Disusun Oleh:
Khoirina Alifa
C0513025
Risky Novitasari
C0513045
Yuni Marchamah
C0513057
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang memiliki kekayaan
alam yang luar biasa yang sangat berpotensi untuk pengembangan pariwisata
dengan banyaknya potensi wisata dan potensi budaya yang dimiliki. Sumber daya
alam yang dimiliki berupa hutan dengan segala isinya, daratan dengan segala
bentuknya, serta lautan dengan segala potensinya yang akan dimanfaatkan secara
terus-menerus untuk kepentingan pembangunan. Potensi tersebut merupakan aset
yang harus dimanfaatkan secara optimal melalui kepariwisataan. Hal tersebut
dapat ditujukan untukmeningkatkan pendapatan nasional maupun pendapatan
daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.
Selain itu jugadapat memperluas dan memeratakan kesempatan berusaha bagi
masyarakat,serta dapat membuka lapangan pekerjaan yang dapat menyerap tenaga
kerjasehingga dapat mengurangi jumlah pengangguran. Pembangunan pariwisata
akan memberikan berbagai dampak baik dampak positif maupun dampak negatif.
Dampak positif dari pembangunanpariwisata dapat meningkatkan pendapatan
daerah, menciptakan lapangan pekerjaan serta dapat memunculkan kegiatan
ekonomi di daerah danmerangsang pertumbuhan kebudayaan asli Indonesia. Akan
tetapi ada jugadampak negatif dari pengembangan pariwisata yang kurang
dianalisis efeknya, seperti pencemaran lingkungan, perubahan norma sosial,
eksploitasi sumberdaya alam secara berlebihan serta adanya perubahan keaslian
kualitas keanekaragaman hayati dan ekosistem.
Sejalan dengan sektor pariwisata di Indonesia, Kabupaten Karanganyar
juga menawarkan potensi pariwisata yang cukup banyak. Berbagai macam objek
dan daya tarik wisata yang ada di Kabupaten Karanganyar mempunyai potensi
yang cukup baik yang dapat memberikan pemasukan bagi pendapatan daerah.
Berbagai macam objek dan daya tarik wisata tersebut menawarkan berbagai
macam pesona yang dimiliki masing-masing objek wisata yang dapat menarik
wisatawan baik wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka didapatkan perumusan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana Gambaran Candi Cetho secara umum?
2. Bagaimana sejarah keberlangsungan Candi Cetho?
3. Apa manifestasi dari relief yang ada di Candi Cetho?
BAB II PEMBAHASAN
pemahatannya masih sangat sederhana.1 Tidak seperti di era Majapahit yang jauh
lebih detail menggambarkan figur-figur patung ataupun relief. Hal ini
mengindikasikan usia Candi Cetho yang lebih tua dari era Majapahit. Demikian
juga patung-patung yang ada di Candi Cetho banyak menunjukkan hal-hal yang
jauh lebih tua dari jaman Majapahit. Ada beberapa patung yang tidak
menggambarkan orang Jawa yang ada pada masa itu, patung tersebut justru lebih
mirip dengan sosok orang Sumeria. Padahal kebudayaan Sumeria dikatakan
sebagai kebudayaan tertua di dunia.2
Dari sisi wajah dan potongan rambut tidak menunjukkan orang Jawa tetapi
justru memiliki kesamaan dengan orang Sumeria, Viking, Romawi, atau Yunani.
Namun dari sisi pembentukan mata sangat identik dengan patung Sumeria.3
Trap pertama setelah gapura masuk merupakan halaman candi. Trap kedua
masih berupa halaman namun di trap ini terdapat petilasan Ki Ageng Krincing
Wesi yang merupakan leluhur masyarakat Cetho. Pada dinding kanan gapura.
terdapat inskripsi dengan aksara Jawa Kuno berbunyi Pelling Padamel
irikang buku tirtasunya hawakira ya hilang saka kalanya wiku goh anaut iku.
Tafsiran dari tulisan tersebut adlaah fungsi candi untuk menyucikan diri (ruwat)
dan peyebutan tahun pembuatan gapura, yaitu pada tahun 1397 Saka atau dalam
Masehi 1475 Masehi. 4
Pada trap ketiga terdapat sebuah soubment memanjang diatas tanah yang
menggambarkan nafsu badaniah manusia (nafsu hewani). Berbentuk phallus (alat
1 Anonim, Sejarah Tentang Candi Cetho Karanganyar, diakses dari
http://www.jalansolo.com/sejarah-tentang-candi-cethokaranganyar.html, pada Kamis 28 Mei 2015 pukul 1537 WIB di
Surakarta.
2Agunk dkk., Misteri di Candi Cetho dan Candi Prambanan, dalam
artikel Turangga Setha, September 2009, hlm.2.
3 Ibid, hlm.2.
4 Anonim, Candi Cetho, diakses dari
https://wisatajawa.wordpress.com/wisata-jawa-tengah/candi-cetho/,
Pada 28 Mei 2015 pukul 20.23 WIB di Surakarta.
kelamin laki-laki) sepanjang kuang lebih 2 m, dengan diapit dua buah lambang
kerajaan Majapahit menunjukkan masa pembuatan candi.
Pada trap selanjutnya dapat ditemui relief pendek yang merupakan
cuplikan kisah sudhamala, (seperti yang terdapat pula di Candi Sukuh). yaitu
kisah tentang usaha manusia untuk melepaskan diri dari malapetaka. Dua trap
diatasnya terdapat pendapa-pendapa yang mengapit jalan masuk candi. Sampai
sekarang pendapa-pendapa tersebut masih sering digunakan sebagai tempat
pelangsungan upacara-upacara besar keagamaan. Trap ketujuh dapat ditemui dua
buah arca di samping kanan-kiri yang merupakan arca sabdopalon dan
nayagenggong dua orang abdi kinasih dari Sang Prabu Brawijaya yang merupakan
penasehat spiritual dari beliau. Hal ini melambangkan kedekatan jiwa beliau
dengan rakyatnya yang diwakili dengan sosok Sabdopalon dan Nayagenggong.5
Pada trap kedelapan terdapat arca phallus (Kuntobimo) di samping kiri dan
arca Sang Prabu Brawijaya yang digambarkan sebagai Mahadewa. Arca phallus
melambangkan ucapan syukur atas kesuburan yang melimpah atas bumi Cetho
dan sebuah penghargaan kepada Tuhan Yang Maha Esa supaya kesuburan yang
dilimpahkan itu tak akan terputus selamanya. Arca Sang Prabu Brawijaya
menunjukkan peneladanan masyarakat terhadap kepemimpinan beliau, sebagai
raja yang berbudi bawa laksana, ambek adil paramarta yang diyakini pula
sebagai utusan Tuhan dimuka bumi. Trap terakhir (trap kesembilan) adalah trap
utama yang merupakan tempat pemanjatan doa kepada penguasa semesta. Trap
terakhir ini berbentuk kubus berukuran 1,50 m2.6 Kawasan di sekitar Candi Cetho
dapat memberikan suasana seperti di kawasan Pulau Dewata hal ini dikarenakan
suasana tempat dan bangunan candi ini yang menyerupai pura yakni tempat
peribadatan bagi agama Hindu. Selain menjadi objek wisata, candi ini juga
menjadi pusat tempat peribadatan masyarakat sekitar yang mayoritas beragama
Hindu. Candi Cetho bernuansa gaib sehingga terasa angker yang sering menjadi
ajang para dukun dan orang-orang tertentu untuk bertirakat secara rutin yang
dilakukan setiap malam Jumat Kliwon yang disebut dengan ritual tapa brata atau
5 Loc.cit
6 Loc.cit
semedi. Candi Cetho juga memiliki eksotisme dan sensualitas yang ditandai
dengan adanya patung yang unik yang menjadi daya tarik utama dari candi ini
terutama patung kelamin pria (phallus), seperti halnya di Candi Sukuh. Para
pengunjung candi ini sering meletakkan sesaji dan dupa di patung phallus. Selain
itu juga daya tarik dari candi ini adalah adanya taman sebagai penunjang daya
tarik wisata di kompleks Candi Cetho. Taman tersebut ditanami dengan
penanaman bunga/tanaman hias dengan mempertimbangkan keselamatan dan
keaslian bangunan fisik candi yang harus diutamakan, maka dalam pembuatan
taman dilakukan pemilihan jenis tanaman yang dari segi perakaran dan
pertumbuhannya tidak merusak bangunan dan pondasi candi.
Daya tarik lainnya adalah Puri Taman Saraswati yang berada di kompleks
Candi Cetho. Taman ini merupakan salah satu objek wisata di wilayah Kabupaten
Karanganyar yang tergolong baru yang diresmikan tahun 2007 oleh Bupati
Karanganyar dan Bupati Gianyar Bali sebagai bentuk kerjasama antar daerah,
dimana menurut hikayatnya ternyata penduduk desa Gumeng dan Gianyar
memiliki garis leluhur yang sama, terutama bagi masyarakat asli yang beragama
Hindu Bali.
B.
pemugaran
pada
akhir
tahun
1970-an
bersama-sama
dengan
melambangkan api atau cahaya sebagai manifestasi dari kekuatan dan kekuasaan
(unsur langit), sedangkan Yoni melambangkan bumi. Api atau langit dan bumi
merupakan dua hal yang saling bertentangan, ibarat arus listrik Positif dan
negatif bila keduanya dipertemukan akan mendatangkan arus (energi) seperti
halnya perkawinan laki-laki dan wanita atau bersatunya sperma (sperm ) dan sel
(erection)
mungkin
melambangkan
urddhwareta,
yaitu
sikap
mengeluarkan atau memancarkan air mani. Perkataan urddhwa berarti tegak dan
reta semen virile atau air mani. Hal ini
linggagra (the end or glans of the penis) digambarkan secara nyata. Dengan
demikian
lingga tersebut dimana dalam budaya klasik lingga tersebut dianggap sebagai
replika Mahameru karena lingga tersebut dilengkapi oleh empat buah bola yang
merupakan puncak-puncak tambahan. Selanjutnya terdapat kelelawar yang besar
yang mendukung kura-kura yang besar, dapat dipastikan lingga yang terdapat di
candi Cetho yang dalam posisi tidur tersebut sebelumnya berada di atas, atau
berdiri diatas kura-kura dimana kura-kura pada dasarnya sebagai terutama gunung
Mahameru. Disamping lambang phallus atau lingga juga terdapat lambang wanita
yang dimanifestasikan dalam bentuk segitiga dimana diatasnya terdapat relief
binatang yang berhubungan dengan lambang kesuburan atau pemujaan roh
leluhur, yaitu tiga ekor katak, mimi dan mintuna (ketam), tiga ekor biawak, dan
seekor belut.
9 Soekmono, Local Genius Dalam Perkembangan Bangunan Sakral di
Indonesia, dalam kepribadian budaya bangsa (Local Genius), disunting
Ayatrohaedi, (Bandung: Pustaka Jaya, 1986), hlm. 46.
beberapa patung atau relief yang bergaya klasik (Hindu-Budha) meskipun relatif
kurang lengkap dan jelas. Hal ini terlihat dalam relief Arjuna Wiwaha, dimana
menunjukkan Arjuna sedang berhadap-hadapan dengan dewa Indra dalam posisi
memanah. Dalam cerita Arjuna Wiwaha dikisahkan bahwa ada Raksasa
Niwatakawaca yang ingin menghancurkan kerajaan Indra. Karena raksasa tersebut
tidak mudah dikalahkan oleh apapun,dan hanya bisa dikalahkan oleh kesaktian
manusia, maka Indra pun berusaha mencari manusia yang bisa membantunya
mengalahkan Niwatakawaca. Kemudian Indra memilih Arjuna yang sedang
bertapa di gunung Indrakila. Sebelum Indra meminta Arjuna, ia menguji
ketabahan Arjuna terlebih dahulu agar yakin bahwa Arjuna bisa mengalahkan
raksasa Niwatakawaca.
Ujian pertama, Indra mengutus tujuh bidadari yang sangat cantik untuk
menggoda dan merayu Arjuna agar menghentikan tapanya. Namun usaha
bidadari- bidadari terebut hanyalah sia-sia. Maka dengan sedih dan kesal bidadaribidadari tersebut kembali ke kerajaan Indra dan melaporkan usaha mereka bahwa
Arjuna tidak tergoda dan tetap kukuh pada tapa-bratanya. Indra pun menjadi
senang dan semakin yakin dengan Arjuna. Kemudian Indra menjadi penasaran
akan tujuan Arjuna melakukan tapa tersebut. Akhirnya Indra menyamar menjadi
seorang kakek tua, dan menghampiri Arjuna yang sedang betapa. Ia disambut
hormat oleh Arjuna, dan dalam pembicaraan mereka terpaparlah alasan mengapa
Arjuna melakukan tapa, yaitu adalah untuk membantu kakaknya, Yudhistira agar
bisa merebut kembali kerajaannya dan kesejahteraan rakyatnya dari Korawa.
Maka ia bertapa memohon kepada Siwa agar diberi senjata-senjata. Kemudian
setelah mengetahui alasannya tersebut, Indra menduga bahwa Siwa pasti akan
menghapiri Arjuna yang sedang bertapa. Indra pun kembali ke Surga.
Saat itu, raksasa Niwatakawaca mengetahui bahwa Indra akan mengutus
Arjuna, maka ia menyuruh Muka untuk membunuh Arjuna. Muka pun
menghampiri Arjuna dengan menyamar menjadi seekor babi hutan dan mengacakacak hutan. Arjuna pun terkejut. Lalu ia berusaha untuk membunuh babi hutan
tersebut. Pada saat yang bersamaan, Dewa Siwa yang telah mengetahui betapa
Arjuna baik sekali dalam melakukan tapanya,menyamar menjadi seorang
pemburu yang terasing dari sukunya. Dan pada saat yang bersamaan Siwa dan
Arjuna melepaskan anak panah,dan ternyata panah tersebut menjadi satu. Maka
mereka pun berselisih hingga berkelahi. Saat berkelahi, Arjuna hampir kalah.
Tetapi ia lalu memegang kaki lawannya,tetapi dengan seketika wujud pemburu itu
lenyap, dan Siwa pun menampakkan wujud aslinya sebagai ardhanariswara
setengah pria dan setengah wanita diatas bunga Padma. Lalu Arjuna memujanya
dengan segala pujian. Siwa pun menghadiahkan busur panah yang kesaktiannya
tidak dapat dipatahkan,bernama Pasupati.
Saat Arjuna sudah berkumpul dengan sanak saudaranya, ada utusan dari
Indra yang berwujud setengah dewa dan setengah manusia yang memberikan
sepucuk surat untuk Arjuna yang intinya meminta Arjuna untuk membantu Indra
mengalahkan raksasa Niwatakawaca. Setelah dijelaskan oleh Indra, maka Arjuna
pun bersedia membantu Indra. Arjuna diperintahkan untuk mencari kelemahan
Niwatakawaca. Maka Arjuna pun menyelinap di kerajaan Niwatakawaca bersama
bidadari Suprabha. Subrabha kemudian berpura- pura merayu Niwatakawaca. Ia
terus menggoda dengan memuji betapa hebatnya Niwatakawaca. Lalu secara tidak
sadar, Niwatakawaca mengatakan bahwa kelemahannya berada pada ujung
lidahnya. Setelah mengetahui hal itu, Arjuna pun keluar dari persembunyiannya
dan mengacak-acak kerajaan
Subrabha pergi,kembali ke Sorga Indra. Lalu Arjuna pun melapor kepada Indra.
Raksasa Niwatakawaca yang sangat marah karena ditipu pun menyerang
kerajaan Indra. Lalu terjadilah perang yang sangat hebat. Dalam perang tersebut,
Arjuna memancing Niwatakawaca dari arah belakang, dengan menyiapkan busur
panahnya.
Dewa-dewa pun sangat senang dengan Arjuna. Maka ia diberi hadiah berupa
tahta di kerajaan Indra beserta tujuh bidadari dalam tujuh hari di surga,yang sama
dengan tujuh bulan di bumi manusia. Bulan
Suprabha,bulan ke dua
bidadari lainnya.10
ayahnya garuda mendapat petunjuk dimana bisa menemukan tirta amerta yakni d
gunung Himawan. Setelah sang garuda mengalahkan penunggu di tempat ini sang
garuda bergegas menuju tempat penyimpanan kendi tirta amerta yang di jaga oleh
para dewa namun garuda tetap bisa mengambilnya dan menyerahkannya kepada
ular sebagai syarat untuk menebus ibunya.
merupakan bentuk bangunan atau arsitektur budaya asli Indonesia. Bangunan suci
tersebut adalah bentuk-bentuk punden berundak yang banyak didirikan di lerenglereng gunung. Dari bukti-bukti yang ada dapat diketahui bahwa bangunan
punden berundak dikenal lagi secara meluas pada masa Majapahit akhir sekitar
abad 15 Masehi. Hal yang menarik adalah bahwa bangunan punden berundak
tersebut biasanya di daerah-daerah pegunungan atau lereng gunung. Contoh yang
paling terkenal ialah bangunan punden berundak yang ada di gunung
Penanggungan, Gunung Lawu, Gunung Arjuna dan Candi penampihan di lereng
timur gunung Wilis. Ciri-ciri umum yang menandai arsitektur punden berundak
yaitu :
1.Bentuknya merupakan susunan teras, bertingkat dan hanya mempunyai
satu sisi karena umumnya dibangun pada kemiringan lereng gunung.
2.Jumlah terasnya antara 1-4, ditambah batur rendah di teras teratas.
3.Tidak mempunyai bilik candid an tentu saja tidak mempunyai atap
pelindung bangunan.
4.Bangunan tersuci berada pada teras teratas (teras terbelakang)
Demikian ciri-ciri bangunan punden berundak yang pada umumnya, tetapi
ada juga bangunan suci yang didirikan pada masa Majapahit akhir yang
bangunannyatidak berundak, sebagai penggantinya adalah halamannya berteras
tiga meninggi ke belakang dalam hal ini sebagai contoh ialah bangunan candi
sukuh.
Begitu juga arsitektur bangunan Candi Cetho, yang terdiri dari banyak teras
atau altar sehingga menyerupai punden berundak dimana bagian teras atau altar
yang paling atas adalah merupakan bangunan utama nya. Teras terakhir yakni
teras yang paling tinggi dahulunya pernah menopang sebuah pendapa, yang masih
ada peninggalan lantai nya yang terbuat dari batu dan umpak-umpaknya untuk
tiang yang terbuat dari kayu. Telah dijelaskan diatas bahwa salah satu bangunan
yang biasa dianggap menyerupai punden berundak adalah mempunyai 1-4 teras
atau altar namun hal ini berlaku bagi pundenberundak di Gunung Penangguan,
karena di Candi Ceto di lereng sebelah barat Gunung Lawu jumlah terasnya
mencapai 13 tingkat. Situs candi cetho merupakan bangunan punden berundakundak dimana pada tiap-tiap tangga nya untuk menuju ke teras berikutnya terdapat
kura-kura nya, bagian punden yang terpenting terdapat di teras ke 14 yang
terdekat dengan gunung dan di teras ini hanya terdapat sejumlah batu yang
runcing bentuknya yang merupakan bentuk menhir yang sama artinya dengan
Lingga pada masa Hindu-Budha.11
Menilik bentuk bangunan punden berundak sebenarnya bangunan tersebut
dapat dikembalikan kepada konssep dasar pembagian lapisan kehidupan
(loka/dhatu), namun dalam punden berundak hal ini tidak terlihat begitu jelas. Hal
ini disebabkan karena sebuah punden berundak tidak dapat dibagi atas bagian kaki
(bhurloka), tubuh (bhuwarloka), dan atap (Swarloka). Namun punden berundak
bias dihubungkan dengan kepercayaan Hindu-Budha bahwa semakin tinggi
sebuah tempat maka tempat tersebut dianggap semakin dekat dengan sang
pencipta atau juga kepercayaan bahwa semua dewa bertempat tinggal di gunung
Mahameru. Kepercayaan inilah yang mungkin mendasari bentuk bangunan
punden berundak. Karena keinginan manusia untuk mendekatkan diri pada sang
pencipta sehingga mereka membuat bangunan yang tinggi menyerupai gunung.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Agung Bimo Sutejo dan Timmy Hartadi, 2009, Misteri di Candi Cetho dan
Candi Penataran, Yogyakarta: Yayasan Turangga Seta.
Soekmono, 1986, Local Genius Dalam Perkembangan Bangunan Sakral di
Indonesia, dalam kepribadian budaya bangsa (Local Genius), disunting
Ayatrohaedi, Bandung: Pustaka Jaya.
Jurnal/Skripsi/Hasil Penelitian :
Agunk dkk., 2010, Misteri di Candi Cetho dan Candi Prambanan, dalam Artikel
Turangga Setha, Yogyakarta
Agus Aris Munandar,1990, Kegiatan Keagamaan di Pawitra Gunung Suci di
Jawa Timur Abad 14-15, Tesis, Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia,
Depok: Tidak Diterbitkan
Eko Hari Prasetyo dan Agus Suprijono, 2014, Anasir-Anasir Esoterisme
Pada Situs Candi Cetho, e-Journal AVATARA, Pendidikan Sejarah, Vol.
2 Nomor 1, Maret 2014, Pendidikan sejarah, Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Surabaya. Surabaya: Tidak Diterbitkan.
Etty Saringendyanti, 2008, Candi Sukuh Dan Ceto Di Kawasan Gunung
Lawu, Makalah Hasil Penelitian, Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran.
Bandung: Tidak Diterbitkan.
Irchan, Muhammad., 2008, Wisata Candi Cetho dan Sekitarnya Dalam Fotografi,
Tugas Akhir, Surakarta : Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas
Maret. Surakarta: Tidak Diterbitkan.
Nilasanti, Viva., 2010, Perencanaan Strategis Pengembangan Objek Wisata
Candi Cetho Oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten
Karanganyar, Skripsi, Surakarta : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret. Surakarta: Tidak Diterbitkan.
Internet:
Anonim,
Sejarah
Tentang
Candi
Cetho
Karanganyar,
diakses
dari
http://www.jalansolo.com/sejarah-tentang-candi-cetho-karanganyar.html,
pada Kamis 28 Mei 2015 Pukul 15.37 WIB di Surakarta.
Anonim,
Wisata
Jawa
Candi
Cetho,
diakses
https://wisatajawa.wordpress.com/wisata-jawa-tengah/candi-cetho/,
28 Mei 2015 pukul 20.23 WIB di Surakarta.
dari
Pada
LAMPIRAN
Patung Dewi
Saraswati. Dikenal
sebagai dewi ilmu
pengetahuan