
tahtanya. Penaklukan paling fantastis dalam sejarah.
Ibunyalah yang kala masih mengandung Al-Fatih acap berdiri menghadap ke arah
kota Konstantinopel. Ia berharap besar bahwa kelak puteranya yang akan menaklukkan
negeri itu. Mengamini sabda baginda Rasulullah Saw. Kota Konstantinopel akan jatuh ke
tangan umat Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan
pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan. (H.R. Ahmad).
Obsesi mulia wanita permata.
Menegaskan Substansi Krisis
Sekali lagi, memang benar genosida di Gazza saat ini merupakan potret
keangkaramurkaan. Sangat pantas kita kecam kebiadaban Israel bahkan menjadi suatu
keharusan. Tidak kita biarkan penduduk Gazza menahan derita seorang diri. Segera tabuh
genderang reaksi massal untuk hentikan pembantaian itu. Sebelum terlambat. Sebelum
Palestina, seperti kata DR. Raghib Sirjani, akan menjadi Andalusia kedua. Hilang dari peta
dunia.
Tapi, seyogyanya jangan biarkan pemimpin-pemimpin Arab yang duduk santai di
singgahsana apatis itu lepas dari kecaman. Sebab mereka yang paling bertanggungjawab atas
tragedi kemanusiaan yang melanda bumi Palestina. Paksa mereka untuk mengulurkan
bantuan dan membungkam kekejaman Israel, walaupun mungkin hal itu hampir mustahil
mereka lakukan.
Mengapa? Barangkali karena sosok wanita-wanita permata itu hanya ada di Palestina,
hanya pernah ada di masa penaklukan Konstantinopel. Yang ada hanya seorang ibu yang citacitanya hendak mengikuti riak-riak kecil arus modernisme. Meletakkan standar kesuksesan
anak-anak pada wujud materi dan segudang sertifikasi. Seorang isteri yang memaksa suami
berpeluh darah untuk menangkap kebahagiaan semu pada jabatan, pangkat, dan prestise. Pada
ruang-ruang busana temporal yang sering menguap dilahap waktu. Mengapa ibu dan isteri itu
tak membisikkan senandung merdu tentang surga ke telinga-telinga anak dan suami? Kenapa

tak pintal sutera cinta dalam tiap keinginan bahwa ibu dan isteri itu ingin bersama merengguk
kebahagiaan abadi?
Genosida Gazza adalah konsekuensi dari punahnya sistem pendidikan ukhrawi yang
hanya bisa diajarkan oleh wanita-wanita permata. Cukup kita sesalkan karena pemimpinpemimpin Arab itu dilahirkan, dibesarkan, dididik, dan didampingi oleh reinkarnasi wanita
lain.
Harapan itu masih ada. Di Palestina masih banyak wanita permata yang menjamin
eksistensi para pahlawan pembela negeri. Kalau Dunia Arab telah mandul melahirkan wanita
permata, maka Dunia Islam yang membentang dari pangkal Indonesia sampai ke pucuk
Samudera Atlantik di pesisir Afrika Barat, pasti telah bersiap-sedia menjadi wanita-wanita
permata. Untuk melahirkan pemimpin satria sekelas Al-Fatih. Bukan seperti pemimpin Arab
yang kini hanya bisa menonton Genosida di Gazza. [Taryudi]
Taryudi, Kelahiran Purbalingga, 09 Maret 1985. Telah menyelesaikan pendidikan strata satu di
Universitas Al-Azhar Fak. Ushuluddin Jur. Tafsir dan Ilmu Alquran pada Agustus 2008. Saat ini
tengah merampungkan pendidikan magisternya pada civitas yang sama. Alamat District Nasr City,
Cairo. Warga Kisaran, Kab. Asahan Sumatera Utara Medan. Selain kuliah, juga aktif di KAMPUS
KEHIDUPAN di lembaga Kajian Sosial-Politik dan Dunia Islam Studi Informasi Alam Islami (SINAI)
Mesir.
No. kontak : +20163932877/ +2024718593 Email :taryudi_k@yahoo.com

Anda mungkin juga menyukai