Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Pada masa permulaan Islam, umat Islam belum mengenal adanya ulumul
hadits atau ilmu hadits. Hal ini mungkin dikarenakan fokus perhatian umat
Islam pada waktu itu masih terpecah antar dakwah, jihad dan pendalaman AlQuran, sehingga perhatian terhadap hadits walaupun sudah cukup intens
namun belum segencar pada masa-masa berikutnya.
Sepeninggalnya nabi, terutama setelah bermunculan hadits-hadits palsu
barulah perhatian umat Islam terhadap nadist nabi meningkat pesat. Ini ditandai
dengan munculnya beberapa ulama yang mulai melakukan penghimpunan
hadits serta mulai merintis ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hadits. Ilmu ini
kemudian terus berkembang dari masa ke masa sampai zaman sekarang.
1.2. Rumusan Masalah
a. Apa pengertian Ilmu Hadits?
b. Bagaimana perkembangan Ilmu Hadits?
c. Apa saja cabang-cabang Ilmu Hadits?
1.3. Tujuan Penulian
Ada dua tujuan kami menulis makalah ini, yang pertama yaitu untuk
memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Hadits, yang kedua yaitu untuk menambah
pengetahuan dan pemahaman kita semua tentang Ilmu Hadits.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Ulumul Hadits
Ulumul Hadits adalah istilah ilmu hadits di dalam tradisi Ulama Hadits
yang bahasa Arabnya yaitu Ulum al-Hadits. Ulum al-Hadits ini terdiri atas
dua kata, yaitu Ulum dan al-Hadits. Kata Ulum dalam bahasa Arab adalah
bentuk jamak dari ilm, jadi berarti ilmu-ilmu; sedangkan al-Hadits di
kalangan Ulama Hadits berarti segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
SAW. dari perkataan, perbuatan, taqrir atau sifat. Dengan demikian Ulumul
Hadits adalah ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan dengan hadits Nabi
SAW.
Sekitar pertengahan abad ke-3 Hijriyah sebagian Muhadditsin mulai
merintis ilmu ini dalam garis-garis besarnya saja dan masih berserakan dalam
beberapa mushafnya. Diantara mereka adalah Ali bin Almadani (238 H), Imam
Al-Bukhari, Imam Muslim, Imam At-Turmudzi dan lain-lain.
Adapun perintis pertama yang menyusun ilmu ini secara fak (spesialis)
dalam satu kitab khusus ialah Al-Qandi Abu Muhammad Ar-Ramahurmuzy
(360 H) yang diberi nama dengan Al-Muhaddisul Fasil Bainar Wari Was Sami.
Kemudian bangkitlah Al-Hakim Abu Abdilah an-Naisaburi (321-405 H)
menyusun kitabnya yang bernama Makrifatu Ulumil Hadits. Usaha beliau ini
diikuti oleh Abu Nadim al-Asfahani (336-430 H) yang menyusun kitab kaidah
periwayatan hadits yang diberi nama Al-Kifayah dan Al-Jamu Liadabis
Syaikhi Was Sami yang berisi tentang tata cara meriwayatkan hadits.
2.2. Sejarah Perkembangan Ilmu Hadits
a.

Periode Pertama (Zaman Rasul)


Para sahabat bergaul dan berinteraksi langsung dengan Nabi,
sehingga setiap permasalahan atau hukum dapat ditanyakan langsung
kepada Nabi. Para sahabat lebih fokus dengan menghapal dan mempelajari
Al-Quran. Rasul pada masa itu secara umum melarang menuliskan hadits
karena takut tercampur baur dengan ayat Al-Quran karena wahyu sedang /
masih diturunkan.
Secara umum sahabat masih banyak yang buta huruf sehingga tidak
menuliskan hadits, mereka meriwayatkan hadits mengandalkan hafalan
secara lisan. Sebagian kecil sahabat yang pandai baca tulis- menuliskan

hadits seperti: Abdullah Bin Amr Bin Ash yang mempunyai catatan hadits
dan dikenal sebagai Shahifah Ash Shadiqah juga Jabir Bin Abdullah Al
Anshary mempunyai catatan hadits yang dikenal sebagai Shahifah Jabir.
Pada event tertentu orang Arab badui ingin fatwa Nabi dituliskan, maka
Nabi meluluskan permintaannya untuk menuliskan haditsnya.
b. Periode Kedua (Masa Kulafaur Rasyidin)
Sebagian sahabat tersebar keluar jazirah Arab karena ikut serta dalam
jihad penaklukan ke daerah Syam, Iraq, Mesir, Persia. Pada daerah
taklukan yang baru masuk Islam, Khalifah Umar menekankan agar
mengajarkan Al-Quran terlebih dahulu kepada mereka. Khalifah Abu
Bakar meminta kesaksian minimal satu orang bila ada yang meriwayatkan
hadits kepadanya. Khalifah Ali meminta bersumpah orang yang
meriwayatkan hadits. Khalifah Umar melarang sahabat besar keluar dari
kota Madinah dan melarang memperbanyak periwayatan hadits. Setelah
Khalifah Umar wafat, sahabat besar keluar kota Madinah tersebar kedaerah
taklukkan untuk mengajarkan agama.
c.

Periode Ketiga (Masa Sahabat Kecil dan Tabiin Besar)


Para sahabat besar telah terpencar keluar dari Madinah. Jabir pergi ke
Syam menanyakan hadits kepada sahabat Abdullah Bin Unais Al Anshary.
Abu Ayyub Al Anshary pergi ke Mesir menemui sahabat Utbah Bin Amir
untuk menanyakan hadits. Masa ini sahabat besar tidak lagi membatasi diri
dalam periwayatan hadits, yang banyak meriwayatkan hadits antara lain :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Abu Hurairah (5347 hadits)


Abdullah Bin Umar (2360 hadits)
Anas Bin Malik (2236 hadits)
Aisyah, Ummul Mukminin (2210 hadits)
Abdullah Bin Abbas (1660 hadits)
Jabir Bin Abdullah (1540 hadits)
Abu Said Al Kudri (1170 hadits)
Ibnu Masud
Abdullah Bin Amr Bin Ash
Setelah Khalifah Ali terbunuh, muncul sekte Syiah yang mendukung

Ali dan keturunannya sementara kelompok jumhur (mayoritas) tetap


mengakui pemerintahan Bani Umayah. Sejak saat itu mulai bermunculan
hadits palsu yang bertujuan mendukung masing-masing kelompoknya.
Kelompok yang terbanyak membuat hadits palsu adalah Syiah Rafidah.
d. Periode Ke Empat (Masa pembukuan Hadits)

Pada waktu Umar Bin Abdul Aziz (Khalifah ke-8 Bani Umayyah)
yang naik tahta pada tahun 99 H berkuasa, beliau dikenal sebagai orang
yang adil dan wara, tergeraklah hatinya untuk membukukan hadits dengan
motif :
1.

Beliau khawatir ilmu hadits akan hilang karena belum dibukukan

2.

dengan baik.
Kemauan beliau untuk menyaring hadits palsu yang sudah mulai

3.

banyak beredar.
Al-Quran sudah dibukukan dalam mushaf, sehingga tidak ada lagi

4.

kekhawatiran tercampur dengan hadits bila hadits dibukukan.


Peperangan dalam penaklukan negeri negeri yang belum Islam dan
peperangan

antar

dikhawatirkan

sesama

ulama

kaum

hadits

Muslimin

berkurang

banyak

karena

wafat

terjadi,
dalam

peperangan-peperangan tersebut.
Khalifah Umar menginstruksikan kepada Gubernur Madinah Abu
Bakar Bin Muhammad Bin Amr Bin Hazm (Ibnu Hazm) untuk
mengumpulkan hadits yang ada padanya dan pada tabiin wanita Amrah
Binti Abdur Rahman Bin Saad Bin Zurarah Bin Ades, murid AisyahUmmul Mukminin.
Berdasarkan instruksi resmi Khalifah itu, Ibnu Hazm minta bantuan
dan menginstruksikan kepada Abu Bakar Muhammad Bin Muslim Bin
Ubaidillah Bin Syihab az Zuhry (Ibnu Syihab Az Zuhry) seorang ulama
besar dan mufti Hijaz dan Syam untuk turut membukukan hadits
Rasulullah SAW.
Setelah itu penulisan hadits pun marak dan dilakukan oleh banyak
ulama abad ke-2 H, yang terkenal diantaranya :
1.
2.

e.

Al-Muwaththa, karya Imam Malik Bin Anas (95 H 179 H).


Al Masghazy wal Siyar, hadits sirah nabawiyah karya Muhammad Ibn

Ishaq (150 H).


3. Al Mushannaf, karya Sufyan Ibn Uyainah (198 H)
4. Al Musnad, karya imam Abu Hanifah (150 H)
5. Al Musnad, karya imam Syafii (204 H)
Periode Kelima (Masa Kodefikasi Hadits)
1. Periode penyaringan hadits dari fatwa para sahabat (abad ke-III H)
a) Menyaring hadits nabi dari fatwa-fatwa sahabat Nabi
b) Masih tercampur baur hadits sahih, dhaif dan maudlu (palsu).
c) Pertengahan abad tiga baru disusun kaidah-kaidah penelitihan
kesahihan hadits.
d) Penyaringan hadits sahih oleh imam ahli hadits Ishaq Bin
Rahawaih (guru Imam Bukhari).
4

e) Penyempurnaan kodifikasi ilmu hadits dan kaidah-kaidah pen


sahihan suatu hadits.
f) Penyusunan kitab Sahih Bukhori.
g) Penyusunan enam kitab induk hadits (kutubus sittah), yaitu kitabkitab hadits yang diakui oleh jumhur ulama sebagai kitab-kitab
hadits yang paling tinggi mutunya, sebagian masih mengandung
hadits dhaif tapi ada yang dijelaskan oleh penulisnya dan dhaifnya
pun yang tidak keterlaluan dhaifnya, ke enam kuttubus shittah itu

2.

adalah :
1) Sahih Bukhori
2) Sahih Muslim
3) Sunan Abu Dawud
4) Sunan An Nasai
5) Sunan At-Turmudzy
6) Sunan Ibnu Majah
Periode menghafal dan mengisnadkan hadits (abad ke-IV H)
a) Para ulama hadits berlomba-lomba menghafalkan hadits yang
sudah tersusun pada kitab-kitab hadits.
b) Para ulama hadits mengadakan penelitian hadits-hadits yang
tercantum pada kitab-kitab hadits.
c) Ulama hadits menyusun kitab-kitab hadits yang bukan termasuk

3.

kuttubus shittah.
Periode Klasifikasi dan Sistimasi Susunan Kitab-Kitab Hadits (abad
ke-V H s.d 656 H, jatuhnya Baghdad)
a) Mengklasifikasikan hadits dan menghimpun hadits-hadits yang
b)
c)
d)
e)
f)
g)
h)

sejenis.
Menguraikan dengan luas (mensyarah) kitab-kitab hadits.
Memberikan komentar (takhrij) kitab-kitab hadits.
Meringkas (ikhtisar) kitab-kitab hadits.
Menciptakan kamus hadits.
Mengumpulkan (jami) hadits-hadits bukhori-Muslim
Mengumpulkan hadits targhib dan tarhib.
Menyusun kitab athraf, yaitu kitab yang hanya menyebut sebagian
hadits kemudian mengumpulkan seluruh sanadnya, baik sanad

i)

kitab maupun sanad dari beberapa kitab.


Menyusun kitab istikhraj, yaitu mengambil sesuatu hadits dari
sahih Bukhori Muslim umpamanya, lalu meriwayatkannya dengan
sanad sendiri, yang lain dari sanad Bukhari atau Muslim karena

j)

tidak memperoleh sanad sendiri.


Menyusun kitab istidrak, yaitu mengumpulkan hadits-hadits yang
memiliki syarat-syarat Bukhari dan Muslim atau syarat salah
seorangnya yang kebetulan tidak diriwayatkan atau di sahihkan
oleh keduanya.

f.

Periode Ke Enam (dari tahun 656 H sampai sekarang)


Mulai dari jatuhnya Baghdad oleh Hulagu Khan dari Mongol tahun
656 H sekarang ini.
1. Menertibkan, menyaring dan menyusun kitab kitab takhrij.
2. Membuat kitab-kitab jami
3. Menyusun kitab-kitab athraf
4. Menyusun kitab-kitab zawaid, yaitu mengumpulkan hadits-hadits yang
tidak terdapat dalam kitab-kitab yang sebelumnya kedalam sebuah
kitab yang tertentu.

2.3. Cabang-Cabang Ilmu Hadits


Secara garis besarnya, ilmu hadits terbagi dua, yaitu:
a.

Ilmu Dirayatul Hadits


Menurut sebagian ulama Tahqiq, Ilmu Dirayatul Hadits adalah ilmu
yang membahas cara kelakuan persambungan hadits kepada nabi
Muhammad SAW dari sikap perawinya, mengenai kekuatan hafalan dan
keadilan mereka, dan dari segi keadaan sanad, putus dan bersambungnya,
serta yang sepertinya.
Adapun obyek Ilmu Hadits Dirayah ialah meneliti kelakuan para rawi
dan keadaan marwinya (sanad dan matannya). Dari aspek sanadnya, diteliti
tentang ke'adilan dan kecacatannya, bagaimana mereka menerima dan
menyampaikan haditsnya serta sanadnya bersambung atau tidak. Sedang
dari aspek matannya diteliti tentang kejanggalan atau tidaknya, sehubungan

dengan adanya nash-nash lain yang berkaitan dengannya.


b. Ilmu Riwayatul Hadits
Ilmu Riwayatul Hadits ialah ilmu yang memuat segala penukilan
yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan,
kehendak, taqrir ataupun berupa sifatnya.
Adapun yang menjadi obyek Ilmu Hadits Riwayah, ialah
membicarakan bagaimana cara menerima, menyampaikan pada orang lain
dan memindahkan atau membukukan dalam suatu Kitab Hadits. Dalam
menyampaikan dan membukukan Hadits, hanya dinukilkan dan dituliskan
apa adanya, baik mengenai matan maupun sanadnya.
Kegunaan mempelajari ilmu ini adalah untuk menghindari adanya
kemungkinan yang salah dari sumbernya, yaitu Nabi Muhammad Saw.
Sebab berita yang beredar pada umat Islam bisa jadi bukan hadits,
melainkan juga ada berita-berita lain yang sumbernya bukan dari Nabi,
atau bahkan sumbernya tidak jelas sama sekali.

Dari ilmu Hadits Riwayah dan Dirayah di atas kemudian berkembang


pula beberapa cabang ilmu, yakni:
a.

Ilmu Rijalul Hadits


Ialah ilmu yang membahas para perawi hadits, dari sahabat, dari
tabiin, maupun dari angkatan sesudahnya. dengan ilmu ini kita dapat
mengetahui, keadaan para perawi yang menerima hadits dari Rasulullah
dan keadaan perawi yang menerima hadits dari sahabat dan seterusnya.
Dalam ilmu ini diterangkan tarikh ringkas dari riwayat hidup para
perawi, madzhab yang dipegangi oleh para perawi dan keadaan-keadaan
para perawi itu saat menerima hadits.

b. Ilmu Jarhi wat Tadil


Ilmu yang menerangkan tentang hal cacat-cacat yang dihadapkan
kepada para perawi dan tentang pentadilannya (memandang adil para
perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan tentang martabat katakata itu. Ilmu Jarhi wat Tadil dibutuhkan oleh para ulama hadits karena
dengan ilmu ini akan dapat dipisahkan, mana informasi yang benar yang
datang dari Nabi dan mana yang bukan.
c.

Ilmu Fannil Mubhammat


Ilmu fannil Mubhamat adalah ilmu untuk mengetahui nama orangorang yang tidak disebut dalam matan, atau di dalam sanad.
Di antara yang menyusun kitab ini, Al-Khatib Al Baghdady. Kitab Al
Khatib itu diringkas dan dibersihkan oleh An-Nawawy dalam kitab AlIsyarat Ila Bayani Asmail Mubhamat.

d. Ilmu Ilalil Hadits


Adalah ilmu yang menerangkan sebab-sebab yang tersembunyi, tidak
nyata, yang dapat merusakkan hadits. Yakni: menyambung yang
munqathi, merafakan yang mauquf, memasukkan suatu hadits ke dalam
hadits yang lain dan yang serupa itu. Semuanya ini, bila diketahui dapat
merusakkan hadits.
e.

Ilmu Ghoribil Hadits


Yang dimaksudkan dalam ilmu hadits ini adalah bertujuan
menjelaskan suatu hadits yang dalam matannya terdapat lafadz yang pelik,
dan yang susah dipahami karena jarang dipakai, sehingga ilmu ini akan
membantu dalam memahami hadits tersebut.

f.

Ilmu Nasikh wal Mansukh

Adalah

ilmu

yang

menerangkan

hadits-hadits

yang

sudah

dimansukhkan dan menasikhkannya.


Apabila didapati sesuatu hadits yang maqbul tak ada perlawanan,
dinamailah hadits tersebut muhkam. Dan jika dilawan oleh hadits yang
sederajat, tapi mungkin dikumpulkan dengan tidak sukar maka hadits itu
dinamai muhtaliful hadits. Jika tidak mungkin dikumpul dan diketahui
mana yang terkemudian, maka yang terkemudian itu dinamai nasikh dan
yang terdahulu dinamai mansukh.
g.

Ilmu Talfiqil hadits


Yaitu ilmu yang membahas tentang cara mengumpulkan antar hadits
yang berlawanan lahirnya. Dikumpulkan itu ada kalanya dengan
mentahsikhkan yang amm, atau mentaqyidkan yang mutlak, atau dengan
memandang banyak kali terjadi.

h. Ilmu Tashif wat Tahrif


Yaitu ilmu yang menerangkan tentang hadits-hadits yang sudah
diubah titiknya (dinamai mushohaf), dan bentuknya (dinamai muharraf).
i.

Ilmu Asbabi Wurudil Hadits


Yaitu

ilmu

yang

membicarakan

tentang

sebab-sebab

Nabi

menuturkan sabda beliau dan waktu beliau menuturkan itu.


j.

Ilmu Mukhtalaf dan Musykil Hadits


Yaitu ilmu yang menggabungkan dan memadukan antara hadits yang
zhahirnya bertentangan atau ilmu yang menerangkan tawil hadits yang
musykil meskipun tidak bertentangan dengan hadits lain.

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan

Ulumul Hadits adalah istilah ilmu hadits di dalam tradisi Ulama Hadits
yang bahasa Arabnya yaitu Ulum al-Hadits. Ulum al-Hadits ini terdiri atas
dua kata, yaitu Ulum dan al-Hadits. Kata Ulum dalam bahasa Arab adalah
bentuk jamak dari ilm, jadi berarti ilmu-ilmu; sedangkan al-Hadits di
kalangan Ulama Hadits berarti segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
SAW.
Dalam sejarah, perkembangan hadits dibagi dalam beberapa periode,
yaitu;

periode

pertama

(zaman

Nabi

SAW),

periode

kedua

(masa

khulafaurrasidin), periode ketiga (masa sahabat kecil dan tabiin besar), periode
ke empat (masa pembukuan hadits), periode kelima (masa kodefikasi hadits)
dan periode ke enam (dari tahun 656 H sampai sekarang).
Secara garis besarnya, ilmu hadits terbagi dua, yaitu; ilmu dirayatul
hadits, yakni ilmu yang membahas cara kelakuan persambungan hadits kepada
junjungan kita nabi Muhammad SAW, dan ilmu riwayatul hadits, yakni ilmu
yang memuat segala penukilan yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik
berupa perkataan, perbuatan, kehendak, taqrir ataupun berupa sifatnya.
3.2. Saran
Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan, oleh
karena itu kami menyarankan kepada teman-teman sesama mahasiswa untuk
mencari informasi lain sebagai tambahan dari apa yang telah kami uraikan di
atas.

DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Ahmad & M. Mudzakir. 2000. Ilmu Hadits (Cet 10). Bandung: Pustaka
Setia.
Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi Ash. 1999. Sejarah dan Pengantar Ilmu
Hadits. Semarang: PT Pustaka Riski Putra.

10

Anda mungkin juga menyukai