Anda di halaman 1dari 9

Florisa

Tepuk tangan penonton bergemuruh ketika Vani mulai mengakhiri jari-jarinya yang
menekan tuts piano malam itu. Dengan perasaan lega ia berdiri dan menundukkan badannya
kearah penonton yang telah puas menikmati pemainan Vani. Ia menjadi bintang tamu acara
amal yang diselenggarakan perusahaan asuransi dikota tercintanya, pertunjukan ini adalah
kali pertama Vani memegang gelar bintang tamu. Selain karena animo pertunjukan piano
warga Boyolali yang minim, Vani Florisa yang tiga tahun belakangan ini sibuk mencari uang
dengan manggung disana-sini baru sempat menengok kota kelahirannya itu. Dengan
bermodalkan keyboard kecil yang diberikan ayahnya, ia mencoba peruntungan ke kota besar
untuk mencari pekerjaan sesuai dengan bakatnya. Awalnya ia pergi ke sebuah kafe kecil di
kota Solo untuk sekedar memainkan sebuah lagu dengan piano tua yang ada disana. Sesaat
setelah lagu itu selesai, teriakan pengunjung kafe mengagetkan Vani yang sedari tadi
memejamkan matanya. Mereka menginginkan satu lagu lagi untuk dimainkan Vani, alunan
yang ia berikan sungguh menentramkan, begitu kata sebagian besar pengunjung wanita yang
sedang berada disana. Sejak saat itulah ia dijadikan sebagai pemain piano tetap dikafe itu,
sedikit demi sedikit ia kumpulkan uangnya untuk biaya kuliahnya sendiri.
Saat ini Vani sedang menikmati puncak karirnya sebagai pianis sekaligus mahasiswi
UNS jurusan Psikologi. Masuknya Vani yang lebih lambat dua tahun dari teman
seangkatannya itu mengagetkan sebagian temannya yang juga kuliah ditempat yang sama.
Mereka mengira bahwa dengan karirnya yang sedang melejit ditahun 2002 ini, pendidikan
sudah tidak penting lagi baginya. Vani pasti bisa sukses dengan piano ini ayah, dan Vani
pasti bisa kuliah dengan uang Vani sendiri janji Vani dengan ayahnya tiga tahun yang lalu.
Kondisi keluarganya yang sangat sederhana tidak memungkinkan dia untuk mengikuti
pendaftaran kuliah pada saat itu, namun Vani selalu ingat kata-kata ayahnya bahwa
pendidikan nomor satu bagi setiap orang karena Indonesia membutuhkan pemuda kita dalam
perkembangannya. Dan semangat itu telah tertanam pada jiwa Vani.
Kak, boleh minta tanda tangannya? tanya seorang anak kecil yang menghampiri
Vani setelah pertunjukan amal selesai. Anak itu imut, berambut pendek sedikit pirang,
umurnya sekitar sepuluh tahunan dan berkacamata bulat.
Wah, kamu punya CD kakak juga ya? tanya Vani sembari menandatangani CD yang
berisi album keduanya itu.
Iya kak, penampilan kakak selalu indah, selalu cantik. puji anak itu setelah
mendapatkan CDnya kembali.
Vani tersenyum dan berterima kasih, anak itu segera pergi karena antrian telah banyak
menunggu Vani untuk berfoto maupun meminta tanda tangan gadis itu. Ia tersenyum

membayangkan usahanya selama ini, sudut matanya melihat sepasang suami istri duduk
bersama sembari memperhatikannya. Vani sesekali menengok dan memberikan senyuman
kepada mereka. Boleh minta tanda tangan, foto, album, kado, dan pianonya kak? tanya
seorang gadis tiba-tiba. Vani sedikit takut dengan fans yang seperti ini, karena sebelumnya ia
belum pernah bertemu dengan fans yang meminta macam-macam padanya.
Maukah kau berbagi denganku untuk kali ini? tanya gadis itu kembali, ia membuka
topinya dan menatap mata Vani. Betapa terkejutnya ia bahwa gadis yang dihadapannya saat
ini adalah Aira Floriana, adik kecilnya yang kini telah beranjak remaja. Diacak-acaknya
rambut tebal adiknya itu seraya pelukan erat mendarat di tubuh Aira.
Kamu tinggi banget sekarang, dikasih makan apa sama Ayah dan Ibu? tanya Vani
ketika ia melepaskan pelukannya.
Dikasih makanan yang lebih bergizi dari yang kakak makan. Aira terkekeh
mengucapkan kata-kata itu, tak terkecuali Vani. Kini mereka menghampiri sepasang suami
istri yang sedari tadi memperhatikan Vani dari jauh. Ayah, kak Vani sekarang hebat ya?
Siapa dulu dong ayahnya? kata pria yang dipanggil Ayah oleh Aira itu, adalah
Herman, orangtua Vani yang selama ini mengajarkan semua arti kehidupan pada gadis itu.
Tawa riang menghiasi keluarga kecil itu, kali ini Vani sedang menikmati liburan
semester dan pekerjaannya sebagai pianis. Ia menghabiskan waktu sebulan dikota
kelahirannya, rumahnya tidak pernah sepi dari pengunjung. Entah mereka adalah sahabatnya,
teman dekat orang tuanya, teman-teman adiknya, tetangganya, bahkan saudaranya yang
berada di Kalimantan menyempatkan diri untuk menginap dirumah Vani saking bangganya
dengan gadis itu. Kondisi ekonomi keluarga Vani lebih baik setelah ia tenar sebagai pianis,
hal ini merupakan kebanggaan tersendiri bagi dirinya karena berhasil mengangkat derajat
orang tuanya. Meskipun ia sendiri sadar, apa yang diberikannya saat ini tidak akan pernah
bisa membalas semua kasih sayang dan restu yang telah mereka berikan kepada Vani.
Suatu pagi, Vani mendapatkan buket bunga yang dikirim via pos oleh seseorang.
Nampaknya kali ini ketenarannya telah diketahui pegawai pos yang mengirim buket bunga
saat itu. Terbukti ketika ia dimintai tanda tangan dialbum CD yang dibawa pak pos yang
sangat mengejutkan Vani. Bapak membeli CD saya juga? tanya Vani sedikit penasaran.
Bukan saya nduk yang beli, ini milik anak saya. Dia fans berat nduk Vani. aku
bapak pos itu.
Ya Allah, terima kasih Bapak. Tolong sampaikan salam saya kepada anak Bapak ya.
kata Vani kemudian. Ia menandatangani tanda bukti pengiriman beserta CD yang diberikan
bapak pos itu. Lalu bunga ini dari siapa ya pak?
Dicari saja nduk, ada kertas ucapan atau tidak. Pengirimnya sok misterius. Vani
terkekeh mendengar kata-kata bapak pos, ia kemudian mencari kartu yang dimaksud setelah
beliau pergi untuk bekerja kembali.

KATA ADIKKU, PERMAINANMU BAGUS


DAN KAMU LEBIH CANTIK ASLINYA. SAYANG AKU
GAK BISA DATANG MELIHAT PERTUNJUKANMU
-Rio
Rio? Sejak kapan aku punya teman yang bernama Rio? Vani mengingat kembali
teman-temannya, ia tidak merasa memiliki teman yang bernama Rio. Fans? Vani mencoba
menerka siapa pengirim buket bunga ini, baru kali ini dia mendapatkan kado yang dikirim
dirumah oleh penggemarnya. Memang sangat jarang Vani berada dirumah Boyolali, namun
selama ini ibunya tidak pernah menerima kado untuk dirinya. Atau mungkin temen kuliah
yang belum aku kenal? Ya, mungkin saja.
Selasa adalah hari pertama yang akan dilalui Vani di semester keempatnya. Ia sudah
melakukan perjalanan ke Solo siang ini, ia tak perlu mengadakan penyamaran di dalam bus
yang ditumpanginya karena sebagian besar bus itu diisi oleh wanita-wanita paruh baya yang
tidak agresif saat melihatnya. Mereka tidak seperti para penggemar yang kebanyakan para
remaja. Seorang pemuda berumur dua puluhan duduk disamping Vani sambil mengamankan
tasnya. Ia sedikit menjepit tubuh Vani ke arah kiri karena berusaha menyingkir dari bus yang
sedang penuh sesak itu. Maaf, tuturnya ketika berhasil mengambil posisi yang nyaman.
Vani hanya tersenyum dan melemparkan pandangannya keluar jendela. Ehm, mau, kemana,
Mbak? tanya pemuda itu gugup.
Vani mengarahkan pandangannya ke pemuda itu, Ke Solo Mas, UNS. jawab Vani
sambil tersenyum. Pemuda itu terlihat salah tingkah ketika Vani memberikan senyuman
mautnya. Mas sendiri, mau kemana?
Pemuda itu mencoba menghindari tubuh yang dari tadi bersandar ditangannya. Saya
juga mau ke Solo Mbak, UNS juga. Mbak semester berapa? bus mengerem mendadak dan
menyebabkan tubuhnya terdorong ke depan. Kepala pemuda itu terbentur kursi yang berada
didepannya dan seketika Vani tertawa melihatnya kesakitan.
Vani, panggil aku Vani saja. Aku semester 4, Mas sendiri? tangan Vani terulur.
Oh, aku semester 6. Akbar. pemuda itu menyambut uluran tangan Vani. Mereka
mulai bercerita dengan gayanya masing-masing, terkadang mereka membicarakan dosendosen mereka yang dianggapnya aneh. Dan sepertinya pemuda ini tidak mengetahui tentang
Vani, ia tidak pernah menyinggung penampilan-penampilan yang telah ditunjukkan Vani
disetiap acaranya. Pemuda ini tidak seperti orang-orang yang mencoba akrab dengannya
dikampus. Akbar berbeda.
Sampai ketemu lagi Van, kata Akbar setelah turun dari bus yang ditumpanginya
bersama Vani. Ia sangat senang dapat berjumpa dengan adik angkatannya yang dianggap
asyik itu. Tak memungkiri bahwa suatu hari ia ingin berjumpa lagi dengan Vani.

Dari arah jam dua terlihat seseorang yang setengah berlari menghampiri Vani, Bima,
anak manajemen yang masih mengejar cintanya. Ia selalu update tentang kabar Vani dan
sangat ingin memiliki Vani sebagai kekasihnya. Beribu kali Vani menolak cintanya, namun
berjuta kali Bima mengejar dan menunggunya. Seperti kali ini, ia mengetahui bahwa Vani
akan pulang siang ini dan Bima telah menunggunya dari pagi. Dia penggemar sekaligus adik
angkatan Vani yang kabarnya, niat Bima masuk UNS jurusan Psikologi hanya agar bisa
bertemu setiap saat dan memberi semangat idolanya itu.
Hai Kak, baru pulang ya? Sini aku bantuin bawa. pemuda yang sedang berada
disampingnya ini sebenarnya idola para gadis cheersleader. Vani bahkan tidak menyangkal
bahwa Bima cukup tampan dan oke untuk dijadikan kekasih, tapi entah mengapa Vani tidak
tertarik untuk menjalin hubungan dengan kapten tim basket ini.
Gak usah Bim, aku bisa sendiri kok. Makasih ya. Vani mencoba seramah mungkin
dengan pemuda ini. Meskipun tidak suka, Vani tetap tidak tega bila mengusirnya.
Bagaimanapun juga ia telah sepakat bahwa meskipun ditolaknya, Bima masih bisa menemui
Vani jika tidak sedang manggung. Ia membiarkan Bima membawa barang-barangnya.
Pertunjukan kakak di Boyolali gimana? Sukses? tanya Bima saat mereka berjalan
kearah kos Vani.
Alhamdulillah sukses Bim.
Maaf ya Kak, hari itu aku ada acara. Jadi gak bisa nonton pertunjukan kakak, ia
menghela napas dan membetulkan tas Vani yang dirasa berat. Tapi aku yakin, pertunjukan
kakak pasti sukses tanpa dilihat aku. tutur Bima kemudian.
Vani sedikit risih dengan kata-kata Bima, kalau dijawab takutnya kasih harapan palsu,
tapi kalau gak dijawab. Sifatnya yang kepedean itu selalu saja muncul, Vani memilih diam
dan sesekali mengalihkan pembicaraannya dengan Bima. Sesampainya dikos, Bima
berpamitan pulang dengan sendirinya. Vani merasa lega karena Bima harus latihan basket
sore ini dan bebannya dalam menanggap semua kata-kata Bima telah lepas. Kini dia menaiki
tangga untuk mencapai kamar kosnya. Meskipun kini ia telah mapan, Vani tidak ingin
bermewah-mewahan dalam memilih kamar kos. Ia masih seperti gadis biasa yang
menggantungkan hidupnya dikos sederhana saat menjadi mahasiswa. Ia melihat karangan
bunga tergeletak didepan kamar kosnya.
UNTUK GADIS YANG BERHASIL MEMIKATKU
VANI FLORISA :)
-Rio
Rio lagi? Apa jangan-jangan, Rio itu Bima? Vani mempersatukan keganjilan yang
terjadi hari ini. Bima sempat bercerita bahwa tidak melihat pertunjukan Vani saat di Boyolali,
lalu Rio ini memberikan buket bunga kepadanya sebagai permintaan maaf. Lalu tak seperti
biasanya Bima langsung pergi tanpa mengajak Vani makan kali ini, tiba-tiba buket bunga dari

Rio lagi muncul didepan kamar kos Vani. Apa ini memang rencana Bima? Ia tidak
mengajakku makan karena ia telah menyelipkan buket bunga disini? batin Vani. Kalo dia
memang Bima, bisa-bisa aku jadi benci sama bunga! keluh Vani setelah masuk ke kamarnya.
***
Halo, apakah saya berbicara dengan kak Vani?
Ya, saya sendiri. Maaf, siapa?
Saya Dewi Kak, panitia pensi fakultas. Saya ingin memberi tahu, besok Sabtu ada
acara gladi resik seluruh pemain. Untuk itu, kakak diharap menghadiri GR pukul 10.
Bagaimana?
Oh, oke saya bisa. Di Auditorium kan?
Iya kak. Terima kasih. Dewi menunggu Vani memutus sambungan teleponnya. Ia
sungkan bila menutup telepon seorang pianis terkenal itu.
Vani berterima kasih dan memutuskan sambungan teleponnya, pagi ini dia sedang
berlatih distudio pribadinya. Studio itu sebenarnya kios kecil yang telah diatur sedemikian
rupa oleh manajernya agar Vani dapat berlatih kapan saja dia mau. Irama yang ia mainkan
saat ini adalah lagu favoritnya dari Yiruma, ia berlatih tanpa ada orang lain yang bisa
menganggunya. Meskipun telah terbiasa bermain piano, Vani selalu professional dalam
menampilkan setiap karyanya. Ia tidak pernah bosan memainkan pianonya berulang-ulang,
jiwa bermusiknya telah menjalar dikehidupannya pada saat ini. Disaat sendiri seperti ini, ia
sering menyusun not balok untuk menambah karya-karyanya. Suara seseorang yang berusaha
membuka pintu membuyarkan konsentrasi Vani, ia menengok ke sumber suara yang berhasil
masuk ke dalam. Orang itu adalah Jojo, asisten pribadi yang setia bagi Vani. Ia diberikan
kepercayaan untuk menjadi asisten setelah melalui penyeleksian oleh manajernya. Usianya
tujuh tahun lebih tua dari Vani, sedikit lekong namun tegas, dan ia bisa dijadikan sahabat
serta tempat curahan hati Vani. Hei, ada buket lagi nih.
Dari siapa Masjo? Rio?
Tepcus. Tepat capcus. Vani menerima buket itu, tak salah lagi jika pengirimnya
adalah orang terdekat Vani saat ini. Kalau bukan orang terdekat, bagaimana ia tahu kalau
Vani sedang ada disini sekarang.
BERIKAN YANG TERBAIK
-Rio
Sebenernya Rio itu siapa sih bo ? Sok misterius deh.
Masjo beneran gak punya kenalan yang namanya Rio? Kira-kira dia dateng gak ya di
pertunjukan besok Minggu?

Kayaknya dateng sih bo, kalo enggak. Mana mungkin dia bisa kirim pesan itu ke
kamyu. Eh cintaku, nih gaun baru yang harus kau pake dipertunjukan besok.
Vani menerima gaun itu dan mencobanya, gaun berwarna silver dengan tinggi selutut
itu sangat cocok dikenakan ditubuhnya yang langsing. Ditambah wedges putih dan sedikit
aksesoris dilehernya membuat Vani tampak dewasa untuk kali ini. Sini cepetan dilepas bo,
mau kuubah dikit nih dibagian pinggang. Vani tidak menggubris ocehan Jojo, ia melanjutkan
permainannya dengan memakai gaun itu. Itung-itung gladi resik kostum untuk Minggu
besok.
***
Vani datang ke auditorium setengah jam sebelum acara gladi resik dimulai, ia selalu
datang lebih awal karena ingin mengecek piano yang akan dimainkannya sendiri. Meskipun
sebenarnya pengecekan telah dilakukan oleh panitia. Terlihat pemandangan para panitia yang
sedang mempersiapkan segala sesuatunya, Boleh saya cek pianonya?
Boleh kak, tapi itu baru dicek panitia yang ada disana. Mari saya antar. kata salah
satu panitia yang diajak bicara dengan Vani. Saat ini sedang berlangsung gladi resik oleh satu
band yang berasal dari jurusan Psikologi juga. Vani mengenal mereka semua, Temen dikelas
Masjo, kata Vani saat Jojo heran artisnya itu berbicara dengan salah satu personil dari atas
panggung. Sesampainya dipanggung, Vani memastikan tidak ada nada yang fals dari piano
itu. Terlihat seorang panitia menghampiri dirinya dan berkata bahwa ini waktunya Vani
melakukan gladi resik. Sejenak Vani memejamkan matanya dan mulai mengayunkan jari
jemarinya, terlihat semua panitia berhenti dari pekerjaannya dan mendengar penampilan
Vani.
Sebagian besar panitia mendekat dan duduk lesehan didepan panggung, seorang
pemuda sedang memperhatikan dipintu masuk auditorium. Ia selalu terpukau melihat
permainan Vani, pandangannya tak lepas dari jari-jemari Vani yang fleksibel. Ia merasakan
alunan musik yang sangat menentramkan. Ayo masuk aja Mas, Vani lebih cantik dilihat dari
dekat. ajak seorang panitia kepada pemuda itu. Namun ia menolak dan tidak melepaskan
pandangannya, ia tetap berada dalam posisinya itu. Lagu kedua yang dimainkan Vani lebih
menyentuh dibanding lagu pertama, ia mengingat bahwa acara ini diselenggarakan pada
malam hari dan cocok untuk pasangan kekasih. Terlihat para panitia menitikkan air matanya
dan sangat menghayati lagu yang dimainkan Vani. Jojo terlihat sedikit tegar karena ia
menahan perasaan yang sebenarnya ikut hanyut dalam suasana. Ia mulai terbiasa dengan
alunan yang dibawakan oleh Vani karena tidak selamanya ia terus-terusan menangis saat Vani
tampil. Nada sol yang merupakan bagian akhir dari lagu itu mengantarkan Vani untuk
membuka kedua matanya. Hening disekitarnya membuat dirinya ingin menengok kearah
tribun, suara tepuk tangan salah satu panitia mengantarkan gemuruh suara tangan dari panitia
lain yang berada digedung itu. Vani tak percaya bahwa sebagian besar panitia telah
berkumpul didepan panggungnya, ia berdiri memberi penghormatannya.
***

Malam ini Vani sangat cantik, gaun yang diberi motif ikat pinggang oleh Jojo
membuat gaun itu semakin terlihat elegan. Rambut Vani yang dikepang kecil disamping kiri
kepalanya membuat gadis itu terlihat fresh, polesan make up yang diberikan Jojo menambah
kecantikan Vani. Semua mata panitia tertuju padanya saat Vani berjalan ke belakang
panggung. Dek, ada kiriman bunga untuk kamu. kata salah satu panitia yang berada disana.
Sebelum Vani sempat menanyakan siapa pengirimnya, tiba-tiba pengirim itu berusaha
masuk ke ruangannya yang dijaga oleh para panitia Maaf dek, aku udah berusaha
mencegahnya untuk tidak masuk ke belakang panggung. Namun dia memaksa. dia adalah
Bima.
Aku mau ngomong bentar sama Kak Vani! bentak Bima yang sedari tadi masih
melawan masuk.
Tolong lepasin dia Mas, gak papa kok kalau cuman sebentar. Saya kenal dengan
dia. Bima menjulurkan lidahnya ke panitia seksi keamanan. Dengan segera, ia mendekati
Vani dan berlutut dihadapannya.
Kamu dah dapet bunga dari aku kan? Kamu suka?
Vani hanya mengangguk, jadi benar. Selama ini Bima yang selalu mengirim bunga
kepada Vani, Kamu dah baca pesannya?
Belum Bim, gimana mau baca. Kamu maksa masuk sih.
Aku cuman mau semangatin kamu disini. Penampilanmu selalu memukau, kamu
cantik malam ini.
Gimana kamu bisa tau penampilanku memukau? Aku tampil baru 15 menit lagi
Bim. Belum sempat Bima melanjutkan omongannya, panitia menyuruhnya keluar. Vani
membuka pesan yang dituliskan Bima.

Semangat Kak Vani!!! :*


Gaya tulisannya berbeda dengan buket bunga yang sebelumnya, Vani berjalan kearah
Bima yang belum keluar. Bim!
Merasa dirinya dipanggil, Bima berbalik. Ia hanya menatap Vani dengan penuh tanda
tanya. Nama lengkapmu siapa? tanya Vani kemudian.
Muhammad Bimalana. Kenapa kak? Vani terdiam dan tak menjawab pertanyaan
Bima, panitia mengisyaratkan Vani agar segera bersiap-siap. Suara pembawa acara
memanggil Vani dan diikuti gemuruh tepuk tangan penonton yang menghadiri acara pada
malam hari ini. Vani berjalan ke tengah panggung untuk menyapa teman-teman kampusnya,
gaunnya menjadi perbincangan para gadis yang melihat pertujukan itu. Ya Ampun, simple
banget. Tapi kece., Pasti gaunnya mahal, aku pasti beli., Wedgesnyaaa,, Sssssst.
Berisik banget sih!

Vani mengayunkan tangannya sembari memejamkan mata, semua yang hadir


memperhatikan gerak geriknya. Tak ada handphone yang berbunyi dalam gedung itu, semua
telinga disiapkan untuk mendengar alunan merdu dari tangan Vani. Seluruh panitia yang
bertugas diluar memasuki ruangan untuk mendengar karya seorang Vani. Lagu pertama
selesai, tak ada aba-aba tepuk tangan dari panitia. Vani menggabungkan lagu pertama dan
kedua sekaligus, jarak antar lagu sangat terlihat jelas ditelinga Vani. Namun tidak untuk
mereka yang awam tentang instrumental, lagu kedua membuat bulu kuduk penonton berdiri.
Perasaan mereka hanyut dalam lagu yang dimainkan Vani, terlihat pasangan kekasih saling
mempererat genggamannya. Semua terlarut dalam atmosfer yang diciptakan Vani. Ia
mengakhiri lagu itu dengan sempurnya, panitia pemberi aba-aba tepuk tangan lupa jika
permainan telah usai. Vani membuka matanya, semua penonton memberikan standing
applause. Dengan langkah santai, ia memberikan penghormatannya.
Vani memberikan kesempatan bagi teman-temannya yang ingin berfoto, ia
mendapatkan banyak sanjungan dalam acara malam hari ini. Permainan yang sempurna.
kata Jojo setelah teman-temannya pergi. Vani keluar dari gedung itu setelah panitia meminta
untuk berfoto dengannya. Dari sudut matanya, terlihat seorang pemuda sedang melihat
kearahnya. Vani mengenal pemuda itu dan menghampirinya. Mas Akbar, kamu ?
Iya aku tadi nonton. kata Akbar seakan mengetahui jalan pikiran Vani. Apa
kabar?
Emm, baik. Aku baik. tak tahu kenapa, Vani merasakan sesak didadanya. Ternyata
Akbar memiliki senyuman yang sangat manis, mungkin itu salah satu penyebab sesaknya
dada Vani saat ini. Akbar meminta Vani untuk sedikit berbincang dengannya.
Siang itu, Sinta memintaku untuk menemaninya dalam sebuah pertunjukan. Aku
menolaknya karena tidak tertarik dengan acara yang begitu membosankan bagiku. Ia ingin
melihat seorang gadis cantik, katanya. Semenjak gadis itu muncul, Sinta semakin semangat
untuk bermain piano. Kami memiliki piano tua yang ditinggalkan papa setelah orang tua
kami bercerai, bakat ayah sebagai pianis menurun ke Sinta. Ia memiliki album-album dan
melihat setiap pertunjukan gadis itu diberbagai acara, ia menghafal lagu-lagu karya gadis itu
dan mencermatinya dengan seksama. Terkadang ia bisa mengeluarkan air mata saat
memainkannya, bisa tersenyum, bahkan tertawa dengan lagu-lagu itu. Hingga suatu ketika,
gadis itu diundang dalam sebuah acara amal yang dihadiri oleh Sinta. Ia sangat senang bisa
bertemu idolanya dan mendengarkan langsung alunan musik gadis itu, ia bercerita padaku
bahwa gadis itu lebih cantik jika dilihat secara langsung, mendapat tanda tangan, dan dapat
berbicara langsung dengannya. Namun ia kecewa, tak bisa berfoto dengannya pada saat itu.
Akbar menghela nafasnya dan melihat kearah Vani. Mau dengar lanjutannya?
Vani mengangguk Malam harinya, ia mengajakku memainkan piano papa. Sembari
mendengar lagu dari si gadis, ia meniru semua gerakan dari idolanya. Akbar berhenti
sejenak. Dua hari kemudian, penyakitnya kambuh. Mama sangat cemas dengan keadaan
Sinta, ia memintaku untuk mengantarkannya kerumah sakit tempat biasa dia berobat. Sinta
menderita leukemia sejak ia bayi, hidupnya tergantung pada obat-obatan. Sudah seminggu ia
terbaring tak berdaya, aku udah coba memperdengarkannya lagu-lagu gadis itu agar ia mau

terbangun. Usahaku gagal, hingga pada akhirnya ia terbangun dan memberikan pesan
untukku. Gadis itu suka bunga, katanya. Ia memintaku untuk mengirim bunga kepada si gadis
sekali saja. Aku bingung dengan permintaannya, ia memberikanku alamat rumah gadis itu. Ia
berkata juga, jika aku berhasil menemuinya, sampaikan salam Sinta kepada gadis itu. Akbar
menahan napasnya, Sinta pergi dipelukan mama.
Vani tak bisa berkata apa-apa, ia bingung, dan sedih mendengar cerita Akbar. Lalu,
apakah kamu sudah menemui gadis itu?
Akbar tersenyum mendengar pertanyaan Vani, Kau ingat gadis kecil yang
menemuimu pertama kali saat kau sedang show di Boyolali?
Vani mencoba mengingat, Apakah dia anak yang manis, berambut pendek sedikit
pirang, umurnya sekitar sepuluh tahunan dan berkacamata bulat?
Benar. Akbar memandang lurus kedepan. Dan gadis itu adalah kamu. Akbar tidak
sanggup menatap mata Vani, ia takut jika gadis yang didepannya ini menertawakan ceritanya.
Mereka sama-sama terdiam, mendalami jalan pikiran mereka masing-masing.
Vani masih belum percaya apa yang dikatakan Akbar, gadis kecil yang ia anggap
baik-baik saja telah tiada. Aku terima salam dari Sinta, apakah Vani terburu menerima
buket bunga dari Akbar, bunga yang sama dengan bunga lainnya.
Aku harus pergi, senang bertemu denganmu. Akbar berjalan meninggalkan Vani
yang masih memiliki tanda tanya besar dikepalanya.
Tunggu! sesuai harapan, Akbar berhenti sebelum ia melangkah lebih jauh. Siapa
nama lengkapmu?
Akbar memutar badannya Akbario Saputra. kini ia benar-benar pergi meninggalkan
Vani. Ia mencari kartu ucapan yang biasa ia terima, kini ia bisa tertidur pulas.

KINI AKU BENAR-BENAR PERCAYA


KAMU LEBIH MEMUKAU DARI YANG KUDUGA :)
-Akbario

Anda mungkin juga menyukai