Anda di halaman 1dari 20

ACARA III

EVALUASI BILANGAN PEROKSIDA DAN


TITIK ASAP MINYAK GORENG

A. Tujuan
Tujuan dari praktikum Acara III. Evaluasi Bilangan Peroksida dan Titik
Asap Minyak Goreng adalah :
1. Menentukan bilangan peroksida pada minyak sawit
2. Menentukan titik asap pada minyak sawit
B. Tinjauan Pustaka
Minyak goreng berfungsi sebagai pengantar panas, penambah rasa
gurih, dan penambah nilai kalori bahan pangan. Mutu minyak goreng
ditentukan oleh titik asapnya, yaitu suhu pemanasan minyak sampai terbentuk
akrolein yang tidak diinginkan dan dapat menimbulkan rasa gatal pada
tenggorokan. Hidrasi gliserol akan membentuk aldehida tidak jenuh dan
akrolein tersebut. Makin tinggi titik asapnya, makin baik mutu minyak goreng
tersebut. Titik asap suatu minyak goreng tergantung dari kadar gliserol bebas.
Lemak yang telah digunakan untuk menggoreng titik asapnya akan turun,
karena telah terjadi hidrolisis molekul lemak. Karena itu untuk menekan
terjadinya hidrolisis, pemanasan lemak atau minyak sebaiknya dilakukan
pada suhu yang tidak terlalu tinggi dari seharusnya. Pada umumnya suhu
penggorengan adalah 177-2210C. Bilangan peroksida didefinisikan sebagai
jumlah miliequivalen peroksida dalam setiap 1000 g minyak atau lemak.
Bilangan peroksida >20 menunjukkan kualitas minyak yang sangat buruk,
biasanya teridentifikasi dari bau yang tidak enak. Bilangan peroksida adalah
nilai terpenting untuk menentukan derajat kerusakan pada minyak atau lemak.
Asam lemak tidak jenuh dapat mengikat oksigen pada ikatan rangkapnya
sehingga membentuk peroksida. Bilangan peroksida ditentukan berdasarkan
jumlah iodin yang dibebaskan setelah lemak atau minyak ditambahkan KI.
Lemak direaksikan dengan KI dalam pelarut asam asetat dan kloroform,

kemudian iodin yang terbentuk ditentukan dengan titrasi memakai Na2S2O3


(Winarno, 2004).
Minyak kelapa sawit dapat dihasilkan dari inti kelapa sawit yang
dinamakan minyak inti kelapa sawit dan sebagai hasil samping ialah bungkil
inti kelapa sawit. Minyak kelapa sawit adalah lemak semi padat yang
mempunyai komposisi yang tetap. Kandungan karoten dari minyak sawit
dapat mencapai dapat mencapai 1000 ppm atau lebih, tetapi dalam minyak
dari jenis tenera kurang lebih dipengaruhi oleh penanganan selama produksi.
Sifat fisiko-kimia minyak kelapa sawit meliputi warna, bau dan flavor,
kelarutan, titik cair dan polimorphism, titik didih, titik pelunakan, slipping
point, shot melting, bobot jenis, indeks bias, titik kekeruhan, titik asap, titik
nyala dan titik api (Muchtadi et al, 2010).
Minyak sawit dan minyak inti sawit memiliki kandungan asam lemak
jenuh masing-masing sekitar 50 % dan 80 % dan diesterifikasi dengan
gliserol. Minyak sawit merupakan konstituen dari kelapa sawit yang terdiri
dari 16 karbon jenuh, asam lemak palmitat dan oleat tak jenuh tunggal.
Minyak kelapa sawit merupakan sumber tocotrienol terbesar di alam dan juga
mengandung vitamin K yang tinggi serta magnesium untuk diet. Minyak
kelapa sawit mengandung asam linoleat sekitar 10 % Asam linoleat adalah
salah satu dari dua asam lemak esensial yang dibutuhkan manusia. Kelapa
sawit juga mengandung sedikit squalene (yang memungkinkan penurunan
kolesterol dan sifat anti-kanker) dan ubiquinone (energi penguat)
(Mukherjee et al, 2009).
Minyak merupakan campuran dari ester asam lemak dengan gliserol.
Jenis minyak yang umumnya dipakai untuk menggoreng adalah minyak
nabati seperti minyak sawit, minyak kacang tanah, minyak wijen dan
sebagainya. Minyak goreng jenis ini mengandung sekitar 80% asam lemak
tak jenuh jenis asam oleat dan linoleat, kecuali minyak kelapa. Proses
penyaringan minyak kelapa sawit sebanyak 2 kali (pengambilan lapisan
lemak jenuh) menyebabkan kandungan asam lemak tak jenuh menjadi lebih
tinggi. Tingginya kandungan asam lemak tak jenuh menyebabkan minyak
mudah rusak oleh proses penggorengan (deep frying), karena selama proses

menggoreng minyak akan dipanaskan secara terus menerus pada suhu tinggi
serta terjadinya kontak dengan oksigen dari udara luar yang memudahkan
terjadinya reaksi oksidasi pada minyak (Sartika, 2009).
Pengulangan penggunaan minyak goreng dapat mempengaruhi kualitas
makanan dan menaikkan pembentukan senyawa yang dapat mempengaruhi
kesehatan manusia dan menyebabkan makanan gorengan memiliki masa
simpan agak pendek karena mengalami ketengikan di minyak goreng yang
ada di produk. Setelah proses penggorengan, konsumen juga memperhatikan
tentang kualitas minyak dari aspek warna, titik asap dan derajat ketengikan.
Beberapa parameter dapat digunakan untuk menilai kualitas minyak seperti
asam lemak bebas (FFA), angka peroksida (PV), warna minyak goreng, titik
asap dan komposisi asam lemak (Fan et al, 2012).
Kerusakan lemak atau minyak yang utama adalah karena peristiwa
oksidasi dan hidrolitik, baik enzimatik maupun non enzimatik. Di antara
kerusakan minyak yang mungkin terjadi ternyata kerusakan karena
autooksidasi yang paling besar pengaruhnya terhadap cita rasa. Hasil yang
diakibatkan oksidasi lemak antara lain peroksida, asam lemak, aldehid dan
keton. Untuk mengetahui tingkat kerusakan minyak dapat dinyatakan sbagai
angka peroksida atau angka thiobarbiturat (TBA) (Sudarmadji et al, 1989).
Penentuan angka peroksida. Kedalam erlen meyer 30 mL dicampurkan
asam asetat glasial dan kloroform (3:2), kemudian sampel minyak 5g
dimasukkan ke dalam larutan tersebut. Selanjutnya ditambahkan KI jenuh 0,5
mL dan dikocok sampai jernih. Setelah 2 menit dari penambahan KI ditambah
30 mL aquades. Iod yang dibebaskan dititrasi dengan thiosulfat 0,01N.
Pengerjaan blanko dengan cara yang sama hanya tidak menggunakan sampel
minyak (Gunawan et al, 2003).
Minyak akan mengalami kerusakan apabila mengalami pemanasan
berulang kali, kontak dengan air, udara, dan logam. Kerusakan minyak yang
terjadi selama proses penggorengan meliputi oksidasi, polimerasi, dan
hidrolisis. Pada minyak goreng bekas yang telah rusak akan menbentuk
senyawa-senyawa yang tidak diinginkan seperti senyawa polimer, asam
lemak bebas, peroksida dan kotoran lain yang tersuspensi dalam minyak.

Minyak bekas merupakan minyak yang sudah tidak layak konsumsi.


Warnanya biasanya gelap, menimbulkan rasa gatal pada tenggorokan. Mutu
minyak bekas sudah sangat rendah karena adanya kandungan senyawa
peroksida dan asam lemak bebas yang tinggi. Minyak yang telah rusak
mempunyai angka peroksida serta asam lemak bebas yang tinggi.
Peningkatan angka peroksida diakibatkan proses oksidasi pada proses
pemasakan/pemanasan minyak goreng (Mulasari dan Utami, 2012).
Salah satu fenomena yang dihadapi dalam proses penggorengan adalah
menurunnya kualitas minyak setelah digunakan secara berulang pada suhu
yang relatif tinggi (160-180C). Paparan oksigen dan suhu tinggi pada minyak
goreng akan memicu terjadinya reaksi oksidasi. Beberapa parameter
terjadinya oksidasi seperti free fatty acid (FFA), komponen polar, asam
konjugat dienoat meningkat pada setiap pengulangan penggorengan selama
60 kali periode penggorengan. Bilangan peroksida ditentukan dengan
prosedur sebagai berikut: Minyak sebanyak 10 g dimasukkan ke dalam
Erlenmeyer tertutup dan ditambahkan 30 ml pelarut campuran asam asetat
glacial : kloroform (6:4 v/v). Setelah minyak larut sempurna ditambahkan 0,5
ml larutan KI jenuh dan dibiarkan 1 menit sambil dikocok, kemudian
ditambahkan 30 ml aquades. Iodium yang dibebaskan oleh peroksida dititrasi
dengan larutan standar natrium tiosulfat (Na2S2O3). Pengukuran angka
peroksida

pada

dasarnya

adalah

mengukur

kadar

peroksida

dan

hidroperoksida yang terbentuk pada tahap awal reaksi oksidasi lemak.


Bilangan peroksida yang tinggi mengindikasikan lemak atau minyak sudah
mengalami oksidasi, namun pada angka yang lebih rendah bukan selalu
berarti menunjukkan kondisi oksidasi yang masih dini. Angka peroksida
rendah bisa disebabkan laju pembentukan peroksida baru lebih kecil
dibandingkan dengan laju degradasinya menjadi senyawa lain, mengingat
kadar peroksida cepat mengalami degradasi dan bereaksi dengan zat lain
(Aminah, 2010).
Waktu penggorengan dan jenis makanan yang digoreng merupakan
factor yang berpengaruh terhadap kualitas minyak selama penggorengan dan
kualitas bahan yang digoreng. Waktu penggorengan meningkatkan kandungan

asam lemak bebas, komponen polar seperti dimer triacylglyserol, dimers, dan
polimer. peningkatan bilangan peroksida signifikan dengan peningkatan suhu
penyimpanan. Adanya efek sinergis suhu yang tinggi dengan waktu yang
lama terhadap bilangan peroksida Prinsip dari bilangan peroksida adalah
senyawa dalam lemak (minyak) akan dioksidasi oleh Kalium lodida (KI) dan
lod yang dilepaskan dititar dengan tiosulfat. Lemak direkasikan dengan KI
dalam pelarut asam aseta dan kloroform, sehingga minyak mengikat iodine
dari KI atau mengoksidasi ion ferro menjadi ion ferri. Iodin yang dibebaskan,
dititrasi dengan larutan standar natrium thiosulfat 0,1 N. (Aminah dan Isworo,
2010).
Proses pembentukan peroksida ini dipercepat oleh adanya cahaya, panas,
enzim peroksida atau hidroperoksida, logam-logam berat seperti Cu, Fe, Co dan
Mn, logam porfirin seperti hematin, hemoglobin, mioglobin, korofil dan enzimenzim lipoksidase. Molekul-molekul lemak yang mengandung radikal asam
lemak mengalami oksidasi dan menjadi tengik. Tingginya bilangan peroksida

menandakan oksidasi yang berkelanjutan, tetapi rendahnya bilangan


peroksida bukan berarti bebas dari oksidasi. Pada suhu penggorengan,
peroksida

meningkat,

tetapi

menguap

dan

meninggalkan

sistem

penggorengan pada temperatur yang tinggi (Moigradean, 2010).


Frekuensi penggorengan yang makin sering mengakibatkan kandungan
peroksidanya semakin meningkat, hal ini dikarenakan reaksi oksidasi termal
yang terjadi pada saat penggorengan. Oksidasi termal yakni oksidasi yang
dikarenakan

adanya

pemanasan

dan

adanya

paparan

udara,

yang

mengakibatkan terbentuknya peroksida. Semakin banyak pengulangan


penggorengan warna minyak semakin gelap. Hal ini disebabkan karena
akumulasi dari komponen komponen yang terbentuk dari hasil oksidasi
semakin

banyak.

Oksidasi

hidroperoksida

yang

lebih

lanjut

juga

menghasilkan produk-produk degradasi dengan tiga tipe utama yaitu


pemecahan menjadi alkohol, aldehid, asam, dan hidrokarbon, dimana hal ini
juga berkontribusi dalam perubahan warna minyak goreng yang lebih gelap
dan perubahan flavor, dehidrasi membentuk keton (Wannahari, 2012).

C. Metodologi
1. Alat
a. Beker glass 100 ml
b. Buret
c. Erlenmeyer 250 ml
d. Kompor gas
e. Pipet tetes
f. Pipet ukur 10 ml
g. Pipet ukur 5 ml
h. Pipet ukur 1 ml
i. Propipet
j. Termometer
k. Wajan
l. Alumunium foil
m. Gelas ukur 100 ml
2. Bahan
a. Minyak sawit (Minyak baru, minyak hasil penggorengan tahu 1 kali,
minyak hasil penggorengan tahu 2 kali, minyak hasil penggorengan
b.
c.
d.
e.

tempe 1 kali, minyak curah, minyak jelantah)


Larutan campuran asam asetat glasial dan kloroform
KI jenuh
Aquades
Na-tiosulfat 0,1 N

3. Cara kerja
a. Penentuan Bilangan Peroksida
5 ml sampel
minyak
Dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang telah dilapisi aluminium
foil
30 ml pelarut (60%
Ditambahkan, dikocok sampai sampel minyak larut
as. Asetat glasial +
40% kloroform
Ditambahkan, diamkan selama 2 menit sambil digoyang
0,5 ml KI jenuh
30 ml aquades

Ditambahkan

Kelebihan Iod dititrasi dengan Na-tiosulfat 0,1 N

b. Penentuan titik asap

Dengan cara sama dibuat penetapan blanko


50 ml sampel minyak
Dihitung bilangan peroksida tiap sampel
Dimasukkan ke dalam wajan

Dipanaskan sampai terbentuk asap dan diamati


suhunya
D. Hasil dan Pembahasan
Tabel 3.1 Bilangan Peroksida Minyak Sawit
Angka Peroksida
Shift Kel.
Sampel
(Meq/kg)
1
Minyak baru
46
2
Minyak penggorengan tahu 1x
2
3
Minyak penggorengan tahu 2x
240
4
Minyak penggorengan tempe 1x
158
5
Minyak curah baru
16
6
Minyak jelantah
130
1
Minyak baru
4
2
Minyak penggorengan tahu 1x
6
3
Minyak penggorengan tahu 2x
68

2
3

4
5
6
1
2
3
4
5
6

Minyak penggorengan tempe 1x


Minyak curah baru
Minyak jelantah
Minyak baru
Minyak penggorengan tahu 1x
Minyak penggorengan tahu 2x
Minyak penggorengan tempe 1x
Minyak curah baru
Minyak jelantah

26
200
128
-10
18
10
102
10
436

Sumber : Laporan Sementara

Dalam praktikum acara III dilakukan evaluasi terhadap bilangan


peroksida dan titik asap minyak goreng. Penggorengan dapat didefinisikan
sebagai proses pemasakan dan pengeringan produk melalui media panas
berupa minyak sebagai media pindah panas. Menurut Aminah dan Isworo
(2010), prinsip dari bilangan peroksida adalah senyawa dalam lemak
(minyak) akan dioksidasi oleh Kalium lodida (KI) dan lod yang dilepaskan
dititar dengan tiosulfat. Menurut Winarno (1984), bilangan peroksida
didefinisikan sebagai jumlah miliequivalen peroksida dalam setiap 1000 g
minyak atau lemak. Bilangan peroksida >20 menunjukkan kualitas minyak
yang sangat buruk, biasanya teridentifikasi dari bau yang tidak enak.
Bilangan peroksida adalah nilai terpenting untuk menentukan derajat
kerusakan pada minyak atau lemak. Asam lemak tidak jenuh dapat mengikat
oksigen pada ikatan rangkapnya sehingga membentuk peroksida.
Menurut Aminah (2010), bilangan peroksida ditentukan dengan
prosedur sebagai berikut: Minyak sebanyak 10 g dimasukkan ke dalam
Erlenmeyer tertutup dan ditambahkan 30 ml pelarut campuran asam asetat
glacial : kloroform (6:4 v/v). Pada tahapan ini pelarut digunakan untuk
melarutkan minyak sehingga dapat direaksikan pada tahap tahap berikutnya.
Setelah minyak larut sempurna ditambahkan 0,5 ml larutan KI jenuh dan
dibiarkan 1 menit sambil dikocok. Menurut Aminah dan Isworo (2010),
minyak direkasikan dengan KI dalam pelarut asam aseta dan kloroform,
sehingga minyak mengikat iodine dari KI atau mengoksidasi ion ferro
menjadi ion ferri. Kemudian ditambahkan 30 ml aquades. Iodium yang
dibebaskan oleh peroksida dititrasi dengan larutan standar natrium tiosulfat

(Na2S2O3). Pengukuran angka peroksida pada dasarnya adalah mengukur


kadar peroksida dan hidroperoksida yang terbentuk pada tahap awal reaksi
oksidasi lemak. Bilangan peroksida yang tinggi mengindikasikan lemak atau
minyak sudah mengalami oksidasi, namun pada angka yang lebih rendah
bukan selalu berarti menunjukkan kondisi oksidasi yang masih dini. Angka
peroksida rendah bisa disebabkan laju pembentukan peroksida baru lebih
kecil dibandingkan dengan laju degradasinya menjadi senyawa lain,
mengingat kadar peroksida cepat mengalami degradasi dan bereaksi dengan
zat lain. Skema reaksi yang terjadi selama titrasi penentuan bilangan
peroksida seperti berikut
R00H + K+I-

ROH + K+OH + I2

I2 (biru) + indikator + 2Na2S2O3

2NaI + indikator (tidak berwarna) +

Na2S4O6
Menurut Mulasari dan Utami (2012), minyak akan mengalami
kerusakan apabila mengalami pemanasan berulang kali, kontak dengan air,
udara, dan logam. Kerusakan minyak yang terjadi selama proses
penggorengan meliputi oksidasi, polimerasi, dan hidrolisis. Pada minyak
goreng bekas yang telah rusak akan menbentuk senyawa-senyawa yang tidak
diinginkan seperti senyawa polimer, asam lemak bebas, peroksida dan
kotoran lain yang tersuspensi dalam minyak. Minyak bekas merupakan
minyak yang sudah tidak layak konsumsi. Mutu minyak bekas sudah sangat
rendah karena adanya kandungan senyawa peroksida dan asam lemak bebas
yang tinggi. Minyak yang telah rusak mempunyai angka peroksida serta asam
lemak bebas yang tinggi. Peningkatan angka peroksida diakibatkan proses
oksidasi pada proses pemasakan/pemanasan minyak goreng. Menurut
Aminah dan Isworo (2010), waktu penggorengan, lama ulangan dalam
penggorengan serta jenis makanan juga menyebabkan minyak goreng
mengalami kerusakan.
Pada sampel minyak baru shift 1, shift 2 dan shift 3 didapatkan bilangan
peroksida sebesar 46 meq/kg, 4 meq/kg, 10 meq/kg. Pada sampel minyak
penggorengan tahu 1x diperoleh bilangan peroksida berturut-turut sebesar 2

meq/kg, 6 meq/kg, 18 meq/kg. Didapatkan bilangan peroksida 240 meq/kg,


68 meq/kg, 10 meq/kg pada sampel minyak penggorengan tahu 2x. Bilangan
peroksida berturut turut untuk sampel minyak penggorengan tempe 1x
sebesar suhu 158 meq/kg, 26 meq/kg, 102 meq/kg. Pada sampel minyak
curah baru didapatkan bilangan peroksida berturut turut sebesar 16 meq/kg,
200 meq/kg, 10 meq/kg. Pada sampel minyak jelantah didapatkan bilangan
peroksida sebesar 130 meq/kg, 128 meq/kg, 1436 meq/kg. Bilangan
peroksida terbesar didapatkan pada sampel minyak jelantah pada shift 3 yaitu
1436 meq/kg. Sedangkan bilangan peroksida terkecil didapatkan pada sampel
minyak penggorengan tahu 1x pada shift 1 yaitu 2 meq/kg.
Pada shift 1 urutan bilangan peroksida dari yang terendah sampai yang
tertinggi adalah sampel minyak penggorengan tahu 1x (2 meq/kg), minyak
curah baru (16 meq/kg), minyak baru (46 meq/kg), minyak jelantah (130
meq/kg), minyak penggorengan tempe 1x (158 meq/kg), dan minyak
penggorengan tahu 2x (240 meq/kg). Sedangkan pada shift 2 urutan bilangan
peroksida dari yang terendah sampai yang tertinggi adalah sampel minyak
baru (4 meq/kg), minyak penggorengan tahu 1x (6 meq/kg), minyak
penggorengan tempe 2x (26 meq/kg), minyak penggorengan tahu 2x (68
meq/kg), minyak jelantah (128 meq/kg), dan minyak curah baru (200
meq/kg). Pada shift 3 urutan bilangan peroksida dari yang terendah sampai
yang tertinggi adalah sampel minyak baru, minyak penggorengan tahu 2x,
minyak curah baru (10 meq/kg), minyak penggorengan tahu 1x (18 meq/kg),
minyak penggorengan tempe 1x (102 meq/kg), dan minyak jelantah (1436
meq/kg).
Menurut Aminah dan Isworo (2010), peningkatan angka peroksida
diakibatkan proses oksidasi pada proses pemasakan/pemanasan minyak
goreng, waktu penggorengan, lama ulangan dalam penggorengan serta jenis
makanan juga menyebabkan minyak goreng mengalami kerusakan. Jenis
bahan yang digunakan juga mempengaruhi seberapa rusak minyak yang
digunakan, misalnya dengan menggoreng tempe, minyak lebih cepat rusak
dibandingkan dengan menggoreng tahu. Karena dalam menggoreng tempe,
minyak akan mengalami kontak langsung dengan tempe yang mengandung

protein dan enzim yang masih bekerja didalamnya, sehingga kualitas minyak
lebih mudah turun. Sehingga seharusnya angka peroksida paling kecil adalah
pada sampel minyak baru dan yang paling besar adalah minyak jelantah.
Menurut hasil praktikum pada ketiga shift mengalami penyimpangan.
Pada shift 1 angka peroksida terkecil pada sampel minyak hasil penggorengan
tahu 1x, lalu pada shift 2 angka peroksida paling kecil sudah benar yaitu
sampel minyak baru, namun angka peroksida paling besar terdapat pada
minyak curah baru, dan pada data shift 3 juga mengalami penyimpangan
angka peroksida paling kecil ada 3 sampel yaitu minyak baru, minyak hasil
penggorengan tahu 2x dan minyak curah baru. Penyimpangan yang terjadi
selama praktikum disebabkan karena pengaruh penyimpanan sampel sebelum
diuji, karena kerusakan bukan hanya disebabakan oleh pemanasan saja namun
juga disebabkan intensitas kontak minyak dengan udara. Selain dari
pemanasan minyak yang berulang, penyimpangan juga disebakan oleh
kesalahan praktikan saat melakukan titrasi. Perbedaan standar perubahan
warna tiap praktikan menyebabkan hasilnya juga mengalami perbedaan.

Tabel 3.2 Titik Asap Minyak Sawit


Shift Kel.
Sampel
1
Minyak baru
2
Minyak penggorengan tahu 1x
3
Minyak penggorengan tahu 2x
4
Minyak penggorengan tempe 1x
5
Minyak curah baru
6
Minyak jelantah
1
Minyak baru
2
Minyak penggorengan tahu 1x
3
Minyak penggorengan tahu 2x
4
Minyak penggorengan tempe 1x
5
Minyak curah baru
6
Minyak jelantah
1
Minyak baru
2
Minyak penggorengan tahu 1x
3
Minyak penggorengan tahu 2x
4
Minyak penggorengan tempe 1x
5
Minyak curah baru
6
Minyak jelantah

Suhu 0C
124
160
183
120
140
180
220
232
238
243
220
290
160
90
80
180
160
87

Sumber : Laporan Sementara

Minyak sawit merupakan bahan yang memiliki sifat fisik dan sifat
kimia yang mempengaruhi kualitasnya. Salah satu sifat fisik yang
berpengaruh pada kualitas minyak yaitu smoke point. Bila suatu lemak
dipanaskan, pada suhu tertentu timbul asap tipis kebiruan. Titik ini disebut
titik asap (smoke point). Bila pemanasan diteruskan maka akan tercapai flash
point, yaitu minyak mulai terbakar (terlihat nyala). Jika minyak sudah
terbakar secara tetap disebut fire point. Suhu terjadinya smoke point ini
bervariasi dan dipengaruhi oleh jumlah asam lemak bebasnya. Jika asam
lemak bebas banyak, ketiga suhu tersebut akan turun. Demikian juga bila
berat molekul rendah, ketiga suhu tersebut akan lebih rendah. Tujuan dari
penentuan titik asap adalah untuk mengetahui mutu atau kualitas dari minyak
goreng. Semakin tinggi titik asap minyak goreng maka semakin bagus
kualitas minyak tersebut, begitu juga sebaliknya (Winarno, 1982).
Pada praktikum ini sampel dipanaskan di atas kompor gas
menggunakan wajan kemudian diamati sampai terbentuk asap kemudian
diukur suhu minyak tersebut dengan menggunakan termometer. Dari hasil

praktikum didapatkan titik asap pada sampel minyak dengan suhu berbedabeda. Pada sampel minyak baru shift 1, shift 2 dan shift 3 didapatkan titik
asap pada suhu sebesar 1240C, 2200C dan 1600C. Pada sampel minyak
penggorengan tahu 1x diperoleh titik asap berturut-turut pada suhu 1600C,
2320C dan 900C. Didapatkan titik asap pada suhu 1830C, 2380C dan 800C
pada sampel minyak penggorengan tahu 2x. Titik asap untuk sampel minyak
penggorengan tempe 1x didapatkan pada suhu 1200C, 2430C dan 1800C. Pada
sampel minyak curah baru didapatkan titik asap pada suhu 1400C, 2200C dan
1600C. Pada sampel minyak jelantah didapatkan nilai titik asap pada suhu
1800C, 2900C dan 870C. Suhu terbesar pada saat terbentuknya asap
didapatkan pada sampel minyak jelantah pada shift 2 yaitu 2900C. Sedangkan
suhu

terkecil

terbentuknya

asap

didapatkan

pada

sampel

minyak

penggorengan tahu 2x pada shift 3 yaitu 800C.


Pada shift 1 urutan suhu terbentuknya titik asap dari yang tertinggi
sampai yang terendah adalah 1830C, 1800C 1600C, 1400C, 1240C dan 1200C
untuk sampel berturut-turut minyak penggorengan tahu 2x, minyak jelantah,
minyak penggorengan tahu 1x, minyak curah baru, minyak baru, minyak
penggorengan tempe 1x. Sedangkan pada shift 2 urutan suhu terbentuknya
titik asap dari yang tertinggi sampai yang terendah adalah 290 0C, 2430C
2380C, 2320C, 2200C dan 2200C untuk sampel berturut-turut minyak jelantah,
minyak penggorengan tempe 1x, minyak penggorengan tahu 2x, minyak
penggorengan tahu 1x, minyak baru, minyak curah baru. Pada shift 3 urutan
suhu terbentuknya titik asap dari yang tertinggi sampai yang terendah adalah
1800C, 1600C 1600C, 900C, 870C dan 800C untuk sampel berturut-turut
minyak penggorengan tempe 1x, minyak baru, minyak curah baru, minyak
penggorengan tahu 1x, minyak jelantah, minyak penggorengan tahu 2x.
Menurut Winarno (2004), lemak yang telah digunakan untuk
menggoreng titik asapnya akan turun, karena telah terjadi hidrolisis molekul
lemak. Hasil praktikum pada shift 1 belum sesuai dengan teori dimana suhu
terbentuknya asap pada minyak penggorengan tahu 1x dan 2x serta minyak
jelantah memiliki suhu yang lebih tinggi dibandingkan minyak baru. Hasil
yang sama didapatkan pada shift 2. Namun pada shift 3 berbeda, hasilnya

sudah sesuai teori dimana suhu terbentuknya asap pada sampel minyak
penggorengan tahu dan minyak jelantah lebih rendah dibandingkan pada
minyak baru. Makin tinggi titik asapnya, makin baik mutu minyak goreng
tersebut. Penyimpangan ini terjadi dimungkinkan penggunaan api yang
berbeda-beda , ada penggunaan api yang terlalu besar sehingga minyak cepat
panas ataupun dikarenakan bahan dari wajan yang berbeda-beda.
Mutu minyak goreng ditentukan oleh titik asapnya, yaitu suhu
pemanasan minyak sampai terbentuk akrolein yang tidak diinginkan dan
dapat menimbulkan rasa gatal pada tenggorokan. Penggunaan minyak goreng
berulang kali akan mengakibatkan kerusakan minyak. Berbagai macam reaksi
yang terjadi selama proses penggorengan seperti reaksi oksidasi, hidrolisis,
polimerisasi, dan reaksi dengan logam dapat mengakibatkan minyak menjadi
rusak. Titik asap suatu minyak goreng tergantung dari kadar gliserol bebas
(Ketaren, 2008).
Standar mutu minyak goreng telah dirumuskan dan ditetapkan oleh
Badan Standarisasi Nasional (BSN) yaitu SNI 01-3741-2002, SNI ini
merupakan revisi dari SNI 01-3741-1995, menetapkan bahwa standar mutu
minyak goreng seperti pada Tabel 1 dan Tabel 2 berikut ini:

Oksidasi oleh oksigen udara terjadi secara spontan jika bahan yang
mengandung lemak dibiarkan kontak dengan udara. Kecepatan proses
oksidasinya tergantung dari tipe lemak dan kondisi penyimpanan. Adanya
antioksidan dalam lemak akan mengurangi kecepatan proses oksidasi.
Antioksidan terdapat secara alamiah dalam minyak atau bahan pangan
berlemak, atau kadang-kadang sengaja ditambahkan. Faktor-Faktor yang
menghambat oksidasi :
1.

Pengaruh suhu
Kecepatan oksidasi lemak yang dibiarkan di udara akan bertambah
dengan kenaikan suhu dan akan berkurang dengan penurunan suhu.
Untuk mengurangi kerusakan bahan pangan berlemak dan agar
tahan dalam waktu lebih lama, dapat dilakukan dengan cara
menyimpan lemak dalam ruang dingin

2.

Pengaruh cahaya
Cahaya berpengaruh sebagai akselerator pada oksidasi tidak jenuh
dalam lemak, untuk menghindarinya gunakan bahan pembungkus
yang dapat mengabsorpsi sinar aktif yang terbuat dari cellophane
berwarna tua yaitu warna biru tua, hijau tua, cokelat tua, atau
merah tua.

3.

Katalis logam
Fungsi logam sebagai katalisator oksidasi dapat dihambat dengan
melepaskan katalis logam dari lemak selama tahap permulaan
proses oksidasi dan menambahkan zat penghambat yang kuat ke

dalam system autooksidasi akan mencegah oksidasi lebih lanjut


(Ketaren 2008).

E. Kesimpulan
Kesimpulan yang didapatkan dari Acara III. Evaluasi Bilangan
Peroksida dan Titik Asap Minyak Goreng antara lain :
1. Bilangan peroksida terkecil terdapat pada sampel minyak hasil
penggorengan tahu 1x pada shift 1 sebesar 2 meq/kg dan yang terbesar
terdapat pada sampel minyak jelantah pada shift 3 sebesar 1436 meq/kg.
2. Suhu terbesar pada saat terbentuknya asap didapatkan pada sampel minyak
jelantah pada shift 2 yaitu 2900C. Sedangkan suhu terkecil terbentuknya
asap didapatkan pada sampel minyak penggorengan tahu 2x pada shift 3
yaitu 800C.
3. Faktor yang mempengaruhi kualitas minyak antara lain pemanasan,
penyimpanan minyak, frekuensi penggorengan, jenis bahan yang
digunakan untuk menggoreng.

DAFTAR PUSTAKA
Aminah, Siti. 2010. Bilangan Peroksida Minyak Goreng Curah dan Sifat
Organoleptik Tempe pada Pengulangan Penggorengan. Jurnal Pangan dan
Gizi Vol.1(1).
Aminah, Siti dan J.T.Isworo. 2010. Praktek Penggorengan dan Mutu Minyak
Goreng Sisa pada Rumah Tangga di Kedungmundu Tembalang Semarang.
Prosiding Seminar Nasional Unimus. ISBN:978.979.704.883.9.
Fan, H.Y et al. 2012. Frying Stability of Rice Bran Oil and Palm Olein.
International Food Research Journal Vol. 20(1): 403-407.
Gunawan, et al. 2003. Analisis Pangan: Penentuan Angka Peroksida dan Asam
Lemak Bebas Pada Minyak Kedelai Dengan Variasi Menggoreng. JSKA
Vol.6(3).
Ketaren. 2008. Minyak dan Lemak Pangan. UI Press. Jakarta.
Moigradena, Diana; M.A.Poiana; I.Gogosa. Quality Characteristics and
Oxidative Stability of Coconut Oil During Storage. Journal of
Agroalimentary Process and Technologies Vol.18(4):272-276.
Muchtadi, Tien R, et al. 2010. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Alfabeta. Bogor.
Mukherjee et al. 2009. Health Effects of Palm Oil. School of Medical Science
and Technology, Indian Institute of Technology Vol.3(26): 197-198.
Mulasari, Surahma Asti dan R.R.Utami. 2012. Kandungan Peroksida pada
Minyak Goreng di Pedagang Makanan Gorengan Sepanjang Jalan Dr.
Soepomo Umbulharjo Yogyakarta. Ilmu Kesehatan Masyarakat
Universitas Ahmad Dahlan Vol.1(2):120-123.
Sartika, Ratu Ayu Dewi. 2009. Pengaruh Suhu Dan Lama Proses Menggoreng
(Deep Frying) Terhadap Pembentukan Asam Lemak Trans. Jurnal Makara,
Sains Vol.13(1): 23-28.
Sudarmadji, Slamet, et al. 1989. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty.
Yogyakarta.
Wannahari and Nordin. 2012. Reduction of Peroxide Value in Used Palm Cooking
Oil Using Bagasse Adsorbnet. American International Journal of
Contemporary Research Vol.2(1).
Winarno, F. G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.

LAMPIRAN

1. Dokumentasi

Gambar 3.1 Sampel minyak setelah dititrasi

Gambar 3.2 Sampel minyak sebelum dititrasi

2. Perhitungan bilangan peroksida


Kelompok 1
Sampel : Minyak baru
Milieqivalen peroksida = A x N x 1000/G
= (1,5-1,3) x 0,1 x 1000/5
= 4 meq/kg
A = ml Na2S2O3 titrasi sampel ml Na2S2O3 titrasi blanko
N = normalitas Na2S2O3
G = berat sampel minyak (gram)
Perubahan warna
Awal : kuning muda
Setelah ditambah pelarut + KI : kuning muda
Setelah titrasi : putih bening

Anda mungkin juga menyukai