Anda di halaman 1dari 34

BORANG PORTOFOLIO

KASUS MEDIK
No. ID dan Nama Peserta :
dr. Dini Noviani Pratiwi
No. ID dan Nama Wahana :
RSUD Cengkareng
Topik :
Tanggal (kasus) :
11 Desember 2015
Nama Pasien :
Tn. A ( tahun)
No. RM :
Tanggal Presentasi :
18 Mei 2015
Pendamping : dr. Hanny Dewajanti
Tempat Presentasi :
RSUD Cengkareng
Objektif Presentasi :
Keilmuan
Keterampilan
Penyegaran
Tinjauan Pustaka
Diagnostik
Manajemen
Masalah
Istimewa
Neonatus
Bayi
Anak
Remaja
Dewasa
Lansia
Bumil
Perempuan, usia 32 th, demam sejak 2 bulan yang lalu didahului batuk berdahak
Deskripsi :

sejak 3 bulan yang lalu, riwayat HIV reaktif. Keluhan disertai diare dan berat badan
turun sejak 1 bulan yang lalu.
- Mencegah penularan HIV/AIDS dan TB paru
- Melakukan pelayanan secara komperhensif baik berupa konseling HIV/AIDS,

Tujuan :

pemilihan terapi yang tepat dan konseling mengenai kepatuhan berobat


- Memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga untuk mengatasi damapak sosial
dan psikologi
- Mencegah dan mengatasi infeksi oportunistik

Bahan
Bahasan :
Cara
Membahas :

Tinjauan Pustaka
Diskusi

Riset

Kasus

Presentasi dan Diskusi

Data

Nama : Ny. L
Pasien :
Nama Klinik : Puskesmas Kecamatan Kalideres

Audit

E-mail

Pos

No. Registrasi : 2736/14


Telp :

Terdaftar sejak :

Data Utama untuk Bahan Diskusi :


1. Diagnosis / Gambaran Klinis :
Demam sejak 2 bulan. Demam diawali dengan batuk berdahak sejak 3 bulan.
Nyeri kepala, badan lemas, ngilu dan mual, terdapat sariawan di mulut dan lidah kotor
berwarna putih. Diare dan berat badan menurun sejak 1 bulan.
Diagnosis : TB Paru dengan HIV/AIDS
2. Riwayat Pengobatan : Pasien sudah berobat ke puskesmas dan diberikan obat penurun
1

demam yaitu paracetamol, obat batuk ambroxol sirup, vitamin B complex, vitamin C, dan
obat antidiare. Namun pasien merasa tidak ada perbaikan, keluhan tetap hilang tmbul.
3. Riwayat Kesehatan / Penyakit : Pasien tidak memiliki riwayat hipertensi, diabetes mellitus,
TB paru dan asma.
4. Riwayat Keluarga : Tidak ada anggota keluarga yang menderita sakit seperti ini. Pasien
adalah seorang janda yang telah ditinggal suaminya sejak 1 tahun yang lalu untuk menikah
dengan wanita lain. Pasien mempunyai satu orang anak perumpuan yang sekarang berusia 5
tahun.
5. Riwayat Pekerjaan : Pasien adalah ibu rumah tangga. Penghasilan sehari-hari membantu
kakaknya menjualkan baju secara kredit.
6. Kondisi Lingkungan Sosial dan Fisik : Pasien tinggal bersama kakak perumpuannya
disebuah rumah kontrakan dengan lingkungan padat penduduk. Hubungan antara pasien
dengan tetangga dan keluarga dekat baik.

7. Riwayat Kebiasaan : Pasien mengaku tidak pernah mengonsumsi napza dalam bentuk
apapun. Riwayat minum minuman beralkohol, merokok, seks bebas, dan tato disangkal.
Pasien mengaku bahwa suaminya sering sekali berhubungan seksual dengan wanita lain.

Daftar Pustaka :
1.

Departemen Kesehatan RI. Pedoman Nasional Perawatan, Dukungan dan Pengobatan


bagi ODHA. Jakarta. 2006. Lang GK. Ophtalmology. New York : Thieme. 2000.

2.

Djoerban, Zubairi. HIV-AIDS di Indonesia. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid III. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk (editor). Jakarta. Pusat Penerbit Ilmu
Penyakit Dalam FK UI; 2007: Hal 1825-9

3.

Yayasan Spiritia: Lembaran Informasi tentang HIV / AIDS untuk ODHA. Jakarta. 2003.

4.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi


2

HIV dan Terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.
2012.
5.

Pusat Data dan Informasi Departemen Kesehatan RI. Situasi HIV/AIDS di Indonesia
Tahun 1987 2006. Jakarta. 2006.

6.

Fauci, A., Braunwald, E., Kasper, D., Hauser S., Longo., D., Jameson, J., Loscalzo. 2012.
Harrisons Principles of Internal Medicine. 18th. Ed. USA: McGraw Hill.

7.

Djoerban, Zubairi. HIV-AIDS di Indonesia. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
III. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk (editor). Jakarta. Pusat Penerbit Ilmu Penyakit

Dalam FK UI; 2007: Hal 1825-9


Hasil Pembelajaran :
1. Gambaran klinis dan diagnosis TB Paru dan HIV
2. Tata laksana TB Paru dan HIV dengan pemilihan terapi dan waktu yang tepat
3. Edukasi dan pencegahan infeksi oportunistik HIV/TB
4. Konseling HIV/TB dan motivasi untuk kepatuhan berobat
5. Edukasi pasien dan keluarga mengenai penanganan dampak sosial dan psikologis

Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio


SUBYEKTIF ( Autoanamnesa)
Keluhan Utama : Demam sejak 2 bulan yang lalu
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke Puskesmas Kecamatan Kalideres dengan keluhan utama demam sejak
2 bulan yang lalu. Demam dirasakan naik turun, tapi tidak tinggi. Demam diawali dengan
batuk berdahak sejak 3 bulan yang lalu, dahak berwarna putih kekuningan, tidak ada dahak
bercampur darah. Batuk tidak ada perbaikan walaupun sudah berobat ke puskesmas. Nyeri
dada dan sesak disangkal.

Pasien mengeluhkan nyeri kepala, badan lemas, ngilu dan mual, tidak ada muntah
namun terdapat sariawan di mulut dan lidah kotor berwarna putih. Pasien juga mengeluh
diare sejak 1 bulan, konsistensi cair, terdapat ampas, tidak ada lendir dan darah. Sudah
minum obat antidiare namun tidak ada perbaikan yang signifikan. Selama 1 bulan terakhir
nafsu makan pasien berkurang, pasien juga mengaku berat badannya menurun dari 54 kg
menjadi 34 kg. BAK normal.
OBJEKTIF
PEMERIKSAAN FISIK (13 April 2015)
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran

: Compos mentis cooperatif

Tekanan darah :100/80 mmHg


Frekuensi nadi : 88x / menit
Frekuensi napas : 22x/ menit
Suhu

: 37,8 0 C

BB

: 34 kg TB : 154 cm

Status Internus
Mata

: Konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik

Mulut

: Oral patch di perioral dan lidah

Leher

: JVP 5-2 cm H2O, kelenjar getah bening tidak membesar

THT

: Tidak ditemukan kelainan


4

Thorax :
Paru :
- Inspeksi : gerakan dinding dada simetris
- Palpasi : fremitus kiri = kanan
- Perkusi : sonor
- Auskultasi : vesikuler normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Jantung :
- Inspeksi :

iktus tidak terlihat

- Palpasi :

iktus teraba 1 jari medial LMCS RIC V

- Perkusi :
Batas atas :RIC II
Batas kiri :1 jari medial LMCS RIC V
Batas kanan: linea sternalis dextra
- Auskultasi :

irama teratur, bising tidak ada

Abdomen :
-

Inspeksi : distensi (-)


Palpasi : nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba, turgor kulit baik
Perkusi : timpani
Auskultasi: BU (+) normal

Punggung

: deformitas tidak ada


CVA : nyeri tekan dan nyeri ketok tidak ada

Genitalia : tidak diperiksa


Ekstremitas : akral hangat, edema tidak ada, CRT < 2

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium Darah
Tanggal 5 Agustus 2014
Pemeriksaan anti HIV : Reaktif
Tanggal 18 Agustus 2014
Pemeriksaan CD4 : 308
Tanggal 25 September 2014
Hb

8,3 mg/dl

Hematokrit

24,9 %

Eritrosit

3,40 juta/mm3

SGOT

59 u/l

Leukosit

5,9 ribu/mm3

SGPT

26 u/l

Trombosit

560 ribu/mm3

Pemeriksaan Sputum BTA


Tanggal 5 Agustus 2014

: Negatif (dahak 1x)

Tanggal 25 September 2014 : Negatif (dahak 2x)


Foto Thorax

Deskripsi :
CTR < 50%
Tampak infiltrat di kedua apeks paru
Kesan :
Gambaran proses spesifik TB duplex
ASSESMENT
TB Paru kasus baru
Pada pasien yang dicurigai TB harus terdapat gejala respiratorik dan gejala
sistemik. Adapun gejala respiratorik didapatkan pada pasien adalah batuk berdahak 3
bulan terakhir. Sedangkan gejala sistemik terdapat demam yang naik turun sejak 2 bulan
terakhir yang disertai demam pada malam hari dan penurunan berat badan drastis
sebanyak 20 kg selama 1 bulan terakhir.
Pemeriksaan penunjang didapatkan hasil rontgen adanya bercak kesuraman pada
kedua apeks paru. Pemeriksaan yang menjadi dasar diagnosis TB yang harus dilakukan
adalah pemeriksaan BTA dimana pada pasien didapatkan hasil BTA negatif. Oleh karena
sulitnya diagnosis TB paru pada pasien HIV secara klinis dan pemeriksaan sputum BTA
lebih sering ditemukan BTA negatif, maka diperlukan pemeriksaan kultur BTA atau
genexepert.
7

HIV
Berdasarkan anamnesis didapatkan badan yang melemah, penurunan berat badan
yang drastis sebanyak 20 kg selama 1 bulan terakhir disertai demam berkepanjangan.
Pasien juga mengeluhkan diare sejak 1 bulan yang tidak kunjung sembuh. Pasien ini
mempunyai riwayat suami yang sering kontak seksual dengan wanita lain. Hal ini sesuai
dengan transmisi HIV AIDS bahwa penularan melalui hubungan free sex adalah yang
paling dominan dari semua cara penularan 70-80%. Resiko tertinggi adalah penetrasi
vaginal atau anal yang tak terlindung dari individu yang terinfeksi HIV. Pemeriksaan fisik
didapatkan bercak keputihan pada lidah. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil
antibodi HIV reaktif dan CD4 308.
Gambaran klinis TB paru secara umum diawali dengan batuk lebih dari 2-3 minggu,
sedangkan TB pada pasien HIV/AIDS batuk bukan merupakan gejala umum. Pada TB
dengan HIV demam dan penurunan berat badan merupakan gejala yang penting. Ketika
infeksi HIV berlanjut dan imunitas menurun, pasien menjadi rentan terhadap berbagai
infeksi. Beberapa di antaranya adalah TB, pneumonia, infeksi jamur di kulit dan
orofaring, serta herpes zoster. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang
menjadi pasien TB adalah daya tahan tubuh yang rendah, di antaranya infeksi HIV/ AIDS
dan malnutrisi (gizi buruk).
Pada orang yang imunokompeten, ketika terinfeksi M. tuberculosis, organisme
disajikan kepada makrofag kemudian antigen mikobakteri disajikan ke sel-T. Sel CD4
mengeluarkan limfokin yang meningkatkan kapasitas makrofag untuk menelan dan
membunuh mikobakteri. Pada sebagian besar orang terjadi infeksi dan TB tidak
berkembang, meski sejumlah basil tetap dorman tubuh. Sedangkan pada pasien dengan
imunosupresi terjadi kerusakan pada fungsi dari sel T dan makrofag ditambah terjadi
deplesi dan disfungsi sel CD4 yang progresif. Disfungsi ini pada odha (orang dengan HIV
dan AIDS) sebagai predisposisi terjadinya infeksi TB baik primer maupun reaktivasi.
Bukti epidemiologis menunjukkan bahwa infeksi HIV meningkatkan risiko reaktivasi
laten TB dan juga risiko penyakit progresif dari infeksi baru. Dengan demikian,
kemampuan sistem imunitas menurun dalam mencegah pertumbuhan dan penyebaran
lokal bakteri tersebut.
Tuberkulosis pada pasien dengan HIV mempunyai gejala dan gambaran klinis
8

yang berbeda dengan orang tanpa terinfeksi HIV. Hal ini disebabkan karena rendahnya
reaksi imunologik penderita AIDS. Seperti diketahui manifestasi klinis TB sebenarnya
merupakan reaksi imunologik terhadap Mycobacterium tuberculosis.. TB ekstra paru lebih
sering ditemukan pada pasien dengan HIV. TB ekstraparu yang sering ditemukan adalah
limfadenopati pada leher, abdomen atau aksila.
Berdasarkan staging WHO, pasien termasuk kedalam tahap 3 dalam memenuhi
kriteria klinis, sebagai berikut :
Penurunan berat badan > 10% dari berat badan sebelumnya
Diare kronis tanpa sebab > 1 bulan
Demam berkepanjangan tanpa sebab > 1 bulan
Candidiasis oral
TB paru
Candidiasis Oral
Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan bercak keputihan di lidah dimana di
akibatkan oleh jamur oleh karena kemampuan sistem imunitas menurun dalam mencegah
pertumbuhan dan penyebaran lokal bakteri dan jamur.

Anemia e.c penyakit kronis


Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva pucat dan berdasarkan hasil
laboratorium didapatkan Hb 8,3 mg/dl.
Peningkatan virus HIV seiring progesivitas penyakit menyebabkan anemia karena
sekresi sitokin yang mengakibatkan mielosupresi. Selain itu juga kondisi malnutrisi pada
pasien TB-HIV dapat menyebabkan anemia. Anemia telah dilaporkan pada 16 %-94% pasien
TB paru. Berdasarkan pengamatan pasien anemia terkait TB didapatkan tidak adanya besi
sumsum tulang dan morfologi sel darah merah sama dengan anemia defisiensi besi. Hal ini
menunjukkan bahwa kekurangan zat besi adalah mungkin penyebab anemia pada pasien TB.
PLAN
Diagnosis
TB Paru kasus baru
9

- Cek BTA ulang setelah terapi OAT bulan ke 2-5-AP


HIV
- Cek CD4 ulang tiap 6 bulan
- Cek ulang darah rutin , SGOT, SGPT, Ureum, Kreatinin sebelum terapi ARV
Anemia e.c Penyakit Kronis
- MCV. MCH, MCHC
- Feritin dan TIBC
Pengobatan
Non Farmakologis
Diet tinggi kalori tinggi protein
Menjaga kebersihan
Istirahat yang cukup
Olahraga
Motivasi dukungan Psikososial
Menangani reaksi emosional

Farmakologis
Prinsip tatalaksana koinfeksi TB-HIV, berdasarkan rekomendasi dalam guidelines WHO.
1. Pemberian terapi ARV pada semua pasien HIV dengan TB aktif tanpa melihat nilai CD4.
2. OAT diberikan terlebih dahulu, diiukuti dengan pemberian terapi ARV sesegera mungkin
(dalam 2-8 minggu pemberian OAT)
3. Efavirenz (EFV) merupakan golongan NNRTI yang direkomendasikan dalam pemberian
terapi ARV pada pasien dalam terapi OAT. Efavirenz direkomendasikan karena mempunyai
interaksi dengan rifampisin yang lebih ringan dibandingkan Nevirapin.
Terapi OAT dimulai tanggal 25 September 2014

Fase intensif selama 2 bulan : (lini pertama)


FDC (RHZE 150/75/400/275) 2 tablet dengan BB 34 kg selama 56 hari
Tanggal 19 November 2014
-

Cek BTA akhir bulan ke -2 : Positif (+1)

BB naik menjadi 36 kg

Pengobatan intensif ditambahkan 30 hari

10

Tanggal 18 Desember 2014

Cek BTA akhir bulan ke-3 : Negatif

BB naik menjadi 38 kg

Fase lanjutan RH (150/150) 3x seminggu selama 16 minggu


Tanggal 10 April 2015

Cek BTA akhir pengobatan : Negatif

Pasien dinyatakan sembuh dari TB paru

Keterangan :
Setelah pasien menjalani fase intensif selama 3 bulan, pasien memulai terapi ARV .
Sebelum ART pasien melakukan pemeriksaan laboratorium pada tanggal 17 Desember 2014

Hb

8,6 mg/dl

Hematokrit

28,4 %

Eritrosit

3,20 juta/mm3

SGOT/PT

16 u/l / 11 u/l

Leukosit

4,7 ribu/mm3

Ureum/kreatini 30 mg/ 0,8


n

Trombosit

mg

236 ribu/mm3

Terapi ARV dimulai tanggal 24 Februari 2015


Lini pertama yang diberikan terdiri dari 2 NRTI dan 1 NNRTI
d4T (Staviral) + 3 TC (Hiviral) + EFV (Efavirenz)
30 mg 2x1

150mg 2x1

600mg 1x1

Cek CD4 : 336 (tanggal 17 Maret 2105) dan BB meningkat menjadi 40 kg

Terapi Candidiasis Oral


Fluconazole 1x150 mg tablet selama 10 hari
11

Terapi Anemia
Ferrous Sulfat 3 x 1 tablet setiap hari
Pendidikan :
Kepada pasien dijelaskan, pengobatan pada penyakit ini seumur hidup untuk memperbaiki
kualitas hidup pasien dan mencegah infeksi oportunistik. Edukasi tentang penyakitnya,
bagaimana cara mencegah penularannya. Konseling dan edukasi kepatuhan berobat. Edukasi
kepada pasien dan keluarganya bagaimana craa menangani dampak sosial dan psikologi terhadap
penyakitnya.
Konsultasi : -

Kegiatan

Periode

Hasil yang Diharapkan

Kepatuhan minum obat dan


pemantauan efek samping

Dua minggu sekali untuk


bulan I dan sebulan sekali
untuk selanjutnya

Peningkatan BB, gejala


berkurang, efek samping
minimal

Perbaikan kualitas hidup

Setiap dua minggu sekali

Pasien bisa menjalankan


aktivitas sehari-hari tanpa
adanya gejala dari penyakit

CD4

Setiap 6 bulan sekali

Peningkatan CD4

Hb. Leukosit, trombosit, Ht,


SGOT, SGPT

Setiap 2 bulan sekali

Dalam batas normal

Edukasi

setiap kali kunjungan

Pemahaman pasien mengenai


gejala dan cara penularan,
motivasi penanganan dampak
sosial dan psikologis

Nasihat

Setiap kali kunjungan

kualitas hidup membaik,


pasien memahami akan
penyakitnya dan komplikasi
yang mungkin timbul

Latihan jasmani
Diet yang sesuai
Laboratorium

12

sehingga menjalani
pengobatan dengan sebaikbaiknya

TINJAUAN PUSTAKA
I.

TUBERKULOSIS
A. Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis complex. Tuberkulosis paru adalah penyakit radang parenkim paru karena
infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis paru termasuk suatu
pneumonia, yaitu pneumonia yang disebabkan oleh M.tuberculosis
B. Etiologi
TB Paru diakibatkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis complex.
Bakteri ini merupakan basil tahan asam yang ditemukan oleh Robert Koch pada tahun
1882. Mycobacterium tuberculosis adalah kuman penyebab TB yang berbentuk batang
ramping lurus atau sedikit bengkok dengan kedua ujungnya membulat. Koloninya
yang kering dengan permukaan berbentuk bunga kol dan berwarna kuning tumbuh
secara lambat walaupun dalam kondisi optimal. Diketahui bahwa pH optimal untuk
pertumbuhannya adalah antara 6,8-8,0. Untuk memelihara virulensinya harus
dipertahankan kondisi pertumbuhannya pada pH 6,8.
M. tuberculosis tipe humanus dan bovines adalah mikobakterium yang paling
banyak menimbulkan penyakit TB pada manusia. Basil tersebut berbentuk batang,
bersifat aerob, mudah mati pada air mendidih (5 menit pada suhu 80 C dan 20 menit
pada suhu 60C), dan mudah mati apabila terkena sinar ultraviolet (sinar matahari).

13

Basil tuberkulosis tahan hidup berbulan-bulan pada suhu kamar dan dalam ruangan
yang lembab.

C. Patogenesis
1. Tuberkulosis Primer
Kuman TB yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru
sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut sarang primer
atau afek primer disebit sebagai fokus Ghon. Sarang primer ini mungkin
timbul di bagian di mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi.
Dari sarang primer akan terlihat peradangan pembuluh limfe menuju hilus
(limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran limfonodi di
hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis
regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan
mengalami salah satu nasib sebagai berikut:
a. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali,
b. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon,
garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus),
c. Menyebar dengan cara:
1) Perkontinuatum
Salah satu contoh adalah epitutuberkulosis, yaitu suatu kejadian
penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar
hilus yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada
saluran napas bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman
tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini
ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus
yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epitutuberkulosis
2) Penyebaran secara bronkogen
Penyebaran secara bronkogen berlangsung baik di paru
bersangkutan maupun ke paru sebelahnya atau tertelan.
3) Penyebaran secara hematogen dan limfogen
Penyebaran ini berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan
virulensi kuman. Ada beberapa kuman yang menetap sebagai
persisten atau dormant, sehingga daya tahan tubuh tidak dapat
menghentikan

perkembangbiakan

kuman,

akibatnya

yang

bersangkutan akan menjadi penderita TB dalam beberapa bulan.


Bila tidak terdapat imunitas yang adekuat, penyebaran ini akan
menimbulkan keadaan cukup gawat seperti TB milier, meningitis
14

TB, Typhobacillosis landouzy. Penyebaran ini juga dapat


menimbulkan TB pada organ lain, misalnya tulang, ginjal, anak
ginjal, genitalia dan sebagainya.
2. Tuberkulosis Pasca Primer (Tuberkulosis Sekunder)
Kuman yang persisten pada TB primer akan muncul bertahun-tahun kemudian
sebagai infeksi endogen menjadi TB dewasa (tuberkulosis post primer = TB
pasca primer = TB sekunder). Mayoritas reinfeksi mencapai 90%. TB sekunder
terjadi karena imunitas menurun seperti malnutrisi, alkohol, peyakit maligna,
diabetes, AIDS, gagal ginjal. TB sekunder ini dimulai dengan sarang dini yang
berlokasi di region atas paru (bagian apical-posterior lobus superior atau
inferior). Invasinya adalah ke daerah parenkim paru-paru dan tidak ke nodus
hiler paru. TB pasca primer juga dapat berasal dari infeksi eksogen dari usia
muda menjadi TB usia tua. Patogenesis dan manifestasi patologi TB paru
merupakan hasil respon imun seluler (cell mediated immunity) dan reaksi
hipersensitivitas tipe lambat terhadap antigen kuman TB. Perjalanan infeksi TB
terjadi melalui 5 tahap, yaitu:
Tahap 1: dimulai dari masuknya kuman TB ke alveoli. Kuman akan
difagositosis oleh makrofag alveolar dan umumnya dapat dihancurkan. Bila
daya bunuh makrofag rendah, kuman TB akan berproliferasi dalam
sitoplasma dan menyebabkan lisis makrofag. Pada umumnya pada tahap ini
tidak terjadi pertumbuhan kuman.
Tahap 2: tahap simbiosis, kuman tumbuh secara logaritmik dalam nonactivated macrophage yang gagal mendestruksi kuman TB hingga makofag
hancur dan kuman TB difagositosis oleh makrofag lain yang masuk ke
tempat radang karena faktor kemotaksis komponen komplemen C5a dan
monocyte chemoatractant protein (MPC-1). Lama kelamaan makin banyak
makrofag dan kuman TB yang berkumpul di tempat lesi.
Tahap 3: terjadi nekrosis kaseosa, jumlah kuman TB menetap karena
pertumbuhannya dihambat oleh respon imun tubuh terhadap tuberculin-like
antigen. Pada tahap ini, delayed type of hypersensitivity (DTH) merupakan
respon imun utama yang mampu menghancurkan makrofag yang berisi
kuman. Respon ini terbentuk 4-8 minggu dari saat infeksi. Dalam solid
caseous center yang terbentuk, kuman ekstraseluler tidak dapat tumbuh,
15

dikelilingi

non-activated

makrofag

dan

partly

activated

macrofag.

Pertumbuhan kuman TB secara logaritmik terhenti, namun respon imun DTH


ini menyebabkan perluasan caseous necrosis tapi tidak dapat berkembang
biak karena keadaan anoksia, penurunan pH dan adanya inhibitory fatty acid.
Pada keadaan dorman ini metabolism kuman minimal sehingga tidak sensitif
terhadap terapi. Caseous necrosis ini merupakan reaksi DTH yang berasal
dari limfosit T, khususnya T sitotoksik (Tc), yang melibatkan clotting factor,
sitokin TNF-alfa, antigen reaktif, nitrogen intermediate, kompleks antigen
antibody, komplemen dan produk-produk yang dilepaskan kuman yang mati.
Pada reaksi inflamasi, endotel vaskuler menjadi aktif menghasilkan molekulmolekul adesi (ICAM-1, ELAM-1, VCAM-1), MHC klas I dan II. Endotel
yang aktif mampu mempresentasikan antigen tuberkulin pada sel Tc sehingga
menyebabkan jejas pada endotel dan memicu kaskade koagulasi. Trombosis
lokal menyebabkan iskemia dan nekrosis dekat jaringan.
Tahap 4: respon imun cell mediated immunity (CMI) memegang peran utama
dimana CMI akan mengaktifkan makrofag sehingga mampu memfagositosis
dan menghancurkan kuman. Activated macrophage menyelimuti tepi caseous
necrosis untuk mencegah terlepasnya kuman. Pada keadaan dimana CMI
lemah, kemampuan makrofag untuk menghancurkan kuman hilang sehingga
kuman dapat berkembang biak di dalamnya dan seanjutnya akan dihancurkan
oleh respon imun DTH, sehingga caseous necrosis makin luas. Kuman TB
yang terlepas akan masuk ke dalam kelenjar limfe trakheobronkial dan
menyebar ke organ lain.
Tahap 5: terjadi likuifikasi caseous center dimana untuk pertama kalinya
terjadi multiplikasi kuman TB ekstraseluler yang dapat mencapai jumlah
besar. Respon imun CMI sering tidak mampu mengendalikannya. Dengan
progresivitas penyakit terjadi perlunakan caseous necrosis, membentuk
kavitas dan erosi dinding bronkus. Perlunakan ini disebabkan oleh enzim
hidrolisis dan respon DTH terhadap tuberkuloprotein, menyebabkan
makrofag tidak dapat hidup dan merupakan media pertumbuhan yang baik
bagi kuman. Kuman TB masuk ke dalam cabang-cabang bronkus, menyebar
ke bagian paru lain dan jaringan sekitarnya.
D. Diagnosis
16

Diagnosis pada TB dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis baik dan pemeriksaan fisik
yang teliti, diagnosis pasti ditegakkan melalui

pemeriksaan kultur bakteriologi,

pemeriksaan sputum BTA, radiologi dan pemeriksaan penunjang lainnya.


1. Gejala Klinis
Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal
dan sistemik. Bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal adalah
gejala respiratori (gejala lokal sesuai organ yang terlibat).
a. Gejala respiratori :
1) Batuk 2 minggu
2) Hemoptisis
3) Dyspneu
4) Nyeri dada
b. Gejala sistemik
1)

Demam
2) Gejala sistemik lain ; malaise, keringat malam, anoreksia, dan berat
badan menurun.
c. Gejala TB ekstra paru
Gejala TB ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat,
misalnya pada limfadenitis TB akan terjadi pembesaran yang lambat
dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening. Pada meningitis TB akan
terlihat gejala meningitis. Pada pleuritis TB terdapat gejala sesak napas
dan kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, kelainan yang dijumpai tergantung dengan organ yang
terlibat. Pada TB paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur
paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit
sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru umumnya terletak di daerah lobus
superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 dan S2) serta daerah
apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain
suara napas bronchial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-anda
penarikan paru, diafragma dan mediastinum.
3. Pemeriksaan Bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai
arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk
pemeriksaan bakteriologi ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, LCS,
bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar, urin, feses, dan
jaringan biopsi.
Interpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila:
a. 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif BTA positif
17

b. 1 kali positif, 2 kali negatif ulang BTA 3 kali, kemudian, bila 1 kali
positif, 2 kali negatif BTA positif bila 3 kali negatif BTA negatif
Menurut rekomendasi WHO, interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca
dengan skala International Union Against Tuberculosis and Lung Disease
(IUATLD). Skala IUATLD:
- Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif
- Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman
yang ditemukan.
- Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+)
- Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+)
- Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++(3+).
4. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi yaitu
foto lateral, top-lordotic, oblik atau CT-scan. Pada pemeriksaan foto toraks, TB
dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran
radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif adalah:
a. Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas
paru dan segmen superior lobus bawah.
b. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak
berawan atau nodular.
c. Bayangan bercak milier.
d. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).
Gambaran radiologi yang dicurigai lesi TB inaktif:
a. Fibrotik.
b. Kalsifikasi.
c. Schwarte atau penebalan pleura
5. Pemeriksaan Penunjang Lain
a.

Analisis cairan pleura.

b.

Pemeriksaan histopatologi jaringan.

c.

Pemeriksaan darah

18

Gambar 1. Alur Diagnosis TB paru

E. Penatalaksanaan
Pengobatan TB Paru diberikan dalam 2 tahap yaitu tahap intensif dan lanjutan. Pada
tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk
mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT terutama rifampisin. Bila
pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat biasanya penderita menular
menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu sebagian besar penderita TBC BTA
positif menjadi BTA negatif (konversi) pada akhir pengobatan intensif .
Sedangkan kategori penggunaan OAT di Indonesia, adalah sebagai
berikut.
1. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3), diberikan untuk pasien dengan kriteria:
a. Pasien baru TB paru BTA positif.
b. Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
c. Pasien TB ekstra paru

19

2. Kategori 2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3), diberikan untuk pasien BTA positif


yang telah diobati sebelumnya:
a. Pasien kambuh
b. Pasien gagal
c. Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)
II.

HIV/ AIDS
A. Definisi
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah suatu retrovirus dengan materi
genetik asam ribonukleat (RNA). Retrovirus mempunyai kemampuan yang unik
untuk mentransfer informasi genetik mereka dari RNA ke DNA dengan
menggunakan enzim yang disebut reverse transcriptase, setelah masuk ke tubuh
hospes. Virus ini menyerang dan merusak sel- sel limfosit T-helper (CD4+)
sehingga sistem imun penderita turun dan rentan terhadap berbagai infeksi dan
keganasan.
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) dapat diartikan sebagai
kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh
akibat infeksi oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang termasuk
family retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV.
B. Patogenesis
HIV menginfeksi sel dengan mengikat permukaan sel sasaran yang memiliki
reseptor membran CD4, yaitu sel T-helper (CD4+). Glikoprotein envelope virus,
yakni gp120 akan berikatan dengan permukaan sel limfosit CD4+, sehingga gp41
dapat memperantarai fusi membran virus ke membran sel. Setelah virus berfusi
dengan limfosit CD4+, RNA virus masuk ke bagian tengah sitoplasma CD4+.
Setelah nukleokapsid dilepas, terjadi transkripsi terbalik (reverse transcription)
dari satu untai tunggal RNA menjadi DNA salinan (cDNA) untai-ganda virus.
cDNA kemudian bermigrasi ke dalam nukleus CD4+ dan berintegrasi dengan DNA
dibantu enzim HIV integrase. Integrasi dengan DNA sel penjamu menghasilkan
suatu provirus dan memicu transkripsi mRNA. mRNA virus kemudian
ditranslasikan menjadi protein struktural dan enzim virus. RNA genom virus
kemudian dibebaskan ke dalam sitoplasma dan bergabung dengan protein inti.
Tahap akhir adalah pemotongan dan penataan protein virus menjadi segmensegmen kecil oleh enzim HIV protease. Fragmen-fragmen virus akan dibungkus
20

oleh sebagian membran sel yang terinfeksi. Virus yang baru terbentuk (virion)
kemudian dilepaskan dan menyerang sel-sel rentan seperti sel CD4+ lainnya,
monosit, makrofag, sel NK (natural killer), sel endotel, sel epitel, sel dendritik
(pada mukosa tubuh manusia), sel Langerhans (pada kulit), sel mikroglia, dan
berbagai jaringan tubuh.
Sel limfosit CD4+ (T helper) berperan sebagai pengatur utama respon
imun, terutama melalui sekresi limfokin. Sel CD4+ juga mengeluarkan faktor
pertumbuhan sel B untuk menghasilkan antibodi dan mengeluarkan faktor
pertumbuhan sel T untuk meningkatkan aktivitas sel T sitotoksik (CD8+). Sebagian
zat kimia yang dihasilkan sel CD4+ berfungsi sebagai kemotaksin dan peningkatan
kerja makrofag, monosit, dan sel Natural Killer (NK). Kerusakan sel T-helper oleh
HIV menyebabkan penurunan sekresi antibodi dan gangguan pada sel-sel imun
lainnya.
Pada sistem imun yang sehat, jumlah limfosit CD4+ berkisar dari 600
sampai 1200/ l darah. Segera setelah infeksi virus primer, kadar limfosit CD4+
turun di bawah kadar normal untuk orang tersebut. Jumlah sel kemudian meningkat
tetapi kadarnya sedikit di bawah normal. Seiring dengan waktu, terjadi penurunan
kadar CD4+ secara perlahan, berkorelasi dengan perjalanan klinis penyakit. Gejalagejala imunosupresi tampak pada kadar CD4+ di bawah 300 sel/l. Pasien dengan
kadar CD4+ kurang dari 200/l mengalami imunosupresi yang berat dan risiko
tinggi terjangkit keganasan dan infeksi oportunistik.
C. Penularan HIV/ AIDS
Penularan AIDS terjadi melalui :
1. Hubungan kelamin (homo maupun heteroseksual);
2. Penerimaan darah dan produk darah;
3. Penerimaan organ, jaringan atau sperma;
4. Ibu kepada bayinya (selama atau sesudah kehamilan).
Kemungkinan penularan melalui hubungan kelamin menjadi lebih besar
bila terdapat penyakit kelamin, khususnya yang menyebabkan luka atau ulserasi
pada alat kelamin. HIV telah diisolasi dari darah, sperma, air liur, air mata, air susu
ibu, dan air seni, tapi yang terbukti berperan dalam penularan hanyalah darah dan
sperma. Hingga saat ini juga tidak terdapat bukti bahwa AIDS dapat ditularkan
melalui udara, minuman, makanan, kolam renang atau kontak biasa (casual) dalam
21

keluarga, sekolah atau tempat kerja. Juga peranan serangga dalam penularan AIDS
tidak dapat dibuktikan.
D. Diagnosis
Terdapat dua uji yang khas digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap HIV.
Pertama, tes ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay) yang bereaksi terhadap
antibodi dalam serum. Apabila hasil ELISA positif, dikonfirmasi dengan tes kedua
yang lebih spesifik, yaitu Western blot. Bila hasilnya juga positif, dilakukan tes
ulang karena uji ini dapat memberikan hasil positif-palsu atau negatif-palsu. Bila
hasilnya tetap positif, pasien dikatakan seropositif HIV. Pada tahap ini dilakukan
pemeriksaan klinis dan imunologik lain untuk mengevaluasi derajat penyakit dan
dimulai usaha untuk mengendalikan infeksi.
WHO mengembangkan sebuah sistem staging (untuk menentukan
prognosis), berdasarkan dari kriteria klinis, sebagai berikut
Tabel 1. WHO clinical staging system for HIV infection and related
disease in adult (15 years or older)
Tahap 1 :
- Asimptomatik
- Limfadenopati menyeluruh
Performance scale 1 : asimtomatik, aktifitas normal
Tahap 2:
-Penurunan berat badan < 10% berat badan sebelumnya
- Manifestasi mukokutaneus minor (misal: ulserasi oral, infeksi jamur di kuku)
- Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
- Angular cheilitis
- seboroik dermatitis
- Infeksi saluran napas atas rekuren (misal: sinusitis bakterial)
Dan/ atau Performance scale 2: simptomatik, aktivitas normal
Tahap 3:
- Penurunan berat badan > 10% dari berat badan sebelumnya
- Diare kronis tanpa sebab > 1 bulan
- Demam berkepanjangan tanpa sebab > 1 bulan
- Candidiasis oral
- Oral hairy leukoplakia
- TB paru

22

- Infeksi bakteri berat (pneumonia, pyomiositis)


Dan/atau Performance scale 3: bedrest < 50% dlm sehari 1 bulan terakhir
Tahap 4:
- HIV wasting syndrome (penurunan bb > 10%, diare>1n bl atau lemah lesu dan
demam > 1 bln)
- Pneumonisitis carina pneumonia
- Toxoplasmosis otak
- Kriptosporidiosis dengan diare, lebih dari sebulan
- Kriptokokosis, ekstra paru
- TB ekstra paru
- Penyakit disebabkan oleh CMV
- Kandidiasis
- Mikobakteriosis atipikal
- Lymphoma
- Kaposi sarcoma
- HIV encephalopati
- Infeksi virus herpes lebih dari 1 bulan
- Leukoensefalopati multifokal yang progresif
- Infeksi jamur endemik yang menyebar
Dan/atau Performance scale 4 : bedrest >50% dlm sehari 1 bulan terakhir

E. Terapi Anti Retrovirus (ART)


Antiretrovirus (ARV) yang ditemukan pada tahun 1996, mendorong suatu revolusi
dalam perawatan penderia HIV/AIDS. Meskipun belum mampu menyembuhkan
penyakit dan menambah tantangan dalam hal efek samping dan resistensi, obat ini
secara dramatis menunjukkan penurunan angka mortalitas dan morbiditas akibat
HIV/AIDS.
Pemberian ARV bergantung pada tingkat progresifitas penyakit, yang dapat
dinilai melalui kadar CD4+ dan kadar RNA HIV serum. Terdapat tiga jenis
antiretrovirus yang digolongkan berdasarkan cara kerjanya, yang dapat dilihat pada
tabel di bawah ini.
Tabel 2. HAART (Highly Active Antiretroviral Therapy), golongan dan dosis
Golongan Obat

Dosis

Nukleoside Reverse Transcriptase


Inhibitor (NsRTI)

23

Abakavir (ABC)

300mg 2x/hari atau 400mg 1x/hari

Didanosin (ddI)

250mg 1x/hari (bb<60kg)

Lamivudine (3TC)

150mg 2x/hari atau 300mg 1x/hari

Stavudin (d4T)

40mg 2x/hari (30mg 2x/hari bila bb<60kg)

Zidovudin (ZDV)

300mg 2x/hari

Nukleotide Reverse Transcriptase


Inhibitor (NRTI)

TDF

300mg 1x/hari

Non-NukleosideReverse
Transcriptase Inhibitor (NNRTI)

Efavirenz (EFV)

600mg 1x/hari

Nevirapine (NVP)

200mg 1x/hari untuk 14 hari kemudian


200mg 2x/hari

Protease Inhibitor (PI)

Indinavir/ritonavir
(IDV/r)

800mg/100mg 2x/hari

Lopinavir/ritonavir
(LPV/r)

400mg/100mg 2x/hari

Nelfinavir (NFV)

1250mg 2x/hari

Saquinavir/ritonavir
(SQV/r)

1000mg/ 100mg 2x/hari atau 1600mg/


200mg 1x/hari

Ritonavir (RTV/r)

Kapsul 100mg, larutan oral 400mg/5ml

Paduan Lini Pertama


Yakni suatu kombinasi obat yang digunakan pasien yang belum pernah
mendapatkan ARV sebelumnya, umumnya lini pertama yang diberikan terdiri dari
2 NRTI dan 1 NNRTI. Ada 4 paduan Utama untuk lini pertama :
AZT-3TC-NVP
AZT-3TC-EFV
D4T-3TC-NVP
D4T-3TC-EFV
3TC selalu digunakan dan dimasukkan ke dalam 4 regimen (selalu
dicantumkan di tengah). Obat yang pertama adalah AZT atau D4T (tidak boleh
24

diberikan bersamaan). Obat yang terakhir NPV atau EFV (tidak boleh diberikan
bersamaan).
III.

TUBERKULOSIS HIV (TB-HIV)


A. Hubungan TB dan HIV
Ketika infeksi HIV berlanjut dan imunitas menurun, pasien menjadi rentan
terhadap berbagai infeksi. Beberapa di antaranya adalah TB, pneumonia, infeksi
jamur di kulit dan orofaring, serta herpes zoster. Infeksi tersebut dapat terjadi pada
berbagai tahap infeksi HIV dan imunosupresi. Faktor yang mempengaruhi
kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah daya tahan tubuh yang rendah,
di antaranya infeksi HIV/ AIDS dan malnutrisi (gizi buruk). HIV merupakan faktor
risiko paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi sakit TB. Menurut WHO,
infeksi HIV terbukti merupakan faktor yang memudahkan terjadinya proses pada
orang yang telah terinfeksi TB, meningkatkan risiko TB laten menjadi TB aktif dan
kekambuhan, menyulitkan diagnosis, dan memperburuk stigma. TB juga
meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada pasien pengidap HIV.
transmisi
transmisi
Diagnosis tepat dan cepat
Pengobatan tepat dan lengkap
Kondisi kesehatan mendukung
Jumlah kasus TB BTA +
Risiko menjadi TB bila dengan HIV:
Faktor lingkungan:
5-10% setiap tahun
Ventilasi
> 30% lifetime
Kepadatan
Dalam ruangan
Faktor perilaku

HIV (+)

TERPAJAN
Konsentrasi Kuman
Lama Kontak

B. Patogenesis

SEMBUH

TB

INFEKSI

MATI

10%
Keterlambatan diagnosis dan pengobatan
Tatalaksana tak memadai
Malnutrisi
Kondisi kesehatan
Penyakit DM, imunosupresan

Pada orang yang imunokompeten, ketika terinfeksi M. tuberculosis, organisme


disajikan kepada makrofag melalui ingesti dimana setelah diproses, antigen
mikobakteri disajikan ke sel-T. Sel CD4 mengeluarkan limfokin yang
meningkatkan kapasitas makrofag untuk menelan dan membunuh mikobakteri.
25

Pada sebagian besar orang terjadi infeksi dan TB tidak berkembang, meski
sejumlah basil tetap dorman tubuh. Hanya 10% dari kasus yang berkembang
menjadi TB klinis, segera setelah infeksi primer atau bertahun-tahun kemudian
sebagai reaktivasi TB. Hal ini memungkinkan terjadinya kerusakan pada fungsi
dari sel T dan makrofag.
Deplesi dan disfungsi sel CD4 yang progresif, ditambah dengan adanya
kerusakan pada fungsi makrofag dan monosit, membentuk ciri infeksi HIV.
Disfungsi ini pada odha (orang dengan HIV dan AIDS) sebagai predisposisi
terjadinya infeksi TB baik primer maupun reaktivasi. Bukti epidemiologis
menunjukkan bahwa infeksi HIV meningkatkan risiko reaktivasi laten TB dan
juga risiko penyakit progresif dari infeksi baru.
C. Diagnosis
Tuberkulosis pada pasien dengan HIV mempunyai gejala dan gambaran klinis yang
berbeda dengan orang tanpa terinfeksi HIV. Hal ini disebabkan karena rendahnya
reaksi imunologik penderita AIDS. Seperti diketahui manifestasi klinis TB
sebenarnya merupakan reaksi imunologik terhadap Mycobacterium tuberculosis.
Banyak ditemukan diagnosis TB pada pasien HIV berbeda dengan diagnosis TB
pada umumnya, dimana gejala TB pada pasien HIV tidaklah spesifik. TB ekstra
paru lebih sering ditemukan pada pasien dengan HIV dibandingkan pasien tanpa
HIV sehingga bila ditemukan TB ekstraparu harus dipikirkan kemungkinan adanya
HIV. TB ekstraparu yang sering ditemukan adalah limfadenopati pada leher,
abdomen atau aksila; efusi pleura; efusi pericardial; efusi peritoneal; meningitis
dan Tb mediastinum. Deteksi dini HIV pada pasien TB juga harus dilaksanakan
dengan baik dan telah diatur dalam International Standards for Tuberculosis Care
(ISTC) yaitu : Uji HIV dan konseling harus direkomendasikan pada semua pasien
yang menderita atau yang diduga menderita TB.
Ketika infeksi HIV berlanjut, limfosit T CD4+ mengalami penurunan baik
dalam jumlah maupun fungsinya. Sel ini memerankan peranan penting dalam
pertahanan tubuh terhadap M. tuberculosis. Dengan demikian, kemampuan sistem
imunitas menurun dalam mencegah pertumbuhan dan penyebaran lokal bakteri
tersebut.
Berikut ini adalah hal-hal yang perlu diketahui dalam diagnosis pada
pasien TB dengan HIV:
26

i.

Gambaran klinis TB paru, gambaran klinis TB paru secara umum


diawali dengan batuk lebih dari 2-3 minggu, sedangkan TB pada pasien
HIV/AIDS batuk bukan merupakan gejala umum. Pada TB dengan
HIV demam dan penurunan berat badan merupakan gejala yang

ii.

penting.
Sputum BTA, karena sulitnya diagnosis TB paru pada pasien HIV
secara klinis dan pemeriksaan sputum BTA lebih sering ditemuakan
BTA negatif, maka diperlukan pemeriksaan kultur BTA. Pemeriksaan
biakan sputum merupakan baku emas untuk mendiagnosis TB paru.
Pada ODHA dengan gejala klinis TB paru yang hasil pemeriksaan
mikroskopik dahak BTA nya negatif, pemeriksaan biakan dahak sangat
dianjurkan karena hal ini dapat membantu diagnosis TB paru. Selain
itu, pemeriksaan biakan dan resistensi juga dilakukan untuk
mengetahui adanya MDR-TB, dimana pasien HIV merupakan salah
satu faktor risiko MDR-TB. Dalam rangka memperbaiki tata laksana
pasien TB-HIV, akhir-akhir ini telah ditemukan alat penunjang TB
secara tepat yakni kultur resistensi BTA dengan Genexpert, namun alat
tersebut belum ada disetiap layanan kesehatan, hanya ada pada sentral

iii.

layana yang direkomendasi.


Foto thoraks, gambaran foto thoraks bervariasi dalam hal lokasi
maupun bentuknya. Umumnya gambaran foto thoraks pada TB terdapat
di apeks, namun pada TB-HIV bukan diapeks terutama pada HIV
lanjut. Pada HIV yang masih awal gambaran foto thoraks dapat sama
pada gambaran foto thoraks pada umunya, namun pada HIV lanjut
gambaran foto thoraks sangat tidak spesifik. Pada pasien TB-HIV tidak

iv.

jarang ditemukan gambaran TB milier.


Pemeriksaan Tes Mantoux. Pemeriksaan tes mantoux dapat membantu
pada suspek TB dengan BTA negatif dan foto thoraks yang tidak khas
dan gambaran klinis yang kurang menunjang. Pada pasien suspek TB
pada umumnya, tes mantoux dinyatakan positif apabila diameter >=
10mm, namun pada pasien dengan HIV positif diameter > 5 mm sudah

v.

dapat dinyatakan positif.


Gambaran klinis TB ekstraparu. TB ekstraparu perlu diwaspadai pada
odha karena kejadiannya lebih sering dibandingkan pada TB dengan
HIV negatif. Diagnosis pasti dari TB ekstraparu sangat kompleks dan
27

sulit terutama di daerah dengan fasilitas yang terbatas. Berdasarkan


ISTC, diagnosis TB ekstraparu dapat dilakukan dengan mengambil lesi
dan pemeriksaan patologi untuk menemukan BTA dari jaringan apabila
memungkinkan. Namun, apabila lesi sulit didapat, diagnosis TB
ekstraparu dapat ditegakkan dengan dugaan klinis yang menunjang.
Adanya TB ekstraparu pada pasien HIV merupakan tanda bahwa
vi.

penyakitnya sudah lanjut.


Penggunaan antibiotik pada pasien suspek TB dengan HIV positif.
Pemberian antibiotic pada pasien suspek TB paru sebagai alat bantu
diagnosis TB paru tidak direkomendasikan lagi karena dapat
menyebabkan diagnosis TB terlambat dengan konsekuensi pengobatan
juga terlambat sehingga meningkatkan risiko kematian. Penggunaan
antibiotik kuinolon sebagai terapi infeksi sekunder pada TB dengan
HIV positif harus dihindari sebab golongan antibiotik ini respons
terhadap mikobakterium TB sehingga dikhawatirkan menghilangkan
gejala sementara. Disamping itu dikhawatirkan timbulnya resistensi,
sementara antibiotic golongan kuinolon dicadangkan sebagai OAT lini
kedua.

D. Penatalaksanaan
Pada dasarnya, prinsip pengobatan TB dengan HIV/AIDS sama dengan pengobatan
tanpa HIV/AIDS. Namun, pengobatan pasien dengan koinfeksi TB-HIV lebih sulit
daripada TB pada pasien tanpa HIV. Pasien TB-HIV memiliki sistem imunitas yang
rendah dan sering ditemukan adanya infeksi hepatitis dan lainnya, maka saat
pengobatan sering timbul efek samping dan interaksi obat sehingga memperburuk
kondisi pasien serta obat-obat harus dihentikan atau dikurangi dosisnya. Kondisi
tersebut menyebabkan pengobatan menjadi lebih panjang serta kepatuhan pasien
sering terganggu.
Prinsip pengobatan adalah menggunakan kombinasi beberapa jenis obat dalam
jumlah cukup dan dosis serta jangka waktu yang tepat 2. Prinsip pengobatan pasien
TB-HIV adalah adalah dengan mendahulukan pengobatan TB. Pengobatan ARV
(Antiretroviral) dimulai berdasarkan stadium klinis HIV dengan standar WHO

28

Pengobatan OAT pada TB-HIV:


-

Pemberian tiasetazon pada pasien HIV/AIDS sangat berbahaya karena akan


menyebabkan efek toksik berat pada kulit.

Injeksi streptomisin hanya boleh diberikan jika tersedia alat suntik sekali
pakai yang steril.

Desensitasi

obat

(INH,

rifampisin)

tidak

boleh

dilakukan

karena

mengakibatkan toksik yang serius pada hati.


-

Pada pasien TB dengan HIV/AIDS yang tidak memberikan respon untuk


pengobatan, selain dipikirkan terdapat resistensi terhadap obat, juga harus
dipikirkan terdapatnya malabsorpsi obat. Pada pasien HIV/AIDS terdapat
korelasi antara imunosupresi yang berat dengan derajat penyerapan,
karenanya dosis standar OAT yang diterima sub optimal sehingga konsentrasi
obat rendah dalam serum.
Interaksi obat TB dengan ARV:

Pemakaian obat HIV/AIDS misalnya zidovudin akan meningkatkan


kemungkinan terjadinya efek toksik OAT.

Tidak ada interaksi bermakna antara OAT dengan ARV golongan nukleotida,
kecuali Didanosin (ddl) yang harus diberikan selang 1 jam dengan OAT
karena bersifat sebagai buffer antasida.

Interaksi dengan OAT terutama terjadi dengan ARV golongan nonnukleotida


dan inhibitor protease. Rifampisin jangan diberikan bersama dengan
nelfinavir karena rifampisin dapat menurunkan kadar nelfinavir sampai 82%.

Pasien dengan koinfeksi TB-HIV, segera diberikan OAT dan pemberian ARV
dalam 8 minggu tanpa mempertimbangkan kadar CD4.

Pertimbangan pemberian ARV segera setelah diagnosis TB ialah bahwa


angka kematian pada pasien TB-HIV terjadi umumnya pada 2 bulan pertama
pada pemberian OAT. Meskipun demikian pemberian secara bersamaan
membuat pasien menelan obat dalam jumlah yang banyak sehingga dapat
terjadi ketidakpatuhan, komplikasi, efek samping, interaksi obat dan Immune
Reconstitution

Inflamatory

Syndrome

(IRIS);

Sindrome

Pemulihan

Kekebalan (SPK) atau dikenal dengan Immune Reconstitution Inflammatory


Syndrome atau IRIS adalah fenomena imunologi berupa perburukan klinis
29

serta timbulnya gejala infeksi oportunistik akibat pemulihan imun yang


berlebihan pada saat ODHA mengalami penurunan jumlah virus HIV setelah
pemberian ARV, contoh tersering dari manifestasi IRIS adalah herpes zoster
atau TB yang terjadi.
-

Setiap penderita TB-HIV harus diberikan profilaksis kotrimoksasol dengan


dosis 960 mg/hari (dosis tunggal) selama pemberian OAT.
WHO menetapkan pentingnya strategi sebelum pemberian ART,
strategi ini dinamakan Three Is yakni :
1) Intensified Tuberculosis Case Finding, yaitu mendeteksi secara aktif
kemungkinan adanya infeksi TB pada pasien HIV.
2) Isoniazid Preventive Therapy, yaitu memberikan INH pada pasien HIV(+)
dengan TB (-)untuk pencegahan infeksi TB (di Indonesia belum
diimplementasikan)
3) Infection Control, yaitu mengontrol dan mengendalikan infeksi TB di
Fasyankes /Fasilitas pelayanan kesehatan
Standar Untuk Penanganan TB Dengan Infeksi HIV (International Standard
For Tuberculosis Care )
Standar 14
Uji HIV dan konseling harus direkomendasikan pada semua pasien
yang menderita atau yang diduga menderita TB. Pemeriksaan ini merupakan
bagian penting dari manajemen rutin bagi semua pasien di daerah dengan
prevalensi infeksi HIV yang tinggi dalam populasi umum, pasien dengan
gejala dan/atau tanda kondisi yang berhubungan HIV dan pasien dengan
riwayat risiko tinggi terpajan HIV. Karena terdapat hubungan yang erat antara
TB dan infeksi HIV, pada daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi
pendekatan yang terintegrasi direkomendasikan untuk pencegahan dan
penatalaksanaan kedua infeksi.
Standar 15
Semua.pasien dengan TB dan infeksi HIV seharusnya dievaluasi untuk
menentukan perlu/ tidaknya pengobatan ARV diberikan selama pengobatan
TB. Perencanaan yang tepat untuk mengakses obat antiretroviral seharusnya
30

dibuat untuk pasien yang memenuhi indikasi. Bagaimanapun juga pelaksanaan


pengobatan TB tidak boleh ditunda. Pasien TB dan infeksi HIV juga
seharusnya diberi kotrimoksazol sebagai pencegahan infeksi lainnya.
Standar 16
Pasien dengan infeksi HIV yang, setelah dievaluasi dengan seksama,
tidak menderita TB aktif seharusnya diobati sebagai infeksi TB laten dengan
isoniazid selama 6-9 bulan. (belum diterapkan di indonesia, walaupun
Indonesia adalah negara endemik TB)
Prinsip tatalaksana koinfeksi TB-HIV, berdasarkan rekomendasi dalam
guidelines WHO.
1. Pemberian terapi ARV pada semua pasien HIV dengan TB aktif tanpa
melihat nilai CD4.
2. OAT diberikan terlebih dahulu, diiukuti dengan pemberian terapi ARV
sesegera mungkin (dalam 2-8 minggu pemberian OAT)
3. Efavirenz (EFV) merupakan golongan NNRTI yang direkomendasikan
dalam pemberian terapi ARV pada pasien dalam terapi OAT. Efavirenz
direkomendasikan karena mempunyai interaksi dengan rifampisin yang
lebih ringan dibandingkan Nevirapin.
Mengingat terkadang sulit mendiagnosis TB pada HIV, terapi empiris
sebaiknya diinisiasi pada HIV dimana dicurigai TB sampai semua hasil
pemeriksaan TB (sputum, kultur, dan pemeriksaan lain) lengkap. Setelah
didiagnosis atau dicurigai TB aktif, OAT harus diberikan segera. Directly
Observed Treatment Short-course (DOTS) direkomendasikan pada semua
pasien TB-HIV. Semua pasien yang mendapat INH harus mendapatkan
suplementasi piridoksin/vitamin B6 25-50 mg/kgBB/hari untuk mencegah
neuropati perifer.
Tatalaksana TB Ekstra Paru pada pasien HIV
I.

Secara Umum
-

Pasien Tb ekstraparu regimen 6-9 bulan direkomendasikan.


31

Untuk TB pada Sistem saraf pusat (tuberkuloma atau meningitis) dan


TB tulang dan sendi direkomendasikan 9-14 bulan terapi.

II.

TB pada Otak
-

Untuk meningitis TB diberikan 2RHZE/7-12RH dan dexamethason


untuk mengurangi inflamasi di otak (tidak untuk HIV positif).

Indikasi pemberian kortikosteroid untuk meningitis TB : peningkatan


tekanan intrakranial, edema serebri, defisit neurologis fokal,
hidrosefalus, infark dan adanya meningitis basalis.

Bila terdapat putus obat diberikan OAT kategori 2 yakni 2RHZES/712RH lalu nilai respon secara klinis

Efek Samping, Interaksi Obat dan Penanganannya


Tanda Gejala
Anoreksia, mual dan nyeri

Penanganan
Telan obat setelah makan. Jika paduan obat ART

perut

mengandung AZT, jelaskan kepada pasien bahwa


ini biasanya akan hilang sendiri. Atasi keluhan ini
simtomatis. Tablet INH dapat diberikan malam

Nyeri sendi
Rasa kesemutan

sebelum tidur.
Beri analgetik, misalnya aspirin atau parasetamol.
Efek ini oleh karena INH diberi bersama ddI atau
D4T. Berikan tambahan vitamin B6 (piridoksin)
100mg/hari.

Jika

tidak

berhasil,

gunakan

Kencing warna kemerahan

amitriptilin atau dirujuk.


Jelaskan karena pengaruh

Sakit kepala

berbahaya.
Beri analgetik, periksa tanda meningitis. Bila

obat

dan

tidak

32

terdapat pengobatan ZDV atau EFV jelaskan


bahwa hal ini biasa terjadi dan akan hilang, jika >2
mg, rujuk.
Beri oralit dan tatalaksana untuk diare, yakinkan

Diare

kalau karena obat, akan membaik dalam bbrp


minggu.
Pikirkan anemia, terutama oleh karena ZDV.

Kelelahan

Periksa HB, kelelahan biasa terjadi 4-6 minggu


setelah penggunaan ZDV, jika > 4-6 minggu
Tegang, mimpi buruk

dirujuk.
Mungkin disebabkan oleh EFV, lakukan konseling
dan dukungan, dapat hilang < 3 minggu. Rujuk
pasien apabila ada gangguan mood atau psikosis,
masa sulit awal atasi dengan amitriptilin pada

Kuku kebiruan/kehitaman
Perubahan dalam distribusi

malam hari.
Yakinkan pasien sebagai akibat pengobatan ZDV.
Diskusikan dengan pasien, sebagai efek samping

lemak
Gatal atau kemerahan pada

D4T.
Jika menyeluruh atau mengelupas, stop obat TB

kulit

dan ART, rujuk pasien. Jika dalam pengobatan


NVP periksa dan teliti : apakah lesinya kering
(kemungkinan alergi) atau basah (kemungkinan

Gangguan

pendengaran

steven Johnson syndrome ), minta pendapat ahli.


Hentikan streptomisin, rujuk ke unit DOTS.

atau keseimbangan
Ikterus

Lakukan pemeriksaan fungsi hati, hentikan OAT

Ikterus dan nyeri perut

dan ART, minta pendapat ahli.


Hentikan OAT dan ART, periksa fungsi hati, nyeri
perut

dapat

dikarenakan

pankreatitis

yang

disebabkan oleh ddI atau D4T.


Periksa penyebab muntah, lakukan pemeriksaan

Muntah berulang

fungsi hati, jika terjadi hepatotoksik hentikan OAT


Penglihatan berkurang
Demam

dan ART, rujuk pasien.


Hentikan EMB, minta pendapat ahli/rujuk.
Periksa penyebab demam dapat disebabkan oleh
efek samping obat, infeksi oportunistik, infeksi
baru atau IRIS, beri parasetamol dan minta
pendapat ahli.
Ukur kadar HB singkirkan infeksi oportunistik,

Pucat,anemia
Batuk

atau

bernafas
Limfadenopati

kesulitan

pasien dirujuk dan stop ZDV/diganti D4T.


Kemungkinan IRIS atau infeksi oportunistik, minta
pendapat ahli.
Kemungkinan IRIS atau infeksi oportunistik, minta
pendapat ahli.

33

KESIMPULAN
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di
dunia, maupun di Indonesia. Munculnya pandemi HIV/ AIDS menambah permasalahan TB.
HIV merupakan faktor risiko paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi sakit TB.
Sedangkan TB juga meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada pasien pengidap HIV.
Kombinasi TB dengan HIV/AIDS merupakan kombinasi yang mematikan. TB pada pasien
dengan HIV mempunyai gejala dan gambaran klinis yang berbeda dengan orang tanpa
terinfeksi HIV. Maka diagnosis yang tepat sangat diperlukan.
Penatalaksanaan pasien TB dengan HIV/AIDS pada dasarnya sama dengan pasien
TB tanpa HIV/ AIDS, namun harus memperhatikan beberapa faktor, di antaranya reaksi
obat (alergi, efek samping dan interaksi) OAT maupun ARV.

34

Anda mungkin juga menyukai