AS di Asia Pasifik, Hugh White sebagai pakar studi strategis dari Australian
University, juga merekomendasikan hal yang secara teknis sejalan dengan
rekomendasi Kaplan. White malah sudah sampai pada sebuah proyeksi bahwa AS
akan menggantikan peran Cina sebagai pendominasi kawasan Laut Cina Selatan 2.
Dengan merangkul Cina, India, Jepang sebagai kekuatan utama di Asia namun tetap
dalam orbit AS. Seperti juga halnya di Eropa Perancis, Jerman dan Inggris sebagai
kekuatan utama di Eropa. Namun model ini diterapkan dengan asumsi bahwa AS akan
memanfaatkan kekhawatiran Jepang terhadap kemungkinan Cina sebagai kekuatan
dominasi tunggal di Laut Cina Selatan.
Terhadap kedua rekomendasi dua pakar studi strategis tersebut, jelas lah sudah
bahwa AS secara sadar dan sistematis bermaksud mengincar kawasan Laut Cina
Selatan, dan tentunya saat ini sedang menggalang persekutuan militer dengan negaranegara di seputar Laut Cina Selatan.
Pembanding yang kedua, Is China Becoming More Assertive in the South
China Sea? merupakan salah satu sub-judul dari tulisan M. Taylor Fravel berjudul
MaritimeSecurity in the South China Sea and the Competition over Maritime Rights
yang dimuat di sebuah laporan berjudul Cooperation from Strength: The United
States, China and the South China Sea yang diterbitkan oleh Center for New
American Security, sebuah lembaga penelitian di Washington DC.
Di dalam sub-bab tersebut Fravel berargumen bahwa Cina tidaklah seasertif
apa yang dibayangkan selama ini3. Ada 2 indikator yang digunakan Fravel untuk
memperkuat analisanya. Pertama, Cina tidak memperluas wilayah klaimnya, baik
klaim kedaulatan (sovereignty claims) maupun klaim atas hak-hak maritim (maritime
rights claims), di Laut Cina Selatan. Klaim kedaulatan Cina atas Kepulauan Paracel
dan juga Kepulauan Spratly telah berlangsung sejak tahun 1951 dan klaim ini hanya
mengacu pada klaim yang telah dilakukan oleh pemerintah Cina sebelumnya.
Sementara untuk klaim atas hak-hak maritim pertama kali disampaikan oleh Cina
pada tahun 1958 ketika terjadi Krisis Jinmen.
Hal yang sama juga berlaku bagi the nine-dash line yang muncul di petapeta Laut Cina Selatan yang dibuat oleh Cina. Sembilan garis putus-putus ini, yang
2
3
menggambarkan wilayah di Laut Cina Selatan yang diklaim oleh Cina, juga bukan hal
baru yang menunjukan perluasan klaim Cina di Laut Cina Selatan karena garis ini
telah ada sejak tahun 1947 pada peta yang dibuat oleh Republik Cina (Republic of
China) atau yang kini lebih dikenal sebagai Taiwan.
Kedua, dalam mempertahankan klaim teritorialnya di Laut Cina Selatan, Cina
tidak menggunakan kekuatan militernya. Melainkan menggunakan lembaga-lembaga
sipil penegak hukum di laut, South Sea Region Fisheries Administration Bureau
(SSRFAB) dan Chinas Marine Surveillance Force (MSF). Satu-satunya tindakan
Cina yang dipandang Fravel berpotensi menunjukan asertifitas Cina adalah aksi Cina
pada Mei 2011 yang mengganggu aktivitas kapal survei seismik milik Vietnam yang
beroperasi di Laut Cina selatan dengan memotong kabel survei dari kapal tersebut.
Fravel menyatakan jika frekuensi aksi serupa meningkat di masa depan maka itu
dapat digunakan sebagai indikator yang menunjukan asertifitas Cina di Laut Cina
Selatan.
Tulisan ini akan mengkritisi pemikiran Kaplan mengenai sengketa laut Cina
Selatan lalu membandingkan nya dengan argument yang lain lalu analisis.
Terdapat beberapa poin yang dapat dikritisi dari tulisan Kaplan. Pertama,
Kaplan keliru mengeneralisasi negara-negara Asia Tenggara sebagai telah
menyelesaikan permasalahan- permasalahan legitimasi domestik dan state-building.
Meskipun mengalami pertumbuhan ekonomi yang positif, negara-negara di Asia
Tenggara sampai beberapa waktu yang akan datang akan tetap dipengaruhi oleh
kondisi domestik dalam kebijakan luar negerinya. Faktor kondisi domestik ini juga
akan menentukan keberlanjutan aktifitas regionalisme di Asia Timur yang selama ini
diprakarsai oleh negara-negara Asia Tenggara melalui ASEAN.
Kedua, argumentasi Kaplan dibangun atas dasar asumsi bahwa semua negara
tanpa terkecuali akan berperilaku menurut alur logika realisme dan balance of power.
Masalahnya, bagaimana jika tidak demikian? Bagaimana jika Cina benar-benar
melihat integrasinya ke dalam sistem internasional adalah lebih menguntungkan
daripada menantang sistem itu sendiri? Bagaimana jika AS pada akhirnya memilih
untuk tidak terlibat terlalu jauh dalam dinamika keamanan di Asia Timur karena
misalnya,besarnya biaya yang akan dikeluarkan?
Ketiga, pada kenyataannya grand stategy yang dijalankan AS saat ini juga
memberatkan AS untuk terlibat aktif dalam dinamika keamanan Asia Timur dan Laut
Cina Selatan khususnya. Meskipun tidak dinyatakan secara resmi, grand strategy yang
dijalankan AS saat ini adalah global dominance dimana AS berupaya mendominasi
dunia dan ikut terlibat dalam masalah-masalah keamanan di setiap sudut dunia. Hal
ini tentu saja menyulitkan AS jika AS benar-benar ingin mengimbangi kekuatan Cina
dan menghalangi proyeksi kekuatan maritimnya di Laut Cina Selatan.
Berakhirnya Perang Dingin seolah menjadi momentum berakhirnya pula
permainan politik dari great powers. Adapun Amerika Serikat sebagai pemenang
Perang Dingin hingga saat ini masih mempertahankan keberadaan militernya di
berbagai
kawasan.
Alasannya
sederhana:
Amerika
Serikat
mengantisipasi
Chritian Le Mire, Americas Pivot to East Asia: The Naval Dimension, Survival: Global Politics and Strategy,
Vol. 54, No. 3, (2012), hal. 81
Lanxin Xiang, China and The Pivot, Survival: Global Politics and Strategy, Vol. 54, No. 5, (2012), hal. 113
oleh Amerika Serikat dan beranggotakan: Jepang, India, Singapura, Taiwan, Korea
Selatan, Vietnam, Filipina, Rusia, dan Australia.
Tulisan ini memaparkan bagaimana meskipun respon balancing mungkin
terjadi, tapi respon tersebut tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Yang menjadi
pertimbangan adalah superioritas ekonomi Cina di kawasan Asia Pasifik. Saat ini Cina
tidak saja menjadi partner strategis di Asia, tapi juga di Asia Pasifik: partner
perdagangan terbesar di Jepang, Korea Selatan, dan Australia; serta partner
perdagangan terbesar kedua ASEAN dan Amerika Serikat. Semuanya adalah greatpowers di Asia Pasifik; dan karenanya, strategi balancing terhadap Cina akan
mendatangkan resiko instabilitas ekonomi di Asia Pasifik. Cina mulai tidak ragu
menggunakan instrumen embargo ekonomi bila kepentingan nasionalnya terancam,
dan konsekuensi inilah yang tentunya berusaha dihindari oleh negara-negara di
kawasan Asia Pasifik.
Untuk saat ini, strategi buck-passing akan menjadi preferensi negara-negara di
Asia Pasifik. Dengan strategi buck-passing, negara-negara Asia Pasifik berupaya
menyerahkan tugas pembendungan Cina kepada Amerika Serikat, yakni dengan
mempertahankan keberadaan militer Amerika Serikat di kawasan dan bergantung
kepada asuransi keamanan Amerika Serikat daripada berusaha memodernisasi
militernya untuk memprovokasi Cina. Strategi buck-passing ini akan dipilih terutama
oleh negara-negara di Asia mengingat inferioritas militernya atas Cina.