Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.

LATAR BELAKANG
Delirium adalah kondisi yang sering dijumpai pada pasien di rumah sakit. Sindrom

ini sering tidak terdiagnosis dengan baik saat pasien berada di rumah (akibat kurangnya
kewaspadaan keluarga) maupun saat pasien berada di unit gawat darurat atau unit rawat jalan.
Gejala dan tanda yang tidak khas merupakan salah satu penyebabnya. Setidaknya 32%-67%
dari sindrom ini tidak dapat terdiagnosis oleh dokter, padahal kondisi ini dapat dicegah.
Literature lain menyebutkan bahwa 70% dari kasus sindrom delirium tidak terdiagnosis atau
salah terapi oleh dokter. Sindrom delirium sering muncul dalam keluhan utama atau tak jarang
justru terjadi pada hari pertama pasien dirawat dan menunjukkan gejala yang berfluktuasi.
Keadaan yang terakhir ini tentu jika tidak ada keterangan yang memadai dari dokter-dapat
disalahartikan keluarga pasien sebagai kesalahan pengelola di rumah sakit.

Prevalensi sindrom delirium di ruang rawat geriatric RSCM adalah 23% (tahun
2004) sedangkan insidensnya mencapai 17% pada pasien yang sedang dirawat inap (2004).
Sindrom delirium mempunyai dampak buruk, tidak saja karena meningkatkan resiko kematian
samopai 10 kali lipat namun juga karena memperpanjang masa rawat serta meningkatkan
kebutuhan perawatan (bantuan ADL) dari petugas kesehatan dan pelaku rawat.

Kepentingan untuk mengenali delirium adalah (1) kebutuhan klinis untuk


mengidentifikasi dan mengobati penyebab dasar dan (2) kebutuhan untuk mencegah
perkembangan komplikasi yang berhubungan dengan delirium.

1.2.

BATASAN MASALAH
Batasan penulisan ini membahas mengenai definisi, epidemiologi, etiologi,

klasifikasi, gambaran klinis, penatalaksanaan dan prognosis dari delirium.


1

1.3.

TUJUAN PENULISAN
Penulisan

epidemiologi,

etiologi,

ini

bertujuan

patofisiologi,

untuk

menambah

manifestasi

klinis,

pengetahuan
diagnosis,

tentang

diagnosis

definisi,
banding,

penatalaksanaan, dan prognosis delirium.

1.4.

METODE PENULISAN
Penulisan ini menggunakan metode penulisan tinjauan kepustakaan merujuk pada

berbagai literatur.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI
Kata delirium berasal dari bahasa latin yang artinya lepas jalur. Sindrom ini pernah
dilaporkan pada masa Hippocrates dan pada tahun 1813 Sutton mendeskripsikan sebagai
delirium tremens, kemudian Wernicke menyebutnya sebagai Encephalopathy Wernicke.4
Delirium merupakan suatu sindrom, bukan suatu penyakit. Delirium adalah suatu
gangguan kesadaran, biasanya terlihat bersamaan dengan gangguan fungsi kognitif secara
global. Biasanya delirium mempunyai onset yang mendadak (beberapa jam atau hari),
perjalanan singkat dan berfluktuasi dan perbaikan yang cepat jika factor penyebab diidentifikasi
dan dihilangkan.1

2.2. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi delirium di ruang rawat akut geriatric RSCM adalah 23% (tahun 2004)
sedangkan insidensnya mencapai 17% pada pasien yang sedang dirawat inap (2004).
Sindroma delirium mempunyai dampak buruk, tidak saja karena meningkatkan resiko kematian
sampai 10 kali lipat namun juga karena memperpanjang masa rawat serta meningkatkan
kebutuhan perawatan (bantuan ADL) dari petugas kesehatan.3

Selain itu, diduga sekitar 10-15% pasien rawat bedah umum pernah mengalami
delirium, 15-25% pasien rawat medik umum pernah mengalami delirium selama dirawatdi
rumah sakit. Juga diperkirakan sekitar 30% pasien bedah ICU dan 40-50% pasien ICCU pernah
mengalami delirium. Yang tertinggi yaitu 90% ditemukan pada pasien post cardiotomy.2

2.3. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI


Berdasarkan aktivitas psikomotor (tingkat/ kondisi kesadaran, aktivitas perilaku)
delirium diklasifikasikan menjadi 3, yaitu:3

1. Hiperaktif: didapatkan pada pasien dengan gejala putus substansi antara lain; alkohol,
amfetamin, lysergic acid diethylamide atau LSD. Pasien bisa nampak gaduh gelisah,
berteriak-teriak, jalan mondar-mandir, atau mengomel sepanjang hari.

2. Hipoaktif: didapatkan pada pasien pada keadaan hepatic encephalopathy dan


hipercapnia.
3. Campuran: pada pasien dengan gangguan tidur, pada siang hari mengantuk tapi pada
malam hari terjadi agitasi dan gangguan sikap.
Mekanisme penyebab delirium masih belum dipahami secara seutuhnya. Beberapa
peneliti mengatakan bahwa delirium terjadi karena terdapat kerusakan metabolisme oksidatif
serebral dan abnormalitas pada beberapa neurotransmitter. Berikut terdapat beberapa hipotesis
mengenai delirium:2,4
a. Asetilkolin
Data studi mendukung hipotesis bahwa asetilkolin adalah salah satu dari
neurotransmiter yang penting dari pathogenesis terjadinya delirium. Hal yang mendukung teori
ini adalah bahwa obat antikolinergik diketahui sebagai penyebab keadaan bingung. Pada
pasien dengan transmisi kolinergik yang terganggu juga muncul gejala ini dan pada pasien post
operatif delirium serum antikolinergik juga meningkat.
b. Dopamine
Pada otak, hubungan timbal balik muncul antara aktivitas kolinergik dan
dopaminergik. Pada delirium muncul aktivitas berlebih dari dopaminergik. Gejala simptomatis
membaik dengan pemberian obat antipsikosis seperti haloperidol dan obat penghambat
dopamine.

c. Neurotransmitter lainnya
Serotonin ; terdapat peningkatan serotonin pada pasien dengan encephalopati
hepatikum. Peningkatan inhibitor GABA (Gamma-Aminobutyric acid);

pada pasien dengan hepatic encephalopati, peningkatan inhibitor GABA juga ditemukan.
Peningkatan level ammonia terjadi pada pasien hepatic encephalopati, yang menyebabkan
peningkatan pada asam amino glutamat dan glutamine (kedua asam amino ini merupakan
precursor GABA). Penurunan level GABA pada susunan saraf pusat juga ditemukan pada
pasien yang mengalami gejala putus benzodiazepine dan alkohol.
d. Mekanisme peradangan/inflamasi
Studi terkini menyatakan bahwa peran sitokin, seperti interleukin-1 dan interleukin-6,
dapat menyebabkan delirium. Saat terjadi proses infeksi, inflamasi dan paparan toksik dalam
tubuh, bahan pirogen endogen seperti interleukin-1 dilepaskan dari sel. Trauma kepala dan
iskemia, yang sering dihubungkan dengan delirium, dihubungkan dengan hubungan respon
otak yang dimediasi oleh interleukin-1 dan interleukin 6.
e. Mekanisme reaksi stress
Stress psikososial dan gangguan tidur mempermudah terjadinya delirium.

f.

Mekanisme struktural
Formatio reticularis dan jalurnya memainkan peranan penting dari bangkitan

delirium. Jalur tegmentum dorsal diproyeksikan dari formation retikularis mesensephalon ke


tectum dan thalamus adalah struktur yang terlibat pada delirium. Kerusakan pada sawar darah
otak juga dapat menyebabkan delirium, mekanismenya karena dapat menyebabkan agen neuro
toksik dan sel-sel peradangan (sitokin) untuk menembus otak.

Tabel 1. Beberapa Kondisi yang Lazim Mencetuskan Kondisi Delirium 3


Iatrogenik
Obat-obatan
Gangguan
metabolic/ cairan
Penyakit psikis/
psikiatrik
Overstimulation

2.4. MANIFESTASI KLINIS

Pembedahan, kateterisasi, urin, psysical restraints


Psikotropika
Insufisiensi ginjal, dehidrasi, hipoksia, azotemia,
hiperglikemia, hipernatremia, hipokalemia
Demam, infeksi, stres, alcohol, putus obat (tidur),
fraktur, malnutrisi, gangguan pola tidur
Perawatan di ICU, atau perpindahan ruang rawat

Delirium ditandai dari perubahan mental akut dari pasien,perubahan fluktuatif pada
kognitif termasuk memori,berbahasa dan organisasi.3, 4

1. Gangguan atensi
Pasien dengan delirium mengalami kesulitan untuk memperhatikan. Mereka mudah
melupakan instruksi dan mungkin dapat menanyakan instruksi dan pertanyaan untuk
diulang berkali-kali. Metode untuk mengidentifikasi gangguan atensi yaitu dengan
menyuruh pasien menghitung angka terbalik dari 100 dengan kelipatan 7.

2. Gangguan memori dan disorientasi


Defisit memori, hal yang sering jelas terlihat pada pasien delirium. Disorientasi
waktu,tempat dan situasi juga sering didapatkan pada delirium.

3. Agitasi
Pasien dengan delirium dapat menjadi agitasi sebagai akibat dari disorientasi dan
kebingungan yang mereka alami. Sebagai contoh; pasien yang disorientasi menggangap
mereka dirumah meskipun ada dirumah sakit sehingga staff rumah sakit dianggap sebagai
orang asing yang menerobos kerumahnya.

4. Apatis dan menarik diri terhadap sekitar/withdrawal


Pasien dengan delirium dapat menampilkan apatis dan withdrawal. Mereka dapat terlihat
seperti depresi, penurunan nafsu makan, penurunan motivasi dan gangguan pola tidur.

5. Gangguan tidur
Pada pasien delirium sering tidur pada waktu siang hari tapi bangun pada waktu malam
hari. Pola ini digabungkan dengan disorientasi dan kebingungan yang dapat menimbulkan
situasi berbahaya pada pasien, yaitu resiko jatuh dari tempat tidur, menarik kateter atau IV
dan pipa nasogastric.

6. Emosi yang labil


Delirium dapat menyebabkan emosi pasien yang labil seperti gelisah, sedih, menangis dan
kadang kadang gembira yang berlebih. Emosi ini dapat muncul bersamaan ketika
seseorang mengalami delirium.

7. Gangguan persepsi
Terjadi halusinasi visual dan auditori.

8. Tanda tanda neurologis

Pada delirium dapat muncul tanda neurologis antara lain: tremor gait, asterixis mioklonus,
paratonia dari otot terutama leher, sulit untuk menulis dan membaca, dan gangguan visual.

2.5. DIAGNOSA
Secara klinis penegakkan diagnosis delirium dapat menggunakan DSM IV-TR. Di
bawah ini adalah criteria diagnostik delirium berdasarkan DSM IV TR:2
Kriteria diagnostik delirium yang berhubungan dengan kondisi medik umum:

1. Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kesadaran terhadaplingkungan dalam


bentuk memusatkan, mempertahankan dan mengalihkan perhatian).

2. Hambatan dalam fungsi kognitif (hendaya daya ingat segera dari jangka pendek namun
daya ingat jangka panjang tetap utuh, distorsi persepsi, ilusi dan halusinasi terutama
visual, hendaya daya pikir dan pengertian abstrak dengan atau tanpa waham
sementara, tetapi yang khas terdapat sedikit inkoherensi, disorientasi waktu, tempat dan
orang).

3. Awitannya tiba-tiba (dalam beberapa jam atau hari), perjalanan penyakitnya singkat dan
ada kecenderungan berfluktuasi sepanjang hari.

4. Berdasarkan bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik atau laboratorium untuk
menemukan penyebab delirium ini.

Kriteria diagnostik delirium yang disebabkan intoksikasi zat:

1. Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kesadaran terhadaplingkungan dalam


bentuk memusatkan, mempertahankan dan mengalihkan perhatian)

2. Hambatan dalam fungsi kognitif (hendaya daya ingat segera dari jangka pendek namun
daya ingat jangka panjang tetap utuh, distorsi persepsi, ilusi dan halusinasi terutama
visual, hendaya daya pikir dan pengertian abstrak

dengan atau tanpa waham sementara, tetapi yang khas terdapat sedikit inkoherensi,
disorientasi waktu, tempat dan orang).

3. Awitannya tiba-tiba (dalam beberapa jam atau hari), perjalanan penyakitnya singkat dan
ada kecenderungan berfluktuasi sepanjang hari.

4. Berdasarkan bukti dan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik atau laboratorium untuk
menemukan delirium ini (1) atau (2):

(1) Gejala pada kriteria A dan B berkembang selama


intoksikasi zat.

(2) Penggunaan intoksikasi disini untuk mengatasipenyebab


yang ada hubungan dengan gangguannya.

Kriteria diagnostik delirium yang disebabkan putus zat:

1. Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kesadaran terhadaplingkungan dalam


bentuk memusatkan, mempertahankan dan mengalihkan perhatian)

2. Hambatan dalam fungsi kognitif (hendaya daya ingat segera dari jangka pendek namun
daya ingat jangka panjang tetap utuh, distorsi persepsi, ilusi dan halusinasi terutama
visual, hendaya daya pikir dan pengertian abstrak dengan atau tanpa waham
sementara, tetapi yang khas terdapat sedikit inkoherensi, disorientasi waktu, tempat dan
orang).

3. Awitannya tiba-tiba (dalam beberapa jam atau hari), perjalanan penyakitnya singkat dan
ada kecenderungan berfluktuasi sepanjang hari.

4. Berdasarkan bukti dan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik atau laboratorium untuk
menemukan penyakit delirium ini dalam kriteria A dan B. Keadaan ini berkembang
selama atau dalam waktu singkat sesudah sindroma putus zat.
Kriteria diagnostik delirium yang berkaitan dengan berbagai penyebab:

1. Gangguan kesadaran (berkurangnya kejernihan kesadaran terhadaplingkungan dalam


bentuk memusatkan, mempertahankan dan mengalihkan perhatian)

2. Hambatan dalam fungsi kognitif (hendaya daya ingat segera dari jangka pendek namun
daya ingat jangka panjang tetap utuh, distorsi persepsi, ilusi dan halusinasi terutama
visual, hendaya daya pikir dan pengertian abstrak dengan atau tanpa waham
sementara, tetapi yang khas terdapat sedikit inkoherensi, disorientasi waktu, tempat dan
orang).

3. Awitannya tiba-tiba (dalam beberapa jam atau hari), perjalanan penyakitnya singkat dan
ada kecenderungan berfluktuasi sepanjang hari.

4. Berdasarkan bukti dan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik atau laboratorium untuk
menemukan etiologi delirium ini yang disebabkan oleh lebih dari satu penyebab kondisi
medik umum, disertai intoksikasi zat atau efek samping medikasi.

2.6. DIAGNOSA BANDING


Banyak

gejala

yang

menyerupai

delirium.

Demensia

dan

depresi

sering

menunjukkan gejala yang mirip delirium; bahkan kedua penyakit/ kondisi tersebut acap kali
terdapat bersamaan dengan sindrom delirium. Pada keadaan tersebut informasi dari keluarga
dan pelaku rawat menjadi sangat berarti pada anamnesis.3
a. Delirium versus demensia
Yang paling nyata perbedaannya adalah mengenai awitannya, yaitu delirium
awitannya tiba-tiba, sedangkan pada demensia berjalan perlahan. Meskipun kedua kondisi
tersebut mengalami gangguan kognitif, tetapi pada demensia lebih stabil, sedangkan pada
delirium berfluktuasi.2
Tabel 2. Perbandingan Delirium dan Demensia 2
Gambaran Klinis
Gangguan daya ingat
Gangguan proses berpikir
Gangguan daya nilai
Kesadaran berkabut
Major attention deficits
Fluktuasi perjalanan
penyakit (1 hari)
Disorientasi
Gangguan persepsi jelas
9

Delirium
+++
+++
+++
+++
+++
+++

Demensia
+++
+++
+++
+
+

+++
++

++
-

Inkoherensi
Gangguan siklus tidurBangun
Eksaserbasi nocturnal
Insight/tilikan
Awitan akut/subakut

++
++

+
+

++
++
++

+
+
-

b. Delirium versus skizofrenia dan depresi


Sindrom delirium dengan gejala yang hiperaktif sering keliru dianggap sebagai
pasien yang cemas (anxietas), sedangkan hipoaktif keliru dianggap sebagai depresi. Keduanya
dapat dibedakan dengan pengamatan yang cermat. Pada depresi terdapat perubahan yang
bertahap dalam beberapa hari atau minggu sedangkan pada delirium biasanya gejala
berkembang dalam beberapa jam.3
Beberapa pasien dengan skizofrenia atau episode manik mungkin pada satu
keadaan menunjukkan perilaku yang sangat kacau yang sulit dibedakan dengan delirium.
Secara umum, halusinasi dan waham pada pasien skizofrenia lebih konstan dan lebih
terorganisasi dibandingkan dengan kondisi pasien delirium.2

2.7. TATALAKSANA
Tujuan utama adalah untuk mengobati gangguan dasar yang menyebabkan
delirium, tujuan lainnya adalah untuk memberikan bantuan fisik sensorik dan lingkungan.

a.

Pengobatan farmakologis
Dua gejala utama delirium yang mungkin memerlukan pengobatan farmakologis

adalah psikosis dan insomnia. Obat yang terpilih untuk psikosis adalah Haloperidol (haldol),
obat antipsikotik golongan butyrophenon. Pemberian tergantung usia, berat badan,dan kondisi
fisik pasien, dosis awal dengan rentang antara 2 sampai 10 mg intramuscular, diulang dalam
satu jam jika pasien teragitasi. Segera setelah pasien tenang, medikasi oral dalam cairan
konsentrat atau bentuk
10

tablet dapat dimulai. Dua dosis oral harian harus mencukupi, dengan duapertiga dosis diberikan
sebelum tidur. Untuk mencapai efek terapeutik yang sama, dosis oral harus kira-kira 1,5 kali kali
lebih tinggi dibandingkan dosis parenteral. Dosis harian efektif total haloperidol mungkin
terentang dari 5 sampai 50 mg untuk sebagian besar pasien delirium.

Droperidol (inapsine) adalah suatu butyrophenon yang tersedia sebagai suatu


formula intravena alternative, walaupun monitoring elektrokardiogram adalah sangat penting
untuk pengobatan ini. Golongan phenothiazine harus dihindari pada pasien delirium, karena
obat tersebut disertai dengan aktivitas antikolinergik yang bermakna.

Insomnia paling baik diobati dengan golongan benzodiazepine dengan waktu paruh
pendek atau hydroxizine (vistaril), 25 sampai 100 mg. Golongan benzodiazepine dengan waktu
paruh panjang dan barbiturate harus dihindari kecuali obat tersebut telah digunakan sebagai
bagian dari pengobatan untuk gangguan dasar (sebagai contohnya, putus alcohol).1

b. Non-farmakologis (pencegahan)
Berbagai literature menyebutkan bahwa pengobatan sindrom delirium sering tidak
tuntas. 96% pasienyang dirawat karena pulang dengan gejala sisa. Hanya 20% dari kasuskasus tersebut yang tuntas dalam 6 bulan setelah pulang. Hal tersebut menunjukkan bahwa
sebenarnya prevalensi sindrom delirium di masyarakat lebih tinggi dari pada yang diduga
sebelumnya. Pemeriksaan penapisan oleh dokter umum atau dokter keluarga di masyarakat
menjadi penting dalam rangka menemukan kasus dini dan mencegah penyulit yang fatal.

Rudolph (2003) melaporkan bahwa separuh dari kasus yang diamatinya mengalami
delirium saat dirawat di rumah sakit. Berarti ada karakteristik pasien tertentu dan
suasana/situasi rumah sakit sedemikian rupa yang dapat mencetuskan delirium. Beberapa obat
juga dapat mencetuskan delirium, terutama yang mempunyai efekanti kolinergik dan gangguan
faal kognitif. Beberapa obat yang diketahui meningkatkan resiko delirium antara lain:
benzodiazepine, kodein, amitriptilin (antidepresan), difenhidramid,ranitidine, tioridazin, digoksin,
amiodaron, metildopa, procainamid, levodopa, fenitoin, siprofloksasin. Beberapa tindakan

11

sederhana yang dapat dilakukan di rumah sakit (di ruang rawat akut geriatric) terbukti cukup
efektif mampumencegah delirium. Inouye et all (1999) menyarankan beberapa tindakanyang
terbukti dapat mencegah delirium seperti yang tertera pada tabel 3

Tabel 3. Pencegahan Delirium dan Keluarannya3


Panduan intervensi
Reorientasi

Tindakan
Pasang jam dinding

Memulihkan siklus

Kalender
Padamkan lampu

tidur

Minum susu hangat

Keluaran
Memulihkan

P
0,04

orientasi
Tidur tanpa obat

0,001

Pulihnya mobilisasi

0,06

Meningkatkan
kemampuan

0,27

atau the herbal


Musik yang tenang
Pemijata
(massage)
Mobilisasi

punggung
Latihan lingkup
gerak sendi

Penglihatan

Mobilisasi bertahap
Batasi penggunaan
restrain
Kenakan kacamata
Menyediakan
bacaan dengan
huruf berukuran

Pendengaran

Rehidrasi

besar
Bersihkan serumen
prop
Alat Bantu dengar
Diagnosis dini
rehidrasi
Tingkatkan asupan
cairan oral kalau
perlu per infuse

2.8. PROGNOSIS
12

penglihatan

Meningkatkan
kemampuan

0,10

pendengaran
BUN/Cr < 18

0,04

Awitan delirium yang akut, gejala prodromalnya seperti gelisah dan perasaan takut
mungkin muncul pada awal awitan. Bila penyebabnya telah diketahui dan dapat dihilangkan
maka gejala-gejalanya akan hilang dalamwaktu 3-7 hari dan akan hilang seluruhnya dalam
waktu dua minggu.2

13

BAB III
PENUTUP

3.1. KESIMPULAN
Sindrom delirium sering tidak terdiagnosis dengan baik karena berbagai sebab.
Keterlambatan diagnosis memperpanjang masa rawat dan meningkatkan mortalitas. Defisiensi
asetilkolin yang berhubungan dengan beberapa factor predisposisi dan factor pencetus
merupkana mekanisme dasar yang harus selalu diingat. Pencetus tersering adalah pneumonia
dan infeksi saluran kemih.
Gangguan kognitif global, perubahan aktivitas psikomotor, perubahan siklus tidur,
serta perubahan kesadaran yang terjadi akut dan berfluktuatif merupakan gejala yang sering
ditemukan. Beberapa peneliti menggolongkan delirium ke dalam beberapa tipe. Kriteria
diagnosis baku menggunakan DSM-IV; instrument baku yang digunakan untuk membantu
menegakkan diagnosis.
Beberapa penyakit mempunyai gejala dan tanda mirip sehingga diperlukan
kewaspadaan serta pemikiran kemungkinan diferensial diagnosis. Pengelolaan pasien terutama
ditujukan untuk mengidentifikasi serta menatalaksana factor predisposisi dan pencetus.
Penatalaksanaan non-farmakologik dan farmakologik sama pentignnya dan diperlukan
kerjasama dengan psikiater geriatric terutama dalam pengelolaan pasien yang gelisah.

14

DAFTAR PUSTAKA

1. Kaplan, Harold I. Sinopsis Psikiatri; Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. 2010;
hal. 519-528

2. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku Ajar Psikiatri. 2010; hal. 99-105

3. Sudoyo, Aru W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. 2009; hal. 907-912
4. http://emedicine.medscape.com/article/288890-overview diakses pada tanggal
25 Februari 2013.

5. Damping, Andri Cahrles E. Majalah Kedokteran Indonesia: Peranan Psikiatri Geriatri


dalam Penanganan Delirium Pasien Geriatri. 2007.

15

Anda mungkin juga menyukai