diawali di SP ini. Pada awalnya proses pemanasan bahan baku terjadi dengan mengalirkan
gas hasil sisa proses pembakaran di kiln melalui suspension preheater ini. Namun dengan
berkembangnya teknologi, di dalam suspension preheater proses pemanasan ini dapat
dilanjutkan dengan proses kalsinasi sebagian dari bahan baku, asal peralatan suspension
preheater ditambah dengan kalsiner yang memungkinkan ditambahkannya bahan bakar (dan
udara) untuk memenuhi kebutuhan energi yang diperlukan untuk proses kalsinasi tersebut.
Peralatan terakhir ini sudah banyak ditemui untuk pabrik baru dengan kapasitas produksi
yang cukup besar, dan disebut dengan suspension preheater dengan kalsiner.
Di dalam membahas proses yang terjadi di dalam suspension preheater, terdapat beberapa hal
yang perlu diperhatikan antara lain ukuran partikel bahan baku, proses pemisahan oleh siklon
dan proses pemanasan bahan baku oleh gas panas.
Waktu tinggal partikel raw mix pada preheater 4-stage dengan ketinggian kurang lebih 50 m,
dari tempat feeding sampai dengan inlet kiln, kurang lebih antara 12 20 detik. Selama
perioda ini raw mix dipanaskan dari 50oC sampai dengan 800oC atau lebih, sementara gas
panas turun dari sekitar 1100 oC menjadi sekitar 330 oC. Laju gas dan material pada gas duct
sekitar 20 22 m/detik. Waktu yang dibutuhkan untuk separasi di siklon harus
diseimbangkan dan disesuaikan dengan waktu yang dibutuhkan untuk mengeluarkan material
pada pipa raw mix sehingga penyumbatan material yang mengganggu kelancaran aliran
bahan baku dapat dihindari. Proses perpindahan panas antara gas dengan debu yang
bervariasi ukurannya akan dibahas tersendiri.
Dengan bervariasinya kualitas material baku dan bahan bakar di suatu tempat, konfigurasi
suspension preheater yang telah dikembangkan di dunia ini banyak sekali. Sebagai contoh
FLS telah mengembangkan berbagai konfigurasi seperti SP, ILC, ILC-E, SLC, SLC I, dan
SLC-S. Diantara konfigurasi tersebut yang ada di Indonesia antara lain konfigurasi SP, SLC
dan SLC S. Sedangkan KHD Jerman mengembangkan Pyroclone yang apabila dilihat
fungsi atau prinsip kerjanya mirip dengan ILCnya FLS. Kawasaki mengembangkan RSP
(Reinforced Suspension Preheater) calciner. Contoh lain Polysius juga mengembangkan
Dopol Preheater Calciner.
Rotary Kiln
Kiln berputar (rotary kiln) merupakan peralatan utama di seluruh unit pabrik semen, karena
di dalam kiln akan terjadi semua proses kimia pembentukan klinker dari bahan bakunya (raw
mix). Secara garis besar, di dalam kiln terbagi menjadi 3 zone yaitu zone kalsinasi, zone
transisi, dan zone sintering (klinkerisasi). Perkembangan teknologi mengakibatkan sebagian
zone kalsinasi dipindahkan ke suspension preheater dan kalsiner, sehingga proses yang terjadi
di dalam kiln lebih efektif ditinjau dari segi konsumsi panasnya. Proses perpindahan panas di
dalam kiln sebagian besar ditentukan oleh proses radiasi sehingga diperlukan isolator yang
baik untuk mencegah panas terbuang keluar. Isolator tersebut adalah batu tahan api dan
coating yang terbentuk selama proses. Karena fungsi batu tahan api di tiap bagian proses
berbeda maka jenis batu tahan api disesuaikan dengan fungsinya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan coating antara lain :
1. komposisi kimia raw mix
2. konduktivitas termal dari batu tahan api dan coating
3. temperatur umpan ketika kontak dengan coating
4. temperatur permukaan coating ketika kontak dengan umpan
5. bentuk dan temperatur flame
Pada zone sintering fase cair sangat diperlukan, karena reaksi klinkerisasi lebih mudah
berlangsung pada fase cair. Tetapi jumlah fase cair dibatasi 20-30 % untuk memudahkan
terbentuknya coating yang berfungsi sebagai isolator kiln.
Pada kiln tanpa udara tertier hampir seluruh gas hasil pembakaran maupun untuk pembakaran
sebagian bahan bakar di calciner melalui kiln. Karena di dalam kiln diperlukan temperatur
tinggi untuk melaksanakan proses klinkerisasi, maka kelebihan udara pembakaran bahan
bakar di kiln dibatasi maksimum sekitar 20 30%, tergantung dari bagaimana sifat rawmeal
mudah tidaknya dibakar (burnability of the rawmix). Dengan demikian maksimum bahan
bakar yang dibakar di in-line calciner adalah sekitar 20 25%. Pada umumnya calciner jenis
ini bekerja dengan pembakaran bahan bakar berkisar antara 10% hingga 20% dari seluruh
kebutuhan bahan bakar, karena pembakaran di calciner juga akan menghasilkan temperatur
gas keluar dari top cyclone yang lebih tinggi yang berarti pemborosan energi pula. Sisa bahan
bakar yang berkisar antara 80% hingga 90% dibakar di kiln. Untuk menaksir seberapa
kelebihan udara pembakaran di kiln dalam rangka memperoleh operasi kiln yang baik akan
dilakukan perhitungan tersendiri. Kiln tanpa udara tertier dapat beroperasi dengan cooler
jenis planetary sehingga instalasi menjadi lebih sederhana dan konsumsi daya listrik lebih
kecil dibanding dengan sistem kiln yang memakai cooler jenis grate.
Pada kiln dengan udara tertier, bahan bakar yang dibakar di kiln dapat dikurangi hingga
sekitar 40% saja (bahkan dapat sampai sekitar 35%), sedangkan sisanya yang 60% dibakar di
calciner. Dengan demikian beban panas yang diderita di kiln berkurang hingga tinggal sekitar
300 kkal/kg klinker. Karena dimensi kiln sangat bergantung pada jumlah bahan bakar yang
dibakar, maka secara teoritis kapasitas produksi kiln dengan ukuran tertentu menjadi sekitar
2,5 kali untuk sistem kiln dengan udara tertier dibanding dengan kiln tanpa udara tertier.
Sebagai contoh untuk kapasitas 4000 ton per hari (TPD), kiln tanpa udara tertier
membutuhkan diameter sekitar 5,5 m. Sedangkan untuk kiln dengan ukuran yang sama pada
sistem dengan udara tertier misalnya sistem SLC dapat beroperasi maksimum pada kapasites
sekitar 10.000 TPD. Namun kiln dengan udara tertier harus bekerja dengan cooler jenis grate
cooler sehingga diperlukan daya listrik tambahan sekitar 5 kWh/ton klinker dibanding kiln
dengan planetary cooler.
Peralatan utama kiln, selain shell kiln itu sendiri adalah burner dan bata tahan api (refractory).
Bentuk api yang dihasilkan oleh proses pembakaran sangat menentukan proses perpindahan
panas yang terjadi dan pada akhirnya akan mementukan kualitas klinker. Sedangkan bata
tahan api selain berfungsi untuk melindungi shell kiln dan mengurangi panas yang mengalir
ke lingkungan juga berpengaruh terhadap pembentukan coating.
a. Burner
Di dalam rotary kiln selain jumlah panas yang dibutuhkan untuk pembakaran raw mix harus
terpenuhi, perlu juga diperhatikan bentuk nyala saat pembakaran bahan bakar pada burner.
Bentuk nyala ini mempengaruhi kualitas klinker yang dihasilkan. Kedua parameter ini
dipengaruhi oleh proses pembakaran saat bahan bakar mulai keluar dari ujung burner hingga
habis terbakar. Secara umum, pembakaran terjadi melalui 4 tahapan proses, yaitu :
Pencampuran - Penyalaan - Reaksi Kimia - Penyebaran Panas/Produk Pembakaran.
Untuk mendapatkan bentuk nyala yang diinginkan merupakan pekerjaan yang cukup
kompleks sebab selain dengan mengatur aliran di burner tip, bentuk nyala juga dipengaruhi
oleh kondisi di dalam kiln itu sendiri. Ada dua kemungkinan pengaturan bentuk nyala, yaitu :
1. Bentuk nyala cone flame, di mana bentuk ini dihasilkan dengan komponen kecepatan
aliran aksial diletakkan di bagian dalam sedang komponen radial di bagian luar.
2. Bentuk nyala hollow cone flame, di mana bentuk ini diperoleh dengan meletakkan
komponen aksial di bagian luar sedang komponen radialnya di bagian dalam.
Dari bentuk nyala ada beberapa hal penting yang berpengaruh terhadap kualitas klinker yang
dihasilkan, yaitu :
1. Laju Pembakaran (burning rate)
Laju pembakaran ini sangat berpengaruh terhadap ukuran komponen alite (C3S) yang
terbentuk. Komponen alite yang berukuran kecil akan mengakibatkan klinker yang dihasilkan
tidak dusty, sehingga mempunyai potensi kuat tekan yang tinggi dan proses penggilingannya
mudah.
2. Temperatur tertinggi (maksimum temperature)
Pada temperatur tertinggi yang sesuai akan dihasilkan klinker dengan litre weight yang baik,
sehingga mempunyai potensi kuat tekan yang tinggi dan akan mudah digiling. Tetapi pada
temperatur tertinggi yang terlalu tinggi akan dihasilkan klinker yang sifatnya berlawanan
dengan sifat sifat tersebut.
3. Waktu pembakaran (burning time)
Kondisi ini sangat berpengaruh pada ukuran belite (C2S), yaitu kenaikan waktu pembakaran
akan memperbesar ukuran belite sehingga potensi kuat tekannya akan tinggi serta akan
mudah digiling. Selain itu kenaikan waktu pembakaran akan menurunkan kandungan CaO
bebas.
4. Laju pendinginan (cooling rate)
Kondisi ini sangat berpengaruh pada warna belite yang mengindikasikan struktur kristalnya.
Pendinginan yang lambat akan menghasilkan klinker dengan kuat tekan yang rendah.
Proses pembakaran, perhitungan kebutuhan udara pembakaran, perhitungan kelebihan udara
di setiap konfigurasi SP, dan perpindahan panas sntara gas dan material rawmeal secara lebih
mendetail diberikan dalam modul tersendiri.
Hal lain yang erat sekali kaitannya dengan proses pembakaran di kiln ini adalah parameter
yang disebut dengan beban panas kiln (thermal load). Dua parameter yang mewakili thermal
load ini antara lain:
1. Beban panas volumetrik (volumetric thermal load) didefinisikan sebagai produksi
klinker (TPD) dibagi dengan volume bersih kiln (m3), sehingga satuan dari beban
panas volumetrik adalah TPD/m3.
2. Beban panas zona pembakaran (burning zone thermal load) adalah beban panas hasil
pembakaran bahan bakar di kiln (kkal/jam atau sering ditulis kkal/h) dibagi dengan
luas penampang kiln (m2). Dengan demikian satuan parameter beban panas zona
pembakaran adalah kkal/h/m2.
b. Refractory Lining
Refraktori (bata tahan api) adalah material non metal yang dapat dipakai untuk konstruksi
atau melapisi tungku yang beroperasi pada temperatur tinggi dan juga mampu untuk
mempertahankan bentuk dan komposisi kimianya pada temperatur tinggi. Fungsi refraktori
pada industri semen adalah untuk melindungi bagian metal agar tidak langsung kontak
dengan nyala api atau gas/padatan yang sangat panas. Sebagai contoh shell kiln akan sangat
turun kekuatannya pada temperatur di atas 400 oC sementara itu temperatur klinker berkisar
1350 1550 oC, serta nyala api di kiln bisa mencapai 1900 oC. Selain itu refraktori juga
berfungsi untuk mencegah kehilangan panas sehingga berada pada kondisi yang masih bisa
ditoleransi (12 22 % dari panas pembakaran). Hal ini penting untuk mempertahankan
temperatur nyala sehingga proses yang terjadi di dalam kiln akan terjamin kualitasnya.
Konsumsi refraktori berkisar 0,05 0,15 kg/ton klinker. Jadi secara ringkas fungsi refraktori
adalah sebagai proteksi (pengaman operasi) kiln shell terhadap temperatur tinggi, sebagai
bahan untuk memperpanjang umur teknis shell kiln , dan sebagai isolator panas. Perpindahan
panas dan kerusakan bata tahan api akan dibahas tersendiri.