2 Pembuatan Abon
Abon ayam merupakan salah satu produksi pangan kering yang diolah
melalui proses penggorengan dan penambahan bumbu-bumbuan. Beberapa
keuntungan dari proses pembuatannya ialah mudah dilakukan. Produk yang
dihasilkan memiliki aroma dan rasa yang khas serta dapat dikembangkan sebagai
salah satu usaha baik dalam skala industri kecil maupun menengah.
Adapun jenis bahan dasar yang digunakan dalam pembuatan abon dapat
berupa daging sapi, kerbau, ayam dan jenis ikan. Salah satu bahan yang juga dapat
digunakan untuk abon adalah ayam afkir. Untuk mendapatkan abon yang
berkualitas tinggi, diperlukan pengolahan yang baik. Proses pengolahan yang
dilakukan dalam produk abon adalah pemasakan, lama pemasakan yang tepat
dalam pengolahan daging ayam akan menentukan kegurihan dan kelezatan abon.
Abon adalah suatu jenis lauk pauk yang kering dibuat dari daging dengan
penambahan bumbu dan digoreng. Pembuatan abon merupakan salah satu cara
memperpanjang masa simpang daging. Selain itu abon merupakan bahan makanan
yang sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia karena abon mempunyai rasa
yang khas dan abon mudah diterima oleh konsumen (Hilda, 2002).
Lisdiana (1998) mengemukakan bahwa abon umumnya memiliki
komposisi gizi yang cukup baik dan dapat dikonsumsi sebagai makanan ringan
dan sebagai lauk pauk. Pembuatan abon dapat dijadikan sebagai salah alternatif
pengolahan bahan pangan sehingga umur simpan bahan pangan dapat lebih lama,
disamping itu cara pembuatan abon juga cukup mudah sehingga dapat
dikembangkan sebagai suatu unit usaha keluarga (home industri) dan layak untuk
dijadikan sebagai salah satu alternatif usaha. Pada prinsipnya cara pembuatan
berbagai jenis abon sama. Prosedur umum yang dilakukan dimulai dari pemilihan
bahan buku, penyiangan dan pencucian bahan, pengukusan atau perebusan,
peremahan, pemasakan atau penggorengan, penirisan minyak atau pres,
penambahan bawang goreng kering dan pengemasan.
Pada dasarnya pembuatan abon menggunakan prinsip pengawetan bahan
pangan dengan memakai panas (pengeringan). Pengeringan adalah suatu usaha
menurunkan kandungan air dari suatu bahan dengan tujuan untuk memperpanjang
daya simpannya. Bahan pangan yang dikeringkan umumnya mempunyai nilai gizi
yang lebih rendah dibandingkan dengan bahan segarnya. Selama pengeringan juga
terjadi perubahan warna, tekstur, aroma dan lain-lain (Muchtadi dan Sugiyono,
1992).
Lisdiana (1998) menyatakan bahwa abon sebagai salah satu produk
industri pangan memiliki standar mutu yang telah ditetapkan oleh departemen
perindustrian. Penetapan standar mutu merupakan acuan bahwa produk tersebut
memiliki kualitas yang baik dan aman bagi kesehatan. Kriteria mutu untuk abon
berdasarkan Standar Industri Indonesia (SII) dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1. Standar Industri Indonesia (SII) untuk abon
dapat
juga
merupakan
cerminan
dari
tingkat
ekonomi
yang
dapat awet karena: (1) Panas dari pembakaran kayu dapat menghambat
mikroorganisme. (2). Asap mengandung komponen antimikroba (bakterisida /
bakteristatik). (3). Mengandung antioksidan sehingga dapat
terhindar dari
ketengikan. (4). Sebagian asap membentukkulit tipis sehingga dapat terhindar dari
kontaminasi ulang (Dwiari, 2008).
Asap juga mengandung uap air, asam formiat, asam asetat, keton alkohol
dan karbon. Rasa dan aroma khas produk pengasapan terutama disebabkan oleh
senyawa fenol (quaiacol, 4-mettyl-quaiacol, 2,6-dimetoksi fenol) dan senyawa
karbonil (Anonim, 2008).
Ada dua cara pengasapan yaitu cara tradisional dan cara dingin. Pada
cara tradisional, asap dihasilkan dari pembakaran kayu atau biomassa lainnya
(misalnya sabuk kelapa serbuk akasia, dan serbuk mangga). Pada cara basah,
bahan direndam di dalam asap yang sudah di cairkan. Setelah senyawa asap
menempel pada daging, kemudian daging dikeringkan. (Anonim, 2008).
Walaupun mutunya kurang bagus dibanding pengasapan dingin,
Pengasapan tradisional paling mudah diterapkan oleh industri kecil. Asap cair
yang diperlukan untuk pengasapan dingin sulit ditemukan di pasaran. Karena itu
Kelompok fenol: paling banyak terdiri atas fraksi uap, selain itu
partikel;
d. Senyawa karbonil: paling banyak terdiri atas fraksi partikel, selain itu
terdapat juga fraksi uap;
e. Senyawa hidrokarbon: hanya terdiri atas fraksi partikel. Dua senyawa
hidrokarbon yang merupakan senyawa polisiklik dan bersifat karsinogenik (dapat
menyebabkan kanker) adalah benzapirene dan dibenzanthrasene. Senyawa ini
akan terbentuk jika suhu pembakaran bahan bakar terlalu tinggi. Bahaya
karsinogenesis tersebut dapat diabaikan karena senyawa karsinogen yang
ditemukan jumlahnya sangat rendah.
Pengasapan akan menghasilkan produk asap yang bermutu prima jika
faktor-faktor yang mempengaruhi proses pengasapan tersebut diterapkan dengan
baik. Menurut Dwiari (2008) Faktor-faktor yang mempengaruhi pengasapan
adalah sebagai berikut:
1. Suhu pengasapan
Suhu awal pengasapan sebaiknya rendah agar penempelan dan pelarutan
asap berjalan efektif. Suhu tinggi akan menyebabkan air cepat menguap dan
bahan yang diasap cepat matang tetapi flavor asap yang diinginkan belum
terbentuk maksimal.
2. Kelembaban udara
Kelembaban udara harus diatur sedemikian rupa agar permukaan bahan
yang diasap tidak terlalu cepat mengering dan pengeringan berjalan tidak terlalu
lama. Jika kelembaban udara terlalu rendah maka permukaan bahan yang diasap
akan cepat mengering. Sebaliknya, jika kelembaban udara terlalu tinggi maka
proses pengeringan akan berjalan lambat. Sebagai contoh pada pengasapan ikan,
kelembaban udara yang idealsebesar 60 70% jika suhu sekitar 290 C. Jika
kelembaban udara kurang dai 60% maka permukaan ikan akan cepat mengering,
jika diatur lebih dari 70% maka proses pengeringan lambat.
3. Jenis kayu
Serutan kayu dan serbuk gergaji dari jenis kayu keras cocok untuk
pengasapan dingin. Batang atau potongan kayu dari kayu keras cocok untuk
pengaapan panas. Kayu yang mengandung resin atau damar harus dihindari
karena akan menimbulkan rasa pahit.
4. Jumlah asap, ketebalan asap, dan kecepatan aliran asap dalam alat
pengasap
Ketiga faktor ini akan mempengaruhi hasil produk akhir. Jika jumlah
asap yang kontak dengan bahan sedikit, maka cita rasa asap yang dihasilkan pun
berkurang. Demikian pula dengan kedua faktor yang lainnya.
5. Mutu bahan yang diasap
Untuk memperoleh produk asap yang berkualitas baik, maka mutu bahan
yang akan diasap harus yang bermutu baik pula
6. Perlakuan sebelum pengasapan
Sebelum pengasapan, biasanya bahan pangan mengalami proses
penggaraman atau proses kuring. Bahan yang langsung diasap akan berbeda sifat
organoleptiknya dibandingkan bahan yang mengalami perlakuan pendahuluan.
Selanjutnya jumlah garam dan bahan kuring yang digunakan juga akan
mempengaruhi hasil akhir.
Proses kuring adalah proses pengolahan daging yang lebih luas daripada
proses penggaraman yang konvensional; dalam pengolahan digunakan aditif lain
selain garam, dapat dilanjutkan dengan pengasapan / pengeringan. (Hariningsih,
2008).
Garam,
berfungsi
membentuk cita rasa khas. Kadar garam produk kuring umumnya 2 5%,
sedangkan untuk Chinese Ham (daging babi masakan Cina) kadar garamnya
15%.
2. Gula, berfungsi untuk mengawetkan (tujuan utama) dan membentuk
cita rasa spesifik bersama dengan garam.
3. Nitrat, fungsinya membentuk warna merah yang spesifik dan sebagai
pengawet.
Akibat proses kuring, cairan menetes dari daging dan sebagian protein
larut-air akan hilang. Susut protein akan terjadi jika digunakan konsentrasi larutan
garam 26%. Protein yang biasanya berdifusi ke larutan, akan tinggal dalam daging
jika larutan garam dikocok dan waktu curing diperpendek (Bahari, 2008).
Tiamin adalah satu satunya vitamin yang selalu susut dalam pengolahan
yang melibatkan perlakuan pengeringan. Susut tiamin dapat meningkat dengan
tajam jika daging yang diawetkan dengan kuring tersebut dikalengkan dan
dipasteurisasi (Bahari, 2008).
Daging yang diawetkan dengan kuring dapat mengandung nitrosamina
(sekelompok senyawaan kimia yang bersifat karsinogen). Nitrosoma dapat
muncul dalam tubuh manusia apabila prazatnya, yaitu amina dan nitrat atau nitrit
saling bersentuhan dalam lambung (Bahari, 2008).