Oleh :
Isa hendy susilo
1010070100003
Preseptor :
dr. Sari Nikmawati Sp.P
TUBERKULOSIS PARU
Definisi Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis complex
Epidemiologi TB paru
Tuberculosis merupakan masalah kesehatan, baik dari sisi angka kematian
(mortalitas), angka kejadian penyakit (morbiditas), maupun diagnosis dan terapinya.
Bersama dengan HIV/AIDS, Malaria dan TB Paru merupakan penyakit yang
pengendaliannya menjadi komitmen global dalam program MDGs. Diperkirakan sekitar
sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium Tuberculosis.(Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Paru
cetakan ke 6, Jakarta, 2002)
Di kawasan Asia Tenggara, data World Health Organization (WHO) menunjukkan
bahwa TB membunuh sekitar 2.000 jiwa setiap hari. Dan sekitar 40% dari kasus TB di
dunia berada di kawasan Asia Tenggara. Indonesia menempati urutan ketiga di dunia
setelah India dan China dalam hal jumlah penderita TB paru, sekitar 583 ribu orang dan
diperkirakan sekitar 140 ribu orang meninggal dunia tiap tahun akibat TB Paru
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis Paru cetakan ke 6, Jakarta, 2002)
Salah satu indikator yang diperlukan dalam pengendalian TB paru adalah Case
Detection Rate (CDR), yaitu proporsi jumlah pasien baru BTA positif yang ditemukan dan
diobati terhadap jumlah pasien baru BTA positif yang diperkirakan ada dalam wilayah
tersebut. Kementrian Kesehatan menetapkan target CDR minimal pada tahun 2009 sebesar
70%, sementara CDR Sumatra Barat pada tahun 2009 baru 48,3%, hal ini belum mencapai
target yang diharapkan. Dari data Dinkes Propinsi Sumatera Barat pada tahun 2008 kasus
TB paru sebanyak 3.678 dan pada tahun 2009 sebanyak 3.732 orang (Dinas Kesehatan
Propinsi Sumatera Barat, Profil Kesehatan Sumatera Barat, 2009)
Jumlah penduduk Kota Solok tahun 2010 adalah sekitar 59.396 orang. Angka CDR
atau penemuan kasus BTA + di Kota Solok tahun 2009 adalah sebesar 32,9% yaitu 29
orang, dan pada tahun 2010 sebesar 51% atau 47 orang. Dalam dua tahun terakhir terjadi
peningkatan kasus hal ini membuktikan bahwa perkembangan TB Paru di Kota Solok terus
meningkat dan harus diwaspadai.( Dinas Kesehatan Kota Solok, Profil Kesehatan Kota
Solok, 2010)
Etiologi TB paru
Morfologi Kuman M. Tuberculosis
Berbentuk :
- Batang lurus atau sedikit melengkung
- Tidak berspora
- Tidak berkapsul
Ukuran
Lebar
Panjang
= 0,3 0,6 um
= 1 4 um
Dinding M. Tuberkulosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi
(60%). Penyusun utama dinding sel M.Tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks
(complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord factor, dan mycobacterial
sulfolipids yang berperan dalam virulensi.
Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam
pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil tahan Asam (BTA). Kuman
TBC cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat hidup beberapa jam di
tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant, tertidur
lama selama beberapa hari .(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman
Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Paru cetakan ke 6, Jakarta, 2002)
Patogenesis tb paru (pdpi 2011)
A. Tuberkulosis primer
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan
paru, dimana ia akan membentuk suatu sarang pneumonik, yang disebut sarang primer
atau afek primer. Sarang primer ini mugkin timbul di bagian mana saja dalam paru,
berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran
getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh
pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersamasama dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini
akan mengalami salah satu nasib sebagai berikut :
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis
fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar dengan cara :
a. Perkontinuitatum, menyebar kesekitarnya
Salah
satu
contoh
adalah
milier,
meningitis
tuberkulosa,
typhobacillosis
Landouzy.
Penyebaran ini juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya,
misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan
penyebaran ini mungkin berakhir dengan :
Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan
terbelakang
pada
anak
setelah
mendapat
ensefalomeningitis,
tuberkuloma ) atau
Meninggal
adalah
penderita
tuberkulosis
yang
sebelumnya
pernah
mendapat
sebaiknya didasarkan atas kultur spesimen positif, atau histologi, atau bukti klinis
kuat konsisten dengan TB ekstraparu aktif, yang selanjutnya dipertimbangkan oleh
klinisi untuk diberikan obat anti tuberkulosis siklus penuh.
Diagnosis
a. Gambaran klinik
Gejala respiratorik
batuk 3 minggu
batuk darah
sesak napas
nyeri dada
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai
gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang penderita terdiagnosis pada
saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka
penderita mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi
bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar. Gejala
tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada
limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari
kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis,
sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri dada
pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.
Gejala sistemik
Demam
ditemukan
Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+)
Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut ++ (2+)
2) Pemeriksaan radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral.
Pemeriksaan lain atas indikasi : foto apiko-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada
pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacammacam bentuk (multiform).
Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru
dan segmen superior lobus bawah
Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan
atau nodular
Bayangan bercak milier
Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif
Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas
Kalsifikasi atau fibrotik
Kompleks ranke
Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura
3) Polymerase chain reaction (PCR)
Apabila hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan data lain tidak ada yang
menunjang kearah diagnosis TB, maka hasil tersebut tidak dapat dipakai sebagai
pegangan untuk diagnosis TB
Pada pemeriksaan deteksi M.tb tersebut diatas, bahan / spesimen pemeriksaan
dapat berasal dari paru maupun luar paru sesuai dengan organ yang terlibat.
4) Pemeriksaan Serologi
a. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)
b. Mycodot
c. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)
d. ICT
5) Pemeriksaan BACTEC
Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode
radiometrik. M tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian
menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya oleh mesin ini.
6) Pemeriksaan Cairan Pleura
Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah
uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura
terdapat sel limfosit dominan dan glukosa rendah
7) Pemeriksaan histopatologi jaringan
Bahan histopatologi jaringan dapat diperoleh melalui biopsi paru dengan
trans bronchial lung biopsy (TBLB), trans thoracal biopsy (TTB), biopsi paru
terbuka, biopsi pleura, biopsi kelenjar getah bening dan biopsi organ lain diluar
paru. Dapat pula dilakukan biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH =biopsi
jarum halus). Pemeriksaan biopsi dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosis, terutama pada tuberkulosis ekstra paru.
Diagnosis pasti infeksi TB didapatkan bila pemeriksaan histopatologi pada
jaringan paru atau jaringan diluar paru memberikan hasil berupa granuloma
dengan perkejuan
8) Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang
spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama dan kedua
sangat dibutuhkan. Data ini sangat penting sebagai indikator tingkat kestabilan
keadaan nilai keseimbangan biologik penderita, sehingga dapat digunakan untuk
salah satu respon terhadap pengobatan penderita serta kemungkinan sebagai
predeteksi tingkat penyembuhan penderita. Demikian pula kadar limfosit bisa
menggambarkan biologik/ daya tahan tubuh penderida , yaitu dalam keadaan
supresi / tidak. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah
yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik.
9) Uji tuberkulin
Pemeriksaan ini sangat berarti dalam usaha mendeteksi infeksi TB di
daerah dengan prevalensi tuberkulosis rendah. Di Indonesia dengan prevalensi
tuberkulosis yang tinggi, pemeriksaan uji tuberkulin sebagai alat bantu
diagnostik kurang berarti, apalagi pada orang dewasa. Uji ini akan mempunyai
makna bila didapatkan konversi dari uji yang dilakukan satu bulan sebelumnya
atau apabila kepositifan dari uji yang didapat besar sekali atau bula.
Pengobatan
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan)
dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan
obat utama dan tambahan.
A. Obat anti tuberkulosis (OAT)
1. Jenis obat lini pertama yang di gunakan
a. Rifampisin
Dosis 10 mg/ kg BB, maksimal 600mg 2-3X/ minggu
Dosis intermiten 600 mg / kali
Efek samping
o Ringan Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air
seni, keringat, air mata, air liur. Warna merah tersebut terjadi
karena proses metabolisme obat dan tidak berbahaya.
- Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang,
- Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan,
muntah kadang-kadang diare
- Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan
o Berat hepatitis imbas obat atau ikterik, jika terjadi hal tersebut
OAT harus di hentikan.
- Purpura, anemia hemolitik akut, syok, gagal ginjal jika gejala ini
terjadi maka rifampisin harus di hentikan.
- Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak nafas
b. Isoniazid
Dosis 5 mg/kg BB, maksimal 300mg, 10 mg /kg BB 3 X seminggu,
15 mg/kg BB 2 X semingggu atau 300 mg/hari untuk dewasa.
lntermiten : 600 mg / kali
Efek smping
o Ringan tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi, kesemutan, rasa
terbakar di kaki dan nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan
pemberian piridoksin dengan dosis 100 mg perhari atau dengan
vitamin B kompleks.
o Berat hepatitis yang dapat timbul pada kurang lebih 0,5%
penderita. Bila terjadi hepatitis imbas obat atau ikterik, hentikan
OAT dan pengobatan sesuai dengan pedoman TB pada keadaan
khusus
c. Pirazinamid
Dosis fase intensif 25 mg/kg BB, 35 mg/kg BB 3 X semingggu, 50
mg /kg BB 2 X semingggu
Efek samping Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat
(penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi
juga dapat terjadi (beri aspirin) dan kadangkadang dapat menyebabkan
Dosis
(Mg/KgBB/Har
i)
R
H
Dosi
s
Mak
s
(mg)
600
300
Dosis (mg)/berat
badan (kg)
8-12
4-6
Harian
(mg/kgBB/har
i)
10
5
Intermitten
(mg/kgBB/har
i)
10
10
20-30
25
35
750
15-20
15
30
750
15-18
15
15
1000
<40k
g
4060
300
150
450
300
100
0
100
0
Sesua
i BB
750
>60
600
450
150
0
150
0
100
0
Empat obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg,
isoniazid 75 mg, pirazinamid 400 mg dan etambutol 275 mg dan.
Tiga obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg, isoniazid
75 mg dan pirazinamid 400 mg
Rekomendasi WHO 1999 untuk kombinasi dosis tetap, penderita hanya minum
obat 3-4 tablet sehari selama fase intensif, sedangkan fase lanjutan dapat
menggunakan kombinasi dosis 2 obat antituberkulosis seperti yang selama ini
telah digunakan sesuai dengan pedoman pengobatan.
Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami
efek samping serius harus dirujuk ke rumah sakit / fasiliti yang mampu
menanganinya.
Dosis obat kombinasi dosis tetap
Tabel 3. Dosis obat antituberkulosis kombinasi dosis tetap
BB
30-37
Harian
RHZE
Fase intensif
2 bulan
Harian
RHZ
3x/minggu
RHZ
Fase lanjutan
4 bulan
Harian
3x/minggu
RH
RH
150/150
2
38-54
55-70
>71
kemungkinan
penyembuhan
Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke ahli paru
C. Pengobatan suportif atau simptomatik
Pada pengobatan pasien TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila
keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat, pasien dapat dibeikan rawat jalan.
Selain OAT kadang perlu pengobatan tambahan atau suportif/simptomatis untuk
meningkatkan
daya
tahan
tubuh
atau
mengatasi
gejala/keluhan.
a. Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin
tambahan (pada prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk pasien tuberkulosis,
kecuali untuk penyakit komorbidnya)
b. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam
c. Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas atau
keluhan lain.
2. Pasien rawat inap
Indikasi rawat inap :
TB paru disertai keadaan/komplikasi sbb :
- Batuk darah masif
- Keadaan umum buruk
- Pneumotoraks
- Empiema
- Efusi pleura masif / bilateral
- Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)
TB di luar paru yang mengancam jiwa :
- TB paru milier
- Meningitis TB
Pengobatan suportif / simptomatis yang diberikan sesuai dengan keadaan klinis dan
indikasi rawat
D. Terapi pembedahan
Indikasi operasi
1. Indikasi mutlak
a. Semua penderita yang telah mendapat OAT adekuat tetapi dahak tetap
positif
b. Penderita batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara
konservatif
c. Penderita dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat
diatasi secara konservatif
2. lndikasi relatif
a. Penderita dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang
b. Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan
c. sisa kaviti menetap
Tindakan invasif
Bronkoskopi
Punksi pleura
pengobatan TB
Resistensi inisial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah penderitanya sudah
sebelumnya.
Penyebab TB MDR (pdpi 2011)
Ada beberapa penyebab terjadinya resitensi terhadap obat tuberkulosis, yaitu :
Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis
Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, baik karena jenis obatnya yang tidak
tepat misalnya hanya memberikan INH dan etambutol pada awal pengobatan,
maupun karena di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi yang tinggi
terhadap obat yang digunakan, misalnya memberikan rifampisin dan INH saja
pada daerah dengan resistensi terhadap kedua obat tersebut sudah cukup tinggi.
Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga minggu
lalu stop, setelah dua bulan berhenti kemudian berpindah dokter dan mendapat
obat kembali selama dua atau tiga bulan lalu stop lagi, demikian seterusnya
Fenomena addition syndrome (Crofton, 1987), yaitu suatu obat ditambahkan
dalam suatu paduan pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi
karena kuman TB telah resisten pada paduan yang pertama, maka penambahan
(addition) satu macam obat hanya akan menambah panjang nya daftar obat yang
resisten.
Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara baik,
kebosanan
Pengetahuan penderita kurang tentang penyakit TB
Belum menggunakan strategi DOTS
Kasus MDR-TB rujuk ke ahli paru
Pengobatan
Pengobatan MDR-TB hingga saat ini belum ada paduan pengobatan yang
distandarisasi untuk penderita MDR-TB. Pemberian pengobatan pada dasarnya
tailor made, bergantung dari hasil uji resistensi dengan menggunakan minimal
2-3 OAT yang masih sensitif dan obat tambahan lain yang dapat digunakan yaitu
golongan
fluorokuinolon
aminoglikosida
waktu yang lama yaitu minimal 12 bulan, bahkan bisa sampai 24 bulan
Hasil pengobatan terhadap resisten ganda tuberkulosis ini
kurang
yang baik
Komplikasi (depkes 2003)
Menurut Dep.Kes (2003) komplikasi yang sering terjadi pada penderita TB Paru
stadium lanjut:
1. Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran nafas bawah) yang dapat
mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan
nafas.
2. Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial.
Sputum mikroskopis
TB ekstra pulmonal
Mikobakterimia
Tuberkulin
Foto toraks
Adenopati hilus/
mediastinum
Efusi pleura
Infeksi dini
Infeksi lanjut
(CD4>200/mm3)
Sering positif
Jarang
Tidak ada
Positif
Reaktivasi TB, kaviti di puncak
Tidak ada
(CD4<200/mm3)
Sering negatif
Umum/ banyak
Ada
Negatif
Tipikal primer TB milier / interstisial
Ada
Tidak ada
Ada
Saat pemberian obat pada koinfeksi TB-HIV harus memperhatikan jumlah limfosit
CD4 dan sesuai dengan rekomendasi yang ada (seperti terlihat pada tabel )
Abses Paru
Merupakan infeksi dekstruktif berupa lesi nekrotik pada jaringan paru yang
terlokalisir sehingga membentuk kavitas yang berisi nanah (pus) dalam parenkim paru
pada satu lobus atau lebih. Abses paru harus dibedakan dengan kavitas pada pasien
tuberculosis paru. Abses paru lebih sering terjadi pada laki-laki dibanding perempuan dan
umumnya terjadi pada umur tua karena terdapat peningkatan insidens penyakit periodontal
dan peningkatan prevalensi aspirasi. Kemajuan ilmu kedokteran saat ini menyebabkan
kejadian abses paru menurun/jarang ditemukan karena adanya perbaikan risiko terjadinya
abses paru seperti teknik operasi dan anastesi yang lebih baik dan penggunaan antibiotic
yang lebih dini, kecuali pada kondisi-kondisi yang memudahkan untuk terjadinya aspirasi
dan pada populasi dengan immunocompromised.
Penyebab penyakit abses paru dapat bermacam-macam. Berikut ini urutan
penyebab abses paru di Indonesia adalah :
- Infeksi yang timbul melalui saluran napas (aspirasi)
- Sebagai penyulit dari beberapa tipe pneumonia tertentu
- Perluasan abses subdiafragmatika
- Berasal dari luka traumatic paru
- Infark paru yang terinfeksi
Mikroorganisme yang menyebabkan terjadinya abses paru
Bacteriodes melaninogenus
Bacteriodes fragilis
Peptostreptococcus species
Bacillus intermedius
Fusobacterium nucleatum
Microaerophilic streptococcus
Bakteri anaerobic meliputi 89% penyebab abses paru dan 85%-100% dari specimen yang
didapat melalui aspirasi transtrakeal.
Kelompok bakteri aerob:
Gram positif: sekunder oleh sebab selain aspirasi
Staphylococcus aureus
Streptococcus microaerophilic
Streptococcus pyogenes
Streptococcus pneumonia
Gram negatif: biasanya merupakan sebab nosokomial
Klebsiella pneumoniae
Pseudomonas aeruginosa
Escherichia coli
Haemophilus influenza
Actinomyces species
Nocardia species
Gram negatif bacilli
Kelompok:
Jamur: mucoraceae, aspergilus species
Parasit, amuba, mikobakterium
Gejala klinik
Gejala penyakit timbul satu sampai tiga hari setelah aspirasi, berupa malaise dengan
demam tinggi disertai mengigil, bahkan rigor, kemudian disusul dengan batuk berdahak
dan nyeri pleuritik atau rasa nyeri yang dirasakan di dalam dada, dan gejala akn terus
meningkat sampai menimbulkan sesak nafas dan sianosis. Bila tidak diobati, amak gejala
akan terus meningkat sampai kurang lebih hari ke sepuluh. Penderita mendadak batuk
dengan mengeluarkan pus bercampur darah dalam jumlah banyak, munkin berbau busuk
jika terinfeksi oleh kuman anaerob.
Pemeriksaan fisik
Suhu badan meningkat sampai 40oc,
Inspeksi : pergerakan dinding dada tertinggal ditempat lesi
Palpasi
: Fremitus menurun / menghilang
Perkusi
: redup
Auskultasi : Ronki
Pemeriksaan penunjang
1. Laboratorium
Hitung leukosit umumnya tinggi berkisar 10.000-30.000/mm3
Pemeriksaan dahak dapat membantu dalam menemukan mikrorganisme penyebab
abses , namun dahak tersebut hendaknya diperoleh dari aspirasi transtrakheal ,
transtorakal , atau bilasan bronkus, karena dahak yang dibatukkan akan terkontaminasi
dengan organisme anaerobik normal pada rongga mulut dan saluran napas atas.
2. Bronkoskopi
Bilasan bronkus merupakan cara yang paling baik dengan akurasi diagnostik
bakteriologi melebihi 80%.
3. Aspirasi jarum perkutan
Cara ini mempunyai akurai tinggi untuk diagnosis bakteriologis , dengan spesifitas
melebihi aspirasi transtrakeal.
4. Radiologi
Foto dada PA dan lateral utnuk melihat lesi dan bentuk abses paru. Pada hari-hari
pertama penyakit, foto dada hanya menunjukkan gambaran opak dari satu atau lebih
segemen, atau hanya berupa gambaran densitas homogen yang berbentuk bulat.
Kemudian kana ditemukan gambaran radiolused dalam bayangan infiltrat yang padat.
Selanjutnya bila abses tersebut mengalami ruptur sehingga mengalami drainase abses
yang tidak sempurna ke dalam bronkus, maka akan tampak kavitas ireguler dengan
batas cairan dan permukaan udara (air fluid level) didalamnya.
Penatalaksanaan
- Posisi berbaring hendaknya miring dengan paru yang terkena abses berada di atas
-