Antivirus Hervers
2.
Anti Retrovirus
3.
Antivirus Influenza
1)
Antivirus hervers
a. Acyclovir
Acyclovir merupakan obat antivirus yang paling banyak digunakan karena efektif
terhadap virus herpers. Mekanisme kerja dari Acyclovir, suatu analog guanosin yang
tidak mempunyai gugus glukosa, mengalami monofosforilasi dalam sel oleh enzim
yang di kode hervers virus, timidinkinase. Karena itu, sel-sel yang di infeksi virus
Gancyclovir
Famcyclovir
Trifluridin
Foskarnet
Tidak seperti kebanyakan obat antivirus lainnya, foskarnet bukan analog purin atau
pirimidin, obat ini adalah fosfonoformat, suatu derivate pirofosfat. Meskipun
aktivitas antivirus invitro cukup luas, disetujui hanya sebagai pengobatan retinitis
sitomegalic pada pasien penderita HIV dengan tanggap imun yang lemah terytama
jika infeksi tersebut resisiten terhadap gancyclovir. Foskarnet bekerja dengan
menghamabat polimerese DNA & RNA secara reversible, yang mengakhiri elongasi
rantai. Mutasi struktur polymerase menyebabkan resistensi virus. Foskarnet sukar
diabsorpsi peroral harus disuntikan intravena, dan perlu diberikan berulang untuk
menghindari relaps jika kadarnya turun. Tersebar merata di seluruh tubuh. Lebih
dari 10% masuk matriks tulang yang secara lambat dilepaskan. Obat asli
dikeluarkan oleh glamerolus dan sekresi tubular masuk urine.
Efek samping dari foskarnet adalah nefrotoksisitas, anemia, mual dan demam.
Karena kelasi dengan kation divalent, hipokalsemia, hipomagnesemia juga terjadi
selain itu hipokalemia, hipofospatemia, kejang, dan aretmia juga pernah dilaporkan.
2)
Anti Retrovirus
Nukleusidereversetranscriptaseinhhibiror (NRTI)
b)
NNRTI (nonneokleosidereversetranscriptaseinhibitor)
c)
Proteaseinhibitor (PI)
a)
Zidovudin
2) Didanosin
Mekanisme kerja dari didanosin adalah Obat ini bekerja pada HIV RT dengan cara
menghentikan pembentukan rantai DNA virus. Resistensi dari didanosin adalah
resistensi terhadap didanosin disebabkan oleh mutasi pada reversetranscriptase.
Spektrum aktivitas dari didanosin adalah HIV (1 & 2).
Indikasi dari didanosin adalah Infeksi HIV, terutama infeksi HIV tingkat lanjut, dalam
kombinasi anti HIV lainnya. Farmakokinetik dari didanosin adalah karena sifat
asamnya, didanosin diberikan sebagai tablet kunyah, buffer atau dalam larutan
buffer. Absorpsi cukup baik jika diminum dalam keadaan puasa, karena makanan
menyebabkan absorpsi kurang. Obat masuk system saraf pusat tetapi kurang dari
AZT. Sekitar 55% obat diekskresi dalam urine.
Dosis dari didanosin adalah tablet dan kapsul salut entericperoral 400 mg/hari
dalam dosis tunggal atau terbagi. Efek samping dari didanosin adalah diare,
pancreatitis, neuripati perifer.
3)
Zalsitabin
Mekanisme kerja dari zalsitabin adalah obat ini bekerja pada HIV RT dengan cara
menghentikan pembentukan rantai DNA virus. Resistensi dari zalsitabin adalah
resistensi terhadap zalsitabin disebakan oleh mutasi pada reversetranscriptase.
Dilaporkan ada resisitensi silang dengan lamivudin. Spektrum aktivitas dari
zalsitabin adalah HIV (1 & 2).
Indikasi dari zalsitabin adalah Infeksi HIV, terutama pada pasien HIV dewasa tingkat
lanjut yang tidak responsive terhadap zidovudin dalam kombinasi dengan anti HIV
lainnya (bukan zidanudin).
Farmakokinetik dari zalsitabin adalah zalsitabin mudah diabsorpsi oral, tetapi
makanan atau MALOX TC akan menghambat absorpsi didistribusi obat ke seluruh
tubuh tetapi penetrasi ke ssp lebih rendah dari yang diperoleh dari AZT. Sebagai
obat dimetabolisme menjadi DITEOKSIURIDIN yang inaktif. Urin adalah jalan
ekskresi utama meskipun eliminasi pekal bersama metabolitnya.
Dosis dari zalsitabin adalah Diberikan peroral 2,25 mg / hari(1 tablet 0,75 mg tiap 8
jam). Efek samping dari zalsitabin adalah neuropati perifer, stomatitis, ruam dan
pancreatitis.
4)
Stavudin
Mekanisme kerja dari stavudin adalah obat ini bekerja pada HIV RT dengan cara
menghentikan pembentukkan rantai DNA virus. Resistensi dari stavudin adalah
disebabkan mutasi pada RT kodon 75 dan kodon 50. Spektrum aktivitas dari
stavudin adalah HIV tipe 1 dan 2. Indikasi dari stavudin adalah Infeksi HIV terutama
HIV tingkat lanjut, dikombinasikan dengan anti HIV lainnya.
Farmakokinetik dari stavudin adalah Stavudin adalah analog timidin dengan ikatan
rangkap antara karbon 2 dan 3 dari gula.Stavudin harus diubah oleh
kinaseintraselular menjadi triposfat yang menghambat transcriptasereverse dan
menghentikan rantai DNA. Dosis dari stavudin adalah per oral 80 mg/hari (1 kapsul
40 mg, setiap 12 jam). Efek samping dari stavudin adalah neuropatiperiver, sakit
kepala, mual, ruam.
5)
Lamivudin
Mekanisme kerja dari lamivudin adalah Obat ini bekerja pada HIV RT dan HBV RT
dengan cara menghentikan pembentukan rantai DNA virus. Resistensi dari
lamivudin adalah disebabkan pada RT kodon 184. Terdapat laporan adanya
resistensi silang dengan didanosin dan zalsitabin. Spektrum aktivitas dari lamivudin
adalah HIV ( tipe 1 dan 2 ) dan HBV. Indikasi dari lamivudin adalah Infeksi HIV dan
HBV, untuk infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lainnya (seperti
zidovudin,abakavir).
Farmakokinetik dari lamivudin adalah ketersediaan hayati lamivudin per oral cukup
baik dan bergantung pada ekskresi ginjal. Dosis dari lamivudin adalah per oral 300
mg/ hari ( 1 tablet 150 mg, 2x sehari atau 1 tablet 300 mg 1x sehari ). Untuk terapi
HIV lamivudin, dapat dikombinasikan dengan zidovudin atau abakavir. Efek samping
dari lamivudin adalah sakit kepala dan mual.
6)
Emtrisitabin
Mekanisme kerja dari emtrisitabin adalah merupakan derivate 5fluorinatedlamivudin. Obat ini diubah ke bentuk triposfat oleh ensim selular.
Mekanisme kerja selanjutnya sama dengan lamivudin. Resistensi dari emtrisitabin
adalah resistensi silang antara lamivudin dan emtrisitabin. Indikasi dari emtrisitabin
adalah Infeksi HIV dan HBV. Dosis dari emtrisitabin adalah per oral 1x sehari 200 mg
kapsul. Efek samping dari emtrisitabin adalah nyeri abdomen, diare, sakit kepala,
mual dan ruam.
7)
Abakavir
Mekanisme kerja dari abakavir adalah bekerja pada HIV RT dengan cara
menghentikan pembentukan rantai DNA virus. Resistensi dari abakavir adalah
disebabkan mutasi pada RT kodon 184,65,74 dan 115. Spektrum aktivitas dari
abakavir adalah HIV ( tipe 1 dan 2 ). Indikasi dari abakavir adalah Infeksi HIV. Dosis
dari abakavir adalah per oral 600mg/hari (2 tablet 300 mg). Efek samping dari
abakavir adalah mual ,muntah, diare, reaksi hipersensitif (demam, malaise, ruam),
ganguan gastrointestinal.
b)
1)
Nevirapin
Mekanisme kerja dari nevirapin adalah Bekerja pada situs alosterik tempat ikatan
nonsubtract HIV-1 RT. Resistensi dari nevirapin adalah disebabkan oleh mutasi pada
RT. Spektrum aktivitas dari nevirapin adalah HIV ( tipe 1 ). Indikasi dari nevirapin
adalah infeksi HIV-1 dalam kombinasi dengan anti-HIV,lainnya terutama NRTI.
Dosis dari nevirapin adalah per oral 200mg /hari selama 14 hari pertama (satu
tablet 200mg per hari), kemudian 400mg / hari (2 x 200 mg tablet). Efek samping
dari nevirapin adalah ruam, demam, fatigue, sakit kepala, somnolens dan
peningkatan enzim hati.
2)
Delavirdin
Mekanisme kerja dari delavirdin adalah sama dengan devirapin. Resistensi dari
delavirdin adalah disebabkan oleh mutasi pada RT. Tidak ada resistensi silang
dengan nefirapin dan efavirens. Spektrum aktivitas dari delavirdin adalah HIV tipe 1.
Indikasi dari delavirdin adalah Infeksi HIV-1, dikombinasi dengan anti HIV lainnya
terutama NRTI. Dosis dari delavirdin adalah per oral 1200mg / hari ( 2 tablet 200mg
3 x sehari ) dan tersedia dalam bentuk tablet 100mg. Efek samping dari delavirdin
adalah Ruam, penningkatan tes fungsi hati, menyebabkan neutropenia.
c)
Protease Inhibitor ( PI )
Semua PI bekerja dengan cara berikatan secara reversible dengan situs aktif HIV
protease. HIV-protease sangat penting untuk infektivitas virus dan
penglepasanpoliprotein virus. Hal ini menyebabkan terhambatnya penglepasan
polipeptida prekusor virus oleh enzim protease sehingga dapat menghambat
maturasi virus, maka sel akan menghasilkan partikel virus yang imatur dan tidak
virulen.
1)
Sakuinavir
Mekanisme kerja dari sakuinavir adalah sakuinavir bekerja pada tahap transisi
merupakan HIV proteasepeptidomimeticinhibitor. Resistensi dari sakuinavir adalah
terhadap sakuinavir disebabkan oleh mutasi pada enzim protease terjadi resistensi
silang dengan PI lainnya. Spektrum aktivitas dari sakuinavir adalah HIV (1 & 2)
Indikasi dari sakuinavir adalah Infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lain
(NRTI dan beberapa PI seperti ritonavir).
Dosis dari sakuinavir adalah per oral 3600mg / hari (6 kapsul 200mg soft kapsul 3 X
sehari) atau 1800mg / hari (3 hard gel capsule 3 X sehari), diberikan bersama
dengan makanan atau sampai dengan 2 jam setelah makan lengkap. Efek samping
dari sakuinavir adalah diare, mual, nyeri pada abdomen.
2)
Ritonavir
Mekanisme kerja dari ritonavir adalah sama dengan sakuinavir. Resistensi dari
ritonavir adalah terhadap ritonavir disebabkan oleh mutasi awal pada
proteasekodon 82. Spektrum aktivitas dari ritonavir adalah HIV (1 & 2 ). Indikasi :
Infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lainnya (NRTI dan PI seperti sakuinavir
). Dosis dari ritonavir adalah per oral 1200mg / hari (6 kapsul 100mg, 2 X sehari
bersama dengan makanan ). Efek samping dari ritonavir adalah mual, muntah , dan
diare.
3)
a)
Amantadin dan rimantadin memiliki mekanisme kerja yang sama. Efikasi keduanya
terbatas hanya pada influenza A saja.
Mekanisme kerja dari Amanatadin dan rimantadin adalah Amanatadin dan
rimantadin merupakan antivirus yang bekerja pada protein M2 virus, suatu kanal ion
transmembran yang diaktivasi oleh pH. Kanal M2 merupakan pintu masuk ion ke
virion selama proses uncoating. Hal ini menyebabkan destabilisasi ikatan protein
serta proses transport DNA virus ke nucleus. Selain itu, fluks kanal ion M2 mengatur
pH kompartemen intraseluler, terutama aparatus Golgi.
Resistensi dari Amanatadin dan rimantadin adalah Influenza A yang resisten
terhadap amantadin dan rimantidin belum merupakan masalah klinik, meskipun
beberapa isolate virus telah menunjukkan tingginya angka terjadinya resistensi
tersebut. Resistensi ini disebabkan perubahan satu asam amino dari matriks protein
M2, resistensi silang terjadi antara kedua obat.
Indikasi dari Amanatadin dan rimantadin adalah pencegahan dan terapi awal infeksi
virus influenza A (Amantadin juga diindikasi untuk terapi penyakit Parkinson).
Farmakokinetik dari Amanatadin dan rimantadin adalah kedua obat mudah
diabsorbsi oral. Amantadin tersebar ke seluruh tubuh dab mudah menembus ke SSP.
Rimantadin tidak dapat melintasi sawardarah-otak sejumlah yang sama. Amantadin
tidak dimetabolisme secara luas. Dikeluarkan melalui urine dan dapat menumpuk
sampai batas toksik pada pasien gagal ginjal. Rimantadindimetabolisme seluruhnya
oleh hati. Metabolit dan obat asli dikeluarkan oleh ginjal.
Dosis dari Amanatadin dan rimantadin adalah Amantadin dan rimantadin tersedia
dalam bentuk tablet dan sirup untuk penggunaan oral. Amantadin diberikan dalam
dosis 200 mg per hari ( 2 x 100 mg kapsul ). Rimantadin diberikan dalam dosis 300
mg per hari ( 2 x sehari 150 mg tablet). Dosis amantadin harus diturunkan pada
pasien dengan insufisiensirenal, namun rimantadin hanya perlu diturunkan pada
pasien dengan klirenskreatinin 10 ml/menit.
Efek samping dari Amanatadin dan rimantadin adalah efek samping SSP seperti
kegelisahan, kesulitan berkonsentrasi, insomnia, hilang nafsu makan. Rimantadin
menyebabkan reaksi SSP lebih sedikit karena tidak banyak melintasi sawar otak
darah. Efek neurotoksikamantadin meningkat jika diberikan bersamaan dengan
antihistamin dan obat antikolinergik/psikotropik, terutama pada usia lanjut.
b)
Merupakan obat amtivirus dengan mekanisme kerja yang sam terhadap virus
influenza A dan B. Keduanya merupakan inhibitor neuraminidase yaitu analog asam
N-asetilneuraminat ( reseptor permukaan sel virus influenza ), dan desain struktur
keduanya didasarkan pada struktur neuraminidasevirion.
Mekanisme kerjanya adalah Asam N-asetilneuraminat merupakan komponen
mukoprotein pada sekresi respirasi, virus berikatan pada mucus, namun yang
menyebabkan penetrasi virus ke permukaan sel adalah aktivitas enzim
neuraminidase. Hambatan terhadap neuraminidase mencegah terjadinya infeksi.
Neuraminidase juga untuk penglepasan virus yang optimaldari sel yang terinfeksi,
yang meningkatkan penyebaran virus dan intensitas infeksi. Hambatan
neuraminidase menurunkan kemungkinan berkembangnya influenza dan
menurunkan tingkat keparahan, jika penyakitnya berkembang.
Resistensi menyebabkan adanya hambatan ikatan pada obat dan pada hambatan
aktivitas enzim neuraminidase. Dapat juga disebabkan oleh penurunan afinitas
ikatan reseptor hemagglutinin sehingga aktivitas neuraminidase tidak memiliki efek
pada penglepasan virus pada sel yang terinfeksi. Indikasinya yaitu terapi dan
pencegahan infeksi virus influenza A dan Dosis yang dipakai Zanamivir diberikan
per inhalasi dengan dosis 20 mg per hari (2 x 5 mg, setiap 12 jam) selama 5 hari.
Oseltamivir diberikan per oral dengan dosis 150 mg per hari (2 x 75 mg kapsul,
setiap 12 jam) selama 15 hari. Terapi dengan zanamivir/oseltamivir dapat diberikan
seawal mungkin, dalam waktu 48 jam, setelah onset gejala.
Efek samping dari obat ini adalah pada terapi zanamivir mengakibatkan gejala
saluran nafas dan gejala saluran cerna, dapat menimbulkan batuk, bronkospasme
dan penurunan fungsi paru reversibel pada beberapa pasien. Terapi oseltamivir
mengakibatkan mual, muntah, nyeri abdomen , sakit kepala.
c)
Ribavirin
Ribavirin merupakan analog sintetik guanosin, efektif terhadap virus RNA dan DNA.
Mekanisme kerja dari ribavirin adalah ribavirin merupakan analog guanosin yang
cincin purinnya tidak lengkap. Setelah mengalami fosforilasiintrasel,
ribavirintrifosfat mengganggu tahap awal transkripsi virus, seperti proses capping
dan elongasim RNA serta menghambat sintesis ribonukleoprotein.
Resistensi dari ribavirin adalah hingga saat ini belum ada catatan mengenai
resistensi terhadap ribavirin, namun pada percobaan diLaboratorium menggunakan
sel, terdapat sel-sel yang tidak dapat mengubah ribavirin menjadi bentuk aktifnya.
Spektrum aktivitas dari ribavirin adalah virus DNA dan RNA, khusunya
orthomyxovirus (influenza A dan B), para myxovirus ( cacar air, respiratory syncytial
virus (RSV) dan arenavirus (Lassa, Junin,dll).
Indikasi dari ribavirin adalah terapi infeksi RSV pada bayi dengan resiko tinggi.
Ribavirin digunakan dalam kombinasi dengan interferon-/ pegylatedinterferon
untuk terapi infeksi hepatitis C.
Farmakokinetik dari ribavirin adalah ribavirin infektif diberikan per oral dan
intravena. Terakhir digunakan sebagai aerosol untuk kondisi infeksivirus pernapasan
tertemtu, seperti pengobatan infeksi RSV. Penelitian distribusi obat pada primate
menunjukkan retensi dalam semua jaringan otak. Obat dan metabolitnya
dikeluarkan dalam urine. Dosis dari ribavirin adalah per oral dalam dosis 800-1200
mg per hari untuk terapi infeksi HCV/ dalam bentuk aerosol (larutan 20 mg/ml).
Efek samping dari ribavirin adalah pada penggunaan oral / suntikan ribavirin
termasuk anemia tergantung dosis pada penderita demam Lassa. Peningkatan
bilirubin juga telah dilaporkan Aerosol dapat lebih aman meskipun fungsi
pernapasan pada bayi dapat memburuk cepat setelah permulaan pengobatan
aerosoldan karena itu monitoring sangat perlu. Karena terdapat efek
teratogenikpada hewan percobaan, ribavirin dikontraindikasikan pada kehamilan.
http://febyrianty.blogspot.co.id/2011/03/farmakologi.html
Tuberculosis (TB) adalah penyakit infeksi yang membunuh sekitar 2 juta orang
setiap tahunnya. Multidrug-resistant (MDR) tuberculosis disebabkan oleh adanya
konvensi strain Mycobacterium tuberculosis yang resisten terhadap isoniazid (INH)
dan rifampisin yang merupakan tulang punggung dalam terapi tuberculosis. MDR
Dalam sebuah presentasinya pada tanggal 24 Maret 1882, Robert Koch menyatakan
bahwa TB merupakan sebuah penyakit yang pada abad 19 menyebabkan kematian
pada sekitar 25% dari semua kematian di Massachusetts dan New York serta
menewaskan sekitar seperempat penduduk Eropa. Koch meringkas sejumlah
penemuan-penemuan pentingnya dalam sebuah naskah yang
dipublikasikan Berliner Klinische Wochenschrift, sehingga dia memenangkan Nobel
pada tahun 1905.
Tahun 1951 isonicotinic acid hydrazide (isoniazid) atau yang sering disingkat
dengan istilah INH diuji dan dinyatakan efektif sehingga segera diperkenalkan dan
dipergunakan secara luas dimasyarakat. Penemuan INH kemudian diikuti dengan
penemuan-penemuan agen baru yaitu pirazinamid pada tahun 1952, cycloserine
(1952), ethionamide (1956), rifampin (1957), dan ethambutol (1962).
Dengan tingkat efikasi yang memadai dan cara pemberian obat yang mudah,
penemuan rifampisin telah merevolusi metode terapi TB. Namun setiap penemuan
anti-TB baru selalu diikuti dengan pemilihan mutasi resistensi untuk agen tersebut.
Resistensi terhadap rifampisin segera diamati sejak pertama kali agen tersebut
digunakan.
Resistensi obat, merupakan suatu kondisi yang menantang yang selalu memerlukan
penelitian. TB baik yang disebabkan oleh strain yang rentan terhadap obat maupun
yang resisten terhadap obat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti kemiskinan,
gizi buruk, dan pemukiman kumuh.
Anti tuberculosis adalah obat-obat atau kombinasi obat yang diberikan dalam
jangka waktu tertentu untuk mengobati penderita tuberkulosis.
Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan
oleh Mycobacterium tuberkulosis, yang pada umumnya dimulai dengan membentuk
benjolan-benjolan kecil di paru-paru dan ditularkan lewat organ pernafasan. Kuman
TBC pertama kali ditemukan oleh dr Roberet Koch (1882).
Selain paru-paru, organ tubuh lain yang dapat dijangkiti kuman TBC adalah
kelenjar, tulang, ginjal, kulit dan otak. Sampai saat ini di Indonesia penyakit TBC
masih merupakan penyakit rakyat yang banyak mengambil korban, hal ini
disebabkan:
Kebersihan/hygiene
Penularan TBC dapat dihindari dengan cara menggunakan desinfektan pada sapu
tangan atau barang-barang yang digunakan, dan mengusahakan agar ruangan
tempat penderita mempunyai ventilasi yang baik.
Cara pencegahan TBC adalah dengan memberikan vaksinasi sedini mungkin
pada bayi-bayi yang baru lahir. Vaksin yang digunakan adalah vaksin BCG (Basil
Calmette Guerin). Untuk menentukan seseorang terinfeksi oleh basil TBC atau tidak
biasanya dilakukan dengan reaksi Mantoux , yaitu penyuntikan yang dilakukan
dilengan atas dengan tuberkulin (filtrat dari pembiakan basil TBC). Bila ditempat
penyuntikan tidak timbul bengkak merah berarti orang tersebut tidak terinfeksi
TBC.
Pengobatan
Sebelum ditemukan obat-obat yang dapat memusnahkan penyebab penyakit,
bentuk pengobatan terbatas pada terapi simptomatis seperti mengurangi batuk dan
menghilangkan demam, istirahat total di sanatorium dan diet makanan bergizi yang
kaya lemak dan vitamin A.
Obat TBC yang pertama kali ditemukan adalah streptomisin, disusul
kemudian dengan PAS dan INH. Sampai tahun 1970-an kombinasi standar untuk
pengobatan TBC menggunakan ketiga obat di atas. Sesudah tahun 1970 kombinasi
standar untuk TBC menjadi INH, ethambutol dan rifampisin.
Dengan pengobatan modern, setelah 4 sampai 6 minggu pasien bebas
bermasyarakat seperti biasa karena tidak lagi menularkan kuman TBC. Basil TBC
terkenal sangat ulet dan sulit ditembus zat kimia (obat) karena dinding sel bakteri
mengandung banyak lemak dan lilin (wax), sehingga pengobatan TBC memerlukan
periode waktu yang cukup lama .
Tujuan pengobatan kombinasi :
Mencegah resistensi
2.
TB Paru yang test sputum dengan hasil BTA (-) dan foto toraks (+)
3.
2HRZE/4H3R3
2HRZE/4HR
2HRZE/6HE
Kategori II
Penyakit Tb yang tergolong dalam kategori II adalah :
1.
Pasien kambuh
2.
3.
2RHZES/RHZE/5H3R3
2HRZES/HRZE/5HRE
Kategori III
2.
2 RHZ/4RH
2HRZ/4H3R3
2HRZ/6HE
Kategori IV
Pasien yang termasuk dalam kategori IV adalah :
Kasus kronik, OAT yang diberikan pada pasien ini adalah : RHZES / sesuai hasil uji
resistensi (Minimal OAT yang sensitif ) + OBAT LINI 2 MINIMAL T/ 18 bulan.
MDR TB (multidrug resistant TB ) , pengobatan yang diberikan pada pasien ini
adalah : sesuai uji resistensi + OAT LINI 2 atau ( H ) seumur hidup.
Efek Samping Obat Anti Tuberculosis ( OAT )
Rimfapisin ( R ), efek sampingnya adalah : air kencing berwarna merah, mual, sakit
perut, Kelainan sistemik, termasuk, syok, hepatitis dan purpura.
Pyrazinamid ( Z ), efek sampingnya adalah : nyeri pada dada.
Etambutol ( E ), efek sampingnya adalah : gangguan penglihatan.
Isoniazin ( H ), efek sampingnya adalah : rasa kesemutan sampai rasa seperti
terbakar pada kaki, hepatitis, neurotis perifer
Streptomisin ( S ), efek sampingnya adalah : ototoksik,reaksi hipersensitiv,
nefrotoksik, Gangguan keseimbangan (vertigo & nistagmus ), tuli.
Pengobatan yang efektif terhadap penyakit kusta ditemukan pada akir 1940-an
dengan diperkenalkannya dapson dan derivatnya. Bagaimanapun juga, bakteri
penyebab lepra secara bertahap menjadi kebal terhadap dapson dan menjadi kian
menyebar. Hal ini terjadi hingga ditemukannya pengobatan multiobat pada awal
1980-an dan penyakit ini pun mampu ditangani kembali.
Pada 1985, kusta masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di 122 negara.
Pada Pertemuan Kesehatan Dunia (WHA) ke-44 di Jenewa, 1991, disetujui resolusi
untuk menghapus kusta sebagai masalah kesehatan masyarakat pada tahun 2000,
dan berusaha untuk ditekan menjadi 1 kasus per 100.000. WHO diberikan mandat
untuk mengembangkan strategi penghapusan kusta.
Obat terapi multiobat kusta.Sejak 1995, WHO memberikan paket obat terapi kusta
secara gratis pada negara endemik, melalui Kementrian Kesehatan. Strategi ini
akan bejalan hingga akhir 2010. Pengobatan multiobat masih efektif dan pasien
tidak lagi terinfeksi pada pemakaian bulan pertama. Cara ini aman dan mudah.
Jangka waktu pemakaian telah tercantum pada kemasan obat.
Hingga saat ini tidak ada vaksinasi untuk penyakit kusta. Dari hasil penelitian
dibuktikan bahwa kuman kusta yang masih utuh bentuknya, lebih besar
kemungkinan menimbulkan penularan dibandingkan dengan yang tidak utuh. Jadi
faktor pengobatan adalah amat penting dimana kusta dapat dihancurkan, sehingga
penularan dapat dicegah.
Lepra atau kusta adalah suatu infeksi kronis yang terutama merusak jaringanjaringan saraf. Pembangkitnya Mycobacterium leprae ditemukan oleh dokter
Norwegia Hansen (1873), memiliki sifat-sifat yang mirip dengan basil TBC, yaitu
sangat ulet karena mengandung banyak lemak dan lilin yang sukar ditembusi obat,
juga pertumbuhannya lambat sekali setelah waktu inkubasi yang lama, lebih kurang
satu tahun.
Di Indonesia terdapat kurang lebih 100.000 pasien lepra yang diobati di
sejumlah rumah sakit khusus (Leproseri) yang diawasi oleh Lembaga Kusta
Departemen Kesehatan.
Pencegahan
Tes Lepromin adalah suatu injeksi intrakutan dari suspensi jaringan lepra dan
digunakan untuk menetapkan apakah seseorang memiliki daya tangkis cukup
terhadap lepra bentuk L. Hasil tes negatif berarti orang tersebut sangat peka
untuk infeksi dengan bentuk tersebut.
Sampai pengembangan dapson, rifampin, dan klofazimin pada 1940an, tidak ada
pengobatan yang efektif untuk kusta. Namun, dapson hanyalah obat bakterisidal
(pembasmi bakteri) yang lemah terhadap M. leprae. Penggunaan tunggal dapson
menyebabkan populasi bakteri menjadi kebal. {ada 1960an, dapson tidak
digunakan lagi. Pencarian terhadap obat anti kusta yang lebih baik dari dapson,
akhirnya menemukan klofazimin dan rifampisin pada 1960an dan 1970an.
Kemudian, Shantaram Yawalkar dan rekannya merumuskan terapi kombinasi
dengan rifampisin dan dapson, untuk mengakali kekebalan bakteri. Terapi multiobat
dan kombinasi tiga obat di atas pertama kali direkomendasi oleh Panitia Ahli WHO
pada 1981. Cara ini menjadi standar pengobatan multiobat. Tiga obat ini tidak
digunakan sebagai obat tunggal untuk mencegah kekebalan atau resistensi bakteri.
Terapi di atas lumayan mahal, maka dari itu cukup sulit untuk masuk ke negara
yang endemik. Pada 1985, kusta masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di
122 negara. Pada Pertemuan Kesehatan Dunia (WHA) ke-44 di Jenewa, 1991,
menelurkan sebuah resolusi untuk menghapus kusta sebagai masalah kesehatan
masyarakat pada tahun 2000, dan berusaha untuk ditekan menjadi 1 kasus per
100.000. WHO diberikan mandat untuk mengembangkan strategi penghapusan
kusta.
Kelompok Kerja WHO melaporkan Kemoterapi Kustapada 1993 dan
merekomendasikan dua tipe terapi multiobat standar. Yang pertama adalah
pengobatan selama 24 bulan untuk kusta lepromatosa dengan rifampisin,
klofazimin, dan dapson. Yang kedua adalah pengobatan 6 bulan untuk kusta
tuberkuloid dengan rifampisin dan dapson.
Sejak 1995, WHO memberikan paket obat terapoi kusta secara gratis pada negara
endemik, melalui Kementrian Kesehatan. Strategi ini akan bejalan hingga akhir
2010. Pengobatan multiobat masih efektif dan pasien tidak lagi terinfeksi pada
pemakaian bulan pertama. Cara ini aman dan mudah. jangka waktu pemakaian
telah tercantum pada kemasan obat
2.3.2. Pengobatan
Sejak dahulu kala obat satu-satunya terhadap lepra adalah minyak
kaulmogra, yang efektif untuk meredakan gejala-gejalanya tanpa menyembuhkan
penyakit.
Pada tahun 1950 ditemukan dapson yang mampu menghentikan
pertumbuhan basil lepra, yang kemudian lama-kelamaan akan dimusnahkan oleh
sistem tangkis tubuh sendiri. Kemudian ditemukan leprostatika lain antara lain
thiambutosin, klofazimin dan rifampisin.
WHO menganjurkan sebagai terapi pilihan pertama suatu kombinasi dari
dapson dengan rifampisin atau klofazimin selama sekurang-kurangnya 6 bulan.
Kemudian disusul dengan monoterapi dapson selama 5 7 tahun pada bentuk
tuberkuloid, dan seumur hidup pada bentuk L dan borderline.