Anda di halaman 1dari 9

Keluarga Barokah..

Semoga Allah memberkahimu, dan menetapkan keberkahan atasmu, dan mengumpulkan


kalian berdua dalam kebaikan. Doa ini sarat dengan makna yang mendalam, bahwa
pernikahan seharusnya akan mendatangkan banyak keberkahan bagi pelakunya. Namun
kenyataannya, kita mendapati banyak fenomena yang menunjukkan tidak adanya keberkahan
hidup berumah tangga setelah pernikahan, baik di kalangan masyarakat umum maupun di
kalangan keluarga duat (kader dakwah). Wujud ketidakberkahan dalam pernikahan itu bisa
dilihat dari berbagai segi, baik yang bersifat materil ataupun non materil.
Munculnya berbagai konflik dalam keluarga tidak jarang berawal dari permasalahan
ekonomi. Boleh jadi ekonomi keluarga yang selalu dirasakan kurang kemudian menyebabkan
menurunnya semangat beramal/beribadah. Sebaliknya mungkin juga secara materi
sesungguhnya sangat mencukupi, akan tetapi melimpahnya harta dan kemewahan tidak
membawa kebahagiaan dalam pernikahannya.
Seringkali kita juga menemui kenyataan bahwa seseorang tidak pernah berkembang
kapasitasnya walau pun sudah menikah. Padahal seharusnya orang yang sudah menikah
kepribadiannya makin sempurna; dari sisi wawasan dan pemahaman makin luas dan
mendalam, dari segi fisik makin sehat dan kuat, secara emosi makin matang dan dewasa,
trampil dalam berusaha, bersungguh-sungguh dalam bekerja, dan teratur dalam aktifitas
kehidupannya sehingga dirasakan manfaat keberadaannya bagi keluarga dan masyarakat di
sekitarnya.
Realitas lain juga menunjukkan adanya ketidakharmonisan dalam kehidupan keluarga, sering
muncul konflik suami isteri yang berujung dengan perceraian. Juga muncul anak-anak yang
terlantar (broken home) tanpa arahan sehingga terperangkap dalam pergaulan bebas dan
narkoba. Semua itu menunjukkan tidak adanya keberkahan dalam kehidupan berumah
tangga.
Memperhatikan fenomena kegagalan dalam menempuh kehidupan rumah tangga
sebagaimana tersebut di atas, sepatutnya kita melakukan introspeksi (muhasabah) terhadap
diri kita, apakah kita masih konsisten (istiqomah) dalam memegang teguh rambu-rambu
berikut agar tetap mendapatkan keberkahan dalam meniti hidup berumah tangga ?
1. Meluruskan niat/motivasi (Ishlahun Niyat)
Motivasi menikah bukanlah semata untuk memuaskan kebutuhan biologis/fisik. Menikah
merupakan salah satu tanda kebesaran Allah SWT sebagaimana diungkap dalam Alquran
(QS. Ar Rum:21), sehingga bernilai sakral dan signifikan. Menikah juga merupakan perintah-

Nya (QS. An-Nur:32) yang berarti suatu aktifitas yang bernilai ibadah dan merupakan
Sunnah Rasul dalam kehidupan sebagaimana ditegaskan dalam salah satu hadits :
Barangsiapa yang dimudahkan baginya untuk menikah, lalu ia tidak menikah maka tidaklah
ia termasuk golonganku (HR.At-Thabrani dan Al-Baihaqi). Oleh karena nikah merupakan
sunnah Rasul, maka selayaknya proses menuju pernikahan, tata cara (prosesi) pernikahan dan
bahkan kehidupan pasca pernikahan harus mencontoh Rasul. Misalnya saat hendak
menentukan pasangan hidup hendaknya lebih mengutamakan kriteria ad Dien (agama/akhlaq)
sebelum hal-hal lainnya (kecantikan/ketampanan, keturunan, dan harta); dalam prosesi
pernikahan (walimatul urusy) hendaknya juga dihindari hal-hal yang berlebihan (mubadzir),
tradisi yang menyimpang (khurafat) dan kondisi bercampur baur (ikhtilath). Kemudian dalam
kehidupan berumah tangga pasca pernikahan hendaknya berupaya membiasakan diri dengan
adab dan akhlaq seperti yang dicontohkan Rasulullah saw.
Menikah merupakan upaya menjaga kehormatan dan kesucian diri, artinya seorang yang telah
menikah semestinya lebih terjaga dari perangkap zina dan mampu mengendalikan
syahwatnya. Allah SWT akan memberikan pertolong-an kepada mereka yang mengambil
langkah ini; Tiga golongan yang wajib Aku (Allah) menolongnya, salah satunya adalah
orang yang menikah karena ingin menjaga kesucian dirinya. (HR. Tarmidzi)
Menikah juga merupakan tangga kedua setelah pembentukan pribadi muslim (syahsiyah
islamiyah) dalam tahapan amal dakwah, artinya menjadikan keluarga sebagai ladang beramal
dalam rangka membentuk keluarga muslim teladan (usrah islami) yang diwarnai akhlak Islam
dalam segala aktifitas dan interaksi seluruh anggota keluarga, sehingga mampu menjadi
rahmatan lil alamin bagi masyarakat sekitarnya. Dengan adanya keluarga-keluarga muslim
pembawa rahmat diharapkan dapat terwujud komunitas dan lingkungan masyarakat yang
sejahtera.
2. Sikap saling terbuka (Mushorohah)
Secara fisik suami isteri telah dihalalkan oleh Allah SWT untuk saling terbuka saat jima
(bersenggama), padahal sebelum menikah hal itu adalah sesuatu yang diharamkan. Maka
hakikatnya keterbukaan itu pun harus diwujudkan dalam interaksi kejiwaan (syuur),
pemikiran (fikrah), dan sikap (mauqif) serta tingkah laku (suluk), sehingga masing-masing
dapat secara utuh mengenal hakikat kepribadian suami/isteri-nya dan dapat memupuk sikap
saling percaya (tsiqoh) di antara keduanya.
Hal itu dapat dicapai bila suami/isteri saling terbuka dalam segala hal menyangkut perasaan
dan keinginan, ide dan pendapat, serta sifat dan kepribadian. Jangan sampai terjadi seorang
suami/isteri memendam perasaan tidak enak kepada pasangannya karena prasangka buruk,

atau karena kelemahan/kesalahan yang ada pada suami/isteri. Jika hal yang demikian terjadi
hal yang demikian, hendaknya suami/isteri segera introspeksi (bermuhasabah) dan
mengklarifikasi penyebab masalah atas dasar cinta dan kasih sayang, selanjutnya mencari
solusi bersama untuk penyelesaiannya. Namun apabila perasaan tidak enak itu dibiarkan
maka dapat menyebabkan interaksi suami/isteri menjadi tidak sehat dan potensial menjadi
sumber konflik berkepanjangan.
3. Sikap toleran (Tasamuh)
Dua insan yang berbeda latar belakang sosial, budaya, pendidikan, dan pengalaman hidup
bersatu dalam pernikahan, tentunya akan menimbulkan terjadinya perbedaan-perbedaan
dalam cara berfikir, memandang suatu permasalahan, cara bersikap/bertindak, juga selera
(makanan, pakaian, dsb). Potensi perbedaan tersebut apabila tidak disikapi dengan sikap
toleran (tasamuh) dapat menjadi sumber konflik/perdebatan. Oleh karena itu masing-masing
suami/isteri harus mengenali dan menyadari kelemahan dan kelebihan pasangannya,
kemudian berusaha untuk memperbaiki kelemahan yang ada dan memupuk kelebihannya.
Layaknya sebagai pakaian (seperti yang Allah sebutkan dalam QS. Albaqarah:187), maka
suami/isteri harus mampu mem-percantik penampilan, artinya berusaha memupuk kebaikan
yang ada (capacity building); dan menutup aurat artinya berupaya meminimalisir
kelemahan/kekurangan yang ada.
Prinsip hunna libasullakum wa antum libasullahun (QS. 2:187) antara suami dan isteri harus
selalu dipegang, karena pada hakikatnya suami/isteri telah menjadi satu kesatuan yang tidak
boleh dipandang secara terpisah. Kebaikan apapun yang ada pada suami merupakan kebaikan
bagi isteri, begitu sebaliknya; dan kekurangan/ kelemahan apapun yang ada pada suami
merupakan kekurangan/kelemahan bagi isteri, begitu sebaliknya; sehingga muncul rasa
tanggung jawab bersama untuk memupuk kebaikan yang ada dan memperbaiki kelemahan
yang ada.
Sikap toleran juga menuntut adanya sikap memaafkan, yang meliputi 3 (tiga) tingkatan,
yaitu: (1) Al Afwu yaitu memaafkan orang jika memang diminta, (2) As-Shofhu yaitu
memaafkan orang lain walaupun tidak diminta, dan (3) Al-Maghfirah yaitu memintakan
ampun pada Allah untuk orang lain. Dalam kehidupan rumah tangga, seringkali sikap ini
belum menjadi kebiasaan yang melekat, sehingga kesalahan-kesalahan kecil dari pasangan
suami/isteri kadangkala menjadi awal konflik yang berlarut-larut. Tentu saja memaafkan
bukan berarti membiarkan kesalahan terus terjadi, tetapi memaafkan berarti berusaha
untuk memberikan perbaikan dan peningkatan.
4. Komunikasi (Musyawarah)

Tersumbatnya saluran komunikasi suami-isteri atau orang tua-anak dalam kehidupan rumah
tangga akan menjadi awal kehidupan rumah tangga yang tidak harmonis. Komunikasi sangat
penting, disamping akan meningkatkan jalinan cinta kasih juga menghindari terjadinya
kesalahfahaman.
Kesibukan masing-masing jangan sampai membuat komunikasi suami-isteri atau orang tuaanak menjadi terputus. Banyak saat/kesempatan yang bisa dimanfaatkan, sehingga waktu
pertemuan yang sedikit bisa memberikan kesan yang baik dan mendalam yaitu dengan cara
memberikan perhatian (empati), kesediaan untuk mendengar, dan memberikan respon berupa
jawaban atau alternatif solusi. Misalnya saat bersama setelah menunaikan shalat berjamaah,
saat bersama belajar, saat bersama makan malam, saat bersama liburan (rihlah), dan saat-saat
lain dalam interaksi keseharian, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan
memanfaatkan sarana telekomunikasi berupa surat, telephone, email, dsb.
Alquran dengan indah menggambarkan bagaimana proses komunikasi itu berlangsung dalam
keluarga Ibrahim As sebagaimana dikisahkan dalam QS.As-Shaaffaat:102, yaitu : Maka
tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim
berkata; Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu.
Maka fikirkanlah apa pendapatmu, Ia menjawab; Hai Bapakku, kerjakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang
sabar.
Ibrah yang dapat diambil dalam kisah tersebut adalah adanya komunikasi yang timbal balik
antara orang tua-anak, Ibrahim mengutarakan dengan bahasa dialog yaitu meminta pendapat
pada Ismail bukan menetapkan keputusan, adanya keyakinan kuat atas kekuasaan Allah,
adanya sikap tunduk/patuh atas perintah Allah, dan adanya sikap pasrah dan tawakkal kepada
Allah; sehingga perintah yang berat dan tidak logis tersebut dapat terlaksana dengan
kehendak Allah yang menggantikan Ismail dengan seekor kibas yang sehat dan besar.
5. Sabar dan Syukur
Allah SWT mengingatkan kita dalam Alquran surat At Taghabun ayat 14: Hai orang-orang
yang beriman, sesungguhnya diantara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi
musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka. Dan jika kamu memaafkan dan
tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.
Peringatan Allah tersebut nyata dalam kehidupan rumah tangga dimana sikap dan tindak
tanduk suami/istri dan anak-anak kadangkala menunjukkan sikap seperti seorang musuh,
misalnya dalam bentuk menghalangi-halangi langkah dakwah walaupun tidak secara

langsung, tuntutan uang belanja yang nilainya di luar kemampuan, menuntut perhatian dan
waktu yang lebih, prasangka buruk terhadap suami/isteri, tidak merasa puas dengan
pelayanan/nafkah yang diberikan isteri/suami, anak-anak yang aktif dan senang membuat
keributan, permintaan anak yang berlebihan, pendidikan dan pergaulan anak, dan sebagainya.
Jika hal-hal tersebut tidak dihadapi dengan kesabaran dan keteguhan hati, bukan tidak
mungkin akan membawa pada jurang kehancuran rumah tangga.
Dengan kesadaran awal bahwa isteri dan anak-anak dapat berpeluang menjadi musuh, maka
sepatutnya kita berbekal diri dengan kesabaran. Merupakan bagian dari kesabaran adalah
keridhaan kita menerima kelemahan/kekurangan pasangan suami/isteri yang memang diluar
kesang-gupannya. Penerimaan terhadap suami/isteri harus penuh sebagai satu paket, dia
dengan segala hal yang melekat pada dirinya, adalah dia yang harus kita terima secara utuh,
begitupun penerimaan kita kepada anak-anak dengan segala potensi dan kecenderungannya.
Ibaratnya kesabaran dalam kehidupan rumah tangga merupakan hal yang fundamental (asasi)
untuk mencapai keberkahan, sebagaimana ungkapan bijak berikut:Pernikahan adalah
Fakultas Kesabaran dari Universitas Kehidupan. Mereka yang lulus dari Fakultas Kesabaran
akan meraih banyak keberkahan.
Syukur juga merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dalam kehidupan berumah tangga.
Rasulullah mensinyalir bahwa banyak di antara penghuni neraka adalah kaum wanita,
disebabkan mereka tidak bersyukur kepada suaminya.
Mensyukuri rezeki yang diberikan Allah lewat jerih payah suami seberapapun besarnya dan
bersyukur atas keadaan suami tanpa perlu membanding-bandingkan dengan suami orang lain,
adalah modal mahal dalam meraih keberkahan; begitupun syukur terhadap keberadaan anakanak dengan segala potensi dan kecenderungannya, adalah modal masa depan yang harus
dipersiapkan.
Dalam keluarga harus dihidupkan semangat memberi kebaikan, bukan semangat
menuntut kebaikan, sehingga akan terjadi surplus kebaikan. Inilah wujud tambahnya
kenikmatan dari Allah, sebagaimana firmannya: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti
Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka
sesungguhnya azab-Ku sangat pedih (QS. Ibrahim:7).
Mensyukuri kehadiran keturunan sebagai karunia Allah, harus diwujudkan dalam bentuk
mendidik mereka dengan pendidikan Rabbani sehingga menjadi keturunan yang
menyejukkan hati. Keturunan yang mampu mengemban misi risalah dien ini untuk masa
mendatang, maka jangan pernah bosan untuk selalu memanjatkan doa:

Ya Rabb kami karuniakanlah kami isteri dan keturunan yang sedap dipandang mata,
dan jadikanlah kami pemimpin orang yang bertaqwa.
Ya Rabb kami karuniakanlah kami anak-anak yang sholeh.
Ya Rabb kami karuniakanlah kami dari sisi Engkau keturunan yang baik.
Ya Rabb kami karuniakanlah kami dari sisi Engkau keturunan yang Engkau Ridha-i.
Ya Rabb kami jadikanlah kami dan keturunan kami orang yang mendirikan shalat.
Doa diatas adalah ungkapan harapan para Nabi dan Rasul tentang sifat-sifat (muwashshofat)
ketuturunan (dzurriyaat) yang diinginkan, sebagaimana diabadikan Allah dalam Alquran
(QS. Al-Furqon:74; QS. Ash-Shaafaat:100 ; QS.Al-Imran:38; QS. Maryam: 5-6; dan QS.
Ibrahim:40). Pada intinya keturun-an yang diharapkan adalah keturunan yang sedap
dipandang mata (Qurrota ayun), yaitu keturunan yang memiliki sifat penciptaan jasad yang
sempurna (thoyyiba), ruhaniyah yang baik (sholih), diridhai Allah karena misi risalah dien
yang diperjuangkannya (wali radhi), dan senantiasa dekat dan bersama Allah (muqiimashsholat).
Demikianlah hendaknya harapan kita terhadap anak, agar mereka memiliki muwashofaat
tersebut, disamping upaya (ikhtiar) kita memilihkan guru/sekolah yang baik, lingkungan yang
sehat, makanan yang halal dan baik (thoyyib), fasilitas yang memadai, keteladanan dalam
keseharian, dsb; hendaknya kita selalu memanjatkan doa tersebut.
6. Sikap yang santun dan bijak (Muasyarah bil Maruf)
Merawat cinta kasih dalam keluarga ibaratnya seperti merawat tanaman, maka pernikahan
dan cinta kasih harus juga dirawat agar tumbuh subur dan indah, diantaranya dengan
muasyarah bil maruf. Rasulullah saw menyatakan bahwa : Sebaik-baik orang diantara
kamu adalah orang yang paling baik terhadap isterinya, dan aku (Rasulullah) adalah orang
yang paling baik terhadap isteriku. (HR.Thabrani & Tirmidzi)
Sikap yang santun dan bijak dari seluruh anggota keluarga dalam interaksi kehidupan
berumah tangga akan menciptakan suasana yang nyaman dan indah. Suasana yang demikian
sangat penting untuk perkembangan kejiwaan (maknawiyah) anak-anak dan pengkondisian
suasana untuk betah tinggal di rumah.
Ungkapan yang menyatakan Baiti Jannati (Rumahku Syurgaku) bukan semata dapat
diwujudkan dengan lengkapnya fasilitas dan luasnya rumah tinggal, akan tetapi lebih
disebabkan oleh suasana interaktif antara suami-isteri dan orang tua-anak yang penuh santun
dan bijaksana, sehingga tercipta kondisi yang penuh keakraban, kedamain, dan cinta kasih.
Sikap yang santun dan bijak merupakan cermin dari kondisi ruhiyah yang mapan. Ketika
kondisi ruhiyah seseorang labil maka kecenderungannya ia akan bersikap emosional dan

marah-marah, sebab syetan akan sangat mudah mempengaruhinya. Oleh karena itu
Rasulullah saw mengingatkan secara berulang-ulang agar jangan marah (Laa tagdlob). Bila
muncul amarah karena sebab-sebab pribadi, segeralah menahan diri dengan beristigfar dan
mohon perlindungan Allah (taawudz billah), bila masih merasa marah hendaknya berwudlu
dan mendirikan shalat. Namun bila muncul marah karena sebab orang lain, berusahalah tetap
menahan diri dan berilah maaf, karena Allah menyukai orang yang suka memaafkan.
Ingatlah, bila karena sesuatu hal kita telanjur marah kepada anak/isteri/suami, segeralah
minta maaf dan berbuat baiklah sehingga kesan (atsar) buruk dari marah bisa hilang.
Sesungguhnya dampak dari kemarahan sangat tidak baik bagi jiwa, baik orang yang marah
maupun bagi orang yang dimarahi.
7. Kuatnya hubungan dengan Allah (Quwwatu shilah billah)
Hubungan yang kuat dengan Allah dapat menghasilkan keteguhan hati (kemapanan ruhiyah),
sebagaimana Allah tegaskan dalam QS. Ar-Radu:28. Ketahuilah dengan mengingat Allah,
hati akan menjadi tenang. Keberhasilan dalam meniti kehidupan rumah tangga sangat
dipengaruhi oleh keteguhan hati/ketenangan jiwa, yang bergantung hanya kepada Allah saja
(taalluq billah). Tanpa adanya kedekatan hubungan dengan Allah, mustahil seseorang dapat
mewujudkan tuntutan-tuntutan besar dalam kehidupan rumah tangga. Rasulullah saw sendiri
selalu memanjatkan doa agar mendapatkan keteguhan hati: Yaa muqollibal quluub tsabbit
qolbiy alaa diinika waala thooatika (wahai yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah
hatiku untuk tetap konsisten dalam dien-Mu dan dalam mentaati-Mu).
Keteguhan hati dapat diwujudkan dengan pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah),
sehingga ia merasakan kebersamaan Allah dalam segala aktifitasnya (maiyatullah) dan selalu
merasa diawasi Allah dalam segenap tindakannya (muraqobatullah). Perasaan tersebut harus
dilatih dan ditumbuhkan dalam lingkungan keluarga, melalui pembiasaan keluarga untuk
melaksanakan ibadah nafilah secara bertahap dan dimutabaah bersama, seperti : tilawah,
shalat tahajjud, shaum, infaq, doa, matsurat, dll. Pembiasaan dalam aktifitas tersebut dapat
menjadi sarana menjalin keakraban dan persaudaraan (ukhuwah) seluruh anggota keluarga,
dan yang penting dapat menjadi sarana mencapai taqwa dimana Allah swt menjamin orangorang yang bertaqwa, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Ath-Thalaaq: 2-3.
Barangsiapa bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan bagi-nya jalan keluar
(solusi) dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barangsiapa yang
bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupi (keperluan) nya.
Wujud indahnya keberkahan keluarga

Keberkahan dari Allah akan muncul dalam bentuk kebahagiaan hidup berumah tangga, baik
kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Kebahagiaan di dunia, boleh jadi tidak selalu identik
dengan kehidupan yang mewah dengan rumah dan perabotan yang serba lux. Hati yang selalu
tenang (muthmainnah), fikiran dan perasaan yang selalu nyaman adalah bentuk kebahagiaan
yang tidak bisa digantikan dengan materi/kemewahan.
Kebahagiaan hati akan semakin lengkap jika memang bisa kita sempurnakan dengan 4
(empat) hal seperti dinyatakan oleh Rasulullah, yaitu : (1) Isteri yang sholihah, (2) Rumah
yang luas, (3) Kendaraan yang nyaman, dan (4) Tetangga yang baik.
Kita bisa saja memanfaatkan fasilitas rumah yang luas dan kendaraan yang nyaman tanpa
harus memiliki, misalnya di saat-saat rihlah, safar, silaturahmi, atau menempati rumah dan
kendaraan dinas. Paling tidak keterbatasan ekonomi yang ada tidak sampai mengurangi
kebahagiaan yang dirasakan, karena pemilik hakiki adalah Allah swt yang telah menyediakan
syurga dengan segala kenikmatan yang tak terbatas bagi hamba-hamba-Nya yang bertaqwa,
dan menjadikan segala apa yang ada di dunia ini sebagai cobaan.
Kebahagiaan yang lebih penting adalah kebahagiaan hidup di akhirat, dalam wujud
dijauhkannya kita dari api neraka dan dimasukkannya kita dalam syurga. Itulah hakikat
sukses hidup di dunia ini, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Imran : 185
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah
disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan kedalam
syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah
kesenangan yang memperdayakan.
Selanjutnya alangkah indahnya ketika Allah kemudian memanggil dan memerintahkan kita
bersama-sama isteri/suami dan anak-anak untuk masuk kedalam syurga; sebagaimana
dikhabarkan Allah dengan firman-Nya:
Masuklah kamu ke dalam syurga, kamu dan isteri-isteri kamu digembirakan. (QS, AzZukhruf:70)
Dan orang-orang yang beriman dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam
keimanan, kami hubungkan (pertemukan) anak cucu mereka dengan mereka (di syurga), dan
Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan
apa yang dikerjakannya. (QS. Ath-Thuur:21).
Inilah keberkahan yang hakiki. []
Redaktur: Samin Barkah, Lc., ME

Anda mungkin juga menyukai