Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Hiperbilirubinemia merupakan salahsatu fenomena klinis yang paling
sering ditemukan pada bayi baru lahir. Lebih dari 85% bayi cukup bulan yang
kembali di rawat dalam minggu pertama kehidupan disebabkan ole keadaan
ini. Hiperbilirubinemia menyebabkan bayi terlihat berwarna kuning, keadaan
ini timbul akibat akumulasi pigmen bilirubin (4Z, 15 Z bilirubin IX alpha)
yang berwarna ikterus pada sklera dan kulit. (1,6)
Angka kejadian Ikterus pada bayi sangat bervariasi di RSCM
persentase ikterus neonatorum pada bayi cukup bulan sebesar 32,1% dan pada
bayi kurang bulan sebesar 42,9%, sedangkan di Amerika Serikat sekitar 60%
bayi menderita ikterus baru lahir menderita ikterus, lebih dari 50%. Bayi-bayi
yang mengalami ikterus itu mencapai kadar bilirubin yang melebihi 10 mg.
(3,7)

Dikemukakan bahwa kejadian ikterus terdapat pada 60% bayi cukup


bulan dan pada bayi 80% bayi kurang bulan. Di Jakarta dilaporkan 32,19 %
menderita ikterus. Ikterus ini pada sebagian lagi bersifat patologik yang dapat
menimbulkan gangguan yang menetap atau menyebabkan kematian. Karena
setiap bayi dengan ikterus harus ditemukan dalam 24 jam pertama kehidupan
bayi atau bila kadar bilirubuin meningkat lebih dari 5 mg/dl dalam 24 jam. (3,7)
Proses hemolisis darah, infeksi berat ikterus yang berlangsung lebih
dari 1 mg/dl juga merupakan keadaan kemungkinan adanya ikterus patologi.
Dalam keadaan tersebut penatalaksanaan ikterus dilakukan sebayik-bayiknya
agar akibat buruk ikterus dapat dihindarkan. (3,7)

BAB II
1

PEMBAHASAN
2.1. Definisi
Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubinemia adalah terjadinya peningkatan kadar plasma bilirubin 2
standar deviasi atau lebih dari kadar yang diharapkan berdasarkan umur bayi atau
lebih dari persentil 90. Hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi
bilirubin serum yang menjurus
ensefalopati

bilirubin

bila

ke

arah

terjadinya

kern

ikterus

atau

kadar

bilirubin

tidak

dikendalikan.

Hiperbilirubinemia fisiologis yang memerlukan terapi sinar, tetap tergolong


non patologis sehingga disebut Excess Physiological Jaundice. Digolongkan
sebagai hiperbilirubinemia patologis (Non Physiological Jaundice) apabila kadar
serum bilirubin terhadap usia neonatus >95% . (10)

Gambar 2.1 normogram penentuan resiko hiperbilirubinemia berdasarkan jam


observasi kadar bilirubin serum
Ikterus pada bayi atau yang dikenal dengan istilah ikterus neonatarum
adalah keadaan klinis pada bayi ditandai oleh pewarnaan ikterus pada kulit dan
2

sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih. Ikterus secara
klinis akan mulai tampak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin darah 5-7
mg/dL. Pada orang dewasa, ikterus akan tampak apabila serum bilirubin
>2

mg/dl (>17mol/L). Ikterus lebih mengacu pada gambaran klinis berupa

pewaranaan kuning pada kulit, sedangkan hiperbilirubinemia lebih mengacu


pada gambaran kadar bilirubin serum total.
2.2

Metabolisme bilirubin
Untuk mendapat pengertian yang cukup mengenai masalah ikterus pada

neonatus, perlu diketahui tentang metabolisme bilirubin pada janin dan neonatus.
Bilirubin adalahlah pigmen Kristal berwarna jingga ikterus yang merupakan akhir
dari pemecahan katabolisme heme melalui proses reaksi oksidari-reduksi.
Langkah oksidasi yang pertama adalah bilierdin yang dibentuk dari heme dengan
bantuan enzim heme oksigenase yaitu suatu enzim yang sebagian besar terdapat
dalam sel hati, dan organ lain. Pada reaksi tersebut juga terbentuk besi yang
digunakan kembali untuk pembentukan hemoglobin dan karbon monoksida (CO)
yang dieksresikan dalam paru. Biliverdin kemudian akan di reduksi menjadi
bilirubin oleh enzim biliverdin reductase (Gambar 1)
Biliverdin bersifat larut dalam air dan secara cepat dalam air dan secara
cepat akan diubah menjadi bilirubin melalui reaksi bilirubin reductase. Berbeda
dengan biliverdin, bilirubin bersifat lipofilik dan terikat dengan hydrogen serta
pada pH normal bersifat tidak larut jika tubuh akan mengeksresikan, diperlukan
mekanisme transport dan eliminasi bilirubin.(11)

Gambar 2.2 Metabolisme bilirubin 11


Metabolisme bilirubin mempunyai tingkatan sebagai berikut 11
1. Produksi
Sebagian besar bilirubin terbentuk sebagai akibat degradasi hemoglobin
pada sistem retikuloendotelial (RES). Tingkat penghancuran hemoglobin ini pada
neonatus lebih tinggi dari pada bayi yang lebih tua. Pada bayi baru lahir , sekitar
75% produksi bilirubin berasal dari katabolisme heme hemoglobin dari eritrosit
sirkulasi. Satu gram hemoglobin dapat menghasilkan 34 mg bilirubin indirek, dan
sisanya

(25%) disebut eraly labelled bilirubin yang berasal dari pelepasan


4

hemoglobin karena eritropoesis yang tidak efektif di dalam sumsum tulang,


jaringan yang mengandung protein heme (myoglobin, sitokrom, katalase,
peroksidase) dan heme bebas. Bilirubin indirek yaitu bilirubin yang bereaksi tidak
langsung dengan zat warna diazo (reaksi hymans van den bergh), yang bersifat
tidak larut dalam air tetapi larut dalam lemak.

2,7, 12

2. Transportasi
Pembentukan bilirubin yang terjadi di system retikuloendotelial (RES)
selanjutnya dilepaskan ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Bayi
baru lahir mempunyai kapasitas ikatan plasma rendah terhadap bilirubin yang
terikat pada albumin serum ini merupakan zat non polar dan tidak larut dalam air
dan kemudian di transportasi ke sel hepar. Bilirubin yang terikat dengan albumin
tidak dapat memasuki sususnan saraf pusat dan bersifat non toksik. Selain itu,
albumin juga mempunyai afinitas yang tinggi terhadap obat-obatan yang bersifat
asam seperti penisilin dan sulfonamide. 1,11
Bilirubin indirek kemudian diikat oleh albumin sel parenkim hepar
mempunyai cara yang selektif dan efektif mengambil bilirubin dari plasma.
Bilirubin ditransfer melalui membran sel ke dalam hepatosit sedangkan albumin
terikat ke reseptor permukaan sel. Didalam sel bilirubin akan terikat terutama
pada ligandin (protein , glutation S-transferase B) dan sebagian kecil pada
glutation S-transferase lain dan protein Z. Proses ini merupakan proses dua arah,
tergantung dari konsentrasi dan afinitas albumin dalam plasma dan ligandin dalam
hepatosit. Sebagian besar bilirubin yang masuk hepatosit di konjugasi dan di
ekskresi ke dalam empedu. Dengan adanya sitosol hepar, ligadin mengikat
bilirubin sedangkan albumin tidak Pemberian fenobarbital mempertinggi
konsentrasi ligadin dan memberi tempat pengikatan yang lebih banyak untuk
bilirubin. (1,2,7 11)
3. Konjugasi
Bilirubin tak terkonjugasi di konversikan ke bentuk bilirubin konjugasi
yang larut dalam air di reticulum endoplasma dengan bantuan enzim uridine
diphhospate glucoronosyl transferase (UDPG-T). katalisa oleh enzim ini merubah

formasi menjadi bilirubin monoglukoronida yang selanjutnya di konjugasi


menjadi bilirubin di glukoronida.
Bilirubin ini kemudian di eksresikan ke dalam kanalikulus empedu
sedangkan satu melekul bilirubin tak terkonjugasi akan kembali ke reticulum
endoplasmic untuk rekonjugasi berikutnya, pada keadaan peningkatan beban
bilirubin yang di hantarkan ke hati akan terjadi retensi bilirubin tak terkonjugasi
seperti halnya pada kedaan hemolysis kronik yang berat pigmen yang tertahan
adalah bilirubin monoglukoronida.
Penelitian in vitro tentang enzim UDPG-T pada bayi baru lahir di dapatkan
defisiensi aktifitas enzim tetapi setelah 24 jam kehidupan, aktifitas enzim ini
meningkat melebihi bilirubin yang termasuk ke hati sehingga konsentrasi bilirubin
serum akan menurun. Kapasitas total konjugasi akan sama dengan orang dewasa
pada hari ke 4 kehidupan. Pada periode bayi baru lahir, konjugasi
monoglukoronida merupakan konjugat pigmen empedu yang lebih dominan. 1, 2,7, 13
4. Ekskresi
Setelah melalui proses konjugasi, bilirubin akan dieksresi ke dalam
kandung empedu, kemudian memasuki saluran cerna dan diekskresikan melalui
feses. Proses ekskresinya sendiri merupakan proses yang memerlukan energy.
Setelah berada dalam usus halus, bilirubin yang terkonjugasi tidak langsung dapat
diresorbsi, kecuali jika di konversikan kembali menjadi bentuk terkonjugasi oleh
enzim beta glukoronidase yang terdapat di dalam usus. Resorbsi kembali bilirubin
dari saluran cerna dan kembali ke hati untuk di konjugasi kembali disebut
enterohepatik
Pada neonatus karena aktivitas enzim B glukoronidase yang meningkat,
bilirubin direk banyak yang tidak dirubah menjadi urobilin. Jumlah bilirubin yang
terhidrolisa menjadi bilirubin indirek meningkat dan tereabsorpsi sehingga siklus
enterohepatis pun meningkat, selain itu pada bayi baru lahir, lumen usus halusnya
steril sehingga bilirubin konjugasi tidak dapat dirubah menjadi sterkobililin
( suatu produk yang tidak dapat diarbsorbsi)

Pemberian substansi oral yang tidak larut seperti agar atau karang aktif
yang dapat mengikat bilirubin akan meningkatkan peran kontribusi sirkulasi
enterohepatik pada keadaan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi pada bayi baru
lahir.(1, 2,7,11,12 )
5. Metabolisme bilirubin pada janin dan neonatus
Pada likuor amnion yang normal dapat ditemukan bilirubin pada
kehamilan 12 minggu, kemudian menghilang pada kehamilan 36-37 minggu. Pada
inkompatibilitas darah Rh, kadar bilirubin dalam cairan amnion dapat dipakai
untuk menduga beratnya hemolisis. Peningkatan bilirubin amnion juga terdapat
pada obstruksi usus fetus. Bagaimana bilirubin sampai ke likuor amnion belum
diketahui dengan jelas, tetapi kemungkinan besar melalui mukosa saluran nafas
dan saluran cerna. Produksi bilirubin pada fetus dan neonatus diduga sama
besarnya tetapi kesanggupan hepar mengambil bilirubin dari sirkulasi sangat
terbatas. Demikian pula kesanggupannya untuk mengkonjugasi. Dengan demikian
hampir semua bilirubin pada janin dalam bentuk bilirubin indirek dan mudah
melalui plasenta ke sirkulasi ibu dan diekskresi oleh hepar ibunya. Dalam keadaan
fisiologis tanpa gejala pada hampir semua neonatus dapat terjadi akumulasi
bilirubin indirek sampai 2 mg%. Hal ini menunjukkan bahwa ketidakmampuan
fetus mengolah bilirubin berlanjut pada masa neonatus. Pada masa janin hal ini
diselesaikan oleh hepar ibunya, tetapi pada masa neonatus hal ini berakibat
penumpukan bilirubin dan disertai gejala ikterus. Pada bayi baru lahir karena
fungsi hepar belum matang atau bila terdapat gangguan dalam fungsi hepar akibat
hipoksia, asidosis atau bila terdapat kekurangan enzim glukoronil transferase atau
kekurangan glukosa, kadar bilirubin indirek dalam darah dapat meninggi.
Bilirubin indirek yang terikat pada albumin sangat tergantung pada kadar albumin
dalam serum. Pada bayi kurang bulan biasanya kadar albuminnya rendah sehingga
dapat dimengerti bila kadar bilirubin indek yang bebas itu dapat meningkat dan
sangat berbahaya karena bilirubin indirek yang bebas inilah yang dapat melekat
pada sel otak. Inilah yang menjadi dasar pencegahan kernikterus dengan
pemberian albumin atau plasma. Bila kadar bilirubin indirek mencapai 20 mg%
7

pada umumnya kapasitas maksimal pengikatan bilirubin oleh neonatus yang


mempunyai kadar albumin normal telah tercapai. (2,4,7,8)
2.3 Klasifikasi
Terdapat 2 jenis ikterus yaitu yang fisiologis dan patologis
1. Ikterus Fisiologis
Ikterus fisiologis merupakan masalah yang sering terjadi pada bayi kurang
maupun cukup bulan selama minggu pertama kehidupan yang frekuensinya pada
bayi cukup bulan dan kurang bulan berturut-turut adalah 50-60% dan 80 %. Untuk
kebanyakan bayi fenomena ini ringan dan dapat membayik tanpa pengobatan.
Ikterus fisiologis tidak disebabkan oleh faktor tunggal tapi kominasi berbagai
faktor yang berhubungan dengan maturitas fisiologis bayi baru lahir. Peningkatan
kadar bilirubin tidak terkonjugasi dalam sirkulasi pada bayi baru lahir disebabkan
oleh kombinasi peningkatan ketersediaan bilirubin dan penurunan clearance
bilirubin.
Dalam keadaan normal, kadar bilirubin indirek dalam serum tali pusat adalah
sebesar 1-3 mg/dl dan akan meningkat dengan kecepatan kurang dari

mg/dl/24 jam; dengan demikian ikterus baru terlihat pada hari ke 2-3, biasanya
mencapai puncaknya antara hari ke 2-4, dengan kadar 5-6 mg/dl untuk selanjutnya
menurun sampai kadarnya lebih rendah dari 2 mg/dl antara lain ke 5-7 kehidupan.
Ikterus akibat perubahan ini dinamakan ikterus fisiologis dan diduga sebagai
akibat hancurnya sel darah merah janin yang disertai pembatasan sementara pada
konjugasi dan ekskresi bilirubin oleh hati.
Diantara bayi-bayi prematur, kenaikan bilirubin serum cenderung sama atau
sedikit lebih lambat daripada pada bayi aterm, tetapi berlangsung lebih lama, pada
umumnya mengakibatkan kadar yang lebih tinggi, puncaknya dicapai antara hari
ke 4-7, pola yang akan diperlihatkan bergantung pada waktu yang diperlukan oleh
bayi preterm mencapai pematangan mekanisme metabolisme ekskresi bilirubin.
Kadar puncak sebesar 8-12 mg/dl tidak dicapai sebelum hari ke 5-7 dan kadangkadang ikterus ditemukan setelah hari ke-10.

Pada bayi-bayi yang diberi minum lebih awal atau diberi minum lebih sering
dan bayi dengan aspirasi meconium atau pengeluaran meconium lebih awal
cenderung mempunyai insiden yang rendah untuk terjadinya ikterus fisiologis.
Pada bayi yang diberi minum susu formula lebih cenderung mengeluarkan
bilirubin lebih banyak pada mekoniumnya selama 3 hari pertama kehidupan
dibandingkan dengan yang mendapat ASI. Bayi yang mendapat ASI, kadar
bilirubin cenderung lebih rendah pada yang defekasinya lebih sering. Bayi yang
terlambat mengeluarkan meconium lebih sering terjadi ikterus fisiologis
Pada bayi yang mendapat ASI terdapat dua bentuk neonatal jaundice yaitu
early ( yang berhubungan dengan breast feeding) dan late ( berhuubungan dengan
ASI) bentuk early d yakini berhubungan dengan onset diyakini berhubungan
dengan proses pemberian minum. Betuk late onset diyakini dipengaruhi oleh
kandungan ASI ibu yang mempengaruhi proses konjugasi dan ekskresi. Penyebab
late onset tidak diketahui diketahui, tetapi tealh dihubungakan dengan adanya
faktor spesifik dari ASI yaitu: 2 20-pregnanediol yang mempengarhui
aktifitas UDPGT atau pelepasan bilirubin konjugasi dari hepatosit ; peningkatan
aktifitas lipoprotein lipase yang kemudian meleepaskan asam lemak bebas ke
dalam usus halus; penghambatan konjugasi akibat peningkatan asam lemak
unsaturated; atau glukoronidase atau adanya faktor lain yang mungkin
menyebabkan peningkatan jalur enterohepatik.1,6
Ikterus fisiologi adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan hari
ketiga serta tidak mempunyai dasar patologi atau tidak mempunyai potensi
menjadi ikterus. Adapun tanda-tanda sebagai berikut :
1. Timbul pada hari kedua dan ketiga
2. Kadar bilirubin indirek tidak melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan.
3. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5% per hari.
4. Kadar bilirubin direk tidak melebihi 1 mg%.
5. Ikterus menghilang pada 10 hari pertama.
6. Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis.(,4,5,8,)

2. Ikterus Patologis
Ikterus patologis mungkin merupakan petunjuk penting untuk diagnosis
awal dari banyak penyakit neonatus. Ikterus patologis dalam 36 jam pertama
kehidupan biasanya disebabkan oleh kelebihan produksi bilirubin, karena klirens
bilirubin yang lambat jarang menyebabkan peningkatan konsentrasi diatas 10
mg/dl pada umur ini. Jadi, ikterus neonatorum dini biasanya disebabkan oleh
penyakit hemolitik.
Keadaan di bawah ini merupakan petunjuk untuk tindakan lanjut.
1.

Ikterus terjadi sebelum umur 24 jam

2.

Setiap penungkatan kadar bilirubin serum yang memerlukan fototerapi

3.

Peningkatan kadar bilirubin total serum > 0,5 mg/dL/Jam

4.

Adanya tanda-tanda penyakit yang mendasari pada setiap bayi (muntah,


letargis, malas menetek, penurunan berat badan yang cepat, apnea, takipnea
atau suhu yang tidak stabil)

5.

Ikterus bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau 14 hari pada bayi
kurang bulan.1, 14

Kern ikterus
Bahaya hiperbilirubinemia adalah kernikterus, yaitu suatu kerusakan otak
akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak terutama pada korpus striatum,
talamus, nukleus subtalamus hipokampus, nukleus merah dan nukleus di dasar
ventrikel IV. Secara klinis pada awalnya tidak jelas, dapat berupa mata berputar,
letargi, kejang, tak mau menghisap, malas minum, tonus otot meningkat, leher
kaku, dan opistotonus. Bila berlanjut dapat terjadi spasme

otot, opistotonus,

kejang, atetosis yang disertai ketegangan otot. Dapat ditemukan ketulian pada
nada tinggi, gangguan bicara dan retardasi mental. 4,8,9

2.4

Etiologi
10

Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat
disebabkan oleh beberapa faktor.
Secara garis besar etiologi ikterus neonatorum dapat dibagi :
1. Produksi yang berlebihan
Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya
pada hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas darah Rh, AB0,
golongan darah lain, defisiensi enzim G-6-PD, piruvat kinase, perdarahan
tertutup dan sepsis.
2. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar
Gangguan ini dapat disebabkan oleh bilirubin, gangguan fungsi hepar,
akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil
transferase (sindrom criggler-Najjar). Penyebab lain yaitu

defisiensi

protein. Protein Y dalam hepar yang berperan penting dalam uptake


bilirubin ke sel hepar.
3.

Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat ke

hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat
misalnya salisilat, sulfafurazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih
banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah
melekat ke sel otak.
4.

Gangguan dalam ekskresi


Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau diluar

hepar. Kelainan diluar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan.


Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh
penyebab lain. (2,4,5,7,8,9)
2.5 Patofisiologi
Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar (85-90%) terjadi
dari penguraian hemoglobin dan sebagian kecil(10-15%) dari senyawa lain
seperti mioglobin. Sel retikuloendotel menyerap kompleks haptoglobin dengan
hemoglobin yang telah dibebaskan dari sel darah merah. Sel-sel ini kemudian
11

mengeluarkan besi dari heme sebagai cadangan untuk sintesis berikutnya dan
memutuskan cincin heme untuk menghasilkan tertapirol bilirubin, yang
disekresikan dalam bentuk yang tidak larut

dalam

air(bilirubin

tak

terkonjugasi, indirek). Karena ketidaklarutan ini, bilirubin dalam plasma


terikat ke albumin untuk diangkut dalam medium air. Sewaktu zat ini
beredar dalam tubuh dan melewati lobulus hati ,hepatosit melepas bilirubin dari
albumin dan menyebabkan larutnya air dengan mengikat bilirubin ke asam
glukoronat(bilirubin terkonjugasi, direk)
Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut
masuk ke sistem empedu untuk diekskresikan. Saat masuk ke dalam usus
,bilirubin diuraikan oleh bakteri kolon menjadi urobilinogen. Urobilinogen dapat
diubah menjadi sterkobilin dan diekskresikan sebagai feses. Sebagian
urobilinogen direabsorsi dari usus melalui jalur enterohepatik, dan darah
porta membawanya kembali ke hati. Urobilinogen daur ulang ini umumnya
diekskresikan ke dalam empedu untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi sebagian
dibawa oleh sirkulasi sistemik ke ginjal, tempat zat ini diekskresikan sebagai
senyawa larut air bersama urin
Pada dewasa normal level serum bilirubin <1mg/dl. Ikterus akan
muncul pada dewasa bila serum bilirubin >2mg/dl dan pada bayi yang baru lahir
akan muncul ikterus bila kadarnya >7mg/dL
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang
melebihi kemampuan hati normal untuk ekskresikannya atau disebabkan oleh
kegagalan hati(karena rusak)

untuk

mengekskresikan

bilirubin

yang

dihasilkan dalam jumlah normal. Tanpa adanya kerusakan hati, obstruksi saluran
ekskresi hati juga akan menyebabkan hiperbilirubinemia. Pada semua keadaan
ini, bilirubin tertimbun di dalam darah dan jika konsentrasinya mencapai nilai
tertentu(sekitar 2- 2,5mg/dl), senyawa ini akan berdifusi ke dalam jaringan
yang kemudian menjadi kuning. Keadaan ini disebut ikterus atau jaundice

2.6 Manifestasi Klinis


12

Bayi baru lahir(neonatus) tampak kuning apabila kadar bilirubin


serumnya kira-kira 6mg/dl. Ikterus sebagai akibat penimbunan bilirubin indirek
pada kulit mempunyai kecenderungan menimbulkan warna kuning muda atau
jingga. Sedangkan ikterus obstruksi (bilirubin direk) memperlihatkan warna
kuning- kehijauan atau kuning kotor. Perbedaan ini hanya dapat ditemukan pada
ikterus yang berat
Gambaran klinis ikterus fisiologis sebagai berikut :
1. Timbul pada hari kedua dan ketiga
2. Bayi tampak sehat (normal).
3. Kadar bilirubin total < 12mg%.
4. Kadar bilirubin direk tidak melebihi 1 mg%.
5. Ikterus menghilang pada 10 hari pertama.
6. Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis
Gambaran klinis Ikterus patologis. 1,14
1. Ikterus terjadi sebelum umur 24 jam
2. Setiap penungkatan kadar bilirubin serum yang memerlukan fototerapi
3. Peningkatan kadar bilirubin total serum > 0,5 mg/dL/Jam
4. Adanya tanda-tanda penyakit yang mendasari pada setiap bayi (muntah,
letargis, malas menetek, penurunan berat badan yang cepat, apnea, takipnea
atau suhu yang tidak stabil)
5. Ikterus bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau 14 hari pada bayi
kurang bulan
2.7 Diagnosis
Berbagai faktor resiko dapat meningkatkan kejadian hiperbilirubinemia yang
berat. Perlu penilaian pada bayi baru lahir terhadap berbagai resiko, terutama
untuk bayi-bayi yang pulang lebi awal. Selain itu juga perlu dilakukan pencatatan
medis bayi dan disosialisasikan pada dokter yang menanganibayi tersebut
selanjutnya

13

Tampilan ikterus dapat ditentukan dengan memeriksa bayi dalam ruangan dengan
pencahayaan bayik, dan menekan kulit dengan tekanan ringan untuk melihat
watna kulit dan jaringan subkutan, ikterus pada kulit bayi tidak terperhatikan pada
kadar bilirubin kurang dari 4 mg/dL1,15
Pemeriksaan fisik harus difokuskan pada identifikasi dari salah satu penyebab
ikterus patologis. Kondisi bayi harus diperiksa pucat, petekie, extravasasi darah,
memar kulit yang berlebihan, hepatosplenomegaly, kehilangan berat badan dan
bukti adanya dehidrasi
Guna mengantisipasi komplikasi yang mungkin timbul, maka diperlu diketahui
daerah

letak

kadar

bilirubin

total.

Beserta

faktor

resiko

terjadinya

hiperbilirubinemia.
Faktor resiko mayor1,15
-

Sebelum pulang, kadar bilirubin serum total atau bilirubin transkutaneus


terletak pada daerah resiko tinggi (gambar 2.1)

Ikterus yang muncul dalam 25jam pertama kehidupan

Inkompatibilitas golongan darah dengantes antiglobuling direk yang


positif atau penyakit hemolitik lainnya (defisiensi G6PD, peningkata
ETCO)

Umur kehamilan 35-36 minggu

Riwayat anak sebelumnya yang mendapat fototerapi

Sefalhematom aau memar yang bermakna

ASI eksklusif dengan cara perawatan tidak bayik dan kehilangan berat
badan berlebihan

Ras Asia Timur

Faktor resiko minor1,15


-

Sebelum pulang, kadar bilirubin serum total atau bilirubin transkutaneus


terletak pada resiko sedang (gambar 2.1)

Umur kehamilan 37-38 minggu

Sebelum pulang bayi tampak kuning

Riwayat anak sebelumnya kunging

Bayi makrosomia dari ibu DM


14

Umur ibu 25 tahun

Laki-laki

Faktor resiko kurang ( faktor resiko ini berhubungan dengan menurunnya resiko
ikterus yang signifikan, besarnya resiko sesuai dengan urutan yang tertulis makin
ke bawah resiko makin rendah)1,15
-

Kadar bilirubin serum total atau bilirubin transkutaneus terletak pada


daerah resiko rendah

Umur kehamilan 41 minggu

Bayi mendapat susu formula penuh

Kulit hitam

Bayi dipulangkan setelah 72 jam.

Derajat ikterus pada neonatus menurut kramer


Zona

Bagian tubuh yang kuning

Rata-rata serum bilirubin

Kepala dan leher

100

Pusat-leher

150

Pusat-paha

200

Lengan+Tungkai

250

Tangan+Kaki

>250

indirek

Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti penting pula dalam diagnosis dan
penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya ikterus mempunyai kaitan
erat dengan kemungkinan penyebab ikterus tersebut
2.8 pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan serum bilirubin(direk dan indirek) harus dilakukan pada
neonatus yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau
bayi- bayi yang tergolong resiko tingggi terserang hiperbilirubinemia berat.

15

Pemeriksaan

tambahan

yang

sering

dilakukan

untuk

evaluasi

menentukan penyebab ikterus antara lain adalah golongan darah dan Coombs
test, darah lengkap dan

hapusan

darah,

hitung

retikulosit,

skrining

G6PD dan bilirubin direk. Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang
setiap 4-24 jam tergantung usia bayi dan tingginya kadar bilirubin. Kadar serum
albumin juga harus diukur untuk menentukan pilihan terapi sinar atau transfusi
tukar
2. 9 Penatalaksanaan
Berbagai cara telah digunakan untuk mengelola bayi baru lahir dengan
hiperbilirubinemia indirek. Strategi tersebut termasuk : pencegahan, penggunaan
farmakologi, fototerapi dan transfusi tukar.1,15
Pencegahan 1,15
American Academy of pediatrics

tahun 2004 mengeleuarkan strategi

praktis dalam pencegahan da penanganan hiperbilirubinemia bayi baru lahir (<35


minggu atau lebih) dengan tujuan untuk menurunkan insidensi dari neonatal
hiperiblirubinemia erat dan esefalopati bilirubin serta meminimalkan resiko yang
tidak menguntungkan seperti kecemasan ibu, berkurangnya breast feeding atau
terapi yang tidak diperlukan. Pencegahan dititik beratkan pada pemberian minum
sesegera mungkin, sering menyusui untuk menurunkan shunt enterohepatik,
menunjang kestabilan bakteri flora normal, dan merangsang aktifitas usus
halus.1,15
1.

Pencegahan primer
a. Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8-12 kali perhari
untuk beberapa hari pertama
b. Tidak memberikan cairan tambahan turin seperti dekstrose atau air pada
bayi yang mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi

2. Pencegahan Sekunder
Harus melakukan penilaian sistematis terhadap risiko kemungkinan terjadinya
hiperbilirubinemia berat. Selama periode neonatal
a. Semua wanita hamil harus diperiksa golongan darah ABO dan rhesus
serta penyaringan serum untuk antibodi isoimun yang tidak biasa
16

i.

Bila golongan darah ibu tidak diketahui atau Rh negative dilakukan


pemeriksaan antibody direk ( tes coombs), golongan darah dan tipe Rh
(D) darah tali pusat bayi.

ii.

Bila golongan darah ibu O, Rh positifm terdapat pilihan

untuk

dilakukan tes golongan darah dan tes coombs pada darah tali pusat
bayi tetapi hal itu tidak diperlukan jika dilakukan pengawasan,
penilaian terhadap resiko sebelum keluar rumah sakit (RS) dan tindak
lanjut memadai.
b. Harus memastikan bawha semua bayi secara rutin dimonitor terhadap
timbulnya ikterus dan menetapkan protocol terhadap penilaian ikterus
yang harus dinilai saat memeriksa tanda vital bayi, tetapi tidak kurang
dari setiap 8-12 menit
i.

Protocol untuk penilaian ikterus harus melibatkan seluruh staf


perawatan yang dituntut untuk dapat memeriksa tingkat bilirubin
secara transkutaneus atau memeriksakan ilirubin serum total

3. Evaluasi laboratorium
a. Pengukuran bilirubin transkutaneus dan atau bilirubin serum total
haruss dilakukan pada setiap bayi mengalami ikterus dalam 24 jam
pertama setelah lahir. Penentuan waktu dan perlunya pengukuran ulang
bilirubin transkutaneus atau bilirubin serum total tergantung pada
daerah dimana kadar bilirubin serum total terletak. Umur bayi, dan
evolusi hiperbilirubinemia
b. Pengukuran bilirubin transkutaneus dan atau bilirubin total harus
dilakukan bila tampak ikterus yang berlebihan. Jika derajat ikterus
meragukan permeriksaan bilirubin transkutaneus atau bilirubin serum
harus dilakukan, terutama pada klit hitam, oleh karena pemeriksaan
derajat ikterus secara visual seringkali salah
c. Semua kadar bilirubin harus diinterpretasikan sesuai dengan umur bayi
dalam jam

17

4. Penyebab kuning
Memikirkan kemungkinan penyebab ikterus pada bayi yang menerima
fototerapi atau bilirubin serum total meningkat cepat dan tidak dapat
dijelaskan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis
a. Bayi yang mengalami peningkatan biliruibin direk atau konjugasi harus
dilakukan analisis dan kulur urin, pemeriksaan laboratorium tambahan
untuk mengevaluasi sepsis harus dilakukan bila terdapat indikasi
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan dfisis
b. Bayi sakit dan ikterus pada atau umur lebih 3 minggu harus dilakukan
pemeriksaan bilirubin total dan direk atau bilirubin konjugasi untuk
mengidentifikasi adanya kolestasis. Juga dilakukan penyaringan
terhadap tiroid dan galaktosemia
c. Bila kadar bilirubin direk atau bilirubin konjugasi menginkat, dilakukan
evaluasi tambahan untuk mencari penyebab kolestasis
d. Pemeriksaan terhadap kadar glucose 6 phospatease dihhydorgenase
(G6PD) direkomendasikan untuk bayi ikterus yang mendapat fototerapi
dan dengan riwayat keluarga atau entis/asal geografis yang menunjukan
kecenderungan defisiensi G6PD atau pada bayi dengan respon terhadap
foto terapi yang buruk
5. Penilaian resiko seblum bayi dipulangkan
Sebelum dipulangkan dari rumah sakit , bayi harus dinilai terhadap
resiko berkembangnya hiperbilirubinemia berat dan semua perawatan
harus menetapkan protocol untuk menilai resiko ini. Penilaian ini
sangat penting pada bayi yang pulang sebelum umur 72 jam
Ada dua pilihan rekomendasi yaitu
a. Pengukuran kadar bilirubin transkutaneus atau kadar bilirubin total
sebelu keluar RS, secara individual atau kombinasi untuk pengukuran
yang sistematis terhadap isiko
b. Penilaian foktor resiko klinis

18

6. Kebijakan dan prosedur rumah sakit


Harus memberikan informasi tertulis dan lisan kepada orangtua saat
keluar dari RS, termasuk penjelasan tentang kuning, perlunya
monitoring terhadap kuning dan anjuran bagaimana monitoring harus
dilakukan.
a. Semua bayi harus diperiksa oleh petugas kesehatan professional yang
berkualitas beberapa hari setelah keluar dari RS untuk menilai keadaan
bayi da nada tidaknya kuning. Waktu dan tempat untuk melakukan
penilaian ditentukan berdasarkan lamanya perawatan, ada atau tidaknya
faktor risiko untuk hiperbilirubinemia dan risiko masalah neonatal
lainnya
b. Berdasarkan table dibawah
Bayi keluar RS
Harus dihlihat saat umur
Sebelum umur 24 jam
72 jam
Antara umur 24 dan 47,9 jam
96 jam
Antara umur 48 dan 72 jam
120 jam
Untuk beberapa bayi yang dipulangkan sebelum 48 jam diperlukan 2
kunjungan tindak lanjut yaitu kunjungan pertama antara 24 72 jam
dan kedua antara 72 120 jam. Penilaian klinik harus digunakan dalam
menentukan tindak lanjut pada bayi yang mempunyai fakor resiko kecil
atau tidak berisiko. Waktu pemeriksaan kembali dapat leibh lama
c. Menunda pulang dari rumah sakit, bila tindak lanjut yang memadai
tidak dapat dilakukan terhadap adanya peningkatan resiko timbulnya
hiperbilirubinemia berat, mungkin diperlukan penundaan kepulangan
dari RS sampai tindak lanjut yang memadai dapat dipastikan periode
resiko terbesar telah terlewati (72-96 jam )
d. Penilaian tindak lanjut. Harus termasuk berat badan bayi dan perubahan
presentase berat lahir, asupan yang adekuat, pola buang air besar dan
buang air kecil serata ada tidaknya kunign. Penilaian klinis harus
digunakan untuk menentukan perlunya dilakukan pemeriskaan bilirubin
jika penilaian visual meragukan kadar bilirubin transkutaneus dan

19

bilirubin total serum harus diepriksa. Perkiraan kadar bilirubin secara


visual dapat keliru terutama pada bayi dengan kulit hitam.
Penggunaan farmakoterapi
Farmako terapi telah digunakan untuk mengelola hiperbilirubinemia
dengan merangsang induki enzim-enzim hati dan protein pembawa, guna
mempengaruhi penghancuran heme, atau untuk mengikat bilirubin dalam usus
halus sehingga reabsonsi enterohepatik menurun, antara lain
1.

Immunoglobulin intravena telah digunakan pada bayi-bayi dengan Rh


yang berat dan inkompatibilitsas ABO unutk menerkan hemolysis isoimun
dan menurunkan tindakan transfusi ganti

2.

Fenobarbital telah memperlihatkan hasil efektif merangsang aktivitas dan


konsentrasi UDPGP dan ligandin serta dapat meningktakkan jumlah
tempat ikatan bilirubin

3.

Pencegahan

hiperbilirubinemia

dengan

menggunakan

metaloprotoporphurin juga telah di teliti. Zat ini adalah analog sintesis


heme. Protoporphyrin telah terbukti efektif sebagai inhibitor kompetitif
dari heme oksiegenase, enzim ini diperlukan untuk katabolisme heme
menjadi biliverdin. Dengan zat-zat ini heme dicegah dari kaabolisme dan
dieksresikan secara utuh dalam empedu1,6
4.

Pada penelitian terhadap bayi kurang dan cukup bulan, bayi dengan atau
tanpa penyakit hemolitik, tin-protoportyrin (Sn-PP) dan in mesoprophyrin
(Sn-MP) dapat menurunkan kadar bilirubin serum. Penggunaan fototerapi
setelah pemberian Sn-PP berhubingan dengan timbulnya eritema foo
toksik. Sn-MP kurang bersifat toksik, khususnya jika digunakan besamaan
dengan foto terapi

5.

Baru ini dilaporkan bahwa pemberian inhibitor glukoronidase pada bayi


sehat cukup bulan yang mendapat ASI, seperti L-aspartik dan kasein
hoidrolisat dalam jumlah kecil (5ml/dosis 6 kali/hari) dapat
meningkatkan pengeluaran bilirubin fese dan
dibandingkan dengan bayi kontrol.

ikterus menjadi kurang

1,6,16

20

Foto terapi dan transfusi tukar.1,15


Lakukan foto terapi intensi dan aatau transfusi tukar sesuai indikasi (lihat
gambar 2.1)
1. Lakukan pemeriksaan laboratorium

Bilirubin total dan direk

Golongan darah (ABO,Rh)

Tes antibody direk (Coombs)

Serum albumin

Pemeriksaan darah tepi lengkap dengan hitung jenis dan morfologi

Jumlah retikulosit

ETCO (bila tersedia)

G6PD ( bila terdapat kecurigaan atau respon foto terapi kurang)

Urinalisis

Bila anamnesis dan atau tampilan klinis mennunjukan kemungkinan


sepsis lakukan pemeriksaan kultur darah, urin, dan likuor untuk protein,
glukosa, hitung sel dan kultur

2. Tindakan
Bila bilirubin total 25 mg atau 20 mg pada bayi sakit atau bayi < 38
minggu, lakukan pemeriksaan golongan darah dan cross match pada pasien
yang akan direncanakan transfusi ganti
Pada bayi dengan autoimun hemolitik dan kadar bilirubin total meningkat
walau telah dilakukan foto terapi intesif atau dalam 23mg/dL kadar
transfusi ganti, berikan imuoglobulin intravena 0,5-1 g/Kg selam 2 jam
dan boleh diulang bila perlu 12 jam kemudian
Pada bayi menglami penurunan berat badan lebih dari 12% atau secara
klinis atau bukti secara biokimia menunjukan tanda dehidrasi, dianjurkan
pemberian susu formula atau ASI tambahan. Bila pemberian peroral sulit
dapat diberikan intravena

21

3. Pada bayi mendapat foto terapi intensif

Pemberian munim dilakukan setiap 2-3 jam

Bila bilirubin total 25mg/dL, pemeriksaan ulangan dilakukan dalam 2-3


jam

Bila bilirubin total 20-25 mg/dL , pemeriksaan dilakukan dalam 3-4 jam
bila < 20 mg/dl dulang dalam 4-6 jam. Jika bilirubin total terus turun
periksa ulan dalam 8- 12 jam

Bila kadar bilirubin tidak turin atau malah mendekati kadar transfusi tukar
aau perbandinan bilirubin total dengan albumin meningkat mendekati
angka untuk transfusi tukar maka lakukan transfusi ganti

Bila kadar bilirubin total kurang dari 13 -14 mg/dl foto terapi dihentikan

Tergantungkepada penyebab hiperbilirubinemia, periksa bilirubin ulangan


boleh dilakukan setelah 24 jam setelah bayi pulang untuk melihat
kemungkinan terjadinya rebound

Foto terapi

22

Gambar 2.3 panduan foto terapi pada bayi usia kehamilan 35 minggu

Sebagai patokan gunakan kadar bilirubin total

Faktor resiko : isoimune hemolytic disease, defisiensi G6PD asfiksia


letargis , suhu tubuh yang tidak stabiil, sepsis , asidosis atau kadar albmin
< 3 g/dl

Pada bayi dengan usia kehamilan 35-37 minggu diperbolehkan unuk


melakukan fototerapi pada kadar bilirubin total sekitar medium risk line.
Untuk bayi yang mendekati usia 35 minggu dan dengan kadar bilirubin
total serum yang lebih tinggi untuk bayi yang berusia mendekati 37 6/7
minggu.

Diperbolehkan melakukan foto terapi dirumah sakit atau dirumah pada


kadar bilirubin total 2-3 mg/dl di garis yang ditunjukan , namun pada bayi
yang memiliki faktor risiko foto terapi sebayiknya tidak dilakukan
dirumah.1,15

Transfusi tukar

23

Gambar 2.4. Panduan transfusi tukar

Garis putus-putus pada 24 jam pertama menunjukan keadaan tanpa


patokan pasti karena terdapat pertimbangan klinis yang luas dan
tergantung respon terhadap foto terapi

Direkomendasikan transfusi tukar segera bila bayi menunjukan gejala


ensefalopati akut atau bila kadar bilirubin total 5 mg/dl

Fakor risiko : penyakit hemolitik autoimun, defisiensi g6PD asfiksia,


letarfis suhu tidak stabil, sepsis, asidosis

Periksa kadar albumin dan hitung rasio bilirubin total/albumin

Sebagai patokan adalah bilirubin total

Pada bayi sehat dan usia kehamilan 35-37 minggu transfusi tukar dapat
dilakukan bersifat individual berdasarkan kadar bilirubin total sesuai
usianya1,15

Komplikasi transfusi tukar 1,14


1. Hipokalsemia dan hipomagnesia
2. Hipoglikemia
3. Gangguan keseimbangan asambasa
4. Hyperkalemia
5. Gangguan kardiovaskular
6. Perdarahan
7. Infeksi
8. Hemolysis

24

9. Graft versus host disease


10. Lain-lain : hipotermia, hipertermia dan kemungkinan terjadinya enterokolitis
nekrotikans.
2.10 komplikasi
Terjadi kern ikterus yaitu kerusakan otak akibat perlengketan
bilirubin indirek pada otak. Pada kern ikterus, gejala klinis pada permulaan
tidak jelas antara lain: bayi tidak mau menghisap, letargi, mata berputarputar, gerakan tidak menentu kejang tonus otot meninggi, leher kaku dan
akhirnya opistotonus. Bayi yang selamat biasanya menderita gejala sisa
berupa paralysis serebral dengan atetosis, gangguan pendengaran, paralysis
sebagian otot mata dan dysplasia dentalis.

25

BAB III
KESIMPULAN

Hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum


yang menjurus ke arah terjadinya kern ikterus atau ensefalopati bilirubin
bila kadar bilirubin tidak dikendalikan. Bila ikterus terlihat pada hari ke 2-3
dengan kadar bilirubin indirek 5-6 mg/dl dan untuk selanjutnya menurun hari ke
5-7 kehidupan maka disebut ikterus fisiologis sedangkan ikterus patologis yaitu
bila bilirubin serum meningkat dengan kecepatan lebih besar dari 5 mg/dl / 24 jam
pertama kehidupan yang selanjutnya dapat terjadi kernikterus bila tidak
didiagnosa dan ditangani secara dini.
Pengobatan yang diberikan pada ikterus bertujuan untuk mencegah agar
konsentrasi bilirubin indirek dalam darah tidak mencapai kadar yang
menimbulkan neurotoksitas, pengobatan yang sering diberikan adalah fototerapi
dan transfusi tukar. Prognosis ikterus tergantung diagnosa secara dini dan
penatalaksanan yang cepat dan tepat.

26

DAFTAR PUSTAKA

1. Soleh K, Ari Yunanto Rizalya D, Sarosa GI, Usman A. Buku Ajar


Neonatologi. Hiperebilirubinemia Edisi pertama. IDAI. 2012. Hal .147-69
2. Rusepno Hassan, Husein Alatas (ed), Hepatologi Anak dalam Buku Kuliah
Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Buku 2, edisi 7, Bab 20, Infomedia, Jakarta,
1997, hal : 519-522.
3. Shopin Steven M Kern Ikterus; Newborn Jaundice on line, Verginia
Commonhealth Univercity, http.//www.mcvfoundation.org.
4. Prawirohartono EP, Sunarto (ed), Ikterus dalam Pedoman Tata Laksana Medik
Anak RSUP. Dr. Sardjito, Edisi 2, Cetakan 2, Medika FK UGM, Yogyakarta
2000, hal 37-43.
5. Poland R, dan Ostrea E.M.; Hiperbilirubinemia pada Neonatus dalam Klaus
M.H, Fanaroff A.A (ed); Penatalaksanaan Neonatus Resiko Tinggi, Edisi 4,
EGC, Jakarta, 1998, hal 367-389
6. Wong Rj, Stevenson DK, ahlfolrs CE,reman HJ, Neonatal Jaundice: Bilirubin
Physiology and clinical Chemistry. NeoRiiews 2007; 8: 58-67
7. Asil Aminullah; Ikterus dan Hiperbilirubinemia pada Neonatus dalam
A.H. Markum (ed), Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Jilid I, edisi 6, Balai
Penerbit FKUI, Jakarta, 1999, hal : 313-317.
8. Rusepno Hassan, Husein Alatas (ed), Perinatologi dalam Buku Kuliah Ilmu
Kesehatan Anak FKUI, Buku 3, edisi 7, Bab 32, Infomedia, Jakarta, 1997, hal
: 1101-1115.
9. Behrman R.E.; Kliegman R.M., Nelson W.E., Vaughan V.C. (ed); Ikterus
Neonatorum in Nelson Textbooks of Pediatrics, XIVrd Edition; W.B. Saunders
Company, Philadelphia, Pennsylvania 19106, 1992; pages 641-647.
10. Wong RJ, Bhutani VK,Vreman HJ, Stevensons DK. Tin mesoporphyrin for the
prevention of severe neonatal hyperbilirubinemia. Pharmacology review. Neo
reviews 2007; 3: 77-84

27

11. Mac Mahon JR. Stevensons DK, Oski FA. Nilirubin metabolism dalam :
teausch HW, Ballard RA, Editors. Averys disease of the newborn. Edisi ke 7
philadelphia: WB Saunders Company, 1998: h, 765-819
12. Maisels MJ. Jaundice dalam: Avery GB, Fleccher MA, Mac Donald MG,
Penyuting. Neonatology , pathophysiology and Management of the Newborn.
Edisi ke 5. Baltimore: lippincot William and Wilkins, 1999 h 765-819
13. Halamek LP, Stevenson DK. Neonatal Jaundice and liver disease. Dalam :
Fanaroff AA, Martin RJ. Penyunting. Neonatal perinatal medicine. Disease of
the fetus and infant. Edisi ke 7 St louis: Mosby inc 2002. H 1309-50
14. Martin CR, Cloherty Jp. Neonatal Hyperbilirubinemia. Dalam : Chloherty JP,
Eichenwaald EC, Stark AR, penyunting. Manual of neonatal Care. Edisi ke 5.
Philadelphia : Lippincott Williams and Wilkins. 2004 h. 185-221
15. American Academy of Pediatrics. Subcommitee on Hyperbilirubinemia.
Management of Hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks
of gestation .clinical Practice guidelines. Pediatrics 2004; 114: 297-316

28

Anda mungkin juga menyukai