Inhalasi Heroin Referat Ss
Inhalasi Heroin Referat Ss
PENDAHULUAN
Definisi narkoba
Mengenali jenis-jenis narkoba
Mengenali jenis narkoba inhalan
Mengetahui mekanisme kerja narkoba inhalasi terutama heroin dalam tubuh
Mengetahui pemeriksaan forensik intoksikasi inhalasi heroin
Memastikan intoksikasi inhalasi heroin menggunakan pemeriksaan penunjang
Mengetahui penatalaksanaan pada intoksikasi heroin
I.3 TUJUAN
Adapun referat ini penulis buat untuk memperjelas dan membahas lebih dalam
mengenai dampak dari narkoba inhalasi terutama heroin dan mekanismenya sehingga dapat
menimbulkan kematian.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 NARKOBA
a. Definisi
Pengertian narkotika menurut Undang Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang
Narkotika Pasal 1, yaitu zat atau obat yang berasal dari tanaman baik sintetis maupun semi
sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,
mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.
Sedangkan yang dimaksud ketergantungan narkotika menurut UU tersebut adalah gejala
dorongan untuk menggunakan narkotika secara terus menerus, toleransi dan gejala putus
narkotika apabila penggunaan dihentikan.2
Psikotropika menurut Pasal 1, Undang-Undang Nomor 5 tahun 1997 tentang
psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang
berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang
menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. 2
Yang dimaksud bahan berbahaya lainnya adalah zat, bahan kimia dan biologi, baik
dalam bentuk tunggal maupun campuran yang dapat membahayakan kesehatan dan
lingkungan hidup secara langsung atau tidak langsung yang mempunyai sifat karsinogenik,
teratogenik, mutagenik, korosif dan iritasi. Bahan berbahaya ini adalah zat adiktif yang
bukan narkotika dan psikotropika atau zat zat baru hasil olahan manusia yang
menyebabkan kecanduan. 2
b. Penggolongan
Menurut struktur kimianya, narkotika dapat digolongkan menjadi :
1.
Morfin dan turunannya (contoh heroin)
2.
Turunan benzomorfan (contoh pentazocine)
3.
Golongan 4-fenilpiperidin (contoh petidin)
4.
Golongan difenilpropilamin dan analgesik-asiklik (contoh metadon)
5.
Lain lain (contoh turunan fenotiazin dan benzimidazol)3
3
nervus vagus. Setelah bronkiolus terminalis terdapat asinus yang merupakan unit fungsional
paru, yaitu tempat pertukaran gas. Asinus terdiri dari: Bronkiolus respiratoris, duktus
alveolaris dan sakus alveolaris terminalis yang merupakan struktur akhir dari paru.4
Pertama ventilasi, merupakan proses pergerakan keluar masuknya udara melalui cabangcabang trakeo bronkial sehingga oksigen sampai pada alveoli dan karbondioksida
dibuang. Pergerakan ini terjadi karena adanya perbedaan tekanan. Udara akan mengalir
dari tekanan yang tinggi ke tekanan yang rendah. Selama inspirasi volume torak
bertambah besar karena diafragma turun dan iga terangkat. Peningkatan volume ini
menyebabkan penurunan tekanan intra pleura dari 4 mmHg (relatif terhadap tekanan
atmosfir) menjadi sekitar 8mmHg. Pada saat yang sama tekanan pada intra pulmunal
menurun 2 mmHg (relatif terhadap tekanan atmosfir). Selisih tekanan antara saluran
udara dan atmosfir menyebabkan udara mengalir kedalam paru sampai tekanan saluran
udara sama dengan tekanan atmosfir. Pada ekspirasi tekanan intra pulmunal bisa
5
meningkat 1-2 mmHg akibat volume torak yang mengecil sehingga udara mengalir keluar
2.
paru.4
Proses kedua adalah difusi yaitu masuknya oksigen dari alveoli ke kapiler melalui
membran alveoli-kapiler. Proses ini terjadi karena gas mengalir dari tempat yang tinggai
tekanan parsialnya ketempat yang lebih rendah tekanan partialnya. Oksigen dalam alveoli
mempunyai tekanan partial yang lebih tinggi dari oksigen yang berada didalam darah.
Karbondioksida darah lebih tinggi tekanan partialnya dari pada karbondioksida dialveoli.
3.
Metode lain yang digunakan termasuk inhalansia menempatkan pada lengan, kerah,
atau barang-barang lainnya dari pakaian dan mengendusnya dalam beberapa waktu.
Pemanasan zat volatil dan menghirup uap yang dipancarkan adalah bentuk lain dari inhalasi.
Semua metode ini berpotensi berbahaya atau mematikan.3
Intoksikasi secara inhalasi artinya masuknya zat ke dalam tubuh melalui saluran
pernapasan yang mengganggu kesehatan dan dapat menyebabkan kematian.
II.4 NARKOBA INHALAN : HEROIN
a. Definisi
Heroin (diasetilmorfin) termasuk golongan opioid agonis dan merupakan
derivat morfin yang terbuat dari morfin yang mengalami asetilasi pada gugus
hidroksil pada ikatan c3 dan c6. Sumber heroin biasa didapatkan dari pengeringan
ampas bunga dan getah opium yang mempunyai kandungan morfin dan merupakan
penghilang rasa nyeri potensi kuat.5
b. Struktur Molekul
Heroin adalah bahan mentah diamorfin dan merupakan produk semi-sintetik
yang diperoleh dari asetilasi morfin; terjadi sebagai produk alami opium dari spesies
poppy tertentu (misalnya Papaver somniferum L.). Diamorfin adalah analgesik
narkotika yang digunakan dalam pengobatan sakit parah. Heroin terlarang dapat
dihisap atau disolubilisasi dengan asam lemah dan disuntikkan.
Rumus molekul heroin adalah C21H23NO5 dengan berat molekul 369,4 g/mol.
Diamorfin (diacetylmorphine, CAS-561-27-3) diproduksi dari asetilasi morfin
mentah. Nama sistematis berdasarkan IUPAC (International Union of Pure and
Applied Chemistry) adalah (5, 6) -7,8-didehydro-4,5-epoxy-17-methylmorphinan3,6-diol asetat. Meskipun lima pasang enantiomer secara teoritis mungkin ada dalam
morfin, namun hanya satu terjadi secara alami (5R, 6S, 9R, 13S, 14R).
2.
Ketergantungan fisik, yaitu kebutuhan akan obat tersebut oleh karena faal dan
biokimia badan tidak dapat berfungsi lagi tanpa obat tersebut.
10
3.
Toleransi, yaitu meningkatnya kebutuhan obat tersebut untuk mendapat efek yang
sama. Walaupun toleransi timbul pada saat pertama penggunaan opioid, tetapi
manifes setelah 2-3 minggu penggunaan opioid dosis terapi. Toleransi akan terjadi
lebih cepat bila diberikan dalam dosis tinggi dan interval pemberian yang singkat.
Toleransi silang merupakan karakteristik opioid yang penting, dimana bila
penderita telah toleran dengan morfin, dia juga akan toleran terhadap opioid agonis
lainnya, seperti metadon, meperidin dan sebagainya.
24-72 jam, semua gejala diatas intensitasnya bertambah disertai adanya kelemahan,
depresi, nausea, vornitus, diare, kram perut, nyeri pada otot dan tulang, kedinginan
dan kepanasan yang bergantian, peningkatan tekanan darah dan denyut jantung,
gerakan involunter dari lengan dan tungkai, dehidrasi dan gangguan elektrolit
Selanjutnya, gejala hiperaktivitas otonom mulai berkurang secara berangsur-angsur
dalam 7-10 hari, tetapi penderita masih tergantung kuat pada obat. Beberapa gejala
ringan masih dapat terdeteksi dalam 6 bulan. Pada bayi dengan ibu pecandu obat
akan terjadi keterlambatan dalam perkembangan dan pertumbuhan yang dapat
terdeteksi setelah usia 1 tahun.
g. Penatalaksanaan Intoksikasi
Intoksikasi akut (over dosis)
Intoksikasi kronis
Hospitalisasi dilakukan untuk pasien pasien adiksi zat, terutama ditujukan untuk:
1. Terapi kondisi withdrawl
2. Terapi detoksifikasi
12
bertujuan
agar
pasien
memutuskan
penggunaan
zatnya
dan
mengembalikan kemampuan kognitifnya. Tidak ada bentuk terapi lain yang harus
dilakukan sebelum kedua tujuan tersebut berhasil dicapai. Tujuan hospitalisasi lainnya
adalah membantu pasien agar dapat mengidentifikasi konsekuensi yang diperoleh
sebagai akibat penggunaan zat dan memahami resikonya bila terjadi relaps. Dari segi
mental, hospitalisasi membantu mengendalikan suasana perasaannya seperti depressi,
paranoid, quilty feeling.
Hospitalisasi jangka pendek sangat disarankan bagi adiksi zat yang memang
harus mendapatkan perawatan karena kondisinya. Selama perawatan jangka pendek,
pasien dipersiapkan untuk mengikuti terapi rumatan. Untuk kondisi adiksinya, pasien
tidak pernah disarankan untuk perawatan jangka panjang.
1. Terapi withdrawl opioid
Kebanyakan pasien dengan gejala putus obat yang ringan hanya membutuhkan
lingkungan yang mendukung mereka tanpa memerlukan obat
diperlukan hingga 0,8 1,2 mg/hari, selanjutnya dapat ditappering off setelah
10-14 hari.
2. Terapi non spesifik (simptomatik)
Metadon dan Levo alfa acetyl; methadol (LAAM) merupakan standar terapi
rumatan adiksi opioid. Metadon diberikan setiap hari, sedangkan LAAM hanya
3 kali seminggu. Pemberian metadon dan LAAM pada terapi rumatan sangat
membantu menekan prilaku kriminal. Untuk terapi maintenance, dosis
metadon dapat ditingkatkan (biasanya 40-100mg/hari). Untuk menjaga pasien
tetap menyenangkan dan diturunkan secara perlahan-lahan.
h. Pemeriksaan Forensik
Pada korban hidup yang menunjukkan gejala keracunan narkotika, perlu
dilakukan pengambilan darah dan urin untuk pemeriksaan laboratorium. Apabila hasil
pemeriksaan laboratorium memastikan adanya narkotika, maka wajib dilaporkan pada
pihak berwenang pada korban mati biasanya kematian disebabkan oleh penggunapengguna yang memakai heroin dalam bentuk intravena, baik karena overdosis atau
karena pembunuhan dengan suntikan yang biasa menggunakan morfin/heroin
dicampur acun lain seperti sianida.
Biasanya pada pemeriksaan pada korban yang menggunakan secara intravena
didapatkan adanya bekas-bekas suntikan, pembesaran kelenjar getah bening karena
penggunaan alat suntik yang tidak steril, lepuh kulit yang juga disebabkan oleh
15
penggunaan suntik. Sedangkan untuk korban mati akibat penggunaan secara inhalasi
biasanya paling sering didapatkan perforasi septum nasi dan juga didapatkan adanya
tanda-tanda kematian akibat asfiksia seperti keluarnya busa halus dari lubang hidung
dan mulut yang berwarna putih, sianosis pada ujung-ujung jari dan bibir, perdarahan
petekial pada konjungtiva.
Sedangkan untuk pemeriksaan organ lain pada pengguna morfin atau heroin
yang paling sering ditemukan adalah kelainan paru berupa edema paru. Namun
penemuan ini biasanya paling sering didapatkan pada penggunaan secara intravena
karena berdasarkan jangka waktu penyuntikan terakhir dengan kematian yang ditandai
oleh adanya perubahan pada paru.
i. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan urin
Untuk mengetahui zat yang dipakai penderita, urin harus diperoleh tidak
lebih dari 24 jam setelah pemakaian terakhir. Jika kadar morfin dalam urin
sebesar 55mg% berarti orang tersebut sudah menggunakan morfin/heroin dalam
jumlah yang berlebihan. Bila kadar dalam urin sebesar 5-20mg% berarti sudah
berada dalam tingkat toksik. Setelah urin diambil, urin disimpan dalam suhu
kamar. Lalu celupkan secara vertikal strip pada spesimen urin selama 10-15 detik,
jangan melebihi batas urin. Kemudian tunggu terbentuknya garis lalu baca hasil
pada 5 10 menit. Lalu lihat hasilnya dengan interpretasi:
Positif
Negatif
: Terbentuk dua pita pink pada Control (C) dan pada Test (T).
Invalid
:Tidak terbentuk pita pink pada Control (C) dan pada Test (T) atau
terbentuk pita pink pada Test (T) sedangkan pada Control (C) tidak terbentuk pita
pink.
2. Pemeriksaan darah
Ditemukan monoasetilmorfin pada spesimen darah vena. Biasanya bertahan bisa
sampai 72 jam setelah pemakaian terakhir.
3. Pemeriksaan hapusan hidung pada mukosa hidung. Semprit bekas pakai dan sisa
obat yang ditemukan harus dikirim ke laboratorium.
4. Uji Marquis
16
17
KESIMPULAN
Narkoba atau NAPZA adalah bahan atau zat yang dapat mempengaruhi kondisi kejiwaan
maupun psikologi seseorang (pikiran, perasaan dan perilaku) serta dapat menimbulkan
ketergantungan fisik dan psikologi. Yang termasuk dalam NAPZA adalah: Narkotika,
Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya. Penggunaan zat-zat ini dapat melalui berbagai cara,
melalui suntikan, dihirup baik melalui hidung maupun mulut, dimasukkan melalui dubur, dan
diminum. Penggunaan narkoba secara inhalasi dapat melalui berbagai cara yang dikenal dengan
istilah sniffing, huffing, dan bagging.
Heroin merupakan salah satu jenis narkoba yang dapat dikonsumsi melalui cara inhalasi.
Heroin mempunyai efek jangka pendek dan jangka panjang bagi pemakainya yang bila dibiarkan
akan menyebabkan gangguan kesehatan sampai dengan dengan kematian. Untuk membuktikan
kasus kematian akibat penggunaan heroin dapat dilakukan pemeriksaan dalam maupun luar.
Penting untuk dicari dari pemeriksaan luar adanya tanda-tanda keberadaan zat narkoba yang
menempel pada tubuh. Pada pemeriksaan dalam dan pemeriksaan penunjang perlu dibuktikan
adanya zat heroin atau bentuk zat aktifnya pada tubuh korban.
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Ruttenberg AJ. Etiology heroin, related death. Journal of Forensic Science, 35(4) Juli
1990; 890-900.
2. Narkotika dan Psikotropika. Available at:
http://www.ut.ac.id/html/suplemen/peki4422/bag%203.htm. Accessed on: 28 February
2014.
3. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, Munim W.A, Sidhi, dkk. Ilmu Kedokteran
Forensik. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik, 1997. Hlm 132, 133-6.
4. Alsagaff, H., Mukty, A. 2009. Anatomi dan Faal Pernapasan dalam Dasar-Dasar Ilmu
Penyakit Paru, Edisi 6. Airlangga University Press: Surabaya
5. Huffing, Sniffing, Dusting & Bagging. Available at: http://www.inhalant.org/inhalantabuse/huffing-sniffing-dusting-bagging/. Accessed on: 2 March 2014.
6. Cohan, SL, central nervous system disturbances and brain death narcotics in clinical
management of poisoning and drug overdose, ed. By Haddad LM. 2 nd ed. Philadelphia:
WB Saunders, 1990 (11) : 223-7.
7. Way EL. Drugs of abuse basic and clinical pharmacology. Katzung BG (ed). 7 th e.
Stamfort: Appleton, 1998 (32): 518-9
8. Way WL. Opioid analgesics and antagonist in basic and clinical pharmacology. Katzung
BG (ed). 7th e. Stamfort: Appleton, 1998 (31): 496-514.
9. Hubbell KC. Opiats and narcotics in clinical management of poisoning and drug
overdose, ed. By Haddad LM. 2nd ed. Philadelphia: WB Saunders, 1990 (38): 706-16.
10. Kriegstein. Chasing the dragon heroin use can damage brain. New York: Reuteut Health,
1999.
11. Ruttenberg AJ. Etiology heroin, related death. Journal of Forensic Science, 35 (4) July
1990; 890-900.
19