Anda di halaman 1dari 20

Virus (dalam bahasa latin dan sanskerta : visham = racun) merupakan mikroorganisme hidup yang terkecil, dengan ukuran

antara 20 dan 300 mikron. Di luar


tubuh manusia kerap kali virus berbentuk seperti kristal tanpa tanda hidup, sangat
ulet yaitu tahan asam dan basa, serta tahan suhu-suhu rendah dan tinggi sekali.
Baru jika keadaan sekitarnya baik, seperti dalam tubuh manusia atau hewan, kristal
tersebut bernyawa kembali dan memperbanyak diri.
Pengembangan obat anti virus baik sebagai pencegahan maupun terapi belum
dapat mencapai hasil yang diinginkan, karena obat-obat anti virus selain
menghambat dan membunuh virus, juga merusak se-sel hospes dimana virus
berada.
Sejumlah obat anti virus sudah banyak dikembangkan tetapi hasilnya belum
memadai karena toksisitasnya sangat tinggi. Hanya beberapa anti virus yang saat
ini digunakan, antara lain idoksuridin pada penggunaan topikal dan herpes simplex
conjungtivitis serta asiklovir.
2.2 Golongan Obat-Obat Anti Virus
Obat antivirus yang akan dibahas dalam tiga bagian besar yaitu
pembahasan mengenai :
1.

Antivirus Hervers

2.

Anti Retrovirus

3.

Antivirus Influenza

1)

Antivirus hervers

Virus hervers dihubungkan dengan spectrum luas penyakit-penyakit, yaitu bisul


dingin, essencevalitis, dan infeksi genital, yang terakhir merupakan bahaya untuk
bayi baru lahir selama persalinan. Obat-obat yang efektif terhadap virus ini bekerja
selama fase akut infeksi virus dan tidak memberikan efek pada fase laten. Kecuali
foskarnet, obat-obat tersebut adalah analokpurin atau pirimidin yang menghambat
sintesis virus DNA. Obat yang termasuk kedalam antivirus untuk herves adalah
sebagai berikut :

a. Acyclovir
Acyclovir merupakan obat antivirus yang paling banyak digunakan karena efektif
terhadap virus herpers. Mekanisme kerja dari Acyclovir, suatu analog guanosin yang
tidak mempunyai gugus glukosa, mengalami monofosforilasi dalam sel oleh enzim
yang di kode hervers virus, timidinkinase. Karena itu, sel-sel yang di infeksi virus

sangat rentan. Analokmonofofat diubah ke bentuk di-dantrifosfat oleh sel pejamu.


Trifosfatacyclovir berpacu dengan deoksiguanosintrifosfat (dGTP) sebagai suatu
subsrat untuk DNA polymerase dan masuk ke dalam DNA virus yang menyebabkan
terminasi rantai DNA yang premature. Ikatan yang irrevelsibel dari template primer
yang mengandung acyclovir ke DNA polymerase melumpuhkan enzim. Zat ini
kurang efektif terhadap enzim penjamu.
Resistensi dari Acyclovir, Timidinkinase yang sudah berubah atau berkurang dan
polymerase DNA telah ditemukan dalam beberapa strain virus yang resisten.
Resistensi terhadap acyclovir disebabkan oleh mutasi pada gen timidinkinase virus
atau pada gen DNA polymerase. Mekanisme kerja analog purin dan pirimidin adalah
acyclovir dimetabolisme oleh enzim kinase virus menjadi senyawa intermediet.
Senyawa intermediet acyclovir (obat obat seperti idosuridin, sitarabin, vidaradin,
dan zidovudin) dimetabolisme lebih lanjut oleh enzim kinase sel hospes menjadi
analog nukleotida, yang bekerja menghambat replikasi virus.
Indikasi dari Acyclovir adalah infeksi HSV-1 dan HSV-2 baik local maupun sistemik
(termasuk keratitisherpetic, herpeticensefalitis, herpes genitalia, herpes neonatal,
dan herpes labialis.) dan infeksi VZV(varisela dan herpes zoster). Karena kepekaan
acyclovir terhadap VZV kurang dibandingkan dengan HSV, dosis yang diperlukan
untuk terapi kasus varisela dan zoster lebih tinggi daripada terapi infeksi HSV.
Dosis dari Acyclovir adalah untuk herpes genital yaitu 5Xsehari 200mg tablet,
sedangkan untuk herpes zoster ialah 4x400mg sehari. Penggunaan topical untuk
keratitis herpetic adalah dalam bentuk krim ophthalmic 3% dank rim 5% untuk
herpes labialis. Untuk herpes ensefalitis, HSV berat lain nya dan infeksi VZV
digunakan asiklovirintravena 30mg/kgBBperhari.
Farmakokinetik dari Acyclovir adalah pemberian obat bisa secara intravena, oral
atau topical. Efektivitas pemberian topical diragukan karena obat tersebar
keseluruh tubuh, termasuk cairan serebrospinal. Acyclovir sebagian dimetabolisme
menjadi produk yang tidak aktif. Ekskresi ke dalam urine terjadi melalui filtrasi
glomerular dan sekresi tubular.
Efek samping dari Acyclovir adalah efek sampingnya tergantung pada cara
pemberian. Misalnya, iritasi local dapat terjadi dari pemberian topical, sakit kepala,
diare, mual, dan muntah merupakan hasil pemberian oral , gangguan fungsi ginjal
dapat timbul pada dosis tinggi atau pasien dehidrasi yang menerima obat secara
intravena.
b.

Gancyclovir

Gancyclovir berbeda dari acyclovir dengan adanya penambahan gugus


hidroksimetilpadaposisi 3 rantai samping asikliknya. Metabolisme dan mekanisme
kerjanya sama dengan acyclovir. Yang sedikit berbeda adalah pada gancyclovir
terdapat karbon 3 dengan gugus hidroksil, sehingga masih memunginkan adanya

perpanjangan primer dengan template jadi gancyclovir bukanlah DNA


chainterminator yang absolute seperti acyclovir.
Mekanisme kerja dari gancyclovir adalah gancyclovir diubah menjadi
ancyclovirmonofosfat oleh enzim fospotranverase yang dihasilkan oleh sel yang
terinfeksi sitomegalovirus. Gancyclovir monofospat merupakan sitrat
fospotranverase yang lebih baik dibandingkan dengan acyclovir. Waktu paruh
eliminasi gancyclovirtrifospat sedikitnya adalah 12 jam, sedangkan acyclovir hanya
1-2 jam. Perbedaan inilah yang menjelaskan mengapa gancyclovir lebih superior
dibandingkan dengan acyclovir untuk terapi penyakit yang disebabkan oleh
sitomegalovirus.
Resistensi dari gancyclovir adalah Sitomegalovirus dapat menjadi resisten terhadap
gancyclovir oleh salah satu dari dua mekanisme penurunan fosporilasigancyclovir
karena mutasi pada fospotranverase virus yang dikode oleh gen UL97 atau karena
mutasi pada DNA polymerasevirus. Varian virus yang sangat resisten pada
gancyclovir disebabkan karena mutasi pada keduanya ( Gen UL97 dan DNA
polymerase) dan dapat terjadi resistensi silang terhadap sidofovir atau foskarnet.
Indikasi dari Gancyclovir adalah Infeksi CMV, terutama CMV retinitis pada pasien
immunocompromised (misalnya : AIDS), baik untuk terapi atau pencegahan.
Sediaan dan Dosis dari Gancyclovir adalah untuk induksi diberikan IV 10 mg/kg per
hari (2 X 5 mg/kg, setiap 12 jam) selama 14-21 hari,dilanjutkan dengan pemberian
maintenanceperoral 3000mg per hari (3 X sehari 4 kapsul @ 250 mg).
Inplantsiintraocular (intravitreal) 4,5 mg gancyclovir sebagai terapi local CMV
retinitis.
Efek samping dari Gancyclovir adalah mielosupresi dapat terjadi pada terapi dengan
gancyclovir. Neotropenia terjadi pada 15-40 % pasien dan trombositopenia terjadi
pada 5-20 %. Zidovudin dan obat sitotoksik lain dapat meningkatkan resiko
toksisitas gancyclovir. Obat-obat nefrotoksik dapat mengganggu ekskresi
gancyclovir. Probenesit dan acyclovir dapat mengurangi klirensrenalgancyclovir.
Rekombinan koloni stimulatingfactor (G-CSF, filgastrim, lenogastrim) dapat
menolong dalam penanganan neutropenia yang disebabkan oleh gancyclovir.
c.

Famcyclovir

Suatu analog asiklik dari 2 deoksiguanosin, merupakan prodruk yang


dimetabolisme menjadi cyclovir aktif. Spectrum antivirus sama dengan gancyclovir
tetapi wakyu ini disetujui hanya untuk pengobatan herpes zoster akut. Obat efektif
peroral. Efek samping dari famcyclovir adalah adanya rasa sakit kepala dan mual.
Penelitian pada hewan percobaan menujukan peningkatan terjadinya
adenokarsinomamamae dan toksisitastesticular.
d.

Trifluridin

Trifluridin telah menggantikan obat terdahulu yaitu idoksuridin pada pengobatan


topical keratokonjungtivitis yang disebabkan virus herpes simpleks. Seperti
idoksuridin, analog pirimidin ini masuk dalam DNA virus dan menghentikan
fungsinya.
e.

Foskarnet

Tidak seperti kebanyakan obat antivirus lainnya, foskarnet bukan analog purin atau
pirimidin, obat ini adalah fosfonoformat, suatu derivate pirofosfat. Meskipun
aktivitas antivirus invitro cukup luas, disetujui hanya sebagai pengobatan retinitis
sitomegalic pada pasien penderita HIV dengan tanggap imun yang lemah terytama
jika infeksi tersebut resisiten terhadap gancyclovir. Foskarnet bekerja dengan
menghamabat polimerese DNA & RNA secara reversible, yang mengakhiri elongasi
rantai. Mutasi struktur polymerase menyebabkan resistensi virus. Foskarnet sukar
diabsorpsi peroral harus disuntikan intravena, dan perlu diberikan berulang untuk
menghindari relaps jika kadarnya turun. Tersebar merata di seluruh tubuh. Lebih
dari 10% masuk matriks tulang yang secara lambat dilepaskan. Obat asli
dikeluarkan oleh glamerolus dan sekresi tubular masuk urine.
Efek samping dari foskarnet adalah nefrotoksisitas, anemia, mual dan demam.
Karena kelasi dengan kation divalent, hipokalsemia, hipomagnesemia juga terjadi
selain itu hipokalemia, hipofospatemia, kejang, dan aretmia juga pernah dilaporkan.
2)

Anti Retrovirus

Antiretrovirus terdiri dari :


a)

Nukleusidereversetranscriptaseinhhibiror (NRTI)

b)

NNRTI (nonneokleosidereversetranscriptaseinhibitor)

c)

Proteaseinhibitor (PI)

a)

Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI)

Reversetranskripstase (RT ) mengubah RNA virus menjadi DNA proviral sebelum


bergabung dengan kromosom hospes. Karena antivirus golongan ini bekerja pada
tahap awal replikasi HIV, obat obat golongan ini menghambat terjadinya infeksi akut
sel yang rentan, tapi hanya sedikit berefek pada sel yang telah terinfeksi HIV. Untuk
dapat bekerja, semua obat golongan NRTI harus mengalami fosforilasi oleh enzim
sel hospes di sitoplasma. Yang termasuk komplikasi oleh obat obat ini adalah
asidosilaktat dan hepatomegali berat dengan steatosis. Yang termasuk kedalam
golongan obat ini diantaranya :
1)

Zidovudin

Mekanisme kerja dari zidovudin adalah targetnya yaitu enzim reversetranscriptase


(RT) HIV. Zidovudin bekerja dengan cara menghambat enzim reversetranscriptase
virus, setelah gugus asidotimidin (AZT) pada zidovudin mengalami fosforilasi. Gugus
AZT 5- mono fosfat akan bergabung pada ujung 3 rantai DNA virus dan
menghambat reaksi reversetranscriptase.
Resistensi dari zidovudin adalah resistensi terhadap zidovudin disebabkan oleh
mutasi pada enzim reversetranscriptase. Terdapat laporan resisitensi silang dengan
analog nukleosida lainnya. Spektrum aktivitas dari zidovudin adalah HIV(1&2).
Indikasi dari zidovudin adalah infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lainnya
(seperti lamivudin dan abakafir). Farmakokinetik dari zidovudin adalah obat mudah
diabsorpsi setelah pemasukan oral dan jika diminum bersama makanan, kadar
puncak lebih lambat, tetapi jumlah total obat yang diabsorpsi tidak terpengaruh.
Penetrasi melewati sawar otak darah sangat baik dan obat mempunyai waktu paruh
1jam. Sebagian besar AZT mengalami glukuronidasi dalam hati dan kemudian
dikeluarkan dalam urine.
Dosis dari zidovudin adalah Zidovudin tersedia dalam bentuk kapsul 100 mg, tablet
300 mg dan sirup 5 mg /5ml disiperoral 600 mg / hari. Efek samping dari zidovudin
adalah anemia, neotropenia, sakit kepala, mual.

2) Didanosin
Mekanisme kerja dari didanosin adalah Obat ini bekerja pada HIV RT dengan cara
menghentikan pembentukan rantai DNA virus. Resistensi dari didanosin adalah
resistensi terhadap didanosin disebabkan oleh mutasi pada reversetranscriptase.
Spektrum aktivitas dari didanosin adalah HIV (1 & 2).
Indikasi dari didanosin adalah Infeksi HIV, terutama infeksi HIV tingkat lanjut, dalam
kombinasi anti HIV lainnya. Farmakokinetik dari didanosin adalah karena sifat
asamnya, didanosin diberikan sebagai tablet kunyah, buffer atau dalam larutan
buffer. Absorpsi cukup baik jika diminum dalam keadaan puasa, karena makanan
menyebabkan absorpsi kurang. Obat masuk system saraf pusat tetapi kurang dari
AZT. Sekitar 55% obat diekskresi dalam urine.
Dosis dari didanosin adalah tablet dan kapsul salut entericperoral 400 mg/hari
dalam dosis tunggal atau terbagi. Efek samping dari didanosin adalah diare,
pancreatitis, neuripati perifer.

3)

Zalsitabin

Mekanisme kerja dari zalsitabin adalah obat ini bekerja pada HIV RT dengan cara
menghentikan pembentukan rantai DNA virus. Resistensi dari zalsitabin adalah
resistensi terhadap zalsitabin disebakan oleh mutasi pada reversetranscriptase.
Dilaporkan ada resisitensi silang dengan lamivudin. Spektrum aktivitas dari
zalsitabin adalah HIV (1 & 2).
Indikasi dari zalsitabin adalah Infeksi HIV, terutama pada pasien HIV dewasa tingkat
lanjut yang tidak responsive terhadap zidovudin dalam kombinasi dengan anti HIV
lainnya (bukan zidanudin).
Farmakokinetik dari zalsitabin adalah zalsitabin mudah diabsorpsi oral, tetapi
makanan atau MALOX TC akan menghambat absorpsi didistribusi obat ke seluruh
tubuh tetapi penetrasi ke ssp lebih rendah dari yang diperoleh dari AZT. Sebagai
obat dimetabolisme menjadi DITEOKSIURIDIN yang inaktif. Urin adalah jalan
ekskresi utama meskipun eliminasi pekal bersama metabolitnya.
Dosis dari zalsitabin adalah Diberikan peroral 2,25 mg / hari(1 tablet 0,75 mg tiap 8
jam). Efek samping dari zalsitabin adalah neuropati perifer, stomatitis, ruam dan
pancreatitis.

4)

Stavudin

Mekanisme kerja dari stavudin adalah obat ini bekerja pada HIV RT dengan cara
menghentikan pembentukkan rantai DNA virus. Resistensi dari stavudin adalah
disebabkan mutasi pada RT kodon 75 dan kodon 50. Spektrum aktivitas dari
stavudin adalah HIV tipe 1 dan 2. Indikasi dari stavudin adalah Infeksi HIV terutama
HIV tingkat lanjut, dikombinasikan dengan anti HIV lainnya.
Farmakokinetik dari stavudin adalah Stavudin adalah analog timidin dengan ikatan
rangkap antara karbon 2 dan 3 dari gula.Stavudin harus diubah oleh
kinaseintraselular menjadi triposfat yang menghambat transcriptasereverse dan
menghentikan rantai DNA. Dosis dari stavudin adalah per oral 80 mg/hari (1 kapsul
40 mg, setiap 12 jam). Efek samping dari stavudin adalah neuropatiperiver, sakit
kepala, mual, ruam.

5)

Lamivudin

Mekanisme kerja dari lamivudin adalah Obat ini bekerja pada HIV RT dan HBV RT
dengan cara menghentikan pembentukan rantai DNA virus. Resistensi dari
lamivudin adalah disebabkan pada RT kodon 184. Terdapat laporan adanya
resistensi silang dengan didanosin dan zalsitabin. Spektrum aktivitas dari lamivudin
adalah HIV ( tipe 1 dan 2 ) dan HBV. Indikasi dari lamivudin adalah Infeksi HIV dan

HBV, untuk infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lainnya (seperti
zidovudin,abakavir).
Farmakokinetik dari lamivudin adalah ketersediaan hayati lamivudin per oral cukup
baik dan bergantung pada ekskresi ginjal. Dosis dari lamivudin adalah per oral 300
mg/ hari ( 1 tablet 150 mg, 2x sehari atau 1 tablet 300 mg 1x sehari ). Untuk terapi
HIV lamivudin, dapat dikombinasikan dengan zidovudin atau abakavir. Efek samping
dari lamivudin adalah sakit kepala dan mual.

6)

Emtrisitabin

Mekanisme kerja dari emtrisitabin adalah merupakan derivate 5fluorinatedlamivudin. Obat ini diubah ke bentuk triposfat oleh ensim selular.
Mekanisme kerja selanjutnya sama dengan lamivudin. Resistensi dari emtrisitabin
adalah resistensi silang antara lamivudin dan emtrisitabin. Indikasi dari emtrisitabin
adalah Infeksi HIV dan HBV. Dosis dari emtrisitabin adalah per oral 1x sehari 200 mg
kapsul. Efek samping dari emtrisitabin adalah nyeri abdomen, diare, sakit kepala,
mual dan ruam.

7)

Abakavir

Mekanisme kerja dari abakavir adalah bekerja pada HIV RT dengan cara
menghentikan pembentukan rantai DNA virus. Resistensi dari abakavir adalah
disebabkan mutasi pada RT kodon 184,65,74 dan 115. Spektrum aktivitas dari
abakavir adalah HIV ( tipe 1 dan 2 ). Indikasi dari abakavir adalah Infeksi HIV. Dosis
dari abakavir adalah per oral 600mg/hari (2 tablet 300 mg). Efek samping dari
abakavir adalah mual ,muntah, diare, reaksi hipersensitif (demam, malaise, ruam),
ganguan gastrointestinal.

b)

Non- Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI)

Merupakan kelas obat yang menghambat aktivitas enzim reverstranscriptase


dengan cara berikatan ditempat yang dekat dengan tempat aktif enzim dan
menginduksi perubahan konformasi pada situs akif ini. Semuasenyawa NNRTI
dimetabolisme oleh sitokrom P450 sehingga cendrung untuk berinteraksi dengan
obat lain.

1)

Nevirapin

Mekanisme kerja dari nevirapin adalah Bekerja pada situs alosterik tempat ikatan
nonsubtract HIV-1 RT. Resistensi dari nevirapin adalah disebabkan oleh mutasi pada
RT. Spektrum aktivitas dari nevirapin adalah HIV ( tipe 1 ). Indikasi dari nevirapin
adalah infeksi HIV-1 dalam kombinasi dengan anti-HIV,lainnya terutama NRTI.
Dosis dari nevirapin adalah per oral 200mg /hari selama 14 hari pertama (satu
tablet 200mg per hari), kemudian 400mg / hari (2 x 200 mg tablet). Efek samping
dari nevirapin adalah ruam, demam, fatigue, sakit kepala, somnolens dan
peningkatan enzim hati.

2)

Delavirdin

Mekanisme kerja dari delavirdin adalah sama dengan devirapin. Resistensi dari
delavirdin adalah disebabkan oleh mutasi pada RT. Tidak ada resistensi silang
dengan nefirapin dan efavirens. Spektrum aktivitas dari delavirdin adalah HIV tipe 1.
Indikasi dari delavirdin adalah Infeksi HIV-1, dikombinasi dengan anti HIV lainnya
terutama NRTI. Dosis dari delavirdin adalah per oral 1200mg / hari ( 2 tablet 200mg
3 x sehari ) dan tersedia dalam bentuk tablet 100mg. Efek samping dari delavirdin
adalah Ruam, penningkatan tes fungsi hati, menyebabkan neutropenia.

c)

Protease Inhibitor ( PI )

Semua PI bekerja dengan cara berikatan secara reversible dengan situs aktif HIV
protease. HIV-protease sangat penting untuk infektivitas virus dan
penglepasanpoliprotein virus. Hal ini menyebabkan terhambatnya penglepasan
polipeptida prekusor virus oleh enzim protease sehingga dapat menghambat
maturasi virus, maka sel akan menghasilkan partikel virus yang imatur dan tidak
virulen.
1)

Sakuinavir

Mekanisme kerja dari sakuinavir adalah sakuinavir bekerja pada tahap transisi
merupakan HIV proteasepeptidomimeticinhibitor. Resistensi dari sakuinavir adalah
terhadap sakuinavir disebabkan oleh mutasi pada enzim protease terjadi resistensi
silang dengan PI lainnya. Spektrum aktivitas dari sakuinavir adalah HIV (1 & 2)
Indikasi dari sakuinavir adalah Infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lain
(NRTI dan beberapa PI seperti ritonavir).
Dosis dari sakuinavir adalah per oral 3600mg / hari (6 kapsul 200mg soft kapsul 3 X
sehari) atau 1800mg / hari (3 hard gel capsule 3 X sehari), diberikan bersama
dengan makanan atau sampai dengan 2 jam setelah makan lengkap. Efek samping
dari sakuinavir adalah diare, mual, nyeri pada abdomen.

2)

Ritonavir

Mekanisme kerja dari ritonavir adalah sama dengan sakuinavir. Resistensi dari
ritonavir adalah terhadap ritonavir disebabkan oleh mutasi awal pada
proteasekodon 82. Spektrum aktivitas dari ritonavir adalah HIV (1 & 2 ). Indikasi :
Infeksi HIV, dalam kombinasi dengan anti HIV lainnya (NRTI dan PI seperti sakuinavir
). Dosis dari ritonavir adalah per oral 1200mg / hari (6 kapsul 100mg, 2 X sehari
bersama dengan makanan ). Efek samping dari ritonavir adalah mual, muntah , dan
diare.

3)

Antivirus Untuk Influenza

Pengobatan untuk infekksi antivirus pada saluran pernapasan termasuk influenza


tipe A & B, virus sinsitial pernapasan (RSV). Obat antivirus Influenza diantaranya :

a)

Amantadin dan Rimantadin

Amantadin dan rimantadin memiliki mekanisme kerja yang sama. Efikasi keduanya
terbatas hanya pada influenza A saja.
Mekanisme kerja dari Amanatadin dan rimantadin adalah Amanatadin dan
rimantadin merupakan antivirus yang bekerja pada protein M2 virus, suatu kanal ion
transmembran yang diaktivasi oleh pH. Kanal M2 merupakan pintu masuk ion ke
virion selama proses uncoating. Hal ini menyebabkan destabilisasi ikatan protein
serta proses transport DNA virus ke nucleus. Selain itu, fluks kanal ion M2 mengatur
pH kompartemen intraseluler, terutama aparatus Golgi.
Resistensi dari Amanatadin dan rimantadin adalah Influenza A yang resisten
terhadap amantadin dan rimantidin belum merupakan masalah klinik, meskipun
beberapa isolate virus telah menunjukkan tingginya angka terjadinya resistensi
tersebut. Resistensi ini disebabkan perubahan satu asam amino dari matriks protein
M2, resistensi silang terjadi antara kedua obat.
Indikasi dari Amanatadin dan rimantadin adalah pencegahan dan terapi awal infeksi
virus influenza A (Amantadin juga diindikasi untuk terapi penyakit Parkinson).
Farmakokinetik dari Amanatadin dan rimantadin adalah kedua obat mudah
diabsorbsi oral. Amantadin tersebar ke seluruh tubuh dab mudah menembus ke SSP.
Rimantadin tidak dapat melintasi sawardarah-otak sejumlah yang sama. Amantadin
tidak dimetabolisme secara luas. Dikeluarkan melalui urine dan dapat menumpuk
sampai batas toksik pada pasien gagal ginjal. Rimantadindimetabolisme seluruhnya
oleh hati. Metabolit dan obat asli dikeluarkan oleh ginjal.

Dosis dari Amanatadin dan rimantadin adalah Amantadin dan rimantadin tersedia
dalam bentuk tablet dan sirup untuk penggunaan oral. Amantadin diberikan dalam
dosis 200 mg per hari ( 2 x 100 mg kapsul ). Rimantadin diberikan dalam dosis 300
mg per hari ( 2 x sehari 150 mg tablet). Dosis amantadin harus diturunkan pada
pasien dengan insufisiensirenal, namun rimantadin hanya perlu diturunkan pada
pasien dengan klirenskreatinin 10 ml/menit.
Efek samping dari Amanatadin dan rimantadin adalah efek samping SSP seperti
kegelisahan, kesulitan berkonsentrasi, insomnia, hilang nafsu makan. Rimantadin
menyebabkan reaksi SSP lebih sedikit karena tidak banyak melintasi sawar otak
darah. Efek neurotoksikamantadin meningkat jika diberikan bersamaan dengan
antihistamin dan obat antikolinergik/psikotropik, terutama pada usia lanjut.

b)

Inhibitor Neuraminidase ( Oseltamivir, Zanamivir )

Merupakan obat amtivirus dengan mekanisme kerja yang sam terhadap virus
influenza A dan B. Keduanya merupakan inhibitor neuraminidase yaitu analog asam
N-asetilneuraminat ( reseptor permukaan sel virus influenza ), dan desain struktur
keduanya didasarkan pada struktur neuraminidasevirion.
Mekanisme kerjanya adalah Asam N-asetilneuraminat merupakan komponen
mukoprotein pada sekresi respirasi, virus berikatan pada mucus, namun yang
menyebabkan penetrasi virus ke permukaan sel adalah aktivitas enzim
neuraminidase. Hambatan terhadap neuraminidase mencegah terjadinya infeksi.
Neuraminidase juga untuk penglepasan virus yang optimaldari sel yang terinfeksi,
yang meningkatkan penyebaran virus dan intensitas infeksi. Hambatan
neuraminidase menurunkan kemungkinan berkembangnya influenza dan
menurunkan tingkat keparahan, jika penyakitnya berkembang.
Resistensi menyebabkan adanya hambatan ikatan pada obat dan pada hambatan
aktivitas enzim neuraminidase. Dapat juga disebabkan oleh penurunan afinitas
ikatan reseptor hemagglutinin sehingga aktivitas neuraminidase tidak memiliki efek
pada penglepasan virus pada sel yang terinfeksi. Indikasinya yaitu terapi dan
pencegahan infeksi virus influenza A dan Dosis yang dipakai Zanamivir diberikan
per inhalasi dengan dosis 20 mg per hari (2 x 5 mg, setiap 12 jam) selama 5 hari.
Oseltamivir diberikan per oral dengan dosis 150 mg per hari (2 x 75 mg kapsul,
setiap 12 jam) selama 15 hari. Terapi dengan zanamivir/oseltamivir dapat diberikan
seawal mungkin, dalam waktu 48 jam, setelah onset gejala.
Efek samping dari obat ini adalah pada terapi zanamivir mengakibatkan gejala
saluran nafas dan gejala saluran cerna, dapat menimbulkan batuk, bronkospasme
dan penurunan fungsi paru reversibel pada beberapa pasien. Terapi oseltamivir
mengakibatkan mual, muntah, nyeri abdomen , sakit kepala.

c)

Ribavirin

Ribavirin merupakan analog sintetik guanosin, efektif terhadap virus RNA dan DNA.
Mekanisme kerja dari ribavirin adalah ribavirin merupakan analog guanosin yang
cincin purinnya tidak lengkap. Setelah mengalami fosforilasiintrasel,
ribavirintrifosfat mengganggu tahap awal transkripsi virus, seperti proses capping
dan elongasim RNA serta menghambat sintesis ribonukleoprotein.
Resistensi dari ribavirin adalah hingga saat ini belum ada catatan mengenai
resistensi terhadap ribavirin, namun pada percobaan diLaboratorium menggunakan
sel, terdapat sel-sel yang tidak dapat mengubah ribavirin menjadi bentuk aktifnya.
Spektrum aktivitas dari ribavirin adalah virus DNA dan RNA, khusunya
orthomyxovirus (influenza A dan B), para myxovirus ( cacar air, respiratory syncytial
virus (RSV) dan arenavirus (Lassa, Junin,dll).
Indikasi dari ribavirin adalah terapi infeksi RSV pada bayi dengan resiko tinggi.
Ribavirin digunakan dalam kombinasi dengan interferon-/ pegylatedinterferon
untuk terapi infeksi hepatitis C.
Farmakokinetik dari ribavirin adalah ribavirin infektif diberikan per oral dan
intravena. Terakhir digunakan sebagai aerosol untuk kondisi infeksivirus pernapasan
tertemtu, seperti pengobatan infeksi RSV. Penelitian distribusi obat pada primate
menunjukkan retensi dalam semua jaringan otak. Obat dan metabolitnya
dikeluarkan dalam urine. Dosis dari ribavirin adalah per oral dalam dosis 800-1200
mg per hari untuk terapi infeksi HCV/ dalam bentuk aerosol (larutan 20 mg/ml).
Efek samping dari ribavirin adalah pada penggunaan oral / suntikan ribavirin
termasuk anemia tergantung dosis pada penderita demam Lassa. Peningkatan
bilirubin juga telah dilaporkan Aerosol dapat lebih aman meskipun fungsi
pernapasan pada bayi dapat memburuk cepat setelah permulaan pengobatan
aerosoldan karena itu monitoring sangat perlu. Karena terdapat efek
teratogenikpada hewan percobaan, ribavirin dikontraindikasikan pada kehamilan.

http://febyrianty.blogspot.co.id/2011/03/farmakologi.html

Tuberculosis (TB) adalah penyakit infeksi yang membunuh sekitar 2 juta orang
setiap tahunnya. Multidrug-resistant (MDR) tuberculosis disebabkan oleh adanya
konvensi strain Mycobacterium tuberculosis yang resisten terhadap isoniazid (INH)
dan rifampisin yang merupakan tulang punggung dalam terapi tuberculosis. MDR

diperkirakan menimpa sekitar 500.000 penderita tuberculosis pertahunnya.


Resistensi anti-TB telah dipelajari sejak tahun 1940an.

Dalam sebuah presentasinya pada tanggal 24 Maret 1882, Robert Koch menyatakan
bahwa TB merupakan sebuah penyakit yang pada abad 19 menyebabkan kematian
pada sekitar 25% dari semua kematian di Massachusetts dan New York serta
menewaskan sekitar seperempat penduduk Eropa. Koch meringkas sejumlah
penemuan-penemuan pentingnya dalam sebuah naskah yang
dipublikasikan Berliner Klinische Wochenschrift, sehingga dia memenangkan Nobel
pada tahun 1905.

Namun sepanjang penelitian tentang TB, perkembangan penemuan terapi TB agak


tertinggal. Baru sekitar 60 tahun kemudian yaitu tahun 1943, streptomisin
ditetapkan sebagai anti-TB pertama yang dinyatakan efektif. Pada tahun 1944
seorang penderita TB menerima suntikan streptomisin dan dinyatakan sembuh dari
penyakitnya itu. Baru setelah itu diikuti dengan berbagai penemuan agen-agen antiTB lainnya. The British Medical Research Council melakukan studi klinis pertama kali
untuk menguji efektivitas streptomisin pada tahun 1948. Dari studi acak terkontrol
tersebut, banyak penderita yang dinyatakan sembuh namun tidak sedikit pula yang
mengalami kekambuhan, dan pada saat isolat mikobakteri dibiakan menunjukan
adanya resistensi terhadap streptomisin.

Thiacetazone dan asam para-aminosalisilat merupakan dua agen anti-TB yang


ditemukan kemudian. Ketika salah satu agen tersebut digunakan bersamaan
dengan streptomisin, tingkat kesembuhan pasien meningkat dengan resiko
resistensi yang menurun.

Tahun 1951 isonicotinic acid hydrazide (isoniazid) atau yang sering disingkat
dengan istilah INH diuji dan dinyatakan efektif sehingga segera diperkenalkan dan
dipergunakan secara luas dimasyarakat. Penemuan INH kemudian diikuti dengan
penemuan-penemuan agen baru yaitu pirazinamid pada tahun 1952, cycloserine
(1952), ethionamide (1956), rifampin (1957), dan ethambutol (1962).

Dengan tingkat efikasi yang memadai dan cara pemberian obat yang mudah,
penemuan rifampisin telah merevolusi metode terapi TB. Namun setiap penemuan
anti-TB baru selalu diikuti dengan pemilihan mutasi resistensi untuk agen tersebut.

Resistensi terhadap rifampisin segera diamati sejak pertama kali agen tersebut
digunakan.

Uji laboratorium menunjukan bahwa penggunaan INH sebagai monoterapi memiliki


tingkat resistensi yang tinggi, penekanan laju resistensi terjadi saat INH yang
diberikan dalam kombinasi bersama streptomisin atau asam para-aminosalisilat.
Penelitian ini menyebabkan pemberian terapi multidrugs (kombinasi) lebih disukai
untuk terapi TB, sebagaimana terapi untuk penyakit menular lainnya atau kanker.
Dan pada akhirnya berdasarkan studi klinis diberbagai negara yang dipimpin
oleh British Medical Research Council, menyarankan terapi kombinasi dengan
menggunakan 4 agen anti-TB dalam terapi pasien TB. INH dan rifampisin menjadi
tulang punggung dalam terapi ini yang diberikan selama 6-8 bulan.

Resistensi obat, merupakan suatu kondisi yang menantang yang selalu memerlukan
penelitian. TB baik yang disebabkan oleh strain yang rentan terhadap obat maupun
yang resisten terhadap obat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti kemiskinan,
gizi buruk, dan pemukiman kumuh.
Anti tuberculosis adalah obat-obat atau kombinasi obat yang diberikan dalam
jangka waktu tertentu untuk mengobati penderita tuberkulosis.
Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan
oleh Mycobacterium tuberkulosis, yang pada umumnya dimulai dengan membentuk
benjolan-benjolan kecil di paru-paru dan ditularkan lewat organ pernafasan. Kuman
TBC pertama kali ditemukan oleh dr Roberet Koch (1882).
Selain paru-paru, organ tubuh lain yang dapat dijangkiti kuman TBC adalah
kelenjar, tulang, ginjal, kulit dan otak. Sampai saat ini di Indonesia penyakit TBC
masih merupakan penyakit rakyat yang banyak mengambil korban, hal ini
disebabkan:

Masih kurangnya kesadaran untuk hidup sehat.

Perumahan yang tidak memenuhi syarat (ventilasi dan masuknya cahaya


matahari)

Kebersihan/hygiene

Kurang gizi/gizi tidak baik.

Penularan kuman TBC dapat melalui:

Saluran pernafasan (sebaiknya penderita menutup mulut dengan sapu


tangan ketika batuk atau bersin.

Lewat makanan dan minuman

Penularan TBC dapat dihindari dengan cara menggunakan desinfektan pada sapu
tangan atau barang-barang yang digunakan, dan mengusahakan agar ruangan
tempat penderita mempunyai ventilasi yang baik.
Cara pencegahan TBC adalah dengan memberikan vaksinasi sedini mungkin
pada bayi-bayi yang baru lahir. Vaksin yang digunakan adalah vaksin BCG (Basil
Calmette Guerin). Untuk menentukan seseorang terinfeksi oleh basil TBC atau tidak
biasanya dilakukan dengan reaksi Mantoux , yaitu penyuntikan yang dilakukan
dilengan atas dengan tuberkulin (filtrat dari pembiakan basil TBC). Bila ditempat
penyuntikan tidak timbul bengkak merah berarti orang tersebut tidak terinfeksi
TBC.

Pengobatan
Sebelum ditemukan obat-obat yang dapat memusnahkan penyebab penyakit,
bentuk pengobatan terbatas pada terapi simptomatis seperti mengurangi batuk dan
menghilangkan demam, istirahat total di sanatorium dan diet makanan bergizi yang
kaya lemak dan vitamin A.
Obat TBC yang pertama kali ditemukan adalah streptomisin, disusul
kemudian dengan PAS dan INH. Sampai tahun 1970-an kombinasi standar untuk
pengobatan TBC menggunakan ketiga obat di atas. Sesudah tahun 1970 kombinasi
standar untuk TBC menjadi INH, ethambutol dan rifampisin.
Dengan pengobatan modern, setelah 4 sampai 6 minggu pasien bebas
bermasyarakat seperti biasa karena tidak lagi menularkan kuman TBC. Basil TBC
terkenal sangat ulet dan sulit ditembus zat kimia (obat) karena dinding sel bakteri
mengandung banyak lemak dan lilin (wax), sehingga pengobatan TBC memerlukan
periode waktu yang cukup lama .
Tujuan pengobatan kombinasi :

Mencegah resistensi

Praktis karena dapat diberikan sebagai dosis tunggal.

Mengurangi efek samping.

Obat Anti Tuberculosis


Macam macam dan dosis OAT
( R ) RIFAMPISIN,dengan dosis 10 ( 8 - 12 ) untuk dosis perhari dan 10 ( 8 - 10 )
untuk 3xseminggu.

( H ) ISONIAZID, dengan dosis 5 ( 4 - 6 ) untuk dosis perhari dan 10 ( 8 - 10 ) untuk


3xseminggu.
( E ) ETHAMBUTOL,dengan dosis 15 ( 15 - 20 ) untuk dosis perhari dan 30 ( 25 - 35 )
untuk 3xseminggu.
( Z )PYRAZINAMID, dengan dosis 25 ( 20 - 30 ) untuk dosis perhari dan 35 ( 30 - 40 )
untuk 3xseminggu.
( S ) STREPTOMISIN, dengan dosis 15 ( 12 - 18 ) untuk dosis perhari dan 15 ( 12 - 18
) untuk 3xseminggu.
KETERANGAN " DOSE( Mg/Kg )
Panduan Pemakaian OAT Berdasarkan Katagori Penyakit
Kategori I
Penyakit TB yang tergolong dalam katagori I ini adalah :
1.

TB Paru yang test sputum dengan hasil BTA (+)

2.

TB Paru yang test sputum dengan hasil BTA (-) dan foto toraks (+)

3.

TB ektra Paru berat

OAT yang di berikan pada kategori ini adalah :


-

2HRZE/4H3R3

2HRZE/4HR

2HRZE/6HE

Kategori II
Penyakit Tb yang tergolong dalam kategori II adalah :
1.

Pasien kambuh

2.

Gagal terapi pengobatan

3.

Kasus putus obat

OAT yang diberikan pada pasien kategori II ini adalah :


-

2RHZES/RHZE/5H3R3

2HRZES/HRZE/5HRE

Kategori III

Pasien yang tergolong dalam kategori III ini adalah :


1.

TB Paru dengan pemeriksaan BTA (-) dengan lesi minimal

2.

Pdr ekstra paru ringanlimfadenitis, osteomielitis tb, artritis tb, nepritis tb

OAT yang diberikan pada pasien katagori III adlah :


-

2 RHZ/4RH

2HRZ/4H3R3

2HRZ/6HE

Kategori IV
Pasien yang termasuk dalam kategori IV adalah :
Kasus kronik, OAT yang diberikan pada pasien ini adalah : RHZES / sesuai hasil uji
resistensi (Minimal OAT yang sensitif ) + OBAT LINI 2 MINIMAL T/ 18 bulan.
MDR TB (multidrug resistant TB ) , pengobatan yang diberikan pada pasien ini
adalah : sesuai uji resistensi + OAT LINI 2 atau ( H ) seumur hidup.
Efek Samping Obat Anti Tuberculosis ( OAT )
Rimfapisin ( R ), efek sampingnya adalah : air kencing berwarna merah, mual, sakit
perut, Kelainan sistemik, termasuk, syok, hepatitis dan purpura.
Pyrazinamid ( Z ), efek sampingnya adalah : nyeri pada dada.
Etambutol ( E ), efek sampingnya adalah : gangguan penglihatan.
Isoniazin ( H ), efek sampingnya adalah : rasa kesemutan sampai rasa seperti
terbakar pada kaki, hepatitis, neurotis perifer
Streptomisin ( S ), efek sampingnya adalah : ototoksik,reaksi hipersensitiv,
nefrotoksik, Gangguan keseimbangan (vertigo & nistagmus ), tuli.
Pengobatan yang efektif terhadap penyakit kusta ditemukan pada akir 1940-an
dengan diperkenalkannya dapson dan derivatnya. Bagaimanapun juga, bakteri
penyebab lepra secara bertahap menjadi kebal terhadap dapson dan menjadi kian
menyebar. Hal ini terjadi hingga ditemukannya pengobatan multiobat pada awal
1980-an dan penyakit ini pun mampu ditangani kembali.

Pada 1985, kusta masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di 122 negara.
Pada Pertemuan Kesehatan Dunia (WHA) ke-44 di Jenewa, 1991, disetujui resolusi
untuk menghapus kusta sebagai masalah kesehatan masyarakat pada tahun 2000,

dan berusaha untuk ditekan menjadi 1 kasus per 100.000. WHO diberikan mandat
untuk mengembangkan strategi penghapusan kusta.

Kelompok Kerja WHO melaporkan Kemoterapi Kusta pada 1993 dan


merekomendasikan dua tipe terapi multiobat standar. Yang pertama adalah
pengobatan selama 24 bulan untuk kusta lepromatosa dengan rifampisin,
klofazimin, dan dapson. Yang kedua adalah pengobatan 6 bulan untuk kusta
tuberkuloid dengan rifampisin dan dapson.

Obat terapi multiobat kusta.Sejak 1995, WHO memberikan paket obat terapi kusta
secara gratis pada negara endemik, melalui Kementrian Kesehatan. Strategi ini
akan bejalan hingga akhir 2010. Pengobatan multiobat masih efektif dan pasien
tidak lagi terinfeksi pada pemakaian bulan pertama. Cara ini aman dan mudah.
Jangka waktu pemakaian telah tercantum pada kemasan obat.

Hingga saat ini tidak ada vaksinasi untuk penyakit kusta. Dari hasil penelitian
dibuktikan bahwa kuman kusta yang masih utuh bentuknya, lebih besar
kemungkinan menimbulkan penularan dibandingkan dengan yang tidak utuh. Jadi
faktor pengobatan adalah amat penting dimana kusta dapat dihancurkan, sehingga
penularan dapat dicegah.

Lepra atau kusta adalah suatu infeksi kronis yang terutama merusak jaringanjaringan saraf. Pembangkitnya Mycobacterium leprae ditemukan oleh dokter
Norwegia Hansen (1873), memiliki sifat-sifat yang mirip dengan basil TBC, yaitu
sangat ulet karena mengandung banyak lemak dan lilin yang sukar ditembusi obat,
juga pertumbuhannya lambat sekali setelah waktu inkubasi yang lama, lebih kurang
satu tahun.
Di Indonesia terdapat kurang lebih 100.000 pasien lepra yang diobati di
sejumlah rumah sakit khusus (Leproseri) yang diawasi oleh Lembaga Kusta
Departemen Kesehatan.
Pencegahan
Tes Lepromin adalah suatu injeksi intrakutan dari suspensi jaringan lepra dan
digunakan untuk menetapkan apakah seseorang memiliki daya tangkis cukup
terhadap lepra bentuk L. Hasil tes negatif berarti orang tersebut sangat peka
untuk infeksi dengan bentuk tersebut.

Pada tahun 1965 telah dibuktikan di Uganda, bahwa vaksinasi BCG


memberikan perlindungan yang lumayan terhadap infeksi dengan bentuk L.
Pengobatan
Sejak dahulu kala obat satu-satunya terhadap lepra adalah minyak
kaulmogra, yang efektif untuk meredakan gejala-gejalanya tanpa menyembuhkan
penyakit.
Pada tahun 1950 ditemukan dapson yang mampu menghentikan
pertumbuhan basil lepra, yang kemudian lama-kelamaan akan dimusnahkan oleh
sistem tangkis tubuh sendiri. Kemudian ditemukan leprostatika lain antara lain
thiambutosin, klofazimin dan rifampisin.
WHO menganjurkan sebagai terapi pilihan pertama suatu kombinasi dari
dapson dengan rifampisin atau klofazimin selama sekurang-kurangnya 6 bulan.
Kemudian disusul dengan monoterapi dapson selama 5 7 tahun pada bentuk
tuberkuloid, dan seumur hidup pada bentuk L dan borderline.
Efek samping
Yang terpenting adalah reaksi lepra yaitu suatu reaksi alergi yang diakibatkan
oleh basil mati yang berjumlah besar di dalam jaringan-jaringan. Gejala-gejala
berupa demam tinggi, radang dan nyeri sendi, rasa lelah dan habis tenaga, khusus
pada bentuk L terjadi benjol-benjol merah kebiruan. Semula diduga bahwa reaksireaksi ini merupakan efek samping khusus dari dapson, tetapi kemudian ternyata
dapat juga ditimbulkan oleh leprostatika lainnya kecuali klofazimin.
Untuk mengatasi gejala-gejala ini, obat lepra sering dikombinasi
dengan asetosal atau sedativa, atau jika lebih hebat bisa diberikan zat supresif
(penekan) seperti kortikosteroid. Obat lepra tidak boleh dihentikan atau dikurangi
dosisnya berhubungan meningkatnya bahaya resistensi.

Sampai pengembangan dapson, rifampin, dan klofazimin pada 1940an, tidak ada
pengobatan yang efektif untuk kusta. Namun, dapson hanyalah obat bakterisidal
(pembasmi bakteri) yang lemah terhadap M. leprae. Penggunaan tunggal dapson
menyebabkan populasi bakteri menjadi kebal. {ada 1960an, dapson tidak

digunakan lagi. Pencarian terhadap obat anti kusta yang lebih baik dari dapson,
akhirnya menemukan klofazimin dan rifampisin pada 1960an dan 1970an.
Kemudian, Shantaram Yawalkar dan rekannya merumuskan terapi kombinasi
dengan rifampisin dan dapson, untuk mengakali kekebalan bakteri. Terapi multiobat
dan kombinasi tiga obat di atas pertama kali direkomendasi oleh Panitia Ahli WHO
pada 1981. Cara ini menjadi standar pengobatan multiobat. Tiga obat ini tidak
digunakan sebagai obat tunggal untuk mencegah kekebalan atau resistensi bakteri.
Terapi di atas lumayan mahal, maka dari itu cukup sulit untuk masuk ke negara
yang endemik. Pada 1985, kusta masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di
122 negara. Pada Pertemuan Kesehatan Dunia (WHA) ke-44 di Jenewa, 1991,
menelurkan sebuah resolusi untuk menghapus kusta sebagai masalah kesehatan
masyarakat pada tahun 2000, dan berusaha untuk ditekan menjadi 1 kasus per
100.000. WHO diberikan mandat untuk mengembangkan strategi penghapusan
kusta.
Kelompok Kerja WHO melaporkan Kemoterapi Kustapada 1993 dan
merekomendasikan dua tipe terapi multiobat standar. Yang pertama adalah
pengobatan selama 24 bulan untuk kusta lepromatosa dengan rifampisin,
klofazimin, dan dapson. Yang kedua adalah pengobatan 6 bulan untuk kusta
tuberkuloid dengan rifampisin dan dapson.

Sejak 1995, WHO memberikan paket obat terapoi kusta secara gratis pada negara
endemik, melalui Kementrian Kesehatan. Strategi ini akan bejalan hingga akhir
2010. Pengobatan multiobat masih efektif dan pasien tidak lagi terinfeksi pada
pemakaian bulan pertama. Cara ini aman dan mudah. jangka waktu pemakaian
telah tercantum pada kemasan obat
2.3.2. Pengobatan
Sejak dahulu kala obat satu-satunya terhadap lepra adalah minyak
kaulmogra, yang efektif untuk meredakan gejala-gejalanya tanpa menyembuhkan
penyakit.
Pada tahun 1950 ditemukan dapson yang mampu menghentikan
pertumbuhan basil lepra, yang kemudian lama-kelamaan akan dimusnahkan oleh
sistem tangkis tubuh sendiri. Kemudian ditemukan leprostatika lain antara lain
thiambutosin, klofazimin dan rifampisin.
WHO menganjurkan sebagai terapi pilihan pertama suatu kombinasi dari
dapson dengan rifampisin atau klofazimin selama sekurang-kurangnya 6 bulan.
Kemudian disusul dengan monoterapi dapson selama 5 7 tahun pada bentuk
tuberkuloid, dan seumur hidup pada bentuk L dan borderline.

2.3.3. Efek samping


Yang terpenting adalah reaksi lepra yaitu suatu reaksi alergi yang diakibatkan
oleh basil mati yang berjumlah besar di dalam jaringan-jaringan. Gejala-gejala
berupa demam tinggi, radang dan nyeri sendi, rasa lelah dan habis tenaga, khusus
pada bentuk L terjadi benjol-benjol merah kebiruan. Semula diduga bahwa reaksireaksi ini merupakan efek samping khusus dari dapson, tetapi kemudian ternyata
dapat juga ditimbulkan oleh leprostatika lainnya kecuali klofazimin.
Untuk mengatasi gejala-gejala ini, obat lepra sering dikombinasi dengan
asetosal atau sedativa, atau jika lebih hebat bisa diberikan zat supresif (penekan)
seperti kortikosteroid. Obat lepra tidak boleh dihentikan atau dikurangi dosisnya
berhubungan meningkatnya bahaya resistensi.
Spesialite :

Anda mungkin juga menyukai