Anda di halaman 1dari 9

Imam Abu Isa al-Tirmidzi mengatakan telah menceritakan kepada kami Ali bin

Khusyram telah mengabarkan kepada kami Isa bin Yunus dari Al Hasan bin
Umarah dari Muhammad bin Abdurrahman bin Ubaid dari Isa bin Thalhah dari
Muadz bahwa dia telah menulis pertanyaan kepada Nabi Shalallahu alaihi wa
salam tentang sayur mayur yaitu kol, maka beliau menjawab: Tidak ada
kewajiban sesuatupun padanya (membayar zakat pada kol).
Abu Isa berkata, sanad hadits ini tidak shahih, dan tidak ada satu haditspun
dalam bab ini yang derajatnya shahih, hanya saja hadits ini diriwayatkan dari
Musa bin Thalhah dari Nabi Shallallaahu alaihi wasallam secara mursal, namun
hadits ini diamalkan oleh ahlul ilmi bahwa sayur mayur tidak terkena kewajiban
zakat.
Abu Isa berkata, Al Hasan ialah Ibnu Amarah dan dia didlaifkan oleh Syubah
serta yang lain, Abdullah bin Mubarak juga meninggalkan haditsnya.

Takhrij Hadits

Ahlul ilmi dalam masalah apakah hadits di atas bisa dijadikan hujah terbagi dua,
ada yang berpendapat bisa dijadikah hujah ada yang tidak. Yang berpendapat
bisa dijadikan hujah beralasan bahwa hadits tersebut satu sama lain saling
menguatkan, sedangkan yang tidak, mengatakan bahwa tetap saja hadits dhaif
itu tidak bisa menguatkan satu sama lain. Berikut penulis sajikan pandangan
mereka:
a) Dalam Kitab Jami al-Ushul (4:618) yang ditahqiq oleh Abdul Qadir al-Arnaut,
dalam tahqiqnya beliau mengatakan riwayat yang menyatakan bahwa sayuran
tidak terkena zakat pertanian juga diriwayatkan oleh:
al-Hakim, al-Thabrani, dan al-Dzaraqutni dari Muadz.
Al-Bazzar dan al-Dzaraqutni dari Thalhah.
Al-Dzaraqutni dari Ali, Ibn Jahsyin, Anas, dan Aisyah
Namun sanadnya semuanya lemah. al-Zaili dalam Nashbu al-Rayah setelah
menjelaskan kedhaifannnya dia mengutip pendapat al-Baihaqi yang

mengatakan, hadits ini satu sama lain saling menguatkan dan dikuatkan oleh
pendapat sahabat.
Kemudian al-Arnaut mengatakan, saya katakan bahwa al-Hadi dan al-Qasim
mewajibkan zakat terhadap sayuran, pendapat ini disetujui oleh Abu Hanifah,
mereka berhujah dengan keumuman QS. al-Baqarah: 276 dan al-Anam: 141,
serta hadits

Pada tanaman yang diairi dengan air hujan, mata air, atau air tanah maka
zakatnya sepersepuluh, adapun yang diairi dengan menggunakan tenaga maka
zakatnya seperduapuluh.(HR. Muslim)
Mereka juga mengatakan

Hadits dalam bab ini dhaif, tidak pantas untuk dijadikan hujah sebagai
pengkhususan keumumuan dalil
b) Dalam Kitab Marifah al-Sunan wa al-Atsar, Abu Bakar al-Baihaqi mengatakan
diriwayatkan dari Umar, Ali, dan Aisyah bahwa mereka mengatakan:

Tidak ada dalam sayuran zakat pertanian

Sebagian meriwayatkannya secara marfu (bersambung sanadnya sampai Nabi


saw. pen), namun riwayat ini bukanlah pendapat yang kuat (Abu Bakar alBaihaqi, 6:115), artinya riwayat yang kuat adalah mauquf (perkataan sahabat,
pen).
c) Pengarang Tanqih al-Tahqiq mengatakan tidak ada kewajiban zakat pertanian
dalam sayuran, sedangkan Abu Hanifah berpendapat sayuran wajib dizakati.
Dalam hal ini kami mempunyai hadits-hadits yang menyatakan tidak ada zakat
pertanian dalam sayuran tapi semua riwayatnya lemah (Ibn al-Hadi al-Hanbali,
3:49)

d) Al-Munawi mengatakan Hadits al-Dzaraqutni, al-Gharyani mengatakan dalam


sanadnya ada al-Harits bin Nabhan mereka melemahkannya. Hadits riwayat alTirmidzi dari Muadz, al-Dzahabi mengatakan haditsnya munqathi (terputus
sanadnya, pen). Hadits al-Dzaraqutni dan al-Bazzar dari Muadz dan Anas
menurut al-Dzahabi adalah hadits lemah. Hadits al-Dzaraqutni dari Ali, Aisyah
dan Ibn Jahsyin, al-Dzahabi mengatakan semua sanadnya lemah (Faidh al-Qadir,
5:373)
e) Al-Syaukani mengatakan:

Hadits-hadits tidak ada zakat dalam sayuran, kami telah menjelaskannya dalam
syarah al-Muntaqa (Nail al-Authar, pen) bahwa ia itu saling menguatkan satu
sama lainnya, ia pantas dijadikan pengkhususan keumuman dalil zakat pertanian
(al-Sail al-Jarar: TT: 245).
f) Dalam kitab Majmuatu al-Hadits ala Abwabil Fiqh (2:357), pentahqiq/peneliti
kitab tersebut, yaitu Khalil Ibrahim, setelah mengemukakan pendapat Ibn Hajar
al-Asqalani dalam al-Talkhis al-Khabir tentang lemahnya semua hadits-hadits
tidak ada zakat pertanian dalam sayuran, Khalil Ibrahim mengatakan tidak ada
satu haditspun yang sahih dalam bab ini, yang jelas bahwa semuanya lemah,
akan tetapi satu sama lainnya saling menguatkan, oleh karena itu fukaha
bersandar kepadanya, bahwa tidak ada zakat pertanian dalam sayuran,
pendapat ini berbeda dengan pendapat Abu Hanifah dan Mazhab Dzahiri,
menurut dua mazhab tersebyt bahwa sayuran terkena kewajiban zakat
pertanian.
g) Adapun ulama yang mensahihkan hadits tidak ada zakat dalam sayuran
adalah Muhammad Nashiruddin al-Bani salah seorang ulama kontemporer
kelahiran al-Bania (menurut penulis pendapat ini perlu ditelliti dan dikaji ulang
kembali) beliau mengatakan

)( ][ ] [ .

Tidak ada zakat dalam sayuran. Sahih, diriwayatkan oleh al-Dzaraqutni dari
Anas dan Thalhah. Begitujuga hadits riwayat al-Tirmidzi dan al-Baihaqi dari
Muadz sanadnya sahih. (Sahih al-Jami al-Shagir, 2:953).
dalam Irwa al-Ghalil (3:276) beliau mengatakan:

. : ) (801) ((190
. )( 4/19 *
.
.
)(201 )(1/401 )4/128 (129
:
.
. : , ,
. :
: : ,
. , )(2/386
: , ,
. ,
. : ,
. .

Kemudian dalam halaman 291-292 beliau mengatakan:

:
, , , ,
.
)( 200
.: ,
.
.

Syarah Hadits

Ubaidillah al-Rahmani al-Mubarakafuri (1327H-1414H) dalam menjelaskan hadits


(sayuran, yang hijau) adalah bentuk jamak dariini beliau mengatakan:
dan yang dimaksud adalah: kata

Kemangi, kacang-kacangan, mentimun, melon, terong dan yang seruupa dengan


itu
Yahya bin Adam dalam kitabnya al-Kharaz mengatakan

Sayuran menurut kami adalah al-rutab, kemangi, kacang-kacangan dan buahbuahan seperti pir, quince, persik, apel, buah ara, pir, aprikot, delima, mentimun,
buckthorn dan Albakulai, wortel, pisang, kenari, almond, semangka dan yang
serupa dengannya

al-Amir al-Yamani mengatakan:

Al-Khudrawat itu adalah yang tidak ditimbang dan bukan makanan pokok.

kemudian beliau mengatakan Hadis ini adalah dalil bagi pendapat jumhur
(mayoritas) fukaha bahwa tidak ada kewajiban zakat pertanian dalam sayuran.
Hadits yang semakna dengan ini juga diriwayatkan secara marfu dari Aisyah,
Ibn Jahsyin, Anas, Muadz dan Thalhah namun semuanya seperti hadits ini, yaitu
dhaif/haditsnya lemah.
Pendapat jumhur yang paling kuat dalam hal ini adalah bahwa sayuran ada di
Madinah pada zaman Nabi saw., namun tidak ada riwayat perintah
mengeluarkan zakatnya. Tidak ada seorangpun yang mengambilnya dan
menyerahkannya.
Abu Hanifah berpendapatwajib zakat pada setiap yang dikeluarkan oleh bumi
baik itu biji-bijian, buah-buahan, atau pun kol (sayuran) dan lain sebagainya.
Pendapat ini juga diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz, Abu Burdah bin Abi
Musa, Hammad, al-Nakhai, dan ini juga pendapat Abu Dawud al-Dzahiri (Pendiri
Mazhab Dzahiri, pen) dan dikuatkan oleh Ibn al-Arabi (Fukaha terkemuka
dikalangan Mazhab Maliki, pen).
Ini juga adalah pendapat yang cenderung dipilih oleh al-Fakhr al-Razi dan yang
dipilih oleh guru kami al-Alamah al-Ghazi al-Fauri, mereka beristidlal

berdasarkan keumuman QS. al-Taubah:103, al-Baqarah: 267, dan al-Anam: 141,


dan keumuman hadits tanaman yang diari hujan zakatnya 10 %.
Hadits-hadits tentang tidak ada zakat pertanian dalam sayuran, jikalau/walaupun
sahih tidak bisa dijadikan penghususan keumumuan ayat, karena haditsnya
adalah hadits ahad. Lalu bagaimana sedangkan semua haditsnya adalah lemah!
(Mirah al-Mafatih, 6:181-182).

Pandangan Ulama Kontemporer

Di antara para ulama kontemporer yang berpendapat tidak ada zakat pertanian
dalam sayuran adalah Husain bin Audah dalam bukunya al-Mausuah alFiqhiyyah al-Muyassarah, Muhammad bin Ibrahim bin Abdillah dalam bukunya
Mausuah al-Fiqhi al-Islami, Shalih bin Ghanim dalam bukunya Risalah fi Fiqh alMuyassar,Al-Utsaimin dalam fatwanya (Majmu Fatawa wa Rasail Ibn al-Utsaimin)
dengan mengutip pendapat Umar bahwa tidak ada zakat dalam sayuran. Begitu
juga Ibn Baz dalam fatwanya. Dalam pandangan mereka sayuran wajib dizakati
apabila diperdagangkan, yaitu zakatnya adalah zakat perdagangan bukan
pertanian.
Di antara alasan ulama tersebut adalah hadits-hadits tidak ada zakat dalam
sayuran, pendapat sebagian para sahabat. Dalam pandangan mereka yang wajib
dizakati adalah makanan pokok, yang bisa disimpan/tahan lama dan ditimbang.
Adapun sayuran tidak seperti itu.
Alasan mereka adalah hadits:

Telah menceritakan kepada Kami Abdullah bin Maslamah, ia berkata; saya


membacakan riwayat kepada Malik bin Anas dari Amr bin Yahya Al Mazini dari
ayahnya, ia berkata; saya mendengar Abu Said Al Khudri berkata; Rasulullah
shallAllahu waalaihi wa sallam bersabda: Tidak ada zakat pada unta yang
kurang dari lima dzaud (dzaud adalah antara tiga hingga sepuluh), tidak ada
zakat pada perak yang kurang dari lima uqiyah, dan tidak ada zakat pada buahbuahan yang kurang dari lima wasaq. (Abu Daud)
Dalam menjelaskan hadits tersebut al-Khithabi (w. 338 H) dalam kitabnya
Maalim al-Sunan yang merupakan syarah kitab Sunan Abi Daud mengatakan:

Dengan hadits ini beristidlal orang yang berpendapat bahwa zakat tidak wajib
pada sayuran karena itu tidak di wasaq. Khabar tersebut adalah dalil bahwa
zakat hanya wajib pada yang diwasaq dan ditimbang dari biji-bijian dan buahbuahan, bukan yang tidak ditimbang dari buah-buahan, sayuran dan lain
sebagainya, ini adalah pendapat kebanyakan ahlul ilmi, akan tetapi Abu Hanifah
memandang bahwa zakat itu wajib pada semua yang dikeluarkan oleh bumi
kecuali pohon tak berbuah, rotan persia dan rumput atau yang sama dengannya.
(Maalim al-Sunan, 2:14).
Para fukaha yang berpendapat bahwa sayuran terkena zakat pertanian
berpendapat bahwa hadits itu berkaitan dengan nishab.

Di antara para ulama kontemporer yang mewajibkan adanya zakat pertanian


dalam sayuran bahkan dalam semua apa yang ditanam seperti yang dikatakan
oleh Abu Hanifah adalah Hisamuddin bin Musa bin Muhammad bin Affanah salah
seorang ulama Palestina, meraih gelar doktor pada tahun 1985 di bidang Fikih
dan Ushul Fikih dari Universitas Ummul Qura Arab Saudi, dalam bukunya
Yasalunaka Aniz Zakah beliau berpendapat bahwa pendapat Abu Hanifah adalah
pendapat yang paling kuat dan Muhammad Nasih Ulwan sebagaimana dikatakan
dalam bukunya Ahkamuz Zakah Ala Dhaui al-Mazahib al-Arbaah.
Dalam pandangan mereka yang wajib dizakati bukan hanya makanan pokok,
yang bisa disimpan/tahan lama dan ditimbang, akan tetapi semua tanaman yang
ditanam apabila mencapai nishabnya maka wajib dizakati dengan zakat
pertanian.
Alasan mereka adalah keumuman QS. al-Taubah:103, al-Baqarah: 267, dan
al-Anam: 141, dan keumuman hadits tentang tanaman yang diari hujan
zakatnya 10 %. Dan sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Bakar bin al-Arabi
(1076 M 1148 M) seorang fukaha klasik dan tokoh Mazhab Maliki mengatakan:

Mazhab yang paling kuat dan menjaga serta melindungi orang miskin adalah
pendapat Abu Hanifah dan ini berpegang kepada keumuman dalil (Fath al-Bari,
3:350)

Penutup

1) Permasalah tentang apakah hanya makanan pokok, yang bisa disimpan/tahan


lama dan ditimbangsaja, ataukah semua tanaman yang ditanam apabila
mencapai nishabnya maka wajib dizakati dengan zakat pertanianadalah masalah
yang sudah ada pada masa awal Islam .
2) Permasalah tentang apakah sayuran terkena zakat pertanian atau tidakadalah
masalah yang sudah ada pada masa awal Islam
3) Adanya permasalahan di atas adalah karena adanya perbedaan metodologi
dalam berijtihad
4) Adanya permasalahan di atas adalah karena tidak adanya nash yang tegas
dan qathi baik itu yang melarang maupun yang memerintahkan zakat sayuran
5) Yang berpendapat tidak ada kewajiban zakat pertanian dalam sayuran
berpandangan bahwa haditsnya bisa dijadikan hujah karena saling menguatkan
satu sama lain dan dikuatkan dengan pendapat para sahabat
6) Yang berpendapat bahwa ada kewajiban zakat pertanian dalam sayuran
beristidlal dengan keumuman dalil, dan dalil khusus yang melarang zakat dalam
sayuran tidak bisa dijadikan hujah karena lemah.

ditulis oleh https://www.facebook.com/elhafidzelnuhah

Daftar Pustaka

Abu Isa Muhammad bin Isa al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, Mesir: Syarikah
Maktabah, 1975
Abu Bakar al-Baihaqi, Marifah al-Sunan wa al-Atsar, Damaskus: Dar al-Wai,
1991
Abu Sulaiman al-Khitabi, Maalim al-Sunan Syarah Sunan Abi Dawud, Halab: alMatbaah al-Ilmiyyah, 1932
Ibn al-Atsir, Jami al-Ushul An Hadits al-Rasul, dengan tahqiq Abdul Qadir alArnauth, Beirut: Maktabah al-Hulwani, 1970
Ibn Hadi al-Hanbali, Tanqih al-Taahqiq fi Ahadits al-Taliq, Riyadh: Adhwaus Salaf,
2007
Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari Syarah Shahih al-Bukhari, Beirut: Dar alMarifah, 1379 H

Ubaidillahal-Rahmani al-Mubarakafuri, Mirah al-Mafatih Syarah al-Misykah alMashabih, India: Idarah al-Buhuts, TT
Muhammad bin Ali al-Syaukani, al-Sail al-Jarar, Beirut: Dar Ibn Hazm, TT
Muhammad Nashiruddin al-Bani, Shahih al-Jami al-Shagir, Beirut: al-Maktab alIslami, TT
__________________________ Irwa al-Ghalil, Beirut: al-Maktab al-Islami, 1985
Muhammad bin Abdul Wahab, Majmuatul Hadits ala Abwabil Fiqh, dengan
tahqiq Khalil Ibrahim, Riyadh Jamiah al-Imam Muhammad bin Suud, TT
Zainuddin al-Munawi, Faidh al-Qadir Syarah al-Jami al-Shagir, Mesir: Maktabah alTijariyyah al-Kubra, TT

Anda mungkin juga menyukai