Case Tifoid DR Pnaldi
Case Tifoid DR Pnaldi
DEMAM TIFOID
Disusun untuk memenuhi sebagian syarat Program Internsip
Dokter Indonesia
Oleh
dr.Personaldi
Pembimbing :
dr. Widya Syafitri, Sp.PD
Pendamping :
dr. Azharul Yusri, SpOG
dr.Aisah Bee
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI
0
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Demam tifoid merupakan penyakit endemik yang termasuk dalam masalah
kesehatan di negara berkembang, termasuk Indonesia karena dapat membawa
dampak peningkatan angka morbiditas maupun angka mortalitas. Di Indonesia
kasus demam tifoid telah tercantum dalam Undang-undang nomor 6 Tahun 1962
tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit yang mudah
menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan
wabah.1
Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik yang disebabkan oleh
Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas yang berkepanjangan, di topang
dengan bakteremia dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit
mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus dan Peyers patch. Sampai saat
ini demam tifoid masih menjadi masalah kesehatan masyarakat, serta berkaitan
dengan sanitasi yang buruk terutama di negara-negara berkembang.1
Menurut data World Health Organization (WHO) tahun 2003, terdapat 17
juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan angka kematian mencapai
600.000 kasus.2 Di Indonesia terdapat 900.000 kasus dengan angka kematian
sekitar 20.000 kasus.3 Menurut data Hasil Riset Dasar Kesehatan (RISKESDAS)
tahun 2007, demam tifoid menyebabkan 1,6% kematian penduduk Indonesia
untuk semua umur.4 Demam tifoid lebih sering menyerang anak usia 5-15 tahun.5
Menurut laporan WHO 2003, insidensi demam tifoid pada anak umur 5-15 tahun
di Indonesia terjadi 180,3/100.000 kasus pertahun dan dengan prevalensi
mencapai 61,4/1000 kasus pertahun.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis, Enteric fever atau
Typoid fever. Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik bersifat akut yang
disebabkan oleh Salmonella enterica serotype typhi, dapat juga disebabkan oleh
Salmonella enterica serotype paratyphi A, B, atau C (demam paratifoid).6
2.2 Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi (S. typhi), basil gram
negatif, berflagel, dan tidak berspora. S. typhi memiliki 3 macam antigen yaitu
antigen O (somatik berupa kompleks polisakarida), antigen H (flagel), dan antigen
Vi. Dalam serum penderita demam tifoid akan terbentuk antibodi terhadap ketiga
macam antigen tersebut.6
2.3 Patogenesis
Patogenesis demam tifoid merupakan proses yang kompleks yang melalui
beberapa tahapan.7 Setelah kuman Salmonella typhi tertelan, kuman tersebut dapat
bertahan terhadap asam lambung dan masuk ke dalam tubuh melalui mukosa usus
pada ileum terminalis.8 Di usus, bakteri melekat pada mikrovili, kemudian melalui
barier usus yang melibatkan mekanisme membrane ruffling, actin rearrangement,
dan internalisasi dalam vakuola intraseluler.8 Kemudian Salmonella typhi
menyebar ke sistem limfoid mesenterika dan masuk ke dalam pembuluh darah
melalui sistem limfatik.2 Bakteremia primer terjadi pada tahap ini dan biasanya
tidak didapatkan gejala dan kultur darah biasanya masih memberikan hasil yang
negatif.8 Periode inkubasi ini terjadi selama 7-14 hari. 7,8 Bakteri dalam pembuluh
darah ini akan menyebar ke seluruh tubuh dan berkolonisasi dalam organ-organ
sistem retikuloendotelial, yakni di hati, limpa, dan sumsum tulang. Kuman juga
dapat melakukan replikasi dalam makrofag.8 Setelah periode replikasi, kuman
akan disebarkan kembali ke dalam sistem peredaran darah dan menyebabkan
bakteremia sekunder sekaligus menandai berakhirnya periode inkubasi.6,8
Bakteremia sekunder menimbulkan gejala klinis seperti demam, sakit kepala, dan
nyeri abdomen.7 Bakteremia dapat menetap selama beberapa minggu bila tidak
diobati dengan antibiotik.9 Pada tahapan ini, bakteri tersebar luas di hati, limpa,
sumsum tulang, kandung empedu, dan Peyers patches di mukosa ileum terminal. 9
Ulserasi pada Peyers patches dapat terjadi melalui proses inflamasi yang mengakibatkan nekrosis dan iskemia.7 Komplikasi perdarahan dan perforasi usus dapat
menyusul ulserasi. Kekambuhan dapat terjadi bila kuman masih menetap dalam
organ-organ sistem retikuloendotelial dan berkesempatan untuk berproliferasi
kembali.9 Menetapnya Salmonella dalam tubuh manusia diistilahkan sebagai
pembawa kuman atau carrier.9
2.4.
Gejala Klinis
Masa inkubasi bervariasi dan tergantung pada ukuran inokulum dan daya
tahan tubuh penjamu. Masa inkubasi rata-rata 3 60 hari. Setelah masa inkubasi
maka ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri
kepala, pusing dan tidak bersemangat.10
Kemudian menyusul gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu : 6,10
a. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam menetap persisten . Peningkatan suhu
seperti naik tangga setiap hari sampai dengan 40 atau 41 oC . Selama minggu
pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya
menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam
minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggu
ketiga suhu tubuh berangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir
minggu ketiga. Bradikardia relatif dapat ditemukan. Bradikardia relatif adalah
peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti oleh peningkatan frekuensi nadi.
b. Ganguan pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah
(ragaden). Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan
tepinya kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan
keadaan perut kembung (meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai
nyeri pada perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin pula
normal bahkan dapat terjadi diare.
c. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu
apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah.
2.5
Diagnosis
Untuk mendiagnosis demam tifoid perlu dilakukan pemeriksaan
laboratorium. Ada 3 metode untuk mendiagnosis penyakit demam tifoid, yaitu :2,6
a. Diagnosis klinik
Diagnosis klinis penyakit ini sering tidak tepat, karena gejala klinis yang khas
pada demam tifoid tidak ditemukan atau gejala yang sama dapat juga
ditemukan pada penyakit lain. Diagnosis klinis demam tifoid sering kali
terlewatkan karena pada penyakit dengan demam beberapa hari tidak
diperkirakan kemungkinan diagnosis demam tifoid.
b. Diagnosis mikrobiologik / pembiakan kuman
Metode diagnosis mikrobiologik adalah metode yang paling spesifik dan lebih
dari 90% penderita yang tidak diobati, kultur darahnya positif dalam minggu
pertama. Hasil ini menurun drastis setelah pemakaian obat antibiotika, dimana
hasil positip menjadi 40%. Meskipun demikian kultur sum-sum tulang tetap
memperlihatkan hasil yang tinggi yaitu 90% positif. Pada minggu-minggu
selanjutnya hasil kultur darah menurun, tetapi kultur urin meningkat yaitu 85%
dan 25% berturut-turut positif pada minggu ke-3 dan ke-4. Organisme dalam
tinja masih dapat ditemukan selama 3 bulan dari 90% penderita dan kira-kira
3% penderita tetap mengeluarkan kuman Salmonella typhi dalam tinjanya
untuk jangka waktu yang lama.
c. Diagnosis serologik
1. Uji Widal
Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi
(aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella typhi terdapat
dalam serum penderita demam tifoid, pada orang yang pernah tertular
Salmonella typhi dan pada orang yang pernah mendapatkan vaksin demam
tifoid. Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah suspensi Salmonella
typhi yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji
Penatalaksanaan
Terapi pada demam tifoid adalah untuk mencapai keadaan bebas demam
dan gejala, mencegah komplikasi dan menghindari kematian.13 Yang juga tidak
kalah penting adalah eradikasi total bakteri untuk mencegah kekambuhan dan
keadaan karier.13
Salmonella
typhi
(NARST)
merupakan
petanda
berkurangnya
Indonesia di mana penurunan demam pada levofloksasin paling cepat, yaitu 2,4
hari.11
Sebuah meta-analisis yang dipublikasikan pada tahun 2009 menyimpulkan
bahwa pada demam enterik dewasa, fluorokuinolon lebih baik dibandingkan
klorampenikol untuk mencegah kekambuhan.14 Namun, fluorokuinolon tidak
diberikan pada anak-anak karena dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan
dan kerusakan sendi.1,2,11
Klorampenikol sudah sejak lama digunakan dan menjadi terapi standar
pada demam tifoid namun kekurangan dari klorampenikol adalah angka
kekambuhan yang tinggi (5-7%), angka terjadinya karier juga tinggi, dan toksis
pada sumsum tulang.11Azitromisin dan sefiksim memiliki angka kesembuhan
klinis lebih dari 90% dengan waktu penurunan demam 5-7 hari, durasi
pemberiannya lama (14 hari) dan angka kekambuhan serta fekal karier terjadi
pada kurang dari 4%.1
Pasien dengan muntah yang menetap, diare berat, distensi abdomen, atau
kesadaran menurun memerlukan rawat inap dan pasien dengan gejala klinis
tersebut diterapi sebagai pasien demam tifoid yang berat.1 Terapi antibiotik yang
diberikan pada demam tifoid berat menurut KONAS PETRI BALI dapat dilihat
di tabel 2. Selain pemberian antibiotik, penderita perlu istirahat total serta terapi
suportif. Yang diberikan antara lain cairan untuk mengoreksi ketidakseimbangan
cairan dan elektrolit dan antipiretik serta diet lunak rendah serat.1,2
Pada kasus tifoid toksik (demam tifoid disertai gangguan kesadaran
dengan atau tanpa kelainan neurologis lainnya dan hasil pemeriksaan cairan otak
masih normal) langsung diberikan kombinasi kloramfenikol 4x 500 mg dengan
ampisilin 4x1 gram dan deksametason 3x5 mg atau 4x 10 mg.17
Kombinasi antibiotik hanya diperlukan pada kasus tifoid toksik, peritonitis
atau perforasi dan renjatan septik. Adapun steroid hanya digunakan pada kasus
tifoid toksik atau demam tifoid yang mengalami renjatan septik.17
Pada kasus tifoid karier pengobatan dibedakan berdasarkan tifoid karier
tanpa kolelitiasis, dengan kolelitiasis
haemobium.17
a. Tanpa kolelitiasis
Schistosoma
Kotrimoksazol 2x 2 tablet/hari
b. Dengan kolelitiasis
Kolesistektomi+
regimen
tersebut
diatas
selama
28
hari
atau
2.7
Pencegahan
Strategi pencegahan yang dipakai adalah untuk selalu menyediakan
conjugate, vaksin ini diberikan pada anak usia 2-5 tahun di Vietnam dan
memberikan efikasi perlindungan 91,1% selama 27 bulan setelah vaksinasi.
Efikasi vaksin ini menetap selama 46 bulan dengan efikasi perlindungan sebesar
89%.
10
BAB III
ILUSTRASI KASUS
Identitas pasien
Nama
: Nn. Eleine
Umur
: 36 Tahun
Pekerjaan
: Pekerja Kantor
Alamat
: Jl Sumber Sari
No. RM
: 05 75 47
Masuk RS
: 22 Agustus 2015
Tgl periksa
: 22 Agustus 2015
ANAMNESIS (Autoanamnesis)
Keluhan Utama
Kesadaran
: Komposmentis
Tekanan darah
: 120/70 mmHg
Nadi
: 78 x/menit
Nafas
: 20 x/menit
Suhu
: 36,5C
Paru
Jantung :
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi
Auskultasi
Palpasi
Perkusi
tidak teraba
: timpani
12
Pemeriksaan Ekstremitas
Akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-), sianosis (-)
PEMERIKSAAN PENUNJANG:
Laboratorium 22 Agustus 2015
Hb
: 13,5 gr/dl
Eritrosit
: 4,94 jt/mm3
Ht
: 40,3 %
Leukosit
: 7600/uL
Trombosit
: 180.000/mm3
GDS
: 102 mg%
Tubex: positif 4 menunjukkan infeksi demam tifoid aktif
Urin rutin:
Warna
Urobilinogen : (-)
BJ
: 1.020
Keton
: (-)
pH
:7
Bilirubin
: (-)
Protein
: (-)
Reduksi
: (-)
Nitrit
: (-)
Sedimen
: Eritrosit 0-1 LPB, leukosit 0-4 LPB, epitel (+), bakteri (-), kristal
(-), silinder (-), sel ginjal (-), sel ragi (-)
Resume:
Nn.E 36 tahun datang dengan keluhan utama demam sejak 14 hari SMRS
terutama meningkat malam hari. Pada pemeriksaan fisik didapatkan TD : 120/70
mmHg, Nadi : 78x/menit, Nafas : 20 x/menit, Suhu : 36,5C, lidah kotor pinggir
hiperemis, nyeri tekan epigastrium (+). Pada pemeriksaan laboratorium Hb 13,59
gr/dl, eritrosit 4,94 juta/mm3, leukosit 7600/mm3, Hct 40,3 %, trombosit
180.000/mm3, GDS 102 mg/dl, tubex: positif 4
Diagnosis Kerja : Demam tifoid
Dispepsia
Diagnosis Banding : Malaria
13
Penatalaksanaan
Non-Farmakologis
o Tirah baring
o Diet rendah serat, tinggi kalori
Farmakologis
Infus D5: NaCl 0,9% 1:1 6 jam / kolf
Drip Farbion 1 ampul dalam NaCl 0,9% 24 jam/kolf
Injeksi Sefotaksim 2x1 gram skin test
Injeksi Ranitidin 2x 1 ampul
Sukralfat suspensi 3x c1
Metoklopramid 3x1 tab (KP jika muntah)
Parasetamol 4x 500 mg
Antasida sirup 3x1
FOLLOW UP
Follow up
23/8/2015
S
: terapi lanjut
24/8/2015
S
: demam sudah berkurang, nyeri ulu hati (+), nyeri kepala (+), nafsu
makan kurang
: terapi lanjut
25/8/2015
14
: batuk kering, nyeri perut (+), demam sudah tidak ada, flatus (+), BAB
keras
O
: terapi lanjut
Aff sukralfat tab ganti sukralfat sirup 3x c1
Codein tab 2x 10 mg kp bila batuk
Dulcolax supp no II
Aff drip farbion ganti vitamin B complex 1x1
26/8/2015
S
: batuk kering, demam sudah tidak ada, nyeri ulu hati (-), flatus (+), BAB
keras
Pasien minta pulang
Obat pulang: ranitidin 2x 150 mg,sukralfat sirup 3x c1, antasida 3x c1, vitamin B
kompleks 1x1 , Parasetamol 4 x 500 mg.
Pasien kontrol kepoliklinik Internis tanggal 2 September 2015
S: demam sudah tidak ada, mual muntah sudah berkurang,perut sakit, BAB
lancar
O: KU baik, kesadaran komposmentis, TD 130/90, afebris,
Nyeri tekan epigastrium (+)
A: dispepsia
P: Omeprazol 1x 20 mg
15
BAB IV
PEMBAHASAN
Demam pada pasien ini sudah berlangsung selama 14 hari, demam naik
turun dan meningkat pada sore hari dan pada beberapa hari terakhir demam terjadi
terus menerus. Demam lebih dari 7 hari dapat dipikirkan kemungkinan demam
tifoid dan malaria. Karakteristik demam pada demam tifoid adalah selama minggu
pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun
pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari, kemudian dalam
minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam. Pada malaria,
demam yang terjadi diawali dengan menggigil karena pasien merasa kedinginan,
lalu timbul demam dan kemudian pasien berkeringat banyak lalu demam turun.
Biasanya disertai adanya riwayat berpergian kedaerah endemis malaria. Pada
pasien ini tidak terdapat karakteristik demam malaria. Pada anamnesis tidak
ditemukan batuk lama, keringat pada malam hari maupun batuk darah yang dapat
menyingkirkan diagnosis kearah TB paru.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya febris, lidah kotor, nyeri tekan
epigastrium. Bradikardi relatif sulit dinilai karena sebelumnya pasien sudah
minum obat penurun panas.
16
17
DAFTAR PUSTAKA
19