Anda di halaman 1dari 10

DEFINISI

Asma adalah penyakit saluran nafas dengan karakteristik berupa meningkatnya reaktifitas
trakea dan bronkhus terhadap berbagai rangsangan sehingga terjadi penyempitan saluran
nafas yang dapat hilang dengan atau tanpa pengobatan, peningkatan reaktivitas tersebut
dihubungkan dengan proses inflamasi. Pada individu yang cenderung menderita penyakit
ini, inflamasi ini menyebabkan episode mengi yang berulang, sesak nafas, rasa tegang di
dada, serta batuk khususnya diwaktu malam dan/atau dini hari (1). Gejala ini berhubungan
dengan penyempitan saluran nafas yang difus dengan derajat yang bervariasi dan bersifat
reversibel baik dengan pengobatan maupun secara spontan (1-3). Inflamasi ini juga
menyebabkan hipereaktivitas saluran nafas terhadap berbagai rangsang (1-2). Asma terjadi
pada semua suku bangsa. Asma dapat terjadi pada semua usia walaupun faktor genetik
merupakan predisposisi yang penting untuk terjadinya atopi dan juga asma, bukti yang
menunjukkan prevalensi asma di negara-negara berkenbang diseluruh dunia diduga bahwa
faktor lingkungan merupakan faktor yang lebih penting daripada faktor ras

PATOGENESIS
Dahulu diakui yang berperan pada patogenesis asma adalah spasme otot polos bronkus
yang disebabkan lepasnya mediator-mediator sel mast. Doktrin ini kemudian direvisi setelah
diketahui bahwa inflamasi saluran nafas merupakan mekanisme utama yang bertanggung
jawab terhadap hipereaktivitas saluran nafas, dan ternyata berbagai sel inflamasi terlibat
pada patogenesis ini terutama limfosit dan eosinofil. Sel-sel inflamasi tersebut menghasilkan
bermacam-macam mediator yang saling berinteraksi menimbulkan berbagai efek patologik
yang bertanggung jawab terhadap hipereaktivitas saluran nafas dan gejala klinik asma.
Inflamasi saluran nafas pada asma dibuktikan dari gambaran histopatologik mukosa bronkus
dan gambaran sel pada kurasan bronkoalveolar
Rangsangan atau pencetus yang sering menimbulkan serangan asma perlu diketahui dan
sedapatnya dihindarkan. Faktor-faktor tersebut adalah :

1.

Alergen utama debu rumah, spora jamur dan tepung sari rerumputan.

2.
3.

iritan seperti asap, bau-bauan, polutan.


infeksi saluran nafas terutama yang disebabkan oleh virus.

4.

Perubahan cuaca yang ekstrim.

5.
6.

Kegiatan jasmani yang berlebihan.


Lingkungan kerja.

7.

Obat-obatan.

8.

Emosi.

9.

Lain-lain, seperti refluks gastro esophagus (2)

PATOFISIOLOGIS

Pada asma terdapat ketidakmampuan mendasar dalam mencapai angka aliran udara normal
selama pernafasan (terutama pada ekspirasi). Hal ini dicerminkan dengan rendahnya FEV1,
volume udara yang dihasilkan sewaktu usaha membuang nafas dengan paksa pada detik
pertama dan diukur dengan parameter yang berhubungan. Karena banyak saluran udara
yang menyempit tidak dapat dialiri dan dikosongkan dengan cepat, terjadi aerasi paru-paru
yang tidak seimbang. Turbulensi arus udara dan getaran ke bronkus menyebabkan sura
mengi yang terdengar jelas pada saat serangan asma. Penderita asma yang gelisah
biasanya bernafas lebih cepat dari normal dan menghindarkan kegiatan yang tidak perlu.
Dada mengambil posisi inspirasi maksimal yang mula-mula diperoleh secara volunteer dan
membantu melebarkan jalan udara. Gambaran ini menetap disebabkan pengosongan alveoli
yang tidak lengkap mengakibatkan hiperinflasi torak yang progresif. Pada asma tanpa
komplikasi, batuk hanya mencolok sewaktu serangan mereda, batuk membantu
mengeluarkan sekret yang mengumpul. Di antara serangan asma yang khas penderita
bebas dari mengi dan gejala, walaupun reaktivitas bronkus meningkat dan kelainan pada
ventilasi tetap dapat diperlihatkan dengan tehnik khusus. Pada keadaan asma kronik, masa
tanpa serangan mungkin dapat menghilang, sehingga mengakibatkan keadaan asma yang
terus menerus, sering disertai infeksi sekunder (4).

Ada 2 golongan penyakit obstruksi saluran nafas, yaitu :

a.

Asma atau penyakit obstruksi saluran nafas yang reversibel

b.

Penyakit obstruksi saluran nafas menahun yaitu bronkitis kronik dan emfisema.

Pada beberapa penderita, ketiga penyakit obstruksi saluran nafas tersebut sukar dibedakan
satu dari yang lain karena semuanya mempunyai patofisiologi yang sama. Dari ketiga
penyakit tersebut, asma bronkial mempunyai prognosis yang terbaik apabila ditangani
dengan baik tetapi bila tidak, dapat menjadi penyakit obstruksi saluran nafas yang
menahun. Pengertian bronkitis menahun merupakan diagnosis klinis, emfisema merupakan
diagnosis anatomis dan asma lebih bersifat fisiologis (2).

Tabel 1. Sifat-sifat obstruksi saluran nafas (2)

Asma
kronik

Bronkitis

Emfisema

Reversibilitas
-

Alergi

Hipereaktivitas
bronkus

Respon terhadap
bronkodilator
+

Respon terhadap
steroid
+

GAMBARAN KLINIS
Pada penderita yang sedang bebas serangan tidak ditemukan gejala klinis, sedangkan pada
waktu serangan tampak penderita bernafas cepat dan dalam, gelisah, duduk dengan tangan
menyangga ke depan serta tampak otot-otot bantu pernafasan bekerja dengan keras.
Gejala yang timbul biasanya berhubungan dengan beratnya derajat hiperaktivitas bronkus.
Obstruksi jalan nafas dapat reversible secara spontan ataupun dengan pengobatan. Gejalagejala asma antara lain :
1.

Sesak.

2.

Bising mengi ( wheezing ) yang terdengar dengan atau tanpa stetoskop.

3.

Batuk produktif, sering pada malam hari.

4.

Nafas atau dada seperti tertekan.

Gejalanya bersifat paroksismal, yaitu membaik pada siang hari dan memburuk pada malam
hari (5). Gejala-gejala tersebut tidak selalu terlihat bersama-sama. Ada penderita yang
hanya batuk tanpa rasa sesak, atau sesak dan mengi saja
Beratnya derajat serangan asma dibagi dalam serangan derajat ringan, sedang dan berat
berdasarkan persentase APE nilai dugaan sesuai kriteriaGlobal for Ashtma 1995 yaitu :

Serangan derajat ringan : bila APE > 60% nilai dugaan

Serangan asma ringan


1.

Sesak nafas waktu berjalan,bisa berbaring

2.

Berbicara dalam kalimat penuh

3.

Frekwensi nafas meningkat

4.

Pemakain otot bantu nafas biasanya ada

5.

Mengi lemah sampai sedang

6.

Nadi <100x/menit

7.

Pulsus paradoksus tidak ada

8.

APE sesudah terapi awal >80%

9.

PaO2 normal

10. PaCO2 <45 mmHg


11. Saturasi O2 (udara biasa) >95%
-

Serangan derajat sedang : bila APE 40-60% nilai dugaan

Serangan asma sedang :


1.

alan terbatas , lebih suka duduk

2.

Berbicara kalimat terbatas

3.

Kesadaran biasanya agitasi

4.

Frekwensi nafas meningkat

5.

Pemakaian otot bantu nafas biasanya ada

6.

Mengi keras

7.

Nadi 100-120x/menit

8.

Pulsus paradoksus mungkin ada (10-25 mmHg)

9.

APE sesudah terapi awal 60-80%

10. PaO2 >60mmHg


11. PaCO2 < 45 mmHg
12. Saturasi O2 91-95%

Serangan derajat berat : bila APE < 80% nilai dugaan, disertai gambaran asma akut
berat yaitu :

1. Sesak nafas walau diwaktu istirahat, hanya mampu mengucapkan beberapa kata, duduk
membungkuk
2.

Kesadaran biasanya agitasi

3.

Frekwensi pernafasan > 30 x/menit

4.

Pemakaian otot bantu nafas biasanya ada, retraksi sentral

5.

Bising mengi terdengar sangat jelas

6.

Nadi > 120 x/menit

7.

Pulsus paradoksus sering ada > 25 mmHg

8.

APE sesudah terapi awal <60%, <100L/menit

9.

PaO2 < 60 mmHg

10. PaCO2 > 45 mmHg


11. Saturasi O2 < 90%
% APE nilai dugaan adalah nilai aktual Arus Puncak Respirasi (APE) saat serangan dibagi nilai
APE dugaan sesuai jenis kelamin, umur (tahun), tinggi badan (cm) menurut tabel fungsi paru
tim Pneumobile Project Indonesia 1992 (1,5).
Klasifikasi asma berdasarkan derajat beratnya asma :
1.
-

Intermiten
Gejala kurang dari satu minggu

Tanpa gejala di luar serangan

Serangan berlangsung singkat (beberapa jam sampai hari)

Gejala asma malam kurang dari dua kali perbulan

Faal paru normal antara eksaserbasi

VEP-1 atau APE: lebih dari 80% nilai prediksi, variabilitas <20%

2.

Persisten Ringan

Gejala lebih dari atau sama dengan satu kali per minggu, tetapi kurang dari satu kali
perhari
-

Serangan dapat menggangu aktifitas dan tidur

Gejala asma malam lebih dari dua kali per bulan

VEP-1 atau APE: lebih dari atau sama dengan 80% nilai prediksi, variabilitas 20-30%

3.

Persisten Sedang

Gejala harian

Menggunakan obat setiap hari

Serangan menggangu aktifitas dan tidur

Serangan 2 kali/minggu, dapat berhari-hari

Gejala asma malam lebih dari satu kali per minggu

VEP-1 atau APE: lebih dari 60% kurang dari 80% nilai prediksi, variabilitas >30%

4.

Persisten Berat

Gejala terus menerus

Serangan sering

Gejala asma malam sering

Aktivitas fisik terbatas

VEP-1 atau APE: kurang dari 60% nilai prediksi , variabilitas > 30%

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.

Spirometri

Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible. Cara yang paling cepat dan
sederhana untuk diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator.
Pemeriksaan spirometri dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator aerosol
golongan adrenergik.Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak lebih dari 20% menunjukkan
diagnosis asma. Tidak adanya respon aerosol bronkodilator >20% tidak berarti ada asma.
Hal tersebut dapat dijumpai pada penderita yang sudah normal atau mendekati normal
sehingga kenaikan FEV1 atau FVC tidak melebihi 20%. Respon mungkin juga tidak dijumpai
pada obstruksi jalan nafas yang berat, oleh karena obat tunggal aerosol tidak cukup
memberikan efek yang diharapkan. Untuk melihat reversibilitas pada hal yang akhir
mungkin diperlukan pengobatan kombinasi adrenergik, teofilin dan bahkan kortikosteroid
untuk 2-3 minggu. Reversibilitas dapat terjadi tanpa pengobatan yang dapat terlihat dari
hasil pemeriksaan spirometri yang dilakukan pada saat yang berbeda-beda misalnya
beberapa hari atau bulan kemudian. Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk

menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk menilai berat obstruksi dan efek
pengobatan.

2.

Tes provokasi bronkial

Indikasi provokasi inhalasi :


Jika pemeriksaan spirometri normal, untuk menunjukkan adanya hiperreaktivitas bronkus
dilakukan uji provokasi brobkus. Ada beberapa cara untuk melakukan uji provokasi brnkus
seperti uji provokasi dengan histamine, metakolin, kegiatan jasmani, udara dingin, larutan
garam hipertonik, dan bahkan dengan aqua destilata. Penurunan VEP1 sebesar 20% atau
lebih dianggap bermakna.
Antigen

Untuk menjelaskan peranan alergen spesifik pada asma

Apabila uji kulit tidak dapat dilakukan seperti pada penyakit kulit yang luas dan luka
bakar

Untuk evaluasi efek terapeutik imunologi

Untuk evaluasi alergen baru atau allergen tidak dikenal yang diduga mempunyai
peranan dalam penyakit paru

Untuk evaluasi efek obat dalam penghambatan kerja allergen

Untuk meyakinkan pasien tentang hubungan sebab akibat

Metakolin, Karbakol, dan Histamin

Untuk mengidentifikasi pasien hipereaktivitas bronkus tanpa melihat sebab


dan
untuk mengukur besarnya hipereaktivitas tersebut.

3. Tes kepekaan kulit

Tujuan tes ini yaitu untuk menunjukkan adanya antibodi imunoglobulin E yang
spesifik dalam tubuh. Tes ini hanya menyokong anamnesis, karena alergen yang
menunjukkan tes kulit positif tidak selalu merupakan penyebab asma, sebaliknya tes kulit

yang negatif tidak berarti ada faktor kerentanan kulit. Dengan berbagai bahan alergen dapat
membantu untuk menetukan pada asma atopik.

4.

Pemeriksaan laboratorium :

Darah :

persentase eosinofil pada hitung jenis dan jumlah eosinofil

yang meningkat, Imunoglobulin E yang spesifik.

Analisa gas darah: bila ada kecurigaan gagal napas


Dahak dan sekret hidung: pemeriksaan eosinofil, kristal Charcot leyden,
dan Spiral Curschmann

5.

Pemeriksaan radiologi :

Foto toraks : Umumnya pemeriksaan foto dada penderita asma adalah normal.
Pemeriksaan tersebut dilakukan bila ada kecurigaan terhadap proses patologik di paru atau
komplikasi asma seperti pneumotoraks, pneumomediastinum, atelektasis dl
Foto sinus paranasalis, jika asma tidak membaik

DAFTAR PUSTAKA
1. Djaman Saleh Y, Mangunnegoro H, Hudoyo A, dkk, Kadar Eosinofil pada Sputum Penderita Asma
Bronkhial Dalam Serangan Di rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan Jakarta. Jurnal Respirologi
Indonesia 1998; 18:p.5-6

2. Bratawijdaya, Karnen. Asma Bronkhial dalam Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi III, BP FKUI,
Jakarta, 2006; hal 21-32

3. Yunus, Faisal. Penatalaksanaan Asma Bronkhial Masa Kini. Majalah Kedokteran Indonesia, Volum:
46, Nomor : 10, Oktober 1996.

4. Solomon, William R. Ashma bronkhial : Alergi dan lain-lain. In: Price sylvia A, Wilson Lorraine M.
Editor. Patofisiologi Buku I. Edisi IV. Jakarta : EGC; 2006. hal 784-785

5. Yunus, Faisal. Penatalaksanaan Eksaserbasi Akut Asma. Pertemuan Ilmiah Khusus PPOK
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Semarang

6. Sukmana Nanang. Asma Bronchial. Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FKUI, Jakarta, Agustus, 2001

Anda mungkin juga menyukai