Anda di halaman 1dari 14

II.

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi dan Prinsip Ekowisata
Ekowisata merupakan kegiatan wisata yang menaruh perhatian besar
terhadap kelestarian sumberdaya pariwisata. Masyarakat ekowisata internasional
mengartikannya sebagai perjalanan wisata alam yang bertanggungjawab dengan
cara mengonservasi lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal
(responsible travel to natural area that conserves the environment and improves
the well-being of local people) (TIES, 2000 dalam Damanik dan Weber, 2006).
Dari definisi ini ekowisata dapat dilihat dari tiga perspektif, yakni: pertama,
ekowisata sebagai produk; kedua, ekowisata sebagai pasar; ketiga, ekowisata
sebagai pendekatan pengembangan. Sebagai produk, ekowisata merupakan semua
atraksi yang berbasis pada sumberdaya alam. Sebagai pasar, ekowisata merupakan
perjalanan yang diarahkan pada upaya-upaya pelestarian lingkungan. Akhirnya
sebagai pendekatan pengembangan, ekowisata merupakan metode pemanfaatan
dan pengelolaan sumberdaya pariwisata secara ramah lingkungan. Disini kegiatan
wisata yang bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat lokal dan
pelestarian lingkungan sangat ditekankan dan merupakan ciri khas ekowisata.
Pihak yang berperan penting dalam ekowisata bukan hanya wisatawan tetapi juga
pelaku wisata lain (tour operator) yang memfasilitasi wisatawan untuk
menunjukkan tanggungjawab tersebut (Damanik dan Weber, 2006).
Ekowisata merupakan suatu bentuk wisata yang mengadopsi prinsip-prinsip
pariwisata berkelanjutan yang membedakan dengan bentuk wisata lain. Didalam
praktik hal ini terlihat dalam bentuk kegiatan wisata yang; a) secara aktif
menyumbang kegiatan konservasi alam dan budaya; b) melibatkan masyarakat
lokal dalam perencanaan, pengembangan, dan pengelolaan wisata serta
memberikan sumbangan positif terhadap kesejahteraan mereka; dan c) dilakukan
dalam bentuk wisata independen atau diorganisasi dalam bentuk kelompk kecil
(UNEP, 2000; Heher, 2003 dalam Damanik dan Weber, 2006).
Dalam kaitannya ini From (2004) dalam Damanik dan Weber, (2006)
menyusun tiga konsep dasar yang lebih operasional tentang ekowisata, yaitu
sebagai berikut:

Pertama, Perjalanan outdoor dan di kawasan alam yang tidak menimbulkan


kerusakan lingkungan. Dalam wisata ini orang biasanya menggunakan
sumberdaya hemat energi, seperti tenaga surya, bangunan kayu, bahan daur ulang,
dan mata air. Sebaliknya kegiatan tersebut tidak mengorbankan flora dan fauna,
tidak mengubah topografi lahan dan lingkungan dengan mendirikan bangunan
yang asing bagi lingkungan dan budaya masyarakat setempat.
Kedua, wisata ini mengutamakan penggunaan fasilitas transportasi yang
diciptakan dan dikelola masyarakat kawasan itu. Prinsipnya, akomodasi yang
tersedia bukanlah perpanjangan tangan hotel internasional dan makanan yang
ditawarkan juga bukan makanan berbahan baku impor, melainkan semuanya
berbasis produk lokal. Oleh sebab itu wisata ini memberikan keuntungan langsung
bagi masyarakat lokal.
Ketiga, perjalanan wisata ini menaruh perhatian besar pada lingkungan alam
dan budaya lokal. Para wisatawan biasanya banyak belajar dari masyarakt lokal
bukan sebaliknya mengurangi mereka. Wisatawan tidak menuntut masyarakat
lokal agar menciptakan pertunjukan dan hiburan ektra, tetapi mendorong mereka
agar diberi peluang untuk menyaksikan upacara dan pertunjukan yang sudah
dimiliki oleh masyarakat setempat.
Dari definisi di atas dapat diidentifikasi beberapa prinsip ekowisata (TIES,
2000 dalam Damanik dan Weber, 2006), yakni sebagai berikut:
a). Mengurangi dampak negatif berupa kerusakan atau pencemaran lingkungan
dan budaya lokal akibat kegiatan wisata.
b). Membangun kesadaran dan penghargaan atas lingkungan dan budaya di
destinasi wisata, baik pada diri wisatawan, masyarakat lokal maupun pelaku
wisata lainnya.
c). Menawarkan pengalaman-pengalaman positif bagi wisatawan maupun
masyarakat lokal melalui kontak budaya yang lebih intensif dan kerjsama
dalam pemeliharaan atau konservasi obyek daya tarik wisata.
d). Memberikan keuntungan finansial secara langsung bagi keperluan bagi
keperluan konservasi melalui kontribusi atau pengeluaran ekstra wisatawan.
e). Memberikan keuntungan finansial dan pemberdayaan bagi masyarakat lokal
dengan menciptakan produk wisata yang mengedepankan nilai-nilai lokal.

f). Meningkatkan kepekaan terhadap situasi sosial, lingkungan dan politik di


daerah tujuan wisata.
g). Menghormati hak asasi manusia dan perjanjian kerja, dalam arti memberikan
kebebasan kepada wisatawan dan masyarakat lokal untuk menikmati atraksi
wisata sebagai wujud hak azasi, serta tunduk pada aturan main yang adil dan
disepakati bersama dalam pelaksanaan transaksi-transaksi wisata.
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2009 bahwa
prinsip pengembangan ekowisata meliputi: (1) kesesuaian antara jenis dan
karakteristik ekowisata; (2) konservasi, yaitu melindungi, mengawetkan, dan
memanfaatkan secara lestari sumberdaya alam yang digunakan untuk ekowisata;
(3) ekonomis, yaitu memberikan manfaat untuk masyarakat setempat dan menjadi
penggerak pembangunan ekonomi di wilayahnya serta memastikan usaha
ekowisata dapat berkelanjutan; (4) edukasi, yaitu mengandung unsur pendidikan
untuk mengubah persepsi seseorang agar memiliki kepedulian, tanggung jawab,
dan komitmen terhadap pelestarian lingkungan dan budaya; (5) memberikan
kepuasan dan pengalaman kepada pengunjung; (6) partisipasi masyarakat, yaitu
peran serta masyarakat dalam kegiatan perencanaan, pemanfaatan, dan
pengendalian ekowisata dengan menghormati nilai-nilai sosial-budaya dan
keagamaan masyarakat di sekitar kawasan; dan (7) menampung kearifan lokal.
Menurut Yulianda (2007), konsep pembangunan ekowisata hendaknya
dilandasi pada prinsip dasar ekowisata yang meliputi :
1. Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktifitas wisatawan terhadap alam
dan budaya, pencegahan dan penanggulangan disesuaikan dengan sifat dan
karakter alam budaya setempat.
2. Pendidikan konservasi lingkungan; Mendidik pengunjung dan masyarakat
akan pentingnya konservasi.
3. Pendapatan langsung untuk kawasan; Retribusi atau pajak konservasi
(conservation tax) dapat digunakan untuk pengelolaan kawasan.
4. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan; Merangsang masyarakat agar
terlibat dalam perencanaan dan pengawasan kawasan.
5. Penghasilan bagi masyarakat; Masyarakat mendapat keuntungan ekonomi
sehingga terdorong untuk menjaga kelestarian kawasan.

10

6. Menjaga keharmonisan dengan alam; Kegiatan dan pengembangan fasilitas


tetap mempertahankan keserasian dan keaslian alam.
7. Daya dukung sebagai
pengembangan

fasilitas

batasan
hendaknya

pemanfaatan;

Daya

mempertimbangkan

tampung dan
daya

dukung

lingkungan.
8. Konstribusi pendapatan bagi negara (pemerintah daerah dan pusat).
Menurut Yulianda (2007) Ekowisata bahari merupakan kegiatan wisata
pesisir dan laut yang dikembangkan dengan pendekatan konservasi laut dengan
memanfaatkan karakter sumberdaya pesisir dan laut. Pengelolaan ekowisata
bahari merupakan suatu konsep pengelolaan yang memprioritaskan kelestarian
dan memanfaatkan sumberdaya alam dan budaya masyarakat. Konsep
pengelolaan ekowisata tidak hanya berorientasi pada keberlanjutan tetapi juga
mempertahankan nilai sumberdaya alam dan manusia. Agar nilai-nilai tersebut
terjaga maka pengusahaan ekowisata tidak melakukan eksploitasi sumberdaya
alam, tetapi hanya menggunakan jasa alam dan budaya untuk memenuhi
kebutuhan fisik, pengetahuan dan fisikologis penunjung. Dengan demikian
ekowisata bukan menjual tempat (destinasi) atau kawasan melainkan menjual
filosofi. Hal inilah yang membuat ekowisata mempunyai nilai lestari dan tidak
akan mengenal kejenuhan pasar.
2.2 Pengembangan Ekowisata Dalam Kawasan konservasi
Kawasan hutan yang dapat berfungsi sebagai kawasan wisata yang berbasis
lingkungan adalah kawasan pelestarian alam (Taman Nasional, Taman Hutan
raya, Taman wisata Alam), kawasan suaka alam (Suaka Margasatwa) dan hutan
lindung melalui kegiatan wisata alam terbatas serta Hutan produksi yang
berfungsi sebagai Wana Wisata (Ridwan, 2000).
Pengembangan ekowisata di dalam kawasan hutan dapat menjamin keutuhan
dan kelestarian ekosistem hutan. Ecotraveler menghendaki persyaratan kualitas
dan keutuhan ekosistem. Oleh karenanya terdapat beberapa butir prinsip
pengembangan ekowisata yang harus dipenuhi. The Ecotourism Society
(Eplerwood 1999 dalam Fandeli 2000) menyebutkan ada tujuh prinsip dalam
kegiatan ekowisata yaitu: (1) Mencegah dan menanggulangi dari aktivitas
wisatawan yang mengganggu terhadap alam dan budaya; (2) Pendidikan

11

konservasi lingkungan; (3) Pendapatan langsung untuk kawasan; (3) Partisipasi


masyarakat dalam perencanaan; (4) Meningkatkan penghasilan masyarakat; (5)
Menjaga keharmonisan dengan alam; (6) Menjaga daya dukung lingkungan; (7)
Meningkatkan devisa buat pemerintah.
Menurut Ridwan

(2000) bahwa

pengembangan

ekowisata

harus

melibatkan berbagai unsur seperti: pengunjung atau ekowisatawan, sumber daya


alam, pengelola, masyarakat setempat, kalangan bisnis termasuk tour operator,
pemerintah, lembaga swadaya masyarakat dan lain sebagainya. Pada prinsipnya
pengembangan ekowisata yang baik merupakan simbiosis antara konservasi dan
pembangunan, namun kemungkinan timbulnya konflik kepentingan antara pelaku
ekowisata bisa terjadi.
Perencanaan

pengembangan

ekowisata

diantaranya

mengacu

pada

perencanaan perlindungan dan pelestarian lingkungan, perencanaan penggunaan


lahan dan tata ruang. Perencanaan ekowisata merupakan bagian dari proses
pemanfaatan dari sumberdaya dan berkelanjutan yang terkoordinasi dan interaktif
berdasarkan aspek pelestarian ekologis kawasan, biodiversitas, dan nilai sosial
dalam keterlibatan wisatawan bersama masyarakat lokal. Daerah pesisir adalah
merupakan sumberdaya alam yang cukup penting bagi kehidupan. Berbagai
aktifitas sosial dan ekonomi membutuhkan lokasi pesisir yang memiliki nilai
lansekap, habitat alam dan sejarah yang tinggi, yang harus dijaga dari kerusakan
secara sengaja maupun tidak sengaja. Perencanaan tata ruang (zonasi) wilayah
pesisir, berperan untuk menyerasikan kebutuhan pembangunan dengan kebutuhan
untuk melindungi, melestarikan, dan meningkatkan kualitas lansekap, lingkungan
serta habitat flora dan fauna (Darwanto 1998). Rencana zonasi wilayah pesisir
diperlukan untuk menjaga kelestarian pantai dan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Sebagaimana diketahui bahwa pembangunan wilayah pesisir mempunyai
ruang lingkup yang luas, meliputi banyak aspek dan sektor pembangunan, maka
perlu optimalisasi pemanfaatan sumberdaya melalui pengelolaan yang terpadu,
agar kebutuhan manusia dapat terpenuhi sekaligus menjaga sumberdaya alam agar
tetap lestari dan berkelanjutan. Bengen (2005) bahwa salah satu cara untuk
mencapai keseimbangan antara ketersediaan sumberdaya dan kebutuhan manusia

12

adalah menetapkan jenis dan besaran aktifitas manusia sesuai dengan kemampuan
lingkungan untuk menampungnya. Artinya, setiap aktifitas pembangunan disuatu
wilayah harus didasarkan pada analisis kesuaian lingkungan.
Selanjutnya menurut Bengen (2005), analisis kesesuaian lingkungan harus
mencakup aspek ekologis, sosial dan ekonomis yaitu:
1). Aspek ekologis; dapat didekati dengan menganalisis:
a. Potensi maksimum sumberdaya berkelanjutan. Berdasarkan analisis ilmiah
dan teoritis, dihitung potensial atau kapasitas maksimum sumberdaya untuk
menghasilkan barang dan jasa (goods and services) dalam jangka waktu
tertentu.
b. Kapasitas daya dukung (carrying capacity). Daya dukung didefinisikan
sebagai tingkat pemanfaatan sumberdaya alam atau ekosistem secara
berkesinambungan tanpa menimbulkan kerusakan sumberdaya alam dan
lingkungannya.
c. Kapasitas penyerapan limbah (assimilative capacity). Kapasitas penyerapan
limbah adalah kemampuan sumberdaya alam dapat pulih (misalnya air,
udara, tanah) untuk menyerap limbah aktifitas manusia. Kapasitas ini
bervariasi akibat faktor eksternal seperti cuaca, temperature dan aktifitas
manusia.
2). Aspek Sosial
Aspek sosial dapat ditilik dari penerimaan masyarakat terhadap aktifitas yang
akan

dilakukan,

mencakup

dukungan

sosial/terhindar

dari

konflik

pemanfaatan, terjaganya kesehatan masyarakat dari akibat pencemaran,


budaya, estetika,keamanan dan kompatibilitas.
3). Aspek Ekonomi
Aspek ekonomi dapat ditinjau dari kelayakan usaha dari aktifitas yang akan
dilaksanakan. Analisisnya meliputi : revenue cost ratio (R/C), net present
value (NPV), net benefit cost ratio (net B/C), internal rate return (IRR) dan
analisis sensitivitas (sensitivy analysis).
2.3. Konsep Pengelolaan Taman Nasional
Berdasarkan undang-undang RI nomor 5 Tahun 1990, Taman nasional
adalah kawasan pelestarian alam (KPA) yang mempunyai ekosisten asli dan

13

dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu
pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Taman
nasional mempunyai fungsi pokok sebagai berikut:
1. Sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan;
2. Sebagai pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan atau satwa liar
beserta ekosistemnya;
3. Untuk pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.
Pengelolaan taman nasional dalam mencapai tujuan, fungsi dan peranannya
dilakukan sistem zonasi. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor:
P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional, bahwa zona
taman nasional terdiri dari:
1. Zona inti
2. Zona rimba; zona perlindungan bahari untuk wilayah perairan
3. Zona pemanfaatan
4. Zona lain, antara lain; zona tradisional, zona rehabilitasi, zona religi, budaya
dan sejarah serta zona khusus.
Berdasarkan Peraturan pemerintah No 28 Tahun 2011 tentang Kawasan
Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam pada pasal 8 menyebutkan bahwa
suatu kawasan ditunjuk sebagai kawasan Taman Nasional apabila telah memenuhi
kriteria sebagai berikut:
1. Memiliki sumberdaya alam hayati dan ekosistem yang khas dan unik yang
masih utuh dan alami serta gejala alam yang unik;
2. Memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh;
3. Mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologis
secara alami; dan
4. Merupakan wilayah yang dapat dibagi kedalam zona inti, zona pemanfaatan,
zona rimba, dan/atau zona lainnya sesuai dengan keperluan.
Taman nasional dalam konteks pembangunan berkelanjutan memiliki peran
yang sangat penting. Menurut MacKinnon et al. (1993), sumbangan taman
nasional sebagai salah satu kawasan yang dilindungi dalam pelestarian
sumberdaya alam dan kelangsungan pembangunan, antara lain:

14

1. Sebagai wahana pengembangan ilmu pengetahuan, yaitu wahana kegiatan


penelitian biologi dan konservasi in-situ.
2. Sebagai wahana pendidikan lingkungan, yaitu wahana untuk meningkatkan
pemahaman dan kepedulian masyarakat di sekitar kawasan taman nasional
dan pengunjung atau masyarakat luas tentang konservasi.
3. Mendukung pengembangan budidaya tumbuhan dan penangkaran satwa
dalam rangka mendukung pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar.
4. Sebagai wahana kegiatan wisata alam dalam rangka mendukung pertumbuhan
industri pariwisata alam dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
5. Sumber plasma nutfah dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa
sekaligus untuk mendukung upaya pelestarian kekayaan keanekaragaman
hayati asli.
6. Untuk melestarikan ekosistem hutan sebagai pengatur tata air dan iklim mikro
serta sumber mata air bagi masyarakat di sekitar taman nasional.
2.4. Manajemen Kolaboratif
Istilah manajemen kolaboratif dipakai secara luas dan meliputi berbagai
aktifitas seperti pengelolaan hutan partisipatif, kehutanan masyarakat atau sosial,
pengelolaan hutan bersama dan proyek-proyek pembangunan konservasi (Fisher
1995). Manajemen kolaboratif diterapkan pada lahan dan hutan adat, swasta,
Negara dan pada pengelolaan kawasan lindung. Petheram et al. (2004)
mengemukakan bahwa kolaborasi adalah suatu proses yang melibatkan orangorang yang secara konstruktif mengeksplorasi perbedaan dan tujuan mereka
kemudian mencari dan mengembangkan rencana mereka untuk merubah
manajemen yang menyenangkan untuk semua pihak.
Fisher (1995) mengemukakan empat asumsi dalam manajemen kolaboratif
yaitu: (1) penggunaan masyarakat memerlukan kontrol lokal yang terus
meningkat atas penggunaan sumberdaya dan pengambilan keputusan; (2)
keterlibatan stakeholders yang semakin besar akan menghasilkan taraf hidup yang
lebih berkesinambungan; (3) pengakuan legitimasi atas keragaman yang berbedabeda dan (4) pembangunan dan konservasi tidak selalu bertentangan. Mengacu
pada asumsi terakhir, manajemen kolaboratif mengakui nilai-nilai lingkungan dan

15

kebutuhan untuk menggunakan dan mengelola sumberdaya untuk menjamin


kesinambungan ekologis. Berkaitan dengan keyakinan ini, masih ada peluang
untuk menemukan cara mencapai tujuan ekonomi tanpa mengorbankan standar
lingkungan hidup.
Pengelolaan hutan secara kolaboratif dapat dipandang sebagai pemberian
kekuasaan yang lebih besar kepada masyarakat lokal dan pengakuan otoritas
manajemen mereka secara formal. Semakin lama, masyarakat menuntut
manajemen kolaboratif sebagai bagian dari gerakan politik masyarakat akar
rumput, tidak peduli bagiamana kolaborasi itu diprakarsai atau dibangun, akhirnya
mau tidak mau konflik harus dihadapi.
Manajemen kolaborasi yang diharapkan sebagaimana adalah posisi ditengah
dimana terjadi pembagian tugas dan tanggungjawab yang berimbang antara
pemerintah dengan stakeholders lainnya. Ada negosiasi dalam mengambil
keputusan

dan

mengembangkan

kesepakatan-kesepakatan

khusus

dalam

pengelolaan kawasan lindung. Manajemen kolaboratif meliputi sejumlah proses


untuk membantu membangun dan memelihara seperangkat prinsip dan praktek
yang sama-sama disetujui dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Pentingnya
pengelolaan konflik dalam kerangka manajemen kolaboratif bervariasi dari stuasi
kesituasi lain bergantung pada derajat dan skala konflik yang ada atau yang
berpotensi ada.
Kolaborasi pengelolaan Kawasan Pelestarian Alam sangat penting dalam
pelaksanaan suatu kegiatan atau penanganan suatu masalah dalam rangka
membantu meningkatkan efektivitas pengelolaan kawasan pelestarian alam
secara bersama dan sinergis oleh para pihak atas dasar kesepahaman dan
kesepakatan bersama sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Para pihak yang dimaksud adalah semua pihak yang memiliki minat, kepedulian,
atau kepentingan dengan upaya konservasi Kawasan Pelestarian Alam, antara
lain: Lembaga pemerintah pusat, Lembaga pemerintah daerah (eksekutif dan
legislatif), masyarakat setempat, LSM, BUMN, BUD, swasta nasional,
perorangan

maupun

masyarakat

internasional,

Perguruan

Tinggi/Universitas/Lembaga Pendidikan/Lembaga Ilmiah. Peran serta para pihak


meliputi kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan oleh para pihak yang timbul atas

16

minat, kepedulian, kehendak dan atas keinginan sendiri untuk bertindak dan
membantu dalam mendukung pengelolaan Kawasan Pelestarian Alam (Dephut,
2004b).
Kassa (2009) mengemukakan setidaknya ada tujuh faktor kunci yang
menentukan keberhasilan konsep kolaborasi dalam pengelolaan Taman Nasional
Lore Lindu yaitu : (1) partipasi stakeholders, (2) negosiasi, (3) konsensus, (4)
batas teritori, (5) kejelasan hak dan tanggungjawab stakeholders, (6) pengakuan
terhadap hak lahan adat, (7) penerapan sanksi adat.
2.5. Analisis Stakeholders
Stakeholders mencakup semua aktor atau kelompok yang mempengaruhi
dan/atau dipengaruhi oleh kebijakan, keputusan dan tindakan dari sebuah proyek.
Stakeholders juga mencakup kategori yang lebih samar dari generasi masa
depan, ketertarikan nasional, dan masyarakat yang lebih luas. Stakeholders
menyajikan suatu sistem dengan tujuan, sumber dan sensitivitas yang berasal dari
mereka sendiri.

Istilah lain yang digunakan untuk menggantikan istilah

stakeholders dalam bahasa sehari-hari dan perbedaan konotasi yang sangat tipis
diantaranya adalah aktor, aktor kunci, kelompok aktor, aktor sosial, dan
partai (Groenendijk, 2003).
Menurut Reed et al. (2009), analisis stakeholders dilakukan dengan cara: (1)
Melakukan identifikasi stakeholders; (2) mengelompokkan dan membedakan
antar stakeholders; dan (3) menyelidiki hubungan antar stakeholders. Identifikasi
stakeholders merupakan proses yang dilakukan secara berulang, hingga
ditetapkan stakeholders yang benar-benar mengetahui permasalahan. Jika
pembatasan telah ditetapkan sejak awal, maka stakeholders memang dapat lebih
mudah terindetifikasi. Namun hal ini mengandung resiko bahwa beberapa
stakeholders akan terabaikan, dan tentu saja identifikasi ini tidak relevan lagi.
Menurut Colfer et al. (1999) untuk mengidentifikasi stakeholders dilakukan
melalui pemberian skor 1 (tinggi), 2 (sedang), dan 3 (rendah) terhadap dimensi
antara lain kedekatan dengan kawasan, hak-hak yang sudah ada, ketergantungan,
kemiskinan, pengetahuan lokal, dan intergrasi budaya.
Setelah para stakeholders terindetifikasi, maka langkah selanjutnya yaitu
mengelompokkan dan membedakan antar stakeholders.

Menurut Eden dan

17

Ackermann (1998) yang dikutif oleh Bryson (2004) dan Reed et al. (2009)
metode analisis yang digunakan yaitu menggunakan matriks pengaruh dan
kepentingan dengan mengklasifikasikan stakeholder ke dalam Key players,
context setters, subjects, dan crowd. Pengaruh (influence) merujuk pada kekuatan
(power) yang dimiliki stakeholders untuk mengontrol proses dan hasil dari suatu
keputusan. Kepentingan (importance) merujuk pada kebutuhan stakeholders di
dalam pencapaian output dan tujuan (Reed et al. 2009).
Key player merupakan stakeholders yang aktif karena mereka mempunyai
kepentingan dan pengaruh yang tinggi terhadap pengembangan suatu proyek.
Context setter memiliki pengaruh yang tinggi tetapi sedikit kepentingan. Oleh
karena itu, mereka dapat menjadi resiko yang signifikan untuk harus dipantau.
Subjects memiliki kepentingan yang tinggi tetapi pengaruhnya rendah dan
walaupun mereka mendukung kegiatan, kapasistasnya terhadap dampak mungkin
tidak ada. Namun mereka dapat menjadi pengaruh jika membentuk aliansi dengan
stakeholders lainnya. Crowd merupakan stakeholders yang memiliki sedikit
kepentingan dan pengaruh terhadap hasil yang diinginkan dan hal ini menjadi
pertimbangan untuk mengikutsertakannya dalam pengambilan keputusan.
Pengaruh dan kepentingan akan mengalami perubahan dari waktu ke waktu,
sehingga perlu menjadi bahan pertimbangan.
Penyusunan matriks pengaruh dan kepentingan dilakukan atas dasar pada
deskripsi pertanyaan responden yang dinyatakan dalam ukuran kuantitatif (skor)
dan selanjutnya dikelompokkan menurut krieteria. Analisis stakeholders
dilakukan dengan penafsiran matriks kepentingan dan pengaruh stakeholders
terhadap pengembangan ekowisata di TNTC dengan menggunakan stakeholders
grid dengan bantuan microssoft Excel. Untuk menentukan angka pada setiap
indikatornya, kemudian disandingkan sehingga membentuk koordinat.
Penyelidikan hubungan antara stakeholders secara deskriftip digambarkan
kedalam matriks actor-linkage. Stakeholders yang terindetifikasi ditulis dalam
baris dan kolom tabel yang menggambarkan hubungan antar stakeholders. Kata
kunci yang digunakan untuk menggambarkan hubungan ini yaitu berkonflik,
saling mengisi atau bekerjasama (Reed et al. 2009).

18

2.6. Analisis Kebijakan


Kebijakan merupakan serangkaian kegiatan/tindakan yang diusulkan
seseorang, kelompok atau pemerintah agar dapat mencapai tujuan yang dimaksud
(Carl F, 1969:79 dalam Agustino L, 2008). Menurut Dunn (2003), analisis
kebijakan (Policy Analisys) adalah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan
berbagai metode pengkajian multiple dalam konteks argumentasi dan debat politik
untuk menciptakan secara kritis menilai dan mengkomunikasikan pengetahuan
yang relevan dengan kebijakan dalam satu atau lebih tahapan proses pembuatan
kebijakan. Analisis kebijakan dilakukan untuk menciptakan secara kritis penilaian
dan mengkomunikasikan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan dalam satu
atau lebih tahapan proses pembuatan kebijakan. Analisis kebijakan dapat juga
didefinisikan sebagai pengkomunikasian, atau penciptaan dan penilaian kritis,
pengetahuan yang relevan dengan kebijakan.
Dalam analisis kebijakan, prosedur umumnya yaitu (1) pemantauan, (2)
peramalan (prediksi), (3) evaluasi, (4) rekomendasi (preskripsi), dan (5)
perumusan masalah. Proses analisis kebijakan merupakan serangkaian aktifitas
intelektual yang dilakukan dalam proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat
politis. Aktivitas politis tersebut sering sebagai proses pembuatan kebijakan dan
divisualisasi sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur
menurut urutan waktu penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan,
implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan. Analisis kebijakan dapat
menghasilakan informasi yang relevan dengan kebijakan pada suatu, beberapa
atau seluruh tahapan dari proses kebijakan, tergantung pada tipe masalah yang
dihadapi dalam sebuah permasalahan.
Keberhasilan kebijakan sangat ditentukan oleh sumberdaya manusia,
institusi, dan organisasi yang juga harus memiliki kemampuan untuk melakukan
rekayasa ulang. Menurut Person (1995), dalam model proses suatu penetapan
kebijakan dapat dikaji dari input dan output. Faktor-faktor input terdiri dari
persepsi, organisasi, tuntutan, dukungan dan keluhan. Unsur kebijakan antara lain
adalah regulasi, distribusi, redistribusi, kapitalisasi dan nilai-nilai etika. Outputnya
antara lain adalah aplikasi, penegakan hukum, interpretasi, evaluasi, legitimasi,
modifikasi, penyesuaian, dan penarikan diri atau pengingkaran.

19

Ilmu kebijakan dibangun untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat


melalui perannya dalam upaya meningkatkan kualitas keputusan, yang diperoleh
dari proses perumusan tujuan kebijakan, mengenali permasalahan kebijakan, dan
mencari jalan pemecahan masalah kebijakan. Pengetahuan analisis kebijakan
berkembang pesat, apabila: 1) Terjadi keterpaduan antara praktisi dan akademisi
atas dasar pengalaman, hasil-hasil renungan, dan hasil-hasil penelitian, 2)
Menyatukan peranan sistem nilai kedalam studi

kebijakan, 3) Peningkatan

kualitas proses refleksi dan pengambilan keputusan, 4) Kemampuan mengaitkan


berbagai bidang kajian dengan praktik kebijakan, 5) Kemampuan membuat
kerangka permasalahan kebijakan, 6) Kemampuan meningkatkan kredibilitas
pelaksana studi kebijakan (Eriyatno, 1989).
Analisis kebijakan publik bertujuan memberikan rekomendasi untuk
membantu para pembuat kebijakan dalam upaya memecahkan masalah-masalah
publik. Di dalam analisis kebijakan publik terdapat informasi-informasi berkaitan
dengan masalah-masalah publik serta argumen-argumen tentang berbagai
alternatif kebijakan, sebagai bahan pertimbangan atau masukan kepada pihak
pembuat kebijakan.
Analisis kebijakan publik berdasarkan kajian kebijakannya dapat dibedakan
antara analisis kebijakan sebelum adanya kebijakan publik tertentu dan sesudah
adanya kebijakan publik tertentu. Analisis kebijakan sebelum adanya kebijakan
publik berpijak pada permasalahan publik semata sehingga hasilnya benar-benar
sebuah rekomendasi kebijakan publik yang baru. Keduanya baik analisis
kebijakan sebelum maupun sesudah adanya kebijakan mempunyai tujuan yang
sama yakni memberikan rekomendasi kebijakan kepada penentu kebijakan agar
didapat kebijakan yang lebih berkualitas. Dunn (2003) membedakan tiga bentuk
utama analisis kebijakan publik, yaitu:
1.

Analisis kebijakan prospektif yang berupa produksi dan transformasi


informasi sebelum aksi kebijakan dimulai dan diimplementasikan. Analisis
kebijakan disini merupakan suatu alat untuk mensintesakan informasi untuk
dipakai dalam merumuskan alternatif dan preferensi kebijakan yang
dinyatakan secara komparatif, diramalkan dalam bahasa kuantitatif dan

20

kualitatif sebagai landasan atau penuntun dalam pengambilan keputusan


kebijakan.
2.

Analisis Kebijakan Retrospektif adalah sebagai penciptaan dan transformasi


informasi sesudah aksi kebijakan dilakukan. Terdapat 3 tipe analis
berdasarkan kegiatan yang dikembangkan oleh kelompok analis ini yakni
analisis yang berorientasi pada disiplin, analisis yang berorientasi pada
masalah dan analis yang berorientasi pada aplikasi. Tentu saja ketiga tipe
analisis retrospektif ini terdapat kelebihan dan kelemahan.

3. Analisis kebijakan yang terintegrasi merupakan bentuk analisis yang


mengkombinasikan gaya operasi para praktisi yang menaruh perhatian pada
penciptaan dan transformasi informasi sebelum dan sesudah tindakan
kebijakan diambil. Analisis kebijakan yang terintegrasi tidak hanya
mengharuskan para analis untuk mengkaitkan tahap penyelidikan retrospektif
dan perspektif, tetapi juga menuntut para analis untuk terus menerus
menghasilkan dan mentransformasikan informasi setiap saat.

Anda mungkin juga menyukai