Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

ANESTESI REGIONAL DAN LOKAL

DISUSUN OLEH :
VANI KARTIKASARI

I11109029

MUHAMMAD HADI ARWANI

I11111002

MARTA SONYA

I11111030

DOSEN PEMBIMBING KEPANITERAAN KLINIK:


dr. HENDRO YULIEANTO, MS, Sp.An, Sp.KP
KEPANITERAAN KLINIK ANESTESIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA PONTIANAK
RUMAH SAKIT TNI AU dr. M. SUTOMO
PERIODE 24 AGUSTUS - 18 SEPTEMBER 2015

DAFTAR ISI

BAB I
PENDAHULUAN

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Anestesi regional adalah penggunaan obat analgetik lokal untuk menghambat
hantaran saraf sensorik, sehingga impuls nyeri dari suatu bagian tubuh diblokir untuk
sementara (reversible). Fungsi motorik dapat terpengaruh sebagian atau seluruhnya.
Pasien tetap sadar. (Muhiman, 2004)

2.2.Faktor Pemilihan Teknik Anastesi


Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan jenis anestesi tergantung dari:
(Kasim, 2007)
1. Umur.
Pada anak-anak dan bayi, anestesi umum merupakan pilihan yang terbaik. Sedangkan
pada dewasa, untuk tindakan yang singkat dan superfisial, dapat menggunakan lokal
anestesia.
2. Keadaan umum pasien.
a. Penyakit terdahulu. Beberapa zat anestesi tidak dapat diterima dengan baik oleh
pasien dengan penyakit tertentu, seperti muscle relaxant tidak dapat digunakan pada
pasien dengan poliomyelitis dengan keterlibatan otot dada atau pasien dengan
myastemia gravis.
b. Anestesi spinal merupakan kontra indikasi pada pasien dengan neuropati diabetik.
c. Anestesi spinal atau regional merupakan kontra indikasi untuk pasien dengan terapi
antikoagulan.
d. Tanda-tanda fungsi vital yang mengalami penurunan, terutama penurunan cadangan
pada paru-paru atau jantung.
e. Pasien dengan kelainan mental atau emosional, kurang kooperatif, usia lanjut atau
disorientasi, diindikasikan untuk Anestesi umum.
f. Pasien dengan kegemukan, dengan leher yang pendek, mudah terjadi obstruksi
saluran nafas segera setelah induksi anestesi.
3. Jenis dari pembedahan.
Operasi yang membutuhkan waktu lama dilakukan dibawah anestesi umum.
4. Pemilihan jenis dan obat anestesi.
5. Permintaan pasien.
Beberapa pasien memilih untuk dilakukan pembedahan dengan menggunakan anestesi
umum, walaupun sebenarnya dapat dilakukan dengan anestesi lokal atau regional.

Permintaan pasien ini perlu dipertimbangkan lagi dengan melihat kondisi pasien dan
tidak membahayakan pasien.
2.3.

Obat yang digunakan dalam Teknik Anastesi

2.3.1.

Prokain
Prokain disintesis dan diperkenalkan tahun 1095 dengan nama dagang

novokain. Selama lebih dari 50 tahun obat ini merupakan obat terpilih untuk anestesia
lokal suntikan; namun kegunaannya kemudian terdesak oleh obat anestetik lain,
lidokain yang ternyata lebih kuat dan lebih aman dibanding dengan prokain. (Sunaryo,
2001)
a. Farmakodinamik
Analgesia sistemik. Pada penyuntikan prokain SK dengan dosis 100-800mg;
terjadi analgesia umum ringan yang derajatnya berbanding lurus dengan dosis. Efek
maksimal berlangsung 10-20 menit dan menghilang sesudah 60 menit. Efek ini
mungkin merupakan efek sentral, atau mungkin efek dietilminoetanol yaitu hasil
hidrilisis prokain. Dietilminoetanol ini juga bersifat analgesik, antiaritmia, berefek
pada anestetik lokal, dan antispasmodik yang lebih lemah daripada prokain.
Antagonisme prokain sulfonamide. Prokain dan beberapa anestetik lokal lain
dalam badan dihidrolosis menjadi PABA (para Amino Benzoid Acid), yang dapat
menghambat daya kerja sulfonamid. Oleh karena itu sebaiknya prokain dan anestetik
lokal derivat PABA lain tidak diberikan bersamaan dengan terapi sulfonamid.
Anestetik lokal bukan derivat PABA tidak menghambat kerja sulfonamid.
b. Farmakokinetik
Absorbsi berlangsung cepat dari tempat suntikan dan untuk memperlambat
absorpsi perlu ditambahkan vasokonstriktor. Sesudah diabsorpsi, prokain cepat
dihidrolisis oleh esterase dalam plasma menjadi PABA dan dietilminoetanol. PABA
dieksresi dalam urin, kira-kira 80% dalam bentuk utuh dan bentuk konjugasi. Tiga
puluh persen dietilminoetanol ditemukan dalam urin, dan selebihnya mengalami
degradasi lebih lanjut.
c. Intoksikasi
Toksisitas prokain hanya dari toksisitas kokain pada pemberian IV maupun
SK. Prokain lebih cepat dirusak dalam badan daripada kokain. Absorpsi prokain
diperlambat dengan vasokonstriktor, sehingga toksisitasnya menjadi jauh lebih ringan.
Hasil hidrolisis prokain tidak toksik.
3

Indikasi
Prokain digunakan secara suntikan untuk aanestesia infiltrasi, blokade saraf,
epidural, kaudal, dan spinal. Prokain secara IV pernah digunakan untuk mengobati
delayed serumsickness dan urtikaria; tetapi hasilnya tidak sebaik penggunaan
antihistamin.
d. Sediaan dan Posologi
Prokain HCl merupakan kristal putih yang mudah larut dalam air. Sediaan
suntik prokain HCl terdapat dalam kadar 1-2% dengan atau tanpa epinefrin untuk
anestesia infiltrasi dan blokade saraf dan 5-20% untuk anestesia spinal. Sedangkan
larutan untuk infus IV. Untuk anestesia kaudal yang terus menerus, dosis awal ialah
30ml larutan prokain 1,5%.
2.3.2.

Lidokain
Lidokain (xylocaine, dll), suatu aminoetilamida, merupakan prototipe anestetik

lokal jenis amida. (Goodman, 2011)


a. Farmakologi klinis
Lidokain menghasilkan anestesia yang lebih cepat, bertahan lebih lama, dan lebih
kuat daripada prokain pada konsentrasi yang sama. Lidokain merupakan pilihan
aternatif pada individu yang sensitif terhadap anestetik lokal jenis ester.
Lidokain diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian parenteral dan dari saluran
gastrointestinal dan saluran napas. Selain sediaan injeksi, suatu sistem penghantarran
obat bebas-jarum secara iontoforesis untuk larutan lidokain dan epinefrin (iontokain)
tersedia untuk pemberian dermal dan menghasilkan anestesia pada kedalaman hinggal
10 mm.
Koyo transdermal lidokain (lidoderm) digunakan untuk meredakan nyeri yang
berhubungan dengan neuralgia pascaherpes. Kombinasi lidokain (2,59%) dan
prilokain (2,5%) pada pembalut oklusif (EMLA Anesthetic dics) digunakan sebagai
anestetik sebelum pungsi vena, pengambilan jaringan untuk transplantasi kulit, dan
infiltrasi anestetik ke dalam alat kelamin. Lidokain didealkilasi oleh CYP hepatik
menjadi metabolit dengan aktivitas anestetik lokal.
b. Farmakodinamik
Lidokain adalah anestetik lokal kuat yang digunakan secara luas dengan
pemberian topikal dan suntikan. Anestesia terjadi lebih cepat, lebih kuat, lebih lama
dan lebih ekstensif daripada yang ditimbulkan oleh prokain. Lidokain merupakan
4

aminoetilamid. Pada larutan 0,5% toksisitasnya sama, tetapi pada larutan 2% lebih
toksik daripada prokain. Larutan lidokain 0,5% digunakan untuk anestesi infiltrasi,
sedangkan larutan 1,0-2% untuk anestesia blok dan topikal. Anestetik ini efektif bila
digunakan tanpa vasokonstriktor, tetapi kecepatan absorpsi dan toksisitasnya
bertambah, dan masa kerjanya lebih pendek. Lidokain merupakan obat terpilih bagi
mereka yang hipersensitif terhadap prokain dan juga epinefrin. Lidokain dapat
menimbulkan kantuk. Sedian berupa larutan 0,5-5% dengan atau tanpa epinefrin.
(Sunaryo, 2001)
b. Farmakokinetik
Lidokain mudah diserap dari tempat suntikan, dan dapat melewati sawar darah
otak. Kadarnya dalam plasma fetus dapat mencapai 60% kadar dalam darah ibu. Di
dalam hati, lidokain mengalami dealkilasi oleh enzim oksidasi fungsi ganda (mixedfunction oxidases) membentuk monoetilglisin xilidid dan glisin xilidid, yang
kemudian dapat dimetabolisme lebih lanjut menjadi monoetilglisin dan xilidid. Kedua
metabolit monoetilglisin xilidid dan glisin xilidid ternyata masih memiliki efek
anestetik lokal. Pada manusia, 75% dari xilidid akan dieksresi bersama urin dalam
bentuk metabolid akhir, 4 hidroksi-2-6 dimetil-anilin. (Sunaryo, 2001)
c. Toksisitas
Efek samping lidokain yang terlihat akibat peningkatan dosis meliputi
mengantuk, tinitus, gangguan pengecapan, pening, dan kedutan otot. Seiring
meningkatnya dosis, seizure, koma, serta depresi pernapasan dan gagal pernapasan
akan timbul. Depresi kardiovaskular yang signifikan secara klinis biasanya muncil
pada kadar lidokain serum yang menyebabkan efek nyata pada SSP. Metabolit aktif
mungkin berkontribusi pada beberapa efek samping ini. (Goodman, 2011)
d. Penggunaan klinis
Lidokain berguna pada hampir setiap aplikasi yang memerlukan anestetik lokal
berdurrasi sedang.
e. Indikasi
Lidokain sering digunakan secara suntikan untuk anestesia infiltrasi, blokade
saraf, anestesia epidural maupun anestesia kaudal, dan secara setempat untuk
anestesia selaput lendir. Pada anestesia infiltrasi biasanya digunakan larutan 0,250,50% dengan atau tanpa adrenalin. Tanpa adrenalin dosis total tidal boleh melebihi
200mg dalam waktu 24jam, dan dengan adrenalin tidak boleh melebihi 500mg untuk
5

jangka waktu yang sama. Dalam bidang kedokteran gigi, biasanya digunakan larutan
1-2% dengan adrenalin, untuk anestesia infiltrasi dengan mula kerja 5 menit dan masa
kerja kira-kira satu jam dibutuhkan dosis 0,5-1ml. Untuk blokade saraf digunakan 12ml. (Sunaryo, 2001)
Lidokain dapat pula digunakan untuk anestesia permukaan. Untuk anestesia
rongga mulut, kerongkongan dan saluran cerna bagian atas digunakan larutan 1-4%
dengan dosis maksimal 1 gram sehari dibagi dalam beberapa dosis. Pruritus di daerah
anogenital atau rasa sakit yang menyertai wasir dapat dihilangkan dengan supositoria
atau dalama bentuk salep dan krem 5%. Untuk anestesia sebelum dilakukan tindakan
sistiskopi atau katetterisasi uretra digunakan lidokain gel 2% dan sebelum dilakukan
bronkoskopi atau pemasangan pipa endotrakeal biasanya digunakan semprotan
dengan kadar 2-4%
2.3.3.

Bupivakain
a. Kerja farmakologis
Bupivakain (marcaine, sensorcaine) merupakan anestetik lokal jenis amida.

Levobupivakain (chirocaine), suatu S-enantiomer bupivakain, juga tersedia. Durasi


kerja bu[ivakain yang panjang serta kecenderungannya untuk memblok sensork lebih
kuat daripada motorik telah membuat bupivakain menjadi obat populer dalam
menyediakan analgesia yang panjang selama periode persalinan atau pascaoperasi.
Dengan memanfaatkan kateter menetap dan infus kontinu, bupivakain dapat
digunakan untuk menghasilkan analgesia yang efektif selama beberapa hari.
(Goodman, 2011)
b. Toksisitas
Bupivakain lebih kardiotoksik dibanding lidokain pada dosis efektif yang sama.
Secara klinis, efek ini dimanifestasi dengan aritmia vetrikular parah dan depresi
miokardium setelah pemberian dosis tinggi bupivakain secara intravaskular yang tidak
hati-hati. Bupivakain berdisosiasi secara perlahan selama diastol, sehingga fraksi
saluran Na+ yang signifikan pada frekuensi jantung fisiologis tetap diblok oleh
bupivakain pada akhir diastol. Jadi, blokade oleh bupivakain bersifat kumulatif dan
lebih banyak daripada yang diperkirakan daari potensi anestetik lokalnya. Toksisitas
jantung terinduksi- bupivakain sangat sulit ditangani dan keparahannya ditingkatkan
dengan adanya asidosis, hiperkarbia, dan hiposekmia. Enantiomer S dari rasematnya

mempunyai efikasi dan potensi yang sama, namun levobupivakain tidak terlalu
kardiotoksik. (Goodman, 2011)
2.4.Klasifikasi Anastesi Regional
Klasifikasi anestesia/analgasia regional terbagi menjadi 2 bagian yaitu:
1. Blok sentral (blok neuroaksial), yaitu meliputi blok spinal, epidural, dan kaudal.
2. Blok perifer (blok saraf), misalnya blok pleksus brakialis, aksiler, analgesia regional
intravena.

Gambar A. Potongan sagital vertebra lumbal B. Penampang superior C. Penampang lateral


A. Blok Sentral
Terdapat tiga teknik neuroaksial yang umumnya digunakan. Spinal (Sinonim:
intrathecal atau subarachnoid), epidural (sinonim: extradural atau peridural) dan caudal
(sinonim: sacral epidural). (Smith, et al., 2009)
2.5.1. Blok Spinal
a. Prinsip
Anastesi spinal digunakan secara luas baik pada operasi elektif maupun
pembedahan daruarat di bawah umbilikus, pada spinal dengan tingkat yang lebih
tinggi jarang digunakan karena kesulitan terkait dari menjaga ventilasi spontan dan
7

menghapuskan rangsangan yang menyakitkan dari traksi pada peritoneum dan


tekanan pada diagframa.(Smith, et al., 2009)
b. Indikasi
Untuk pembedahan, daerah tubuh yang dipersarafi cabang T4 ke bawah (daerah papila
mammae ke bawah). (Muhiman, 2004)
c. Kontra Indikasi
Kontraindikasi absolut: (Morgan,2013)
1. Infeksi pada area yang akan diinjeksi
2. Pasien menolak
3. Gangguan pembekuan darah
4. Syok hypovolemia
5. Tekanan intrakranial meningkat
6. Stenosis aorta
7. Stenosis mitral
Kontraindikasi relatif: (Morgan,2013)
1. Sepsis
2. Pasien tidak kooperatif
3. Terdapat defisit neurologis
4. Stenosis katup jantung
5. Cardiomiopati
6. Deformitas tulang belakang yang parah
d. Cara Kerja
- Inspeksi: garis yang menghubungkan 2 titik tertinggi krista illiaca kanan dan kiri
-

akan memotong garis tengan punggung setinggi L4 atau L4-5.


Palpasi : Untuk mengenal ruang antara dua vertebra lumbalis.
Pungsi lumbal hanya antara: L2-2, L3-4, L4-5, atau L5-S1.
Posisi pasien: duduk atau berbaring lateral dengan punggung fleksi maksimal
Setelah tindakan antisepsis kulit daerah punggung pasien dan memakai sarung
tangan steril pungsi lumbal dilakukan dengan menyuntikan jarum lumbal no 22
(atau lebih halus no 23, 25 atau 26) pada bidang median dengan arah 10-30 derajat
terhadap bidang horisontal ke arah kranial pada ruang antar vertebra lumbalis yang
telah dipilih. Jarum lumbal akan menembus berturut-turut beberapa ligamen, yang
terakhir ditembus adalah durameter subarachnoid. Setelah stilet dicabut cairan
likuor serebrospinal akan menetes keluar. Selanjutnya disuntikkan larutan obat
analgetik lokal ke dalam ruang subarachnoid tersebut. (Muhiman,2004)

Gambar Posisi pasien pada anastesi spinal


e. Penyulit

2.5.2. Blok Epidural


a. Prinsip
Blok epidural adalah tindakan blok regional yang dilakukan dengan jalan
menyuntikkan obat analgesik lokal ke dalam ruang epidural.

Gambar 1. Teknik blok spinal, epidural, dan subaraknoid


b. Indikasi
1. Abdominal bawah dan inguinal
2. Anorektal dan genitalia eksterna
3. Ekstremitas inferior
c. Kontra Indikasi
1. Pasien tidak kooperatif
2. Pasien menolak
3. Gangguan faal homeostasis
4. Penyakit-penyakit saraf otot
5. Infeksi di daerah pungsi lumbal
6. Dehidrasi
7. Syok
8. Anemia
9. SIRS
10. Kelainan tulang belakang (arthritis dan keluhan anatomi tulang belakang
d. Cara Kerja
1. Pasang alat pantau yang diperlukan.
10

2. Posisi pasien tidur miring kanan atau ke kiri sesuai dengan posisi untuk melakukan
pungsi lumbal.
3. Disinfeksi area pungsi lumbal dan tutup dengan duk lubang steril.
4. Lakukan pungsi lumbal dengan jarum epidural dengan nomor 18 G atau 16 G pada
celah interspinosum lumbal 3-4 atau 4-5 sampai menembus ligamentum flavum.
5. Lakukan uji bebas tahanan (sebagai tanda bahwa ujung jarum sudah berada di
ruang epidural) dengan spuit berisi udara atau cairan isotonis.
6. Masukan kateter epidural melalui jarum epidural ke arah kranial sampai kateter
yang berada di ruang epidural sepanjang 2-5 cm.
7. Masukkan obat lidokain 2% atau obat yang lain sebanyak 20-30 ml sambil
melakukan aspirasi.
8. Setelah selesai tindakan, posisi pasien diatur sedemikian rupa agar posisi kepala
dan tungkai lebih tinggi dari badan.
9. Nilai ketinggian blok dengan skor Bromage, jika nilainya < 2, maka pasien boleh
pindah ruangan.

Gambar 2. Skor Bromage


10. Segera pantau tekanan darah dan denyut nadi.
e. Penyulit
1. Blok total (durameter tembus sehingga obat masuk ke dalam ruang subarachnoid).
2. Intoksikasi obat (reaksi sistemik)
3. Kegagalan blok
4. Bradikardi dan hipotensi
5. Depresi nafas
6. Mengigil
7. Mual dan muntah
8. Pasien tidak kooperatif
11

9. Neuropati
10. Nyeri pinggang
2.5.3. Blok Caudal
a. Prinsip
Efek anastesi caudal terbatas pada lumbal dan sakral, dan oleh karena itu efek
lebih sedikit pada jantung, pernapasan, dan gastrointestinal dibandingkan teknik
epidural. Kelemahan motorik terbatas pada kaki dan kehilangan sensorik biasanya
pada subumbilical. Gangguan otonom terbatas pada kandung kemih dan disfungsi
anorektal pada simpatis dan pelvic parasympaympathetic outflow terhambat. (B)
b. Indikasi
Untuk dewasa: (Smith, et al., 2009)
- Pembedahan: anorektal, gibekologi, bedah ortopedi
- Obstetri: episiotomi, pelepasan plasenta
- Nyeri kronik: coccydinia, spinal manipulation
Pediatri:
- Major abdominal, bedah tulang
- Hernia inguinal
- Bedah pada genitalia
c. Kontra Indikasi
1. Pasien tidak kooperatif
2. Pasien menolak
3. Gangguan faal homeostasis
4. Penyakit-penyakit saraf otot
5. Infeksi di daerah anorektal
6. Dehidrasi
7. Syok
8. Anemia
9. SIRS
10. Kelainan tulang sakrum
d. Cara Kerja
1. Pasang alat pantau yang diperlukan.
2. Posisi pasien tidur miring kanan atau ke kiri sesuai dengan posisi untuk melakukan
pungsi lumbal.
3. Disinfeksi area yang akan dilakukan pungsi lumbal atau kaki yang di bawah lurus
sedangkan kaki yang di atas ditekuk maksimal.
12

4. Lakukan suntikan pada hiatus sakralis dengan jarum suntik 10 ml kea rah kranial.
5. Lakukan uji bebas tahanan (sebagai tanda bahwa ujung jarum sudah berada di ruang
epidural) dengan spuit berisi udara atau cairan isotonis.
6. Masukkan obat lidokain 2% atau obat yang lain sebanyak 10 ml sambil melakukan
aspirasi.
7. Setelah selesai tindakan , posisi pasien dikembalikan telentang mendatar.
8. Keberhasilan blok dinilai dengan melihat perubahan penis menjadi dilatasi.
9. Segera pantau tekanan darah dan denyut nadi.

Gambar posisi pasien anastesi kaudal


e. Penyulit
a. Kegagalan blok
b. Intosikasi obat
c. Pasien tidak kooperatif
d. Neuropati sebagain komplikasi lanjut.

B. Blok Perifer
2.5.4. Blok Pleksus Brakhialis
a. Prinsip
Pleksus brakialis dibentuk oleh rami anterior C5-C8 dan T1. Rami tersebut
akan bergabung membentuk tiga trunkus di rongga antara muskulus skalene anterior
dan media kemudian melewati kosta pertama dan berjalan di bawah klavikula untuk
memasuki daerah aksila. Trunkus akan membentuk divisi anterior dan membentuk
tiga fasikulus (cord) dan akhirnya akan membentuk cabang terminal yang
13

mempersarafi sensorik dan motorik seluruh ekstremitas superior kecuali bagian bahu
yang dipersarafi oleh pleksus servikalis dan lengan atas medial dipersarafi oleh nervus
interkostobrakial dan kutaneus brakial medial.
Saraf pleksus brankialis dapat dianastesi dengan menyuntikan obat anastesi
lokal baik di daerah atas dari klavikula atau pun daerah sepanjang aksila di lengan
yang diperdarahi arteri aksilaris dan vena aksilaris. Stimulator saraf digunakan untuk
melokalisir lokasi saraf secara lebih teliti. Teknik ini dapat digunakan untuk prosedur
operasi dengan jangkauan luas dibawah siku dan akan menghasilkan efek analgesik
yang baik dalam periode segera setelah operasi. Disebabkan karena hambatan saraf
yang hilang selama beberapa jam, sangat penting untuk mengingatkan dokter bedah
dan pasien mengenai hal ini. (Lecture, 2004)
b. Indikasi
Anastesi pada pleksus branckial diindikasikan untuk variasi luas pada prosedur
operasi dan untuk mengatur nyeri akut dan kronik.
Penghambatan saraf plexus brakial secara teori memungkinkan dengan
masuknya pada berbagai tingkatan fascia, meskipun hambatan yang dihasilkan akan
beragam menurut volume dan penyebaran cairan. Ada beberapa teknik yang
dijelaskan pada tulisan ini, tetapi tiga hal yang paling umum adalah interscalene
(penghambatan pada lima cabang servikal), supraklavikular (penghambatan pada tiga
trunkus), dan aksilaris (penghambatan pada lima saraf terminal). (Smith, 2009)
1. Blok interscalene
Pendekatan interscalene ke pleksus brakialis sangat cocok digunakan untuk
operasi pada bahu, clavikula, atau lengan bagian atas. Teknik ini khususnya blok
saraf pleksus brakial (C5-C7), dengan bagian yang lebih atas untuk pleksus
servikalis (C3-C4), dan juga biasanya pada saraf ulnaris (C8-T1). Saraf pleksus
brakialis muncul dari masing-masing foramen intervetebralis dan arteri
vertebralis melewati otot scalene anterior dan media sebagai trunkus (Superior
C5-C6, Media C7, Inferior C8-T1) pada pleksus brakial.

14

Anatomi pleksus brakialis


Posisikan pasien pada posisi supinasi dengan kepala berbalik ke arah yang tidak
dioperasi. Identifikasikan kartilago cricoid, yang menunjukkan tingkat C6.
Palpasi ke arah lateral dari otot sternocleidomastoideus, dan pindah ke lateral ke
bagian alur interscalene. Vena jugularis eksternal sering melintasi perbatasan otot
sternocleido mastoideus seperti yang terlihat pada gambar dibawah, sehingga
penyisipan jarum harus lebih ke arah posterior. (Buckenmaier dan Lisa, 2008)

Gambar posisi penusukan jarum pada blok brakialis


2. Blok supraklavikular
Blok supraklavikula ideal untuk operasi lengan bagian atas dari midhumeral
hingga ke tangan. Pada blok bagian ini onsetnya cepat dan tingkat
keberhasilannya tinggi untuk bedah dan analgesia pada ekstremitas atas (kecuali
bahu).
Penusukan jarum pada teknik ini dengan mencari bagian bawah lateral
interscalene sampai sekitar satu sentimeter dari pertengahan klavikula.

15

Gambar penusukan jarum pada blok supraklavikula


Kpmplikasi yang sering dikait dengan blok ini adalah pneumotoraks. Saat
menusukkan jarum ke regio ini, ingatlah bahwa bagian apeks paru terletak pada
medial dan posterior dari pleksus brakial seperti dalamnya tulang rusuk pertama.
Dengan jarum yang pendek (5 cm) dapat menurunkan kejadian pneumotoraks.
Tidak seperti blok interscalene, pada blok supraklavikula dapat menyebabkan
hemiparesis diafragma pada sekitar 50% pasien, dengan minimal pengurangan
FVC (Forced vital capacity) Tanda dan gejala pneumotoraks termasuk batuk
mendadak dan sesak napas.
3. Blok aksilaris
Pada blok aksila memang resiko penurunan pernapasan dapat diabaikan sebab
letak nya paling distal pada pleksus brakialis. Blok aksilaris dilakukan pada
operasi bagian siku dan lengan bawah.

Gambar dermatom pada blok aksilaris


Penusukan jarum dilakukan dipuncak aksila disekitar pembuluh darah arteri
aksilaris.

16

Gambar penusukan jarum pada blok aksilaris


2.5.5. Blok Regional Intravena
a. Prinsip
Blok analgesia intravena adalah blok yang dilakukan dengan cara menyuntikan obat
anestetik lokal ke dalam vena yang telah dieksanguinasi secara tertutup baik pada
ektremitas superior maupun pada ekstremitas inferior.
b. Indikasi
c. Kontra Indikasi
1. Pasien tidak kooperatif
2. Pasien menolak
3. Gangguan faal homeostasis
d. Cara Kerja
1. Pasang alat pantau yang diperlukan
2. Pasien tidur terlentang.
3. Apabila blok dilakukan pada ektremitas superior, pasang torniket manset ganda
pada lengan atas, apabila blok dilakukan pada ekstremitas inferior, pasang torniket
manset ganda pada paha.
4. Lakukan eksanguinasi tertutup. Selanjutnya pompa torniket sampai tekanannya
mencapai 2x tekanan sistolik (ekstremitas atas) atau 3x tekanan sistolik (untuk
ekstremitas inferior).
5. Masukan obat anestetik loka yang dipilih melalui wing needle atau kanul
intravena yang telah terpasang secara pelan-pelan.
6. Tunggu kurang lebih 5-10 menit untuk memberikan kesempatan obat mulai bekerja
(onset of action).

17

7. Apabila pasien sudah mengalami bebas nyeri pada area distal manset proksimal.
Pompa manset yang disebelah distal.
8. Tindakan pembedahan sudah bisa dimulai.
9. Selama tindakan pembedahan, perhatikan tekanan manset dan pertahankan tekanan
sesuai dengan besarnya tekanan yang telah ditentukan di atas.
10. Apabila operasi sudah selesai dan luka operasi sudah dirawat atau dibalut,
kempeskan manset secara perlahan-lahan sampai tekanannya nol, selanjutnya
dipompa lagi perlahan-lahan, demikian seterusnya dilakukan berulang-ulang sampai
lebih kurang lima kali.
e. Penyulit
1. Angka kegagalan tinggi
2. Pasien tidak kooperatif
3. Intoksikasi obat
4. Paresis nervus aksilaris
5. Nyeri tornmiket
2.5.6. Anastesi Lokal
Analgesia atau anestesi lokal merupakan teknik anestesi yang dilakukan
dengan menyuntikaan obat anestetik lokal pada daerah atau di sekitar lokasi
pembedahan yang menyebabkan hambatan konduksi impuls aferen yang bersifat
aferen. Jenis-jenis anestesi lokal, antara lain:
1. Analgesik topikal
2. Analgesik infiltrasi lokal
3. Blok lapangan.
1. Analgesik topikal
Merupakan tindakan dengan cara menempatkan obat anestetik lokal dengan
cara, antara lain: oles, semprot, tetes pada permukaan mukosa atau jaringan atau pada
rongga tubuh.
Indikasi:
1. Tindakan endoskopi
2. Kateterisasi saluran kemi (uretra)
3. Untuk analgesik lokal pada luka memar.
4. Cabut gigi
18

5. Tindakan diagnostik pada mata


Kontraindikasi:
1. Pasien tidak kooperatif
2. Pasien menolak
Obat dan kemasannya:
1. Larutan lidokain 2%, bupivakain 0,5%, dan lain-lain.
2. Semprot Xylocain Spray
3. Pasta/jeli, misalnya lidonest 10%
4. Tetes mata, misalnya tetrakain.
Tindakan analgesik lokal dapat dilakukan dengan cara:
1. Menempatkan kain kasa yang telah dibasahi dengan larutan obat anestetik
lokal konsentrasi 1-2%.
2. Semprot, obat anestetik lokal disemprotkan pada permukaan, digunakan
larutan semprot.
3. Oleskan, obat anestetik lokal berupa salep/pasta dioleskan pada permukaan
mukosa.
4. Instalasi dengan alat suntik, obat anestetik lokal disemprotkan ke saluran,
misalnya uretra.
5. Tetes mata, obat dioleskan pada mata.
Penyulit:
1. Angka kegagalan tinggi
2. Pasien tidak kooperatif
3. Intoksikasi obat analgetik lokal.
2. Analgesik lokal infiltrasi
Merupakan tindakan menyuntikan/infiltrasi obat anestetik pada daerah yang
akan dieksplorasi.
Indikasi:
1. Luka terbuka (ukuran kecil sampai sedang).
2. Eksterpasi tumor yang kecil di permukaan kulit.
3. Cabut gigi
4. Rekonstruksi (bedah plastic) kulit.
Kontraindikasi:
1. Pasien tidak kooperatif
19

2. Pasien Menolak
Teknik:
1. Disinfeksi area tempat suntikan.
2. Suntikan obat anestetik lokal pada daerah yang akan dieksplorasi secara
merata.
3. Lakukan aspirasi untuk meyakinkan bahwa ujung jarum berada di luar
pembuluh darah.
4. Tunggu 5-10 menit untuk menunggu munculnya efek anestesi.
Penyulit:
1. Angka kegagalan tinggi
2. Pasien tidak kooperatif
3. Intoksikasi obat
3. Blok lapangan
Obat anestetik lokal disuntikan mengelilingi area yang akan dieksplorasi.
Indikasi:
1. Luka terbuka
2. Eksterpasi tumor di permukaan kulit
3. Cabut gigi.
4. Amputasi jari
5. Sirkumsisi
6. Rekonstruksi (bedah plastic) kulit.
7. Suplemen analgesik lokal pada laparotomi mini.
Kontraindikasi:
1. Pasien tidak kooperatifd
`2. Pasien menolak
Teknik:
1. Disinfeksi area.
2. Suntikan obat anestetik lokal pada area yang akan dieksplorasi secara
melingkar.
3. Sebelum obat dimasukkan, aspirasi terlebih dahulu untuk meyakinkan
bahwa ujung jarum tidak berda di dalam pembuluh darah.
4. Tunggu 5-10 menit untuk menunggu mulai kerja obat.
Penyulit:
1. Pasien tidak kooperatif
20

2. Angka kegagalan tinggi


3. Intoksikasi obat.

21

BAB III
KESIMPULAN

22

DAFTAR PUSTAKA
Goodman dan Gilman. 2011. Goodman and Gilmans Manual Of Pharmacology and
Therapeutics. Jakarta: EGC
Kasim, Alwi dan Lucky Riawan. 2007. Bedah Dento Alveolar. Bandung: Bagian Bedah
Mulut Fakultas Kedokteran Gigi.
Muhiman, Muhadi, Said A latief, gunawarman Basuki. 2004. Anestesiologi. Jakarta: Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Sunaryo. 2001. Kokain dan Anestetik Lokal Sintetik. Dalam Farmakologi dan Terapi Edisi 4.
Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Gwinnutt, Carl L. 2004. Lecture notes on clinical anaesthesia. 2nd ed. United Kingdom: TJ
international Ltd.
Smith, T., Colin Pinnock, dan Ted L. 2009. Fundamentals of Anasthesia. Third
Edition. Newyork: Cambridge University Press.
Buckenmaier, Chester dan Lisa Bleckner. 2008. Military Advanced Regional
Anasthesia and Analgesia Handbook. Washington DC: Borden Institute.

23

Anda mungkin juga menyukai