Anda di halaman 1dari 6

Sistem Kiln Pada Pabrik Semen

January 10, 2014 Winny Alna Marlina Leave a comment


Semen merupakan perekat hidraulik yang memiliki unsur-unsur utama klinker (campuran
antara C3S, C2S, C4AF, dan C3A) dan gypsum (CaSO4. 2H2O). Klinker dibuat dengan bahan
baku utama batu kapur (limestone sekitar 70% 90%), tanah liat (clay sekitar 10% 30 %),
dan sisanya adalah bahan koreksi (0 10%). Bahan baku tersebut ditimbang dengan proporsi
yang telah ditentukan sesuai dengan jenis semen yang akan kita buat kemudian digiling
(terutama untuk proses kering) dan dibakar di sistem kiln.
Proses pembakaran bahan baku hingga berubah menjadi klinker serta proses pendinginan
klinker hingga bertemperatur tertentu yang aman untuk digiling bersama gipsum sampai
menjadi semen merupakan rangkaian proses pembuatan semen yang penting. Pada tulisan ini,
pembahasan untuk sementara dibatasi pada proses pembakaran bahan baku menjadi klinker
dan pendinginan klinker. Dalam pembahasan ini beberapa parameter proses yang penting
akan dibahas pula mengingat parameter-parameter inilah yang akan dipergunakan sebagai
parameter pengendalian mutu proses sehingga akhirnya akan diperoleh mutu klinker yang
baik sesuai dengan spesifikasi yang sudah ditetapkan.
Untuk memproduksi klinker semen, bahan baku (raw meal) harus dipanaskan sampai 1450
C sehingga terjadi proses klinkerisasi. Proses pembakaran raw meal membutuhkan kondisi
oksidasi untuk menghasilkan klinker yang berwarna abu-abu kehijauan. Jika kondisi ini tidak
memadai akan dihasilkan klinker yang berwarna coklat sehingga semen yang dihasilkan
kekuatannya rendah dan waktu setting-nya rendah. Proses kimia fisika penting yang terjadi
selama pembakaran adalah dehidrasi mineral tanah liat, dekarbonisasi senyawa karbonat
(kalsinasi), reaksi pada fasa padat, reaksi pada fasa cair dan kristalisasi.
Proses-proses yang terjadi di atas berlangsung sejak bahan baku diumpankan ke dalam
peralatan proses (preheater) hingga saat keluar dari reaktor (kiln) dan kemudian diteruskan
dengan pendinginan klinker di cooler. Berdasarkan hasil penelitian, proses pertama hingga
proses kelima yaitu dekomposisi limestone didominasi oleh mekanisme perpindahan panas
antara gas pembakaran dengan material bahan baku dalam ujud serbuk atau debu. Sedangkan
dua proses berikutnya lebih didominasi oleh difusi material padat dan sebagian cair di dalam
kiln. Oleh sebab itu untuk proses difusi ini faktor utama yang mempengaruhi jalannya proses
adalah pertemuan antara oksida-oksida dan temperatur tinggi serta waktu reaksi.
Dalam proses pembakaran raw material semen maka proses sebelum menuju ke kiln maka
terjadi proses kalsinasi di SP atau Suspension preheater. Pengetahuan tentang SP perlu untuk
mengoptimalkan proses pembakaran raw meal yang lebih baik.
Suspension preheater
Suspension preheater merupakan salah satu peralatan produksi untuk memanaskan awal
bahan baku sebelum masuk ke dalam rotary kiln. Suspension preheater terdiri dari siklon
untuk memisahkan bahan baku dari gas pembawanya, riser duct yang lebih berfungsi sebagai
tempat terjadinya pemanasan bahan baku (karena hampir 80% -90% pemanasan debu
berlangsung di sini), dan kalsiner untuk sistem-sistem dengan proses prekalsinasi yang

diawali di SP ini. Pada awalnya proses pemanasan bahan baku terjadi dengan mengalirkan
gas hasil sisa proses pembakaran di kiln melalui suspension preheater ini. Namun dengan
berkembangnya teknologi, di dalam suspension preheater proses pemanasan ini dapat
dilanjutkan dengan proses kalsinasi sebagian dari bahan baku, asal peralatan suspension
preheater ditambah dengan kalsiner yang memungkinkan ditambahkannya bahan bakar (dan
udara) untuk memenuhi kebutuhan energi yang diperlukan untuk proses kalsinasi tersebut.
Peralatan terakhir ini sudah banyak ditemui untuk pabrik baru dengan kapasitas produksi
yang cukup besar, dan disebut dengan suspension preheater dengan kalsiner.
Di dalam membahas proses yang terjadi di dalam suspension preheater, terdapat beberapa hal
yang perlu diperhatikan antara lain ukuran partikel bahan baku, proses pemisahan oleh siklon
dan proses pemanasan bahan baku oleh gas panas.

a. Ukuran Partikel dan Separasi


Ukuran partikel bahan baku berkaitan erat dengan luas permukaan partikel bahan baku dan
massa masing-masing partikel bahan baku. Luas permukaan partikel bahan baku merupakan
salah satu faktor penting dalam proses perpindahan panas dari gas ke bahan baku. Sedangkan
massa per partikel bahan baku sangat menentukan proses pemisahan partikel dari gas
pemanasnya di dalam siklon. Raw mix yang permukaannya luas, dalam keadaan tersuspensi,
laju proses perpindahan panas yang terjadi menjadi lebih tinggi dibanding yang
permukaannya lebih kecil. Sedangkan partikel dengan ukuran yang lebih besar akan lebih
mudah dipisahkan di dalam siklon selain masih tergantung pula pada densitas (specific
gravity) dari partikel. Pada umumnya untuk partikel dengan ukuran yang sama akan lebih
mudah dipisahkan di dalam siklon bila memiliki densitas yang lebih tinggi. Dalam sistem
kering distribusi partikel rawmix umumnya dibuat sedemikian rupa agar residu di atas 90
mikron antara 12 15% dan di atas 200 mikron tidak lebih dari 2 3%.

b. Proses Separasi di dalam Siklon


Proses separasi bahan baku dari aliran tersuspensi di dalam gas panas terjadi sebagai akibat
adanya gaya sentrifugal yang dialami oleh bahan baku sehingga partikel bahan baku akan
cenderung terlempar ke dinding siklon. Proses separasi sangat dipengaruhi oleh ukuran
partikel, densitas partikel, kecepatan aliran dan bentuk serta demensi siklon.

c. Perpindahan Panas di Siklon Preheater


Perpindahan panas antara gas dengan partikel bahan baku terjadi pada masing-masing saluran
gas (gas duct) dan siklon di suspension preheater (SP). Pada saat perpindahan panas ini
terjadi di dalam duct, aliran gas dengan aliran bahan baku mempunyai arah yang sama
berlangsung secara paralel karena partikel terbawa oleh aliran gas. Tetapi jika dilihat sistem
secara keseluruhan maka pada sistem SP terjadi perpindahan panas secara berlawanan
(counter-current) karena arah aliran gas ke atas sedang arah aliran bahan baku ke bawah.
Perpindahan panas antara gas dan material terjadi pada kondisi material yang tersuspensi.
Sebagian besar perpindahan panas terjadi di gas duct, menurut literatur yaitu sekitar 80 %
sedang sisanya terjadi di siklon. Namun demikian proses ini masih tergantung pada ukuran
partikel. Semakin kecil ukuran partikel, perpindahan panas akan terjadi dalam waktu yang
lebih singkat, sehingga tidak menutup kemungkinan seluruh proses perpindahan panas
partikel berukuran kecil terjadi di dalam duct.

Waktu tinggal partikel raw mix pada preheater 4-stage dengan ketinggian kurang lebih 50 m,
dari tempat feeding sampai dengan inlet kiln, kurang lebih antara 12 20 detik. Selama
perioda ini raw mix dipanaskan dari 50oC sampai dengan 800oC atau lebih, sementara gas
panas turun dari sekitar 1100 oC menjadi sekitar 330 oC. Laju gas dan material pada gas duct
sekitar 20 22 m/detik. Waktu yang dibutuhkan untuk separasi di siklon harus
diseimbangkan dan disesuaikan dengan waktu yang dibutuhkan untuk mengeluarkan material
pada pipa raw mix sehingga penyumbatan material yang mengganggu kelancaran aliran
bahan baku dapat dihindari. Proses perpindahan panas antara gas dengan debu yang
bervariasi ukurannya akan dibahas tersendiri.
Dengan bervariasinya kualitas material baku dan bahan bakar di suatu tempat, konfigurasi
suspension preheater yang telah dikembangkan di dunia ini banyak sekali. Sebagai contoh
FLS telah mengembangkan berbagai konfigurasi seperti SP, ILC, ILC-E, SLC, SLC I, dan
SLC-S. Diantara konfigurasi tersebut yang ada di Indonesia antara lain konfigurasi SP, SLC
dan SLC S. Sedangkan KHD Jerman mengembangkan Pyroclone yang apabila dilihat
fungsi atau prinsip kerjanya mirip dengan ILCnya FLS. Kawasaki mengembangkan RSP
(Reinforced Suspension Preheater) calciner. Contoh lain Polysius juga mengembangkan
Dopol Preheater Calciner.

Rotary Kiln
Kiln berputar (rotary kiln) merupakan peralatan utama di seluruh unit pabrik semen, karena
di dalam kiln akan terjadi semua proses kimia pembentukan klinker dari bahan bakunya (raw
mix). Secara garis besar, di dalam kiln terbagi menjadi 3 zone yaitu zone kalsinasi, zone
transisi, dan zone sintering (klinkerisasi). Perkembangan teknologi mengakibatkan sebagian
zone kalsinasi dipindahkan ke suspension preheater dan kalsiner, sehingga proses yang terjadi
di dalam kiln lebih efektif ditinjau dari segi konsumsi panasnya. Proses perpindahan panas di
dalam kiln sebagian besar ditentukan oleh proses radiasi sehingga diperlukan isolator yang
baik untuk mencegah panas terbuang keluar. Isolator tersebut adalah batu tahan api dan
coating yang terbentuk selama proses. Karena fungsi batu tahan api di tiap bagian proses
berbeda maka jenis batu tahan api disesuaikan dengan fungsinya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan coating antara lain :
1. komposisi kimia raw mix
2. konduktivitas termal dari batu tahan api dan coating
3. temperatur umpan ketika kontak dengan coating
4. temperatur permukaan coating ketika kontak dengan umpan
5. bentuk dan temperatur flame
Pada zone sintering fase cair sangat diperlukan, karena reaksi klinkerisasi lebih mudah
berlangsung pada fase cair. Tetapi jumlah fase cair dibatasi 20-30 % untuk memudahkan
terbentuknya coating yang berfungsi sebagai isolator kiln.
Pada kiln tanpa udara tertier hampir seluruh gas hasil pembakaran maupun untuk pembakaran
sebagian bahan bakar di calciner melalui kiln. Karena di dalam kiln diperlukan temperatur

tinggi untuk melaksanakan proses klinkerisasi, maka kelebihan udara pembakaran bahan
bakar di kiln dibatasi maksimum sekitar 20 30%, tergantung dari bagaimana sifat rawmeal
mudah tidaknya dibakar (burnability of the rawmix). Dengan demikian maksimum bahan
bakar yang dibakar di in-line calciner adalah sekitar 20 25%. Pada umumnya calciner jenis
ini bekerja dengan pembakaran bahan bakar berkisar antara 10% hingga 20% dari seluruh
kebutuhan bahan bakar, karena pembakaran di calciner juga akan menghasilkan temperatur
gas keluar dari top cyclone yang lebih tinggi yang berarti pemborosan energi pula. Sisa bahan
bakar yang berkisar antara 80% hingga 90% dibakar di kiln. Untuk menaksir seberapa
kelebihan udara pembakaran di kiln dalam rangka memperoleh operasi kiln yang baik akan
dilakukan perhitungan tersendiri. Kiln tanpa udara tertier dapat beroperasi dengan cooler
jenis planetary sehingga instalasi menjadi lebih sederhana dan konsumsi daya listrik lebih
kecil dibanding dengan sistem kiln yang memakai cooler jenis grate.
Pada kiln dengan udara tertier, bahan bakar yang dibakar di kiln dapat dikurangi hingga
sekitar 40% saja (bahkan dapat sampai sekitar 35%), sedangkan sisanya yang 60% dibakar di
calciner. Dengan demikian beban panas yang diderita di kiln berkurang hingga tinggal sekitar
300 kkal/kg klinker. Karena dimensi kiln sangat bergantung pada jumlah bahan bakar yang
dibakar, maka secara teoritis kapasitas produksi kiln dengan ukuran tertentu menjadi sekitar
2,5 kali untuk sistem kiln dengan udara tertier dibanding dengan kiln tanpa udara tertier.
Sebagai contoh untuk kapasitas 4000 ton per hari (TPD), kiln tanpa udara tertier
membutuhkan diameter sekitar 5,5 m. Sedangkan untuk kiln dengan ukuran yang sama pada
sistem dengan udara tertier misalnya sistem SLC dapat beroperasi maksimum pada kapasites
sekitar 10.000 TPD. Namun kiln dengan udara tertier harus bekerja dengan cooler jenis grate
cooler sehingga diperlukan daya listrik tambahan sekitar 5 kWh/ton klinker dibanding kiln
dengan planetary cooler.
Peralatan utama kiln, selain shell kiln itu sendiri adalah burner dan bata tahan api (refractory).
Bentuk api yang dihasilkan oleh proses pembakaran sangat menentukan proses perpindahan
panas yang terjadi dan pada akhirnya akan mementukan kualitas klinker. Sedangkan bata
tahan api selain berfungsi untuk melindungi shell kiln dan mengurangi panas yang mengalir
ke lingkungan juga berpengaruh terhadap pembentukan coating.

a. Burner
Di dalam rotary kiln selain jumlah panas yang dibutuhkan untuk pembakaran raw mix harus
terpenuhi, perlu juga diperhatikan bentuk nyala saat pembakaran bahan bakar pada burner.
Bentuk nyala ini mempengaruhi kualitas klinker yang dihasilkan. Kedua parameter ini
dipengaruhi oleh proses pembakaran saat bahan bakar mulai keluar dari ujung burner hingga
habis terbakar. Secara umum, pembakaran terjadi melalui 4 tahapan proses, yaitu :
Pencampuran - Penyalaan - Reaksi Kimia - Penyebaran Panas/Produk Pembakaran.
Untuk mendapatkan bentuk nyala yang diinginkan merupakan pekerjaan yang cukup
kompleks sebab selain dengan mengatur aliran di burner tip, bentuk nyala juga dipengaruhi
oleh kondisi di dalam kiln itu sendiri. Ada dua kemungkinan pengaturan bentuk nyala, yaitu :
1. Bentuk nyala cone flame, di mana bentuk ini dihasilkan dengan komponen kecepatan
aliran aksial diletakkan di bagian dalam sedang komponen radial di bagian luar.

2. Bentuk nyala hollow cone flame, di mana bentuk ini diperoleh dengan meletakkan
komponen aksial di bagian luar sedang komponen radialnya di bagian dalam.
Dari bentuk nyala ada beberapa hal penting yang berpengaruh terhadap kualitas klinker yang
dihasilkan, yaitu :
1. Laju Pembakaran (burning rate)
Laju pembakaran ini sangat berpengaruh terhadap ukuran komponen alite (C3S) yang
terbentuk. Komponen alite yang berukuran kecil akan mengakibatkan klinker yang dihasilkan
tidak dusty, sehingga mempunyai potensi kuat tekan yang tinggi dan proses penggilingannya
mudah.
2. Temperatur tertinggi (maksimum temperature)
Pada temperatur tertinggi yang sesuai akan dihasilkan klinker dengan litre weight yang baik,
sehingga mempunyai potensi kuat tekan yang tinggi dan akan mudah digiling. Tetapi pada
temperatur tertinggi yang terlalu tinggi akan dihasilkan klinker yang sifatnya berlawanan
dengan sifat sifat tersebut.
3. Waktu pembakaran (burning time)
Kondisi ini sangat berpengaruh pada ukuran belite (C2S), yaitu kenaikan waktu pembakaran
akan memperbesar ukuran belite sehingga potensi kuat tekannya akan tinggi serta akan
mudah digiling. Selain itu kenaikan waktu pembakaran akan menurunkan kandungan CaO
bebas.
4. Laju pendinginan (cooling rate)
Kondisi ini sangat berpengaruh pada warna belite yang mengindikasikan struktur kristalnya.
Pendinginan yang lambat akan menghasilkan klinker dengan kuat tekan yang rendah.
Proses pembakaran, perhitungan kebutuhan udara pembakaran, perhitungan kelebihan udara
di setiap konfigurasi SP, dan perpindahan panas sntara gas dan material rawmeal secara lebih
mendetail diberikan dalam modul tersendiri.
Hal lain yang erat sekali kaitannya dengan proses pembakaran di kiln ini adalah parameter
yang disebut dengan beban panas kiln (thermal load). Dua parameter yang mewakili thermal
load ini antara lain:
1. Beban panas volumetrik (volumetric thermal load) didefinisikan sebagai produksi
klinker (TPD) dibagi dengan volume bersih kiln (m3), sehingga satuan dari beban
panas volumetrik adalah TPD/m3.
2. Beban panas zona pembakaran (burning zone thermal load) adalah beban panas hasil
pembakaran bahan bakar di kiln (kkal/jam atau sering ditulis kkal/h) dibagi dengan
luas penampang kiln (m2). Dengan demikian satuan parameter beban panas zona
pembakaran adalah kkal/h/m2.

b. Refractory Lining
Refraktori (bata tahan api) adalah material non metal yang dapat dipakai untuk konstruksi
atau melapisi tungku yang beroperasi pada temperatur tinggi dan juga mampu untuk
mempertahankan bentuk dan komposisi kimianya pada temperatur tinggi. Fungsi refraktori
pada industri semen adalah untuk melindungi bagian metal agar tidak langsung kontak
dengan nyala api atau gas/padatan yang sangat panas. Sebagai contoh shell kiln akan sangat
turun kekuatannya pada temperatur di atas 400 oC sementara itu temperatur klinker berkisar
1350 1550 oC, serta nyala api di kiln bisa mencapai 1900 oC. Selain itu refraktori juga
berfungsi untuk mencegah kehilangan panas sehingga berada pada kondisi yang masih bisa
ditoleransi (12 22 % dari panas pembakaran). Hal ini penting untuk mempertahankan
temperatur nyala sehingga proses yang terjadi di dalam kiln akan terjamin kualitasnya.
Konsumsi refraktori berkisar 0,05 0,15 kg/ton klinker. Jadi secara ringkas fungsi refraktori
adalah sebagai proteksi (pengaman operasi) kiln shell terhadap temperatur tinggi, sebagai
bahan untuk memperpanjang umur teknis shell kiln , dan sebagai isolator panas. Perpindahan
panas dan kerusakan bata tahan api akan dibahas tersendiri.

Anda mungkin juga menyukai