Anda di halaman 1dari 3

2.

FARMAKOKINETIK
Didalam respon seorang penderita terhadap suatu obat dapat dipengaruhi oleh 2
faktor penting yaitu Farmakodinamik dan Farmakokinetik, farmakodinamik ini
merupakan bagian ilmu farmakologi yang mempelajari efek fisiologik dan
biokimiawi obat terhadap berbagai jaringan tubuh yang sakit maupun sehat serta
mekanisme kerjanya.
Sedangan farmakokinetik merupakan bagian ilmu farmakologi yang cenderung
mempelajari tentang nasib dan perjalanan obat didalam tubuh dari obat itu
diminum hingga mencapai tempat kerja obat itu. informasi ini digunakan untuk
meramalkan efek perubahan-perubahan dalam takaran,rejimen takaran, rute
pemberian, dan keadaan fisiologi pada penimbunan dan disposisi obat.
Farmakokinetik merupakan ilmu yang mempelajari kinetika absorpsi, distribusi dan
eliminasi ( yakni ekskresi dan metabolisme ) obat pada manusia atau hewan dan
Absorpsi, distribusi, biotransformasi ( metabolisme ) dan eliminasi suatu obatdari
tubuh merupakan proses dinamis yang kontinu dari saat suatu obat dimakan
sampai semua obat tersebut hilang dari tubuh. Laju terjadinya proses-proses ini
mempengaruhi onset, intensitas, dan lamanya kerja obat di dalam tubuh ( Staff
pengajar farmakologi, 2006).
Dalam Farmakokinetik perjalanan obat dari dia diminum sampai mencapai tempat
kerja obat tersebut melewati beberapa fase, diantaranya :
A. Absorpsi
Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke dalam darah.
Bergantunng pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat adalah saluran
cerna ( mulut sampai dengan rectum ), kulit, paru, otot, dan lain-lain. Yang
terpenting adalah cara pemberian obat per oral, dengan cara ini tempat absopsi
utama adalah usus halus karena memiliki permukaan absorpsi yanng sangat luas,
yakni 200 m2 ( panjang 280 cm, diameter 4 cm, disertai dengan villi dan mikrovilli )
( Ganiswara.et.al, 1995).
Absorpsi obat melalui saluran cerna pada umumnya terjadi secara difusi pasif,
karena itu absorpsi mudah terjadi bila obatdalam bentuk non-ion dan mudah larut
dalam lemak. Absorpsi secara transpor aktif terjadi teutama di dalam usus halus
untuk zat-zat makanan : glokusa dan gula lain, asam amino, basa purin, dan
pirimidin, mineral, dan beberapa vitamin. Cara ini juga terjadi untuk obat-obat yang
struktur kimianya mirip struktur zat makanan tersebut. Misalnya levodopa,
metildopa, 6-merkaptopurin, dan 5-flourourasil (Ganiswara.et.al., 1995).
Kebanyakan obat merupakan electrolit lemah, yakni asam lemah atau basa lemah.
Dalam air, elektrolit lemah ini akan terionisasi menjadi bentuk ionnya. Untuk asam
lemah, pH yang tinggi (suasana basa ) akan meningkatkan ionisasinya dan
mengurangi bentuk nonionnya. Sebaliknya untuk basa lemah, pH yang rendah
(suasana asam ) yang akan meningkatkan ionisasinya dan mengurangi nonionnya.
Hanya bentuk nonion yang mempunyai kelarutan lemak, sehingga hanya bentuk
nonion dan bentuk ion berada dalam kesetimbangan, maka setelah bentuk nonion
diabsopsi, kesetimbangan akan bergeser kearah bentuk nonion sehingga absorpsi
akan berjalan terus sampai habis.Zat-zat makanan dan oabt0obat yanng

strukturnya mirip makanan, yang tidak dapat / sukar berdifusi pasif memerlikan
membran agar dapat dapat diabsorpsi dari saluran cerna maupun direabsopsi dari
lumen tubulus ginjal (Ganiswara.et.al., 1995).

Faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi:


-Derajat ionisasi
-Dosis dan waktu pemberian obat
-pH dan pK
-pelarut obat dan bentuk obat
-luas permukaan absorpsi
-aliran darah
-kondisi usus dan kecepatan pengosongan lambung
-interaksi dengan obat lain
B.Distribusi
Setelah diabsorpsi, obat akan didistribusikan ke seluruh tubuh melalui sirkulasi
darah. Selain tergantung dari aliran darah, distribusi obat juga ditentukan oleh sifat
fisikokimianya. Obat yang mudah larut dalam lemak akan melintasi membran sel
dan terdistribusi ke dalam sel, sedangkan obat yang tidak larut dalam lemak akan
sulit menembus membran sel sehingga distribusinya terbatas terutama di cairan
ekstrasel. Distribusi juga dibatasi oleh ikatan obat pada protein plasma, hanya obat
bebas yang dapat berdifusi dan mencapai keseimbangan. Derajat ikatan obat
dengan protein plasma ditentukan oleh afinitas obat terhadap protein, kadar obat,
dan kadar proteinnya sendiri (Ganiswara. et.al.,1995).
Untuk mencapai sel target, suatu obat harus dapat menembus sawar biologic,
dapat berupa membrane yang terdiri atas satu atau beberapa sel. Pada sawar
darah otak, obat-obatan yang larut dalam air sulit melewatinya dan pada sawar
plasenta hanya obat-obatan dengan BM besar (seperti heparin, plasma sekunder)
sukar masuk fetus (Katzung, 1989).
Oleh karena molekul protein plasma cukup besar, maka hanya fraksi obat bebas
saja yang mempunyai arti klinis, karena bagian tersebut yang dapat mencapai
reseptor pada organ sasaran (termasuk bakteri). Protein plasma yang berikatan
dengan molekul obat terutama adalah albumin(A), disamping itu protein lain juga
berperan, misalnya alfa amino globulin (AAG) dan lipoprotein (LP) pada keadaan
tertentu ( Ganiswara.et.al., 1995)
C.Eliminasi Proses eliminasi bertanggung jawab atas durasi atau lamanya obat

berefek dengan cara mengusahakan agar obat dapat segera dikeluarkan dari tubuh,
temasuk ke dalam alat eksresi seperti ginjal, hati dan paru. Agar obat mudah
dieksresi, kadang-kadang obat harus diubah lebih dahulu menjadi senyawa lain
yang bersifat tidak mudah larut dalam lemak baru dieksresi. Proses metabolisme
dan eksresi secara merupakan proses eliminasi (Katzung, 1989).
D.Metabolisme Metabolisme atau biotransformasi obat adalah proses perubahan
struktur perubahan kimia yang tejadi dalam tubuh dan dikatalisis oleh enzim. Pada
poses ini molekul obat diubah menjadi lebih polar (lebih mudah larut dalam air) dan
kurang larut dalam lemak sehingga mudah dieksresi melalui ginjal
(Ganiswara.et.al.,1995).
Kebanyakan obat diubah di hati dalam hati, kadang-kadang dalam ginjal dan lainlain. Kalau fungsi hati tidak baik maka obat yang biasanya diubah dalam hati tidak
mengalami peubahan atau hanya sebagian yang diubah. Hal tesebut menyebabkan
efek obat berlangsung lebih lama dan obat menjadi lebih toxic (Lamid, ).
Metabolisme obat di hepar terganggu oleh adanya zat hepatotoksik atau pada
sirosis hepatis kaena pada keadaan-keadaan tesebut terjadi kerusakan sel parenim
hati serta enzim-enzim metabolismenya. Dalam hal ini dosis obat yang eliminasinya
terutama melalui metabolism di hati harus disesuaikan atau dikurangi. Demikian
juga penurunan alir darah hepar, baik oleh obat maupun gangguan kardiovaskular,
akan mengurangi metabolisme obat di hati (Ganiswara et.al., 1995)
E. Ekskresi
Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk
metabolit hasil biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Obat atau metabolit
yang polar diekskresi lebih cepat daripada obat yang larut baik dalam lemak,
kecuali pada eksresi melaui paru-paru (Ganiswara et.al., 1995).
Ginjal merupakan organ eksresi yang terpenting. Metabolit yang larut dalam air
sukar direabsorpsi oleh tubuli ginjal, sehingga akan dikeluarkan bersama-sama
urine. Sebaliknya, obat yang mudah laut dalam lemak jika sudah berada dalam
tubuli ginjal sebagian besar direabsorpsi oleh tubuli ginjal. Obat yang tidak dapat
difiltasi oleh glomerulus bisa disekresi oleh ginjal melalui sekresi tubulus. Jadi proses
eliminasi oleh ginjal (ekskresi) meupakan hasil dari proses-proses filtrasi
glomerulus, reabsorbsi, dan sekresi tubulus (Lamid, ). Bila fungsi ginjal rusak
sedangkan obat harus dikeluarkan melalui ginjal maka eksresinya tidak sempurna
dan memudahkan terjadinya keracunan . Hasil ekskresi dapat berupa urine, air
ludah, air susu, air mata, keringat dan lain-lain.

Anda mungkin juga menyukai