Penda Hulu An
Penda Hulu An
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai tingkat
kegempaan yang tinggi, hal ini dikarenakan Indonesia merupakan daerah pertemuan
tiga lempeng tektonik benua, yaitu: Lempeng Asia bergerak dari utara ke selatan
tenggara, lempeng Samudera Hindia Australia bergerak dari selatan menuju utara
dan lempeng Pasifik yang bergerak dari timur ke barat. Akibat dari gerakan ketiga
lempeng ini menimbulkan unsur-unsur tektonik lainnya seperti sesar, patahan lokal,
lipatan, tanah turun dan sebagainya. Kondisi ini menjadikan wilayah Indonesia
sebagi daerah tektonik aktif dengan tingkat seismisitas atau kegempaan yang tinggi.
Daerah penelitian berada pada dua zona sesar yaitu Sesar Lembang yang
berarah timur-barat (E-W) dan Sesar Cimandiri yang berarah timur laut-barat daya
(NE-SW). Oleh karena itu, daerah penelitian akan sangat dipengaruhi oleh
kedua zona sesar. Geologi di daerah penelitian, juga dilakukan studi khusus
mengenai longsoran yang dipengaruhi oleh percepatan tanah maksimum yang
diakibatkan oleh adanya gempabumi. Hal ini dilakukan karena banyak
ditemukan
gempabumi Jawa Barat Selatan yang terjadi pada tanggal 2 September 2009.
Longsor yang dipicu oleh adanya gempabumi telah banyak menimbulkan
korban jiwa seperti yang terjadi di Padang Pariaman dan Cianjur. Kedua
longsoran tersebut terjadi beberapa saat setelah terjadinya bencana gempabumi
dengan besar magnitud gempa yaitu 7,6 SR untuk gempa pada Longsoran
Padang Pariaman dan 7,3 SR untuk gempa pada Longsoran Cianjur. Oleh karena itu,
akan sangat menarik sekali jika dapat diketahui hubungan antara gempabumi
dengan potensi longsor yang terjadi di daerah penelitian.
maksimum
tanah
permukaan
atau
peak
ground
Gempabumi
Terhadap
Kestabilan
Lereng
di
Daerah
Gambar 1.1. Peta indeks lokasi daerah penelitian (Sumber gambar: Encarta, 2009)
Keterangan :
: Daerah Penelitian
lereng
yaitu
Selain
sederhana
dan
cepat,
nilai
FK
BAB II
TINJAUAN UMUM
II.1. Fisiografi Regional
Secara fisiografis, daerah Jawa Barat dibagi menjadi empat zona yang berarah
timur- barat (van Bemmelen, 1949). Zona tersebut dari arah utara ke selatan
meliputi:
1) Zona Dataran Pantai Jakarta
2) Zona Antiklinorium Bogor
3) Zona Depresi Tengah Jawa Barat (Zona Bandung)
4) Zona Pegunungan Selatan Jawa Barat
Daerah Penelitian
Keterangan:
Gambar 2.1. Fisiografi Regional Jawa Barat oleh van Bemmelen (1949).
Berdasarkan pembagian zona ini, daerah penelitian termasuk ke dalam
Gunungapi Kuarter yang merupakan bagian dari Zona Depresi Tengah Jawa
Barat (Zona Bandung) seperti yang terlihat pada Gambar 2.1. Gunungapi
Bogor
dari
zaman
Tersier
hingga
Kuarter
terus
mengalami perubahan (Martodjojo, 1984). Cekungan Bogor yang pada kala Eosen
Tengah-Oligosen merupakan cekungan depan busur magmatik, berubah statusnya
menjadi cekungan belakang busur magmatik pada kala Miosen Awal-Pliosen.
Pada rentang waktu Miosen Awal-Miosen Akhir, di Cekungan Bogor terjadi
sedimentasi dengan mekanisme aliran gravitasi. Kemudian pada kala Pliosen,
sebagian dari Cekungan Bogor terangkat menjadi daratan dan merupakan jalur
magmatis, aktivitas volkanisme yang terjadi mengakibatkan adanya endapanendapan gunungapi. Batuan tertua pada mandala ini berumur Eosen Awal yaitu
Formasi Ciletuh. Di bawah formasi ini diendapkan kompleks Melange Ciletuh
yang merupakan olisostrom.
Pada Kala Oligo-Miosen diendapkan Formasi Bayah dan di atasnya
diendapkan secara tidak selaras Formasi Batu Asih dan Formasi Rajamandala
yang merupakan endapan laut dangkal. Kedudukan Cekungan Bogor pada
kala tersebut tidak dapat diidentifikasi dengan jelas. Hadirnya komponen kuarsa
yang dominan pada Formasi Bayah memberikan indikasi bahwa sumber sedimentasi
pada kala tersebut berasal dari daerah yang bersifat granitis, kemungkinan besar
berasal dari Daratan Sunda yang berada di utara. Daerah selatan Sesar
Cimandiri, pada akhir Oligo-Miosen diperkirakan masih berupa lingkungan
darat. Hal ini dibuktikan dengan adanya ketidakselarasan antara sedimen
Oligosen dan Miosen di lepas Pantai Cilacap.
Pada Kala Miosen Awal berlangsung aktivitas gunungapi dengan batuan
bersifat basalt sampai andesit yang berasal dari selatan, dan terendapkan dalam
Cekungan Bogor yang pada kala tersebut merupakan cekungan belakang busur.
Cepatnya penyebaran dan pengendapan rombakan deretan gunungapi ini telah
mematikan
pertumbuhan
volkanik yang dikenal dengan Formasi Jampang dan Formasi Citarum mulai
diendapkan pada lingkungan marin ini. Pada Kala Miosen Tengah, status
Cekungan
Bogor
diendapkannya
masih
merupakan
Formasi
Saguling
cekungan
pada
belakang
lingkungan
laut
busur
dengan
dalam
dengan
mekanisme arus gravitasi. Pada kala akhir Miosen Tengah mulai diendapkan
Formasi Bantargadung yang dicirikan oleh endapan turbidit halus pada kipas laut
dalam. Cekungan Bogor pada kala ini sudah
cekungan
memanjang
yang
mendekati
semakin
sempit
menjadi
suatu
Zona
Bogor
bentuk fisiografi
(Martodjojo, 1984). Pada daerah ini, penurunan merupakan gerak tektonik yang
dominan.
Pada Kala Miosen Akhir, Cekungan Bogor masih merupakan cekungan
belakang busur dengan diendapkannya Formasi Cigadung dan Formasi Cantayan
pada lingkungan laut dalam dengan mekanisme arus gravitasi. Pada Kala Pliosen,
Cekungan Bogor sebagian sudah merupakan daratan yang ditempati oleh puncakpuncak gunungapi yang merupakan jalur magmatis (busur volkanik). Bagian selatan
daerah pegunungan selatan mengalami penurunan dan
genang
laut
yang
gunungapi
dari
Gambar 2.2. Stratigrafi regional Jawa Barat memotong utara-selatan melewati Zona
Bandung oleh Martodjojo (1983 dalam Brahmantyo, 2005). Kotak berwarna
merah adalah posisi daerah penelitian.
Gambar 2.3. Peta geologi regional dan lokasi daerah penelitian yang diambil
sebagian dari Peta Geologi Lembar Cianjur (Sudjatmiko, 1972) pada bagian kiri dan
sebagian dari Peta Geologi Lembar Bandung (Silitonga, 1973) pada bagian kanan.
Gambar 2.4. Pola struktur geologi regional Pulau Jawa (Pulunggono dan Martodjojo,
1994)
Pola Meratus dihasilkan oleh tektonik kompresi berumur Kapur sampai
Paleosen (8052 juta tahun yang lalu). Pola ini terjadi akibat proses tektonik
kompresi yaitu penunjaman Lempeng IndoAustralia yang menunjam ke bawah
Lempeng Eurasia. Arah tumbukan dan penunjaman antara lempeng yang menyudut
menjadi penyebab utama sifat sinistral dari sesar-sesar mendatar Pola Meratus. Di
Pulau Jawa, sesar-sesar ini diaktifkan kembali pada umur-umur yang lebih muda.
Pola Sunda (utara-selatan) dihasilkan oleh tektonik regangan. Fasa
regangan ini disebabkan oleh penurunan kecepatan yang diakibatkan oleh
tumbukan Lempeng India dengan Lempeng Eurasia yang menimbulkan rollback
berumur Eosen-Oligosen Akhir (53-32 juta tahun yang lalu). Pola ini umumnya
terdapat di bagian barat wilayah Jawa Barat dan lepas pantai utara Jawa Barat.
Penunjaman di selatan Jawa yang menerus ke Sumatera menimbulkan
tektonik kompresi yang menghasilkan Pola Jawa. Di Jawa Tengah, hampir
semua sesar di jalur Serayu Utara dan Selatan mempunyai arah yang sama,
yaitu barat-timur. Pola Jawa ini menerus sampai ke Pulau Madura dan di utara
Pulau Lombok.
II.4. Sejarah Geologi
Sejarah geologi daerah penelitian dimulai pada awal Plistosen Akhir
(Kuarter). Dam mengkarakteristikan Zaman Kuarter sebagai zaman dengan
adanya kegiatan vulkanisme yang baru (Dam, 1994). Pada Kala Plistosen, muncul
gunungapi tua atau yang dikenal dengan Gunung Sunda Purba (Dam, 1994). Salah
satu bagian Kompleks Gunung Sunda Purba yang ada di daerah penelitian adalah
Gunung Burangrang, Gunung Dano, dan Gunung
Tangkubanparahu.
Kegiatan
vulkanisme terus aktif dan erupsi dari Gunung Burangrang ini endapannya
menempati kaki Gunung Burangrang itu sendiri berupa breksi piroklastik, lava
andesit dan tuf lapili. Aktifitas vulkanisme yang terus berjalan pada zaman ini
membentuk Sesar Epen dan Sesar Sadangmekar yang memotong Satuan Breksi
Piroklastik Burangrang, Satuan Lava Andesit Burangrang dan Satuan Tuf
Lapili Burangrang di daerah penelitian.
Kegiatan
vulkanisme
terus
berlanjut
dengan
meletusnya
Gunung
Tangkubanparahu dan Gunung Dano (Gunung Dano merupakan gunung parasit pada
Gunung Burangrang). Pada letusan ini diendapkan Satuan Breksi Piroklastik
Dano
dan
Tangkubanparahu
Sesar
Sadangmekar
karena
diendapkan
piroklastik dan arus turbulensi (pyroclastics surge and flow mechanism) sehingga
tidak menerus ke selatan daerah penelitian, sedangkan Satuan Tuf Dano dan
Tangkubanparahu dapat melewati Sesar Sadangmekar ini dan menutupi sebagian
sesar ini karena diendapkan melalui mekanisme jatuhan (pyroclastics fall
mechanism).
10
BAB III
KERAKTERISTIK TANAH DAN PENENTUAN HARGA PHA/PGA
DAERAH PENELITIAN
3.1. LONGSORAN DI DAERAH PENELITIAN
Di daerah penelitian banyak ditemukan kasus longsoran. Empat buah
longsoran dijumpai selama observasi lapangan dan tiga di antaranya dijumpai setelah
terjadinya gempa Jawa Barat Selatan yang terjadi pada tanggal 2 September 2009.
Longsoran-longsoran tersebut dijumpai pada tanah residual yang merupakan hasil
pelapukan Satuan Tuf Lapili Burangrang (Gambar 4.1). Hal ini tentu saja akan
semakin menarik untuk dipelajari tentang kestabilan lereng di daerah penelitian,
khususnya pada tanah residual pelapukan tuf lapili terkait dengan percepatan tanah
maksimum
terbentuk
mekanisme
(peak
akibat
ground
acceleration).
adanya
gempabumi,
Percepatan
baik
yang
tanah
maksimum
bersumber
dari
ini
hasil
Selain itu, gempabumi dapat juga bersumber dari pergerakan sesar baik Sesar
Lembang maupun Sesar Cimandiri yang keduanya berada dekat dengan daerah
penelitian.
11
tanah residual hasil pelapukan tuf lapili. Conto tanah yang diambil
yang
digunakan
agar
tidak
terganggu
(undisturbed
sample).
Gambar 4.2. Proses pengambilan conto dengan menggali bagian sampingnya dan
membentuk kotak pada tanah residual hasil pelapukan tuf lapili (gambar kiri) dan
conto tanah yang sudah dibungkus plastik transparan dan allumunium foil yang
direkatkan oleh perekat (gambar kanan).
3.3. PROPERTI TANAH RESIDUAL
3.3.1 Sifat Fisik
Tipe
residual.
batuan
dasar
Dalam analisis
sangat
mempengaruhi
kestabilan
lereng,
karakteristik
sangatlah
dari
penting
tanah
untuk
mengetahui sifat fisik material penyusunnya (tanah). Sifat fisik tanah yang
perlu diketahui untuk menganalisis kestabilan lereng adalah berat isi. Berat isi
(gr/cm3) merupakan perbandingan antara massa material (gr) terhadap volume
12
material tersebut (cm3). Berat isi menyatakan beban dari suatu material yang akan
mempengaruhi kestabilan suatu lereng. Berat isi suatu material dapat berupa berat
alami, berat kering dan berat jenuh. Dalam analisis kestabilan lereng ini yang dipakai
adalah berat jenuh yang mencerminkan kasus atau masalah terburuk yang mungkin
timbul. Dari hasil pengujian laboratorium, didapat bahwa berat alami untuk
tanah ini adalah 1,59 gr/cm3 dan berat jenuhnya adalah 2,09 gr/cm3
3.3.2 Sifat Mekanik
Selain
sifat
fisik,
sifat
mekanik
suatu
material
juga
sangat
ini
dilakukan dengan memberikan tegangan normal atau normal stress (n) pada
material yang ditambahkan tegangan geser atau shear stress (s) hingga batas
keruntuhan material. Pengujian ini dilakukan di laboratorium karena lebih mudah,
cepat dan efektif. Dari hasil analisis laboratorium diperoleh nilai sudut geser
dalam 65,11 dan nilai kohesi 0,042 kg/cm2 (lihat Lampiran D.2). Dari nilai
sifat fisik dan sifat mekanik yang telah diperoleh seperti densitas, sudut geser
dalam dan kohesi, data ini lebih lanjut akan digunakan untuk analisis
kestabilan lereng dengan menggunakan bantuan perangkat lunak Slide versi 3.0
(Rocscience, 2003).
13
Body Waves
14
waves
15
STASIUN PEMANTAU
Dari gambar diatas terdapat dua buah stasiun pemantau yang memiliki jarak
yang berbeda. Stasiun A lebih dekan dari pusat gempa (focus) dari pada stasiun B.
Pada saat terjadi gempa bumi dengan skala tertentu, akan muncul 3 (tiga) jenis
gelombang yakni : Primary Waves, Secondary Waves, dan Surface Waves. Masing
16
masing gelombang ini akan bergerak menuju arah yang sama dan akhirnya akan di
tangkap/dideteksi oleh masing - masing stasiun pemantau. Ternyata setelah di catat
oleh masing-masing stasiun dan di gabungkan bersama, tampak bahwa ketiga
gelombang tersebut terdeteksi pada waktu yang tidak bersamaan serta besarnya
getaran gelombang yang tercatat cenderung berbeda dari masing - masing
gelombang. Dan juga antar stasiun berlaian waktu saat mencatat masing - masing
gelombang. Dari hasil pencatatan seismograph dapat di gambarkan bentuk
gelombang dari masing-masing stasiun adalah sebagai berikut
Dari gambar diatas terlihat bahwa untuk kedua stasiun terdapat perbedaan
waktu menangkap/mendeteksi adanya gelombang yang merambat. Dari gambar juga
terlihat bahwa terdapat perbedaan waktu pencatatan antara gelombang primer dan
sekunder di kedua stasiun tersebut. Pada stasiun A mencatat adanya gelombang
sekunder setelah perjalanan waktu selama 2 menit setelah terdeteksinya gelombang
17
18
Harga R
Untuk mendapatkan Nilai percepatan puncak horizontal (PHA) atau
percepatan puncak gempa (PGA) terlebih dahulu harus mencari Jarak sumber gempa
yang terdekat dengan daerah penelitian yaitu dengan menggunakan rumus :
19
BAB IV
PENGARUH PERCEPATAN GEMPABUMI TERHADAP KESTABILAN
LERENG PADA TANAH RESIDUAL HASIL PELAPUKAN TUF LAPILI
pada
lereng
dengan
berbagai
variasi
sudut.
Asumsi
yang
homogen, lereng tersebut kontinu, isotropik dan jenis lerengnya adalah lereng
tunggal (single slope).
Bentuk geometri dari lereng dibuat sederhana. Kemiringan lereng
dibuat bervariasi dari sudut 90
hingga 20
20
penyusun
lereng
Gambar 4.3. Model lereng yang digunakan untuk simulasi dengan menggunakan
perangkat lunak Slide versi
3.0 (Rocscience, 2003) dengan bentuk lereng tunggal, adalah sudut lereng dan h
adalah tinggi lereng.
4.1.2. Metode Simulasi
Dengan menggunakan perangkat lunak Slide versi 3.0 (Rocscience,
2003) dilakukan simulasi kestabilan lereng pada tiga kondisi. Pada simulasi awal
(Gambar 4.4), lereng dibuat dalam
kondisi
maksimum
akibat
gempabumi
tidak
adanya
percepatan
tanah
PGA). Simulasi ini dilakukan mulai dari sudut 90 hingga 20 dengan interval
10 dan dicari tinggi lereng (h) pada saat kondisi lereng kritis (FK1) dengan
metode trial dan error. Dalam satu kali penentuan tinggi lereng dengan FK1,
misalnya pada lereng dengan sudut 60, penentuan nilai h ini dapat mencapai 10 kali
simulasi (running software). Setelah didapat nilai tinggi lereng (h), lalu data
tersebut dicatat pada variasi sudut dan nilai tinggi yang didapat dengan nilai
faktor
keamanannya
dan
dilakukan dari sudut 90 hingga 20 dengan kondisi tanpa PGA, selanjutnya simulasi
dilakukan pada kondisi percepatan gempabumi (PGA) dengan nilai 0,15 g dan 0,20
g dengan melakukan hal yang sama seperti pada kondisi tanpa PGA. Lalu
data-data tersebut dicatat dalam bentuk tabel dan hasilnya akan dibuat grafik. Dari
21
grafik ini dapat diketahui seberapa besar pengaruh percepatan gempabumi terhadap
kestabilan lereng.
Tinggi (m)
FK
Model Keruntuhan
90
1.060
Toe Failure
80
1.4
1.012
Toe Failure
70
1.8
1.021
Toe Failure
60
2.5
1.000
Toe Failure
50
3.5
1.008
Toe Failure
40
1.008
Toe Failure
30
20
1.010
Toe Failure
22
20
70
1.024
Toe Failure
23
Gambar 4.4. Grafik hubungan tinggi lereng terhadap sudut lereng yang merupakan
hasil simulasi lereng dengan kondisi tanpa PGA.
Tabel 4.2. Hasil simulasi lereng dengan kondisi adanya PGA 0,15g.
Gambar 4.5. Grafik hubungan tinggi lereng terhadap sudut lereng yang merupakan
hasil simulasi lereng dengan kondisi PGA 0,15g.
Tabel 4.3. Hasil simulasi lereng dengan kondisi adanya PGA 0,20g
Sudut ()
Tinggi (m)
Fk
Model Keruntuhan
24
20
13
90
0.75
1.039
Toe Failure
80
0.9
1.052
Toe Failure
70
1.1
1.044
Toe Failure
60
1.4
1.020
Toe Failure
50
1.8
1.015
Toe Failure
40
2.4
1.013
Toe Failure
30
1.001
Toe Failure
1.01
0
Slope Failure
Gambar 4.6. Grafik hubungan tinggi lereng terhadap sudut lereng yang merupakan
hasil simulasi lereng dengan kondisi PGA 0,20g.
25
yang
ditunjukan
pada
Gambar
4.7.
Penurunan tinggi lereng ini dapat mencapai 40% pada kondisi PGA 0,15g dan
70% pada kondisi PGA 0,20g.
Model grafik ini menggunakan asumsi model lereng yang dibuat yaitu
materialnya homogen, dan jenis lerengnya adalah lereng tunggal (single slope).
Model ini masih belum memperhitungkan kondisi-kondisi yang lain seperti
adanya keheterogenan material (berupa jenis-jenis mineral penyusun, ukuran butir,
bentuk dan pemilahannya),danderajatpelapukan dari tanah itu sendiri. Model
inipun belum memperhitungkan kondisi lingkungan di sekitar lereng seperti
adanya vegetasi, tingkat pelapukan, dan air tanah.
26
Gambar 4.7. Grafik hubungan tinggi lereng dan sudut lereng pada ketiga kondisi
yang menunjukan adanya model penurunan kestabilan lereng yang ditunjukan oleh
penurunan tinggi lereng.
Khusus untuk sudut 10 tidak didapatkan tinggi lereng dengan kondisi
FK1 karena dari simulasi pada sudut tersebut didapatkan hasil yang menunjukkan
bahwa lereng tersebut stabil (tidak ada potensi runtuh) dengan tinggi lereng yang
tidak terbatas (unlimited slope).
yang
kemudian
menghasilkan
percepatan
tanah
yang dapat
mengganggu kestabilan lereng. Dari hasil grafik ini dapat diminimalisir kerugian
akibat longsor yang diakibatkan oleh adanya percepatan gempabumi.
27
BAB V
JADWAL PENYUSUNAN SEMINAR
Dalam penyusunan seminar ini, waktu yang diperlukan penyusun kurang lebih
tiga bulan (Oktober Desember 2015). Dengan tahapan-tahapan sebagai berikut :
tahap persiapan, tahap penyusunan laporan, dan tahap presentasi (lihat tabel 1).
Tabel 1. Jadwal Penyusunan Seminar
WAKTU
NO
TAHAPAN
Tahap Persiapan
- Konsultasi proposal
- Penyusunan
proposal
OKT 2015
III
IV
NOV 2015
MINGGU KE
I
II III IV
DES 2015
II
28
Tahap Penyusunan
Laporan
- Penyusunan draf
- Konsultasi draf
Presentasi
- Pelaksanaan
seminar
- Revisi & penjilidan
BAB VI
RINCIAN BIAYA
Jenis Kebutuhan
Jumlah (Rupiah)
29
1.
2.
3.
150.000,300.000,100.000,550.000,-
DAFTAR PUSTAKA
Brahmantyo, B., 2005. Geologi Cekungan Bandung. Bandung: Penerbit ITB
Brahmantyo, B., dan Bandono., 2006. Klasifikasi Bentuk Muka Bumi
Landform) Untuk Pemetaan Geomorfologi Pada Skala 1:25.000 dan
Aplikasinya untuk Pemetaan Ruang, Jurnal Geoaplika, Volume I, No.
2, hal. 071- 078.
Hardiyatmo, H. C., 2006. Penanganan Tanah Longsor dan Erosi; Edisi
pertama. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
IAGI., 1996. Sandi Stratigrafi Indonesia. Komisi Sandi Stratigrafi
Indonesia, Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI).
30
Martodjojo, S., 1984. Evolusi Cekungan Bogor, Jawa Barat. Bandung: Penerbit
ITB.
Silitonga, P. H., 1973. Peta Geologi Lembar Bandung, Jawa Barat, Skala 1 :
100.000.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
SNI 03-1726-2002, 2002. Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk
Banguan
Gedung, Badan Standarisasi Nasional Indonesia.
Sudjatmiko., 1972. Peta Geologi Lembar Cianjur, Jawa Barat, Skala 1 :
100.000.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
31