Anda di halaman 1dari 15

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Teori Modernisasi Dove Budaya Tradisional dan Pembangunan di Indonesia


Teori ini melihat interaksi antara kebijaksanaan pembangunan nasional Indonesia
dan aneka ragam budaya lokal yang terdapat di Indonesia. Dove dengan tidak ragu-ragu
menyatakan bahwa budaya tradisional tidak harus berarti terbelakang. Budaya tradisional
sangat dan selalu terkait dengan proses perubahan ekonomi,social dan politik dari
masyarakat pada tempat mana budaya tradisional tersebut melekat. Bagi Dove budaya
tradisional selalu mengalami perubahan yang dinamis, dan oleh karena itu budaya
tradisional tidak mengganggu proses pembangunan (Suwarsono, 1994:62).
Dove menyarikan dengan singkat sikap dan pandangan yang salah dari
kebanyakan ilmuwan sosial dan pengelola pembangunan di Indonesia.menurut Dove,
mereka melihat budaya tradisional sebagai tanda keterbelakangan dan sebagai
penghambat tercapainya kemajuan sosial ekonomis. Paling baik, budaya tradisional
dilihatnya sebagai kekayaan nasional yang tidak berharga, dan yang lebih sering budaya
tradisional sering dianggap sebagai faktor yang mengganggu proses modernisasi atau
paling tidak budaya tradisional sering dianggap sebagai faktor yang bertanggung jawab
terhadap kegagalan modernisasi. Jika demikian halnya, tidak heran jika kebanyakan
ilmuwan sosial dan perencaan pembangunan Indonesia selalu berusaha melakukan
devaluasi, depresiasi, atau bahkan eliminasi dari keseluruhan bentuk dan isi budaya
tradisional.

Universitas Sumatera Utara

Dalam kajian Dove menyatakan bahwa budaya tradisional sangat dan selalu
berkait dengan proses pembangunan ekonomi, sosial dan politik dimana budaya
tradisional tersebut melekat. Dalam penelitiannya Dove mengkategorikan dalam empat
kelompok yaitu agama tradisional (ideologi), ekonomi, lingkungan hidup, dan perubahan
sosial.
Keempat aspek tersebut memberikan manfaat fungsional bagi masyarakat yang
menganut sistem tradisional tersebut sehingga terkadang peraturan dan perubahan yang
dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap masyarakat penganut sistem tradisional
tersebut menjadi tidak tepat dan mengganggu kestabilan dan kelangsungan hidup
masyarakat tersebut. Secara ringkas penelitian Dove menunjukkan bahwa budaya
tradisional tidak harus selalu ditafsirkan sebagai faktor penghambat pembangunan.
(http://setanflorescreativity.blogspot.com/2010/11/perubahan-sosial-danpembangunan.html diakses tanggal 28-01-2011 pukul 11.50)
Sikap negatif pemerintah Indonesia tidak hanya terlihat pada pandangannya
tentang sistem kepercayaan tradisional, seperti misalnya apa yang disebut dengan
pertanian ladang, usaha mengumpulkan sagu dan usaha bertani berpindah-pindah. Pada
dasarnya pemerintah Indonesia melihat ketiga jenis usaha ekonomis tersebut sebagai
usaha yang tidak efisien, dank arena itu tidak dapat dikembangkan lebih jauh untuk
keperluan mendukung proses modernisasi, dan jika demikian halnya maka tidak ada
manfaat ekonomis yang diperoleh untuk mempertahankan model ekonomi tersebut.
Pasar tradisional juga merupakan salah satu sistem ekonomi yang masih bersifat
tradisional. Pemerintah merasa model seperti ini tidak akan membawa perkembangan
kemajuan untuk sistem ekonomi di Indonesia. Apalagi keberadaanyya seringkali dirasa

Universitas Sumatera Utara

mengganggu sebab seringkali lokasinya berada di tempat yang tidak semestinya. Pasar
tradisional dipandang sebagai daerah yang kumuh dan ruwet, yang telah menyebabkan
rusaknya keindahan kota serta menimbulkan kemacetan lalu lintas perkotaan. Oleh
karenanya, pasar tradisional ini harus disingkirkan jauh-jauh dari kota melalui proses
relokasi.
Namun seringkali upaya untuk merelokasikan pasar tradisional ke tempat yang
telah direncanakan oleh pemerintah menuai kegagalan. Para pedagang yang telah
direlokasikan tidak lama kemudian kembali lagi ke lokasi awal mereka berdagang. Hal
ini merupakan salah satu hal dari kegagalan proses pembangunan yang sering terjadi di
Indonesia. Biasanya yang menjadi penyebab kegagalan seperti itu adalah:
1. Pembangunan tidak membawa manfaat yang jelas bagi masyarakat dan orang banyak
2. Pembangunan itu bukan keinginan dan kebutuhan rakyat yang mendasar
3. Tidak ada perencanaan jangka pendek, menengah, dan jangka panjang
4. Pembangunan itu lebih bersifat program untuk mencari keuntungan bagi para
aparatnya, melalui program yang asal jadi.
Pembangunan di Indonesia sebagaimana gejala umum yang terjadi di hampir
semua Negara di dunia tidak lepas dari berbagai masalah pembangunan. Masalahmasalah pembangunan yang muncul tersebut menyebabkan banyak dampak yang pada
akhirnya menyebabkan terjadinya kegagalan dalam pembangunan. Banyak faktor yang
menyebabkan terjadinya kegagalan dalam pembangunan. Dari sekian banyak penyebab
yang ingin dikemukakan di sini adalah faktor kepemimpinan pemerintah dalam
pembangunan. Kepemimpinan pemerintah yang buruk dalam menjalankan upaya
pembangunan dalam masyarakat sudah tentu akan membawa masyarakat ke arah

Universitas Sumatera Utara

kegagalan pembangunan atas diri mereka. Dalam bidang politik tidak ada upaya
pemberdayaan masyarakat untuk terlibat memberikan suara (aspirasinya) dalam
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan. Dalam bidang pendidikan tidak
ada upaya pelayanan pendidikan yang maksimal
2.2. Dampak Relokasi Pasar Tradisional bagi Pembangunan
Pembangunan fisik biasanya menjadi prioritas utama dalam berbagai program
pembangunan yang dilakukan. Sehingga berimplikasi pada tidak humanisnya suatu
program pembangunan. Membangun dan menggusur menjadi dua hal yang tak
terpisahkan dalam perkembangan kota dewasa ini. Pembangunan melalui penggusuran
merupakan sebuah kebijakan yang tidak memperhatikan kaum marginal sebagai warga
Negara yang berhak dilindungi. Sepertinya pembangunan dalam perspektif konvensional
masih mendominasi berbagai kebijakan yang menyangkut kaum marginal saat ini.
Walaupun pembangunan tipe itu sudah tidak relevan diterapkan dewasa ini.
Tingginya angka kemiskinan dan meningkatnya tingkat urbanisasi di berbagai
kota besar di Indonesia mendorong lahirnya PKL. Menjadi masalah karena keberadaan
PKL menimbulkan dampak tersendiri dari aspek tata ruang kota. Ide penanganan PKL
dengan relokasi menjadi salah satu solusi yang terbaik dalam penanganan PKL yang
tidak mematikan hak hidup masyarakat miskin tetapi memberi ruang untuk hidup dalam
bingkai keteraturan dan ketertiban.
Pada dasarnya merelokasi kegiatan PKL ke suatu tempat merupakan hal yang
sering dilakukan oleh pemerintah Kota/Kabupaten. Namun, keputusan relokasi ke tempat
lain seringkali sepihak dari Pemerintah Kota sehingga setelah para pedagang pindah ke
tempat yang baru pendapatan pedagang tersebut merosot. Akibatnya para pedagang

Universitas Sumatera Utara

kembali lagi ke tempat semula atau mencari lokasi lain yang dianggap dapat
menggantikan lokasi yang lama. Hal ini menimbulkan masalah baru, karena para
pedagang menciptakan kantong-kantong PKL yang baru yang tidak sesuai dengan
kondisi tata ruang kota (Limbong, 2006:283).
Di Indonesia, hal itu disebabkan karena penyebaran penduduk yang tidak merata
dan tingkat urbanisasi yang sangat tinggi. Tingkat pendapatan buruh tani di pedesaan
yang sangat rendah dan upah buruh di masyarakat industri yang belum mencapai UMR.
Gulungtikarnya perusahaan-perusahaan besar telah menyebabkan angka pengangguran
yang sangat tinggi. Ditambah lagi dengan oportunisme di kalangan elit politik, telah
menyebabkan ketidak stabilan di bidang politik. Hal-hal ini telah menyebabkan
terpuruknya ekonomi rakyat dan mempercepat pemerataan kemiskinan masyarakat
Indonesia. Untuk perubahan sosial-ekonomi dibutuhkan aparatur negara yang bersih dan
pendidikan masyarakat yang memadai.
(http://gordonstevensijabat.wordpress.com/2009/03/27/sosiologi-pembangunan/

diakses

tanggal 22-12-2010 pukul 11.00)


Pemerintah Kota/Kabupaten merelokasikan pasar tradisional dengan beberapa
alasan. Alasan yang paling utama adalah untuk pembangunan yaitu demi terciptanya tata
kota yang rapi dan indah. Namun perelokasian tersebut sudah pasti menuai pro dan
kontra dari pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Apalagi banyak dampak yang bisa
ditimbulkan dari dan selama proses relokasi tersebut. Dampak yang dirasakan bisa berupa
dampak positif dan juga dampak negatif. Hal yang biasa terlihat dalam proses relokasi
pasar tradisional adalah terjadinya konflik antara para pedagang dengan aparat yang

Universitas Sumatera Utara

merelokasi. Kebanyakan dari masyarakat tersebut masih berpikiran sempit dan tertutup
makanya mereka sangat sulit untuk bisa menerima perubahan.
Dari berbagai penjelasan di atas sangat masuk akal sekali apabila saat ini justru
sektor informal ataupun pedagang kaki lima lah yang sangat banyak dilirik oleh
masyarakat Indonesia. Itu sebabnya semakin banyak saja ketidakteraturan yang terjadi.
Contohnya saja pasar-pasar tradisional yang keberadaannya seringkali mengganggu
ketertiban dan juga tata ruang kota. Maka dari itu pemerintah merelokasikan pasar
tradisional untuk mendukung pembangunan dalam tingkat kota atau kabupaten.
Sayangnya pembenahan pasar rakyat ini tampaknya sering lebih sering
mengedepankan kepentingan investor ketimbang kepentingan para pedagangnya sendiri.
Harga kios yang tinggi tanpa kompromi kerap membuat pedagang alergi mendengar
kata pembenahan. Keadaan ini tidak jarang akhirnya menimbulkan perselisihan antara
pedagang lama dengan investor yang ditunjuk pemerintah untuk merevitalisasi pasar
tradisional.

(http://indrakh.wordpress.com/2007/09/03/pasar-tradisional-di-tengah-

kepungan-pasar-modern/ diakses tanggal 20-12-2010 pukul 13.10)


Di samping itu ada hal-hal lainnya yang menjadi faktor penyebab dari gagalnya
proses relokasi pasar tradisional. Seperti yang dikemukakan oleh Hendi Yulianto dalam
penelitiannya mengenai studi implementasi pengaturan dan pembainaan PKL dalam
program relokasi PKL di wilayah Kecamatan Semarang Timur. Ia menyebutkan bahwa
gagalnya program relokasi disebabkan karena:
a. Di dalam implementasi suatu program, maka sosialisasi harus dilaksanakan oleh pihakpihak yang telah ditentukan, ini dapat dilihat dari kurang optimalnya sosialisasi yang

Universitas Sumatera Utara

dilakukan dalam program Relokasi PKL ini dimana sosialisasi hanya dilakukan oleh
pihak kecamatan.
b. Media yang digunakan kurang beragam dimana hanya menggunakan selebaran dan
menyebabkan perbedaan persepsi antara petugas dengan pedagang ditambah dengan
kurangnya intensitas sosialisasi yang dilakukan sehingga pedagang tidak terlalu tahu
tentang maksud dan tujuan program ini.
c. Informasi yang disampaikan oleh petugas sampai pada setiap PKL kurang efektif untuk
mempengaruhi PKL melaksanakan relokasi. d. Dalam hal program Relokasi PKL ini
diketahui bahwa ada sebagian dari penerima menolak untuk direlokasi disebbkan
tempat relokasi tidak sesuai dengan keinginan pedagang, selain itu masih minimnya
sarana dan fasilitas pendukung di tempat lokasi yang baru.
e. Kesadaran yang dimiliki oleh pedagang dalam melaksanakan program relokasi PKL
masih kurang hal ini dapat dilihat pada dukungan yang mereka berikan untuk
mensukseskan program ini masih kurang.
f. Karena tindakan sosial bersifat menular maka tindakan tegas oleh petugas tersebut
diatas

perlu

dijalankan

dengan

konsekuen.

(http://eprints.undip.ac.id/7652/1/D2A002034_Hendi_yulianto.pdf diakses tanggal


14-03-2011 pukul 12.50)
Dampak yang muncul pasca relokasi pasar tradisional bisa berupa dampak sosial
ekonomi, dampak sosial budaya dan juga dampak terhadap lingkungan. Dampak terhadap
lingkungan biasanya selalu bersifat positif seperti misalnya tertatanya lingkungan
menjadi lebih baik sehingga tidak ada lagi kesemrawutan; pengolahan limbah pasar;
penghijauan sekitar pasar relokasi, sehingga lingkungan pasar menjadi asri dan tidak
terlihat kesan kumuh.

Universitas Sumatera Utara

Sedangkan dampak sosial ekonomi dan dampak sosial budaya ada yang bersifat
positif dan ada juga yang bersifat negatif. Dampak yang bersifat positif seperti misalnya
meningkatnya kelayakan dan kenyamanan usaha; terbukanya kesempatan kerja;
perubahan status PKL menjadi pedagang legal; keamanan pasar lebih terjamin. Dampak
negatifnya yaitu menurunnya modal dan pendapatan; meningkatnya biaya operasional;
menurunnya aktifitas pasar; serta melemahnya jaringan sosial.

2.3. Pedagang Kaki Lima sebagai Salah Satu Bentuk Sektor Informal
Konsep sektor informal pertama kali muncul di dunia ketiga, yaitu ketika
dilakukan serangkaian penelitian tentang pasar tenaga kerja perkotaan di Afrika. Keith
Hart dalam Damsar (1997:158), orang yang memperkenalkan pertama kali konsep
tersebut pada tahun 1971, mengemukakan bahwa penyelidikan empirisnya tentang
kewiraswastaan di Acca dan kota-kota lain Afrika bertentangan dengan apa yang selama
ini diterima dalam perbincangan tentang pembangunan ekonomi.
Sektor informal adalah aktifitas ekonomi yang mengambil tempat di luar norma
formal dari transaksi ekonomi yang dibentuk oleh Negara dan dunia bisnis. Sector
informal tidak berarti illegal. Secara umum, istilah sector informal mengacu pada usaha
kecil atau mikro yang dikelola secara individual atau keluarga. (OHara, 2001).
Karakteristik sektor informal
1. Mudah untuk dimasuki atau dilakukan
2. Bergantung pada sumberdaya asli/yang ada di sekitarnya
3. Kepemilikan usaha oleh keluarga
4. Lingkup usaha berskala kecil

Universitas Sumatera Utara

5. Padat kerja dan mengadopsi tekhnologi sederhana


6. Keahlian yang dibutuhkan bukan berasal dari system sekolah formal
7. Tidak mengikuti aturan dan pasar yang kompetitif
8. Unit kerja/usaha berada di luar jangkauan admistrasi formal yang mencakup sektor
formal
9. Kebutuhan modal relatif kecil (http://blog.ui.edu/teguh1 diakses tanggal 12-09-2010)
Penyebab munculnya sector informal
1. Sistem pengaturan yang berlebihan
2. Sistem pengawasan yang tidak efisien dan korup
3. Budaya kepatuhan pajak yang rendah
4. Tingginya tingkat pengangguran
5. Tingkat literasi yang rendah
6. Penghasilan yang rendah di sector public
7. Fasilitas infrastruktur yang buruk (Braun, 1994)
Salah satu wujud dari sektor informal adalah kegiatan Pedagang Kaki Lima.
Kegiatan ini timbul karena tidak terpenuhinya kebutuhan pelayanan oleh kegiatan formal
yang mana kegiatan mereka sering menimbulkan gangguan terhadap lingkungannya dan
sering dipojokkan sebagai penyebab timbulnya berbagai permasalahan.
Menurut Mulyanto (2007), PKL adalah termasuk usaha kecil yang berorientasi
pada laba (profit) layaknya sebuah kewirausahaan (entrepreneurship). PKL mempunyai
cara tersendiri dalam mengelola usahanya agar mendapatkan keuntungan. PKL menjadi
manajer tunggal yang menangani usahanya mulai dari perencanaan usaha, menggerakkan
usaha sekaligus mengontrol atau mengendalikan usahanya, padahal fungsi-fungsi

Universitas Sumatera Utara

manajemen tersebut jarang atau tidak pernah mereka dapatkan dari pendidikan formal.
Kemampuan manajerial memang sangat diperlukan PKL guna meningkatkan kinerja
usaha mereka, selain itu motivasi juga sangat diperlukan guna memacu keinginan para
PKL untuk mengembangkan usahanya.
(http://ssantoso.blogspot.com/2008/07/konsep-sektor-informal-pedagang-kaki_28.html
Diakses tanggal 09-12-2010 pukul 11.40)
Umumnya yang menjadi alasan mengapa seseorang menjadi PKL diantaranya
karena tidak mempunyai keahlian lain selain berdagang, kemudian ada alasan lain yang
cukup signifikan yakni karena mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Tidak
adanya usaha pemerintah untuk mengembangkan kapasitas (capacity building) para
tenaga kerja menyebabkan tenaga kerja yang tersedia sulit mencari alternative pekerjaan
yang sesuai. Namun dengan keterampilan yang terbatas para tenaga kerja ini dapat masuk
pada sektor informal sebagai penjual makanan jajanan, dan kegiatan PKL tersebut
memberi secercah harapan.
Pertumbuhan sektor informal yang cukup pesat tanpa ada penanganan yang baik
dapat mengakibatkan ketidakaturan tata kota. Sebagaimana kita ketahui, banyak
pedagang kaki lima yang menjalankan aktifitasnya ditempat-tempat yang seharusnya
menjadi Public Space. Public Space merupakan tempat umum dimana masyarakat bisa
bersantai, berkomunikasi, dan menikmati pemandangan kota. Tempat umum tersebut bisa
berupa taman, trotoar, halte bus, dan lain-lain.
Untuk mengatasi masalah sektor informal, diperlukan ketegasan dari pemerintah
kota. Hal pertama yang harus dilakukan oleh pemerintah kota adalah relokasi bagi para
pedagang kaki lima. Pemerintah harus menyedikan tempat yang dapat digunakan mereka

Universitas Sumatera Utara

untuk berjualan. Hal tersebut ditujukan agar pedagang kaki lima tidak mengganggu
kepentingan umum karena berjualan dilokasi Public Space. Selain itu, relokasi dapat
menumbuhkan perasaan aman bagi pedagang karena mereka tidak perlu khawatir
ditertibkan oleh aparat pemerintah.
2.4. Pasar Tradisional sebagai Pendongkrak Perekonomian Negara
Pasar tradisional merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli serta
ditandai dengan adanya transaksi penjual pembeli secara langsung dan biasanya ada
proses tawar-menawar, bangunan biasanya terdiri dari kios-kios atau gerai, los dan
dasaran terbuka yang dibuka oleh penjual maupun suatu pengelola pasar. Kebanyakan
menjual kebutuhan sehari-hari seperti bahan-bahan makanan berupa ikan, buah, sayursayuran, telur, daging, kain, pakaian barang elektronik, jasa dan lain-lain. Selain itu, ada
pula yang menjual kue-kue dan barang-barang lainnya. Pasar seperti ini masih banyak
ditemukan di Indonesia, dan umumnya terletak dekat kawasan perumahan agar
memudahkan pembeli untuk mencapai pasar
(http://nindiyahpuspitasari.blogspot.com/2010/05/pasar-modern-dan-pasartradisional.html diakses tanggal 28-01-2011 pukul 12.35).
Pasar tradisional merupakan pasar yang memiliki keunggulan bersaing alamiah
yang tidak dimiliki secara langsung oleh pasar modern. Lokasi yang strategis, area
penjualan yang luas, keragaman barang yang lengkap, harga yang rendah, sistem tawarmenawar yang menunjukkan keakraban antara penjual dan pembeli merupakan
keunggulan yang dimiliki oleh pasar tradisional. Selain keunggulan tersebut pasar
tradisional juga merupakan salah satu pendongkrak perekonomian kalangan menengah ke
bawah dan jelas memberikan efek yang baik bagi Negara.

Universitas Sumatera Utara

Di balik kelebihan yang dimiliki pasar tradisional ternyata tidak didukung oleh
pihak pemerintah, salah satunya terlihat dari sikap pemerintah yang lebih membanggakan
adanya pasar modern dari pada pasar tradisional, yaitu dengan melakukan penggusuran
satu per satu pasar tradisional dengan cara dipindahkan dari tempat yang layak ke tempat
yang

jauh

dan

kurang

refresentatif.

(http://njiee.blogspot.com/2010/04/pasar-

tradisional.html diakses tanggal 12-12-2010 pukul 14.10)


Pasar tradisional memiliki beberapa kelemahan seperti misalnya kondisi pasar
yang becek dan bau, harus melakukan tawar-menawar sebelum membeli barang yang kita
inginkan, faktor keamanan yang lemah (copet, dsb), resiko pengurangan timbangan pada
barang yang dibeli, penuh sesak, dan sejumlah alasan lainnya. Tetapi pasar tradisional
juga masih memiliki beberapa kelebihan seperti misalnya masih adanya kontak sosial
saat tawar-menawar antara pedagang dan pembeli. Tidak seperti pasar modern yang
memaksa konsumen untuk mematuhi harga yang sudah dipatok. Bagaimanapun juga
pasar tradisional lebih menggambarkan denyut nadi perekonomian rakyat kebanyakan. Di
sana, masih banyak orang yang menggantungkan hidupnya, dari mulai para pedagang
kecil,

kuli

panggul,

pedagang

asongan,

hingga

tukang

becak.

(http://indrakh.wordpress.com/2007/09/03/pasar-tradisional-di-tengah-kepungan-pasarmodern/ diakses tanggal 20-12-2010 pukul 13.10)


2.5. Kebijakan Pemerintah Kota Medan dalam Penanganan PKL
Upaya penggusuran terhadap PKL yang terjadi di kota Medan menimbulkan
protes masyarakat bahkan melibatkan unsur mahasiswa dari perguruan tinggi negeri
maupun swasta yang ada di kota ini. Para PKL mendatangi kantor Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dan Balai Kota Medan dengan mengancam akan menginap dengan

Universitas Sumatera Utara

membawa tikar dan berbagai alas tikar serta sarung untuk perbekalan menginap sebagai
protes penggusuran PKL. Masyarakat dan unsur mahasiswa menuntut agar pemerintah
mencabut Perda yang salah satunya adalah Perda No. 31 Tahun 1993 tentang Pemakaian
Tempat Berjualan (Harian SIB, tanggal 27 Januari 2004).
Ketentuan dalam beberapa pasal pada Perda No 31 Tahun 1993 terkesan kaku dan
berpihak hanya pada pemerintah kota seperti yang terlihat dalam pasal 3 yang berbunyi:
Stand, kios atau bangunan Pemerintah Daerah baik yang pembangunannya
dibiayai oleh Pemerintah Daerah maupun swadaya masyarakat yang berada di
dalam kompleks pasar milik Pemerintah Daerah yang digusur, ditertibkan,
dibongkar guna peremajaan Pasar atau Kota dan penertiban lainnya tidak akan
diberian ganti rugi dalam bentuk apapun kepada penyewa dengan ketentuan
kepada penyewa diberikan prioritas untuk memperoleh tempat berjualan di lokasi
atau tempat yang diremajakan atau tempat lain yang dihunjuk oleh pemerintah
daerah.
Untuk menciptakan suatu kota Medan metropolitan, maka Pemerintah Kota
Medan telah menetapkan suatu Pola Dasar Pembangunan Kota Medan tahun 2001-2025
yang akan digunakan sebagai acuan dalam merencanakan kegiatan pembangunan. Pola
Dasar Pembangunan Kota Medan tersebut telah dituangkan dalam Peraturan Daerah
(Perda) Kota Medan Nomor 1 Tahun 2002. Kemudian, untuk pelaksanaan Perda No.1
Tahun 2002 tersebut telah ditetapkan suatu Keputusan Walikota Medan Nomor
188.342/070/K2002 tertanggal 20 Maret 2002.
Pasal 2 Perda No.1 Tahun 2002 menyatakan bahwa pola dasar pembangunan Kota
Medan tahun 2001-2025 merupakan pedoman dalam menetapkan peruntukan dan

Universitas Sumatera Utara

pemanfaatan tanah atau perencanaan kota bagi segenap aparatur Pemerintah Kota Medan,
DPRD, Lembaga Sosial Kemasyarakatan (LSM), organisasi profesi, perguruan tinggi,
dunia usaha, tokoh masyarakat, dan seluruh unsur dalam lapisan masyarakat lainnya di
Kota Medan (Limbong, 2006:131).
Dalam rangka menciptakan suatu pasar yang bersih yang memperhatikan aspek
lingkungan maka pemerintah kota merasa perlu untuk menertibkan kegiatan berjualan di
pasar-pasar yang dikelola oleh PD pasar. Penertiban ini diatur dengan menerbitkan Perda
No. 31 Tahun 1993 tentang pemakaian tempat berjualan (Rahardjo, 1996:14-17).

2.6. Definisi Konsep


Dalam

mengetahui penjelasan

maksud,

pengertian dan kesalahfahaman

penafsiran, maka diperlukan penguraian batasan konsep yang digunakan. Maka yang
menjadi batasan konsep dalam penelitian ini adalah:
1. Sektor Informal
Sektor informal adalah aktifitas ekonomi yang mengambil tempat di luar norma formal
dari transaksi ekonomi yang dibentuk oleh Negara dan dunia bisnis.
2. Pasar Tradisional
Pasar tradisonal adalah tempat berjualan yang tradisional (turun temurun), tempat
bertemunya penjual dan pembeli dimana barang-barang yang diperjual belikan
tergantung kepada permintaan pembeli (konsumen), harga yang ditetapkan merupakan
harga yang disepakati melalui sutau proses tawar menawar, pedagang selaku produsen
menawarkan harga sedikit diatas harga standart. Pada umumnya pasar tradisional
merupakan tempat penjualan bahan bahan kebutuhan pokok (sembako).

Universitas Sumatera Utara

3. Pedagang Tradisional
Yaitu pedagang atau orang yang berjualan secara tradisional atau sederhana dan lokasi
berdagangnya juga di tempat-tempat yang masih sederhana seperti misalnya di pasar
tradisional ataupun di lapak-lapak kaki lima.
4. Relokasi
Relokasi adalah proses pemindahan suatu tempat dari lokasi yang satu ke lokasi yang
lainnya dan biasanya jarak dari lokasi yang awal ke lokasi yang baru cukup jauh dan
bisa mempengaruhi hal-hal yang ada di dalamnya.
5. Kebijakan Pemerintah
Kebijakan pemerintah adalah sebuah keputusan yang diambil di luar pertimbangan
hukum dan sifatnya mendesak.
6. Sosialisasi
Sosialisasi berkaitan dengan kegiatan penyampaian informasi khususnya yang
dilakukan aparat kepada masyarakat mengenai sebuah program yang akan
dilaksanakan. Oleh karena itu masyarakat perlu mengetahui hal-hal yang berkaitan
dengan program tersebut supaya masyarakat dapat meresponnya dengan baik. Begitu
juga yang terjadi dalam program relokasi pedagang, apakah karena kurang efektif
dalam menyampaikan informasi tentang program yang menyebabkan pelaksanaan
program mengalami hambatan.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai