Anda di halaman 1dari 7

Review 4 KLNKAS

Denia Ghaisani Awanis / 1106016941


Sumber

: Robert D Kaplan. South China Sea is a Future Conflict. Dalam

Foreign Policy. September/Oktober 2011, Page 78-85


Masa Depan Laut Cina Selatan di Dalam Sistem Internasional
Kekhawatiran AS ihwal manuver Cina menguasai Laut Cina Selatan,
setidaknya telah disuarakan oleh Robert D Kaplan, selaku pengamat dari Center for a
New American Security. Kaplan yang juga anggota Dewan Kebijakan Departemen
Pertahanan Amerika Serikat, menilai bahwa Cina bermaksud menguasai Laut Cina
Selatan sebagaimana AS menguasai Karibia. Berarti tersirat melalui kajian Kaplan,
dia bermaksud merekomendasikan pemerintahan Obama agar memprioritaskan
pengembangan kekuatan militer AS di kawasan Asia Pasifik. Mengingat
latarbelakangnya sebagai anggota Dewan Kebijakan Departemen Pertahanan, berarti
kajian Kaplan tak pelak lagi merupakan pesanan dari Pentagon yang agenda
strategisnya adalah untuk memiliterisasikan politik luar negeri AS seperti di era
kepresidenan George W Bush dulu. Upaya AS untuk menguasai Laut Cina Selatan
menghadang Cina, terungkap melalui poin lain dari rekomendasi Kaplan. Menurut
Kaplan, AS seharusnya mengincar perimbangan kekuasaan di Laut Cina Selatan,
meski bukan sebagai pendominasi. Namun dari fakta ini, hakikinya AS punya agenda
strategis menguasai Laut Cina Selatan melalui berbagai tahapan maupun opsi.
Argumen utama yang di ungkapkan oleh Kaplan adalah bahwa Laut Cina
Selatan akan menjadi wilayah konflik di masa yang akan datang. Perimbangan
kekuatan (balance of power) antara Cina dan Amerika Serikat, menurut Kaplan, akan
menjadi fitur utama dinamikan keamananan di Laut Cina Selatan. Menurut Kaplan,
pada abad ke-21 Laut Cina Selatan berubah menjadi medan pertempuran baru
kekuatan-kekuatan besar dunia. Kaplan beragumen bahwa alasan yang mendasari ini
terjadi dikarenakan adanya tiga faktor. Faktor yang pertama, yaitu (1) lokasi laut Cina
Selatan, (2) cadangan energy yang tersimpan di Laut Cina Selatan, dan (3) sengketa
wilayah yang melibatkan sejumlah Negara di Laut Cina Selatan. Dari ketiga faktor
tersebut, Cina menjadi actor utama nya.

Laut Cina Selatan merupakan wilayah pertemuan proyeksi kekuatan sejumlah


Negara Asia Timur yang mulai outward looking. Cina, dengan pertumbuhan
ekonomi nya yang progresif, memilih Laut Cina Selatan sebagai tujuan proyeksi
kekuatan maritim nya. Laut Cina Selatan juga memiliki cadangan energy yang sangat
besar yang dapat menjadi pemicu konflik di masa yang akan datang. Di Laut Cina
Selatan terdapat setidaknya 7 milliar barel cadangan minyak. Selain itu, Laut Cina
Selatan juga terhubung dengan jalur-jalur perdagangan dan transportasi minyak utama
dunia. Persoalan sengketa wilayah juga menjadi salah satu potensi konflik di Laut
Cina Selatan. Tumpang tindih klaim terjadi di Kepulaun Spratly dan Paracel, yang
keduanya melibatkan Cina. Dengan adanya berbagai fenomena yang terjadi, menjadi
penting untuk melihat bagaimana potensi konflik yang mana dapat menentukan masa
depan Laut Cina Selatan.
Menurut Kaplan, apa yang sedang dilakukan Cina adalah mewujudkan bentuk
dominasi yang mirip dengan apa yang di miliki Amerika Serikat di kawasan Western
Hemisphere. Amerika Serikat menjadi hegemon regional dan mampu mendiktekan
keinginannya ke setiap Negara di kawasan tersebut. Selain itu, tidak terfikirkan
Negara-negara lain di Western Hemisphere untuk memulai konfrontasi langsung deng
AS. Kondisi ini yang di prediksi oleh Kaplan ingin dilakukan dan diwujudkan oleh
Cina. Ini sesuai dengan alur logika yang ditawarkan oleh Mearsheimer 1. Menurut
Mearsheimer, setiap Negara yang memiliki great power akan berusaha menjadi
hegemon regional nya karena hanya dengan itu keamanan Negara nya akan dapat
terjamin.
Satu-satu nya kekuatan yang mampu untuk mengimbangi Cina tak lain, dan
tak bukan menurut Kaplan adalah Amerika Serikat. Keterlibatan AS dalam dinamika
keamanan Asia Timur dan Laut Cina Selatan khususnya dapat mencegah Cina
bertindak terlampau agresif. Perimbangan kekuatan antara Cina dan AS juga membuat
actor-aktor lain untuk terlibat dalam upaya pengelolaan potensi konflik di Laut Cina
Selatan. Dengan demikian, Kaplan beragumen bahwa realism dengan logika balance
of power nya akan menghindarkan dunia dari konflik antar kekuatan-kekuatan besar
yang kali ini terjadi di Laut Cina Selatan.

Selain rekomendasi terselubung Kaplan untuk memperkuat kekuatan militer


1

John J Mearsheimer, The Tragedy of Great Power Politics (New


York : W.W.Norton,2001) : John J Mearsheimer

AS di Asia Pasifik, Hugh White sebagai pakar studi strategis dari Australian
University, juga merekomendasikan hal yang secara teknis sejalan dengan
rekomendasi Kaplan. White malah sudah sampai pada sebuah proyeksi bahwa AS
akan menggantikan peran Cina sebagai pendominasi kawasan Laut Cina Selatan 2.
Dengan merangkul Cina, India, Jepang sebagai kekuatan utama di Asia namun tetap
dalam orbit AS. Seperti juga halnya di Eropa Perancis, Jerman dan Inggris sebagai
kekuatan utama di Eropa. Namun model ini diterapkan dengan asumsi bahwa AS akan
memanfaatkan kekhawatiran Jepang terhadap kemungkinan Cina sebagai kekuatan
dominasi tunggal di Laut Cina Selatan.
Terhadap kedua rekomendasi dua pakar studi strategis tersebut, jelas lah sudah
bahwa AS secara sadar dan sistematis bermaksud mengincar kawasan Laut Cina
Selatan, dan tentunya saat ini sedang menggalang persekutuan militer dengan negaranegara di seputar Laut Cina Selatan.
Pembanding yang kedua, Is China Becoming More Assertive in the South
China Sea? merupakan salah satu sub-judul dari tulisan M. Taylor Fravel berjudul
MaritimeSecurity in the South China Sea and the Competition over Maritime Rights
yang dimuat di sebuah laporan berjudul Cooperation from Strength: The United
States, China and the South China Sea yang diterbitkan oleh Center for New
American Security, sebuah lembaga penelitian di Washington DC.
Di dalam sub-bab tersebut Fravel berargumen bahwa Cina tidaklah seasertif
apa yang dibayangkan selama ini3. Ada 2 indikator yang digunakan Fravel untuk
memperkuat analisanya. Pertama, Cina tidak memperluas wilayah klaimnya, baik
klaim kedaulatan (sovereignty claims) maupun klaim atas hak-hak maritim (maritime
rights claims), di Laut Cina Selatan. Klaim kedaulatan Cina atas Kepulauan Paracel
dan juga Kepulauan Spratly telah berlangsung sejak tahun 1951 dan klaim ini hanya
mengacu pada klaim yang telah dilakukan oleh pemerintah Cina sebelumnya.
Sementara untuk klaim atas hak-hak maritim pertama kali disampaikan oleh Cina
pada tahun 1958 ketika terjadi Krisis Jinmen.
Hal yang sama juga berlaku bagi the nine-dash line yang muncul di petapeta Laut Cina Selatan yang dibuat oleh Cina. Sembilan garis putus-putus ini, yang
2
3

menggambarkan wilayah di Laut Cina Selatan yang diklaim oleh Cina, juga bukan hal
baru yang menunjukan perluasan klaim Cina di Laut Cina Selatan karena garis ini
telah ada sejak tahun 1947 pada peta yang dibuat oleh Republik Cina (Republic of
China) atau yang kini lebih dikenal sebagai Taiwan.
Kedua, dalam mempertahankan klaim teritorialnya di Laut Cina Selatan, Cina
tidak menggunakan kekuatan militernya. Melainkan menggunakan lembaga-lembaga
sipil penegak hukum di laut, South Sea Region Fisheries Administration Bureau
(SSRFAB) dan Chinas Marine Surveillance Force (MSF). Satu-satunya tindakan
Cina yang dipandang Fravel berpotensi menunjukan asertifitas Cina adalah aksi Cina
pada Mei 2011 yang mengganggu aktivitas kapal survei seismik milik Vietnam yang
beroperasi di Laut Cina selatan dengan memotong kabel survei dari kapal tersebut.
Fravel menyatakan jika frekuensi aksi serupa meningkat di masa depan maka itu
dapat digunakan sebagai indikator yang menunjukan asertifitas Cina di Laut Cina
Selatan.
Tulisan ini akan mengkritisi pemikiran Kaplan mengenai sengketa laut Cina
Selatan lalu membandingkan nya dengan argument yang lain lalu analisis.
Terdapat beberapa poin yang dapat dikritisi dari tulisan Kaplan. Pertama,
Kaplan keliru mengeneralisasi negara-negara Asia Tenggara sebagai telah
menyelesaikan permasalahan- permasalahan legitimasi domestik dan state-building.
Meskipun mengalami pertumbuhan ekonomi yang positif, negara-negara di Asia
Tenggara sampai beberapa waktu yang akan datang akan tetap dipengaruhi oleh
kondisi domestik dalam kebijakan luar negerinya. Faktor kondisi domestik ini juga
akan menentukan keberlanjutan aktifitas regionalisme di Asia Timur yang selama ini
diprakarsai oleh negara-negara Asia Tenggara melalui ASEAN.
Kedua, argumentasi Kaplan dibangun atas dasar asumsi bahwa semua negara
tanpa terkecuali akan berperilaku menurut alur logika realisme dan balance of power.
Masalahnya, bagaimana jika tidak demikian? Bagaimana jika Cina benar-benar
melihat integrasinya ke dalam sistem internasional adalah lebih menguntungkan
daripada menantang sistem itu sendiri? Bagaimana jika AS pada akhirnya memilih
untuk tidak terlibat terlalu jauh dalam dinamika keamanan di Asia Timur karena
misalnya,besarnya biaya yang akan dikeluarkan?

Ketiga, pada kenyataannya grand stategy yang dijalankan AS saat ini juga
memberatkan AS untuk terlibat aktif dalam dinamika keamanan Asia Timur dan Laut
Cina Selatan khususnya. Meskipun tidak dinyatakan secara resmi, grand strategy yang
dijalankan AS saat ini adalah global dominance dimana AS berupaya mendominasi
dunia dan ikut terlibat dalam masalah-masalah keamanan di setiap sudut dunia. Hal
ini tentu saja menyulitkan AS jika AS benar-benar ingin mengimbangi kekuatan Cina
dan menghalangi proyeksi kekuatan maritimnya di Laut Cina Selatan.
Berakhirnya Perang Dingin seolah menjadi momentum berakhirnya pula
permainan politik dari great powers. Adapun Amerika Serikat sebagai pemenang
Perang Dingin hingga saat ini masih mempertahankan keberadaan militernya di
berbagai

kawasan.

Alasannya

sederhana:

Amerika

Serikat

mengantisipasi

kemungkinan munculnya rival baru yang mungkin mengancam kebebasan


bermanuvernya sebagai satu-satunya superpower dalam sistem internasional.
Bagaimanapun, permainan politik great powers tidak akan pernah berakhir. Selama
sistem internasional masih anarki, great powers akan berprasangka buruk satu sama
lain dan saling berkompetisi memaksimalkan power dalam sistem internasional.
John Mearsheimer, dalam seminarnya Why China Cannot Rise Peacefully
pada 17 Oktober 2012 di Ottawa4 memaparkan bagaimana Amerika Serikat sebagai
hegemon di kawasan Western Hemisphere secara tradisi tidak mentolerir kemunculan
hegemon di kawasan lain, sebagaimana akan mengancam kebebasan Amerika Serikat
untuk bermanuver sebagai satu-satunya hegemon kawasan dalam sistem internasional.
Dan sebagaimana halnya Amerika Serikat berusaha membendung Uni Soviet menjadi
hegemon kawasan Eropa pada era Perang Dingin, Amerika Serikat juga akan
berupaya membendung pengaruh Cina di kawasan Asia.
Upaya pembendungan Cina di Asia tersebut tergambar jelas dalam perubahan
kebijakan luar negeri Amerika Serikat menjadi berporoskan Asia Pasifik pada tahun
2011. Menteri Luar Negeri Amerika Serikat saat itu, Hillary Clinton, menyampaikan
dalam Majalah Foreign Policy 2011 bahwa salah satu tugas terpenting Amerika
Serikat pada dekade mendatang adalah terlibat secara substansial dalam berbagai jalur
diplomasi, ekonomi, dan strategis di kawasan Asia Pasifik 5. Enam fokus dari
kebijakan poros Asia Pasifik: memperkuat aliansi keamanan bilateral; memperkuat
4
5

John J. Mearsheimer, Why China Cannot Rise Peacefully, 17 Oktober 2012

Chritian Le Mire, Americas Pivot to East Asia: The Naval Dimension, Survival: Global Politics and Strategy,
Vol. 54, No. 3, (2012), hal. 81

hubungan partner dengan negara-negara berkembang; terlibat dalam institusi


multilateral di kawasan; memperluas perdagangan dan investasi; menegaskan
keberadaan militer yang tersebar di kawasan; dan memajukan demokrasi dan hak
asasi manusia6.
Sebagai realisasi, Amerika Serikat melakukan serangkaian manuver pada
ranah ekonomi dan ranah militer di kawasan Asia Pasifik. Dalam bidang militer,
Amerika Serikat mengembangkan doktrin militer baru Air-Sea Battle yang
menggabungkan keterpaduan kekuatan udara dan laut; menempatkan marinir Amerika
Serikat di Australia; menempatkan kapal tempur USS Freedom di Singapura7; serta
melaksanakan latihan militer dengan beberapa negara seperti Jepang, Korea Selatan,
dan Vietnam.
Berdasarkan pemaparan tersebut terlihat bagaimana perubahan kebijakan luar
negeri Amerika Serikat berporoskan Asia Pasifik pada dasarnya ditujukan untuk
membendung pengaruh Cina di kawasan Asia. Melalui latihan militer gabungan
dengan Jepang, Korea Selatan, dan Vietnam yang notabene adalah negara-negara
yang memiliki kedekatan geografis dengan Cina, Amerika Serikat berupaya
membendung kapabilitas power-projection Cina di Asia. Serta, melalui penempatan
marinir di Australia dan kapal USS Freedom di Singapura, Amerika Serikat berupaya
menegaskan keberadaan militer yang kredibel sebagai asuransi keamanan bagi sekutu
dan partner keamanannya di Asia Pasifik.
Cina sebagai calon hegemon di kawasan Asia dan perubahan kebijakan
Amerika Serikat menjadi berporoskan Asia Pasifik menghadirkan dilema akan
bagaimana negara-negara di Asia Pasifik sebaiknya harus mengambil sikap
menanggapi rivalitas strategis Amerika Serikat dan Cina tersebut. John Mearsheimer
memaparkan bahwasanya balancing dan buck-passing merupakan strategi utama yang
digunakan untuk mempertahankan tatanan internasional yang ada ketika menghadapi
rivalitas strategis8. Dalam seminarnya Why China Cannot Rise Peacefully pada 17
Oktober 2012 di Ottawa9, Mearsheimer berargumen bahwa kemungkinan besar akan
muncul di masa mendatang respon balancing terhadap Cina bahwasanya negaranegara berkomitmen untuk membendung pengaruh Cina di kawasan yang dipimpin
6

David A. Beitelman, Americas Pacific Pivot, hal. 1087

Lanxin Xiang, China and The Pivot, Survival: Global Politics and Strategy, Vol. 54, No. 5, (2012), hal. 113

John J. Mearsheimer, The Tragedy of Great Power Politics, hal. 13

John J. Mearsheimer, Why China Cannot Rise Peacefully, 17 Oktober 2012

oleh Amerika Serikat dan beranggotakan: Jepang, India, Singapura, Taiwan, Korea
Selatan, Vietnam, Filipina, Rusia, dan Australia.
Tulisan ini memaparkan bagaimana meskipun respon balancing mungkin
terjadi, tapi respon tersebut tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Yang menjadi
pertimbangan adalah superioritas ekonomi Cina di kawasan Asia Pasifik. Saat ini Cina
tidak saja menjadi partner strategis di Asia, tapi juga di Asia Pasifik: partner
perdagangan terbesar di Jepang, Korea Selatan, dan Australia; serta partner
perdagangan terbesar kedua ASEAN dan Amerika Serikat. Semuanya adalah greatpowers di Asia Pasifik; dan karenanya, strategi balancing terhadap Cina akan
mendatangkan resiko instabilitas ekonomi di Asia Pasifik. Cina mulai tidak ragu
menggunakan instrumen embargo ekonomi bila kepentingan nasionalnya terancam,
dan konsekuensi inilah yang tentunya berusaha dihindari oleh negara-negara di
kawasan Asia Pasifik.
Untuk saat ini, strategi buck-passing akan menjadi preferensi negara-negara di
Asia Pasifik. Dengan strategi buck-passing, negara-negara Asia Pasifik berupaya
menyerahkan tugas pembendungan Cina kepada Amerika Serikat, yakni dengan
mempertahankan keberadaan militer Amerika Serikat di kawasan dan bergantung
kepada asuransi keamanan Amerika Serikat daripada berusaha memodernisasi
militernya untuk memprovokasi Cina. Strategi buck-passing ini akan dipilih terutama
oleh negara-negara di Asia mengingat inferioritas militernya atas Cina.

Anda mungkin juga menyukai