Anda di halaman 1dari 21

Makalah

Candi Cetho: Sebuah Candi Peninggalan Masa Kerajaan Hindu


Disusun Guna Memenuhi Tugas Pengganti UKD IV
Mata Kuliah: Sejarah Indonesia Lama

Disusun Oleh:
Khoirina Alifa

C0513025

Risky Novitasari

C0513045

Yuni Marchamah

C0513057

JURUSAN ILMU SEJARAH


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2015

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang memiliki kekayaan
alam yang luar biasa yang sangat berpotensi untuk pengembangan pariwisata
dengan banyaknya potensi wisata dan potensi budaya yang dimiliki. Sumber daya
alam yang dimiliki berupa hutan dengan segala isinya, daratan dengan segala
bentuknya, serta lautan dengan segala potensinya yang akan dimanfaatkan secara
terus-menerus untuk kepentingan pembangunan. Potensi tersebut merupakan aset
yang harus dimanfaatkan secara optimal melalui kepariwisataan. Hal tersebut
dapat ditujukan untukmeningkatkan pendapatan nasional maupun pendapatan
daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.
Selain itu jugadapat memperluas dan memeratakan kesempatan berusaha bagi
masyarakat,serta dapat membuka lapangan pekerjaan yang dapat menyerap tenaga
kerjasehingga dapat mengurangi jumlah pengangguran. Pembangunan pariwisata
akan memberikan berbagai dampak baik dampak positif maupun dampak negatif.
Dampak positif dari pembangunanpariwisata dapat meningkatkan pendapatan
daerah, menciptakan lapangan pekerjaan serta dapat memunculkan kegiatan
ekonomi di daerah danmerangsang pertumbuhan kebudayaan asli Indonesia. Akan
tetapi ada jugadampak negatif dari pengembangan pariwisata yang kurang
dianalisis efeknya, seperti pencemaran lingkungan, perubahan norma sosial,
eksploitasi sumberdaya alam secara berlebihan serta adanya perubahan keaslian
kualitas keanekaragaman hayati dan ekosistem.
Sejalan dengan sektor pariwisata di Indonesia, Kabupaten Karanganyar
juga menawarkan potensi pariwisata yang cukup banyak. Berbagai macam objek
dan daya tarik wisata yang ada di Kabupaten Karanganyar mempunyai potensi
yang cukup baik yang dapat memberikan pemasukan bagi pendapatan daerah.
Berbagai macam objek dan daya tarik wisata tersebut menawarkan berbagai
macam pesona yang dimiliki masing-masing objek wisata yang dapat menarik
wisatawan baik wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara.

B.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka didapatkan perumusan masalah

sebagai berikut:
1. Bagaimana Gambaran Candi Cetho secara umum?
2. Bagaimana sejarah keberlangsungan Candi Cetho?
3. Apa manifestasi dari relief yang ada di Candi Cetho?

BAB II PEMBAHASAN

A. Gambaran Candi Cetho Secara Umum


Candi Cetho merupakan salah satu objek wisata budaya peninggalan
purbakala unggulan yang banyak dikunjungi wisatawan baik wisatawandomestik
maupun wisatawan mancanegara yang terletak di desa Gumeng, Kecamatan
Jenawi, Kabupaten Karanganyar. Candi Cetho menyimpan nilai sejarah dan nilai
kebudayaan terutama kebudayaan Hindu. Candi Cetho merupakan salah satu
candi Hindu yang sampai sekarang masih digunakanbsebagai tempat pemujaan
bagi pemeluk agama Hindu. Candi Cetho juga memberikan kontribusi bagi
pendapatan daerah. Akan tetapi Candi Cetho yang lebih utama adalah bukan
mengejar target pendapatan melainkan melestarikan nilai sejarah dan nilai
kebudayaan yang dapat berguna untuk memperluas wawasan tentang sejarah dan
kebudayaan yang akan dapat menambah pengetahuan yang berguna bagi
pendidikan.
Candi Cetho merupakan candi peninggalan Hindu dari abad XIV pada
masa akhir pemerintahan Majapahit. Candi ini berfungsi sebagai tempat pemujaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sampai saat ini pun Candi Cetho tetap digunakan
oleh penduduk sekitar yang memang merupakan penganut agama Hindu yang taat.
Candi Cetho terdiri dari sembilan trap, berbentuk memanjang kebelakang dengan
trap/tingkat terakhir sebagai trap utama pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha
Kuasa (seperti bentuk-bentuk tempat pemujaan pada masa purba punden
berundak).
Dilihat dari bentuknya, Candi Cetho tidak seperti candi-candi lain yang
ada di Indonesia, tapi justru mirip dengan candi-candi yang ada di peradaban
bangsa Inca, Maya di Amerika Latin. Beberapa arkeolog Indonesia mengatakan
bahwa Candi Cetho dibuat pada Jaman Majapahit, tepatnya pada saat
pemerintahan Prabu Brawijaya ke V. Jika memang demikian maka ada banyak
keganjilan yang patut dipertanyakan. Antara lain, batu candi yang terbuat dari batu
kali, padahal pada era Majapahit, batu candi dibuat dari batu bata merah.
Kemudian, dilihat dari bentuk relief di Candi Cetho, tingkat presisi dan kerapian

pemahatannya masih sangat sederhana.1 Tidak seperti di era Majapahit yang jauh
lebih detail menggambarkan figur-figur patung ataupun relief. Hal ini
mengindikasikan usia Candi Cetho yang lebih tua dari era Majapahit. Demikian
juga patung-patung yang ada di Candi Cetho banyak menunjukkan hal-hal yang
jauh lebih tua dari jaman Majapahit. Ada beberapa patung yang tidak
menggambarkan orang Jawa yang ada pada masa itu, patung tersebut justru lebih
mirip dengan sosok orang Sumeria. Padahal kebudayaan Sumeria dikatakan
sebagai kebudayaan tertua di dunia.2
Dari sisi wajah dan potongan rambut tidak menunjukkan orang Jawa tetapi
justru memiliki kesamaan dengan orang Sumeria, Viking, Romawi, atau Yunani.
Namun dari sisi pembentukan mata sangat identik dengan patung Sumeria.3
Trap pertama setelah gapura masuk merupakan halaman candi. Trap kedua
masih berupa halaman namun di trap ini terdapat petilasan Ki Ageng Krincing
Wesi yang merupakan leluhur masyarakat Cetho. Pada dinding kanan gapura.
terdapat inskripsi dengan aksara Jawa Kuno berbunyi Pelling Padamel
irikang buku tirtasunya hawakira ya hilang saka kalanya wiku goh anaut iku.
Tafsiran dari tulisan tersebut adlaah fungsi candi untuk menyucikan diri (ruwat)
dan peyebutan tahun pembuatan gapura, yaitu pada tahun 1397 Saka atau dalam
Masehi 1475 Masehi. 4
Pada trap ketiga terdapat sebuah soubment memanjang diatas tanah yang
menggambarkan nafsu badaniah manusia (nafsu hewani). Berbentuk phallus (alat
1 Anonim, Sejarah Tentang Candi Cetho Karanganyar, diakses dari
http://www.jalansolo.com/sejarah-tentang-candi-cethokaranganyar.html, pada Kamis 28 Mei 2015 pukul 1537 WIB di
Surakarta.
2Agunk dkk., Misteri di Candi Cetho dan Candi Prambanan, dalam
artikel Turangga Setha, September 2009, hlm.2.
3 Ibid, hlm.2.
4 Anonim, Candi Cetho, diakses dari
https://wisatajawa.wordpress.com/wisata-jawa-tengah/candi-cetho/,
Pada 28 Mei 2015 pukul 20.23 WIB di Surakarta.

kelamin laki-laki) sepanjang kuang lebih 2 m, dengan diapit dua buah lambang
kerajaan Majapahit menunjukkan masa pembuatan candi.
Pada trap selanjutnya dapat ditemui relief pendek yang merupakan
cuplikan kisah sudhamala, (seperti yang terdapat pula di Candi Sukuh). yaitu
kisah tentang usaha manusia untuk melepaskan diri dari malapetaka. Dua trap
diatasnya terdapat pendapa-pendapa yang mengapit jalan masuk candi. Sampai
sekarang pendapa-pendapa tersebut masih sering digunakan sebagai tempat
pelangsungan upacara-upacara besar keagamaan. Trap ketujuh dapat ditemui dua
buah arca di samping kanan-kiri yang merupakan arca sabdopalon dan
nayagenggong dua orang abdi kinasih dari Sang Prabu Brawijaya yang merupakan
penasehat spiritual dari beliau. Hal ini melambangkan kedekatan jiwa beliau
dengan rakyatnya yang diwakili dengan sosok Sabdopalon dan Nayagenggong.5
Pada trap kedelapan terdapat arca phallus (Kuntobimo) di samping kiri dan
arca Sang Prabu Brawijaya yang digambarkan sebagai Mahadewa. Arca phallus
melambangkan ucapan syukur atas kesuburan yang melimpah atas bumi Cetho
dan sebuah penghargaan kepada Tuhan Yang Maha Esa supaya kesuburan yang
dilimpahkan itu tak akan terputus selamanya. Arca Sang Prabu Brawijaya
menunjukkan peneladanan masyarakat terhadap kepemimpinan beliau, sebagai
raja yang berbudi bawa laksana, ambek adil paramarta yang diyakini pula
sebagai utusan Tuhan dimuka bumi. Trap terakhir (trap kesembilan) adalah trap
utama yang merupakan tempat pemanjatan doa kepada penguasa semesta. Trap
terakhir ini berbentuk kubus berukuran 1,50 m2.6 Kawasan di sekitar Candi Cetho
dapat memberikan suasana seperti di kawasan Pulau Dewata hal ini dikarenakan
suasana tempat dan bangunan candi ini yang menyerupai pura yakni tempat
peribadatan bagi agama Hindu. Selain menjadi objek wisata, candi ini juga
menjadi pusat tempat peribadatan masyarakat sekitar yang mayoritas beragama
Hindu. Candi Cetho bernuansa gaib sehingga terasa angker yang sering menjadi
ajang para dukun dan orang-orang tertentu untuk bertirakat secara rutin yang
dilakukan setiap malam Jumat Kliwon yang disebut dengan ritual tapa brata atau
5 Loc.cit
6 Loc.cit

semedi. Candi Cetho juga memiliki eksotisme dan sensualitas yang ditandai
dengan adanya patung yang unik yang menjadi daya tarik utama dari candi ini
terutama patung kelamin pria (phallus), seperti halnya di Candi Sukuh. Para
pengunjung candi ini sering meletakkan sesaji dan dupa di patung phallus. Selain
itu juga daya tarik dari candi ini adalah adanya taman sebagai penunjang daya
tarik wisata di kompleks Candi Cetho. Taman tersebut ditanami dengan
penanaman bunga/tanaman hias dengan mempertimbangkan keselamatan dan
keaslian bangunan fisik candi yang harus diutamakan, maka dalam pembuatan
taman dilakukan pemilihan jenis tanaman yang dari segi perakaran dan
pertumbuhannya tidak merusak bangunan dan pondasi candi.
Daya tarik lainnya adalah Puri Taman Saraswati yang berada di kompleks
Candi Cetho. Taman ini merupakan salah satu objek wisata di wilayah Kabupaten
Karanganyar yang tergolong baru yang diresmikan tahun 2007 oleh Bupati
Karanganyar dan Bupati Gianyar Bali sebagai bentuk kerjasama antar daerah,
dimana menurut hikayatnya ternyata penduduk desa Gumeng dan Gianyar
memiliki garis leluhur yang sama, terutama bagi masyarakat asli yang beragama
Hindu Bali.
B.

Sejarah Keberlangsungan Candi Cetho


Candi Cetho merupakan sebuah candi budaya Hindu dari abad ke-14 pada

masa akhir pemerintahan majapahit. Keberadaan kompleks Candi Cetho ini,


pertama kali dilaporkan oleh Van De Vlis pada tahun 1842. Penemuan ini menarik
perhatian sejumlah ahli purbakala dunia karena unsur nilai kepurbakalaanya. Pada
tahun 1928, Dinas Purbakala telah mengadakan penelitian melalui ekskavasi
untuk mencari bahan-bahan rekontruksi yang lebih lengkap.
Berdasarkan penelitian Van De Vlis Maupun AJ. Bernet Kempres,
kompleks Candi Cetho terdiri dari empat belas teras. Namun kenyataanya yang
ada pada saat ini hanya terdiri dari tiga belas teras yang tersusun dari barat ke
timur dengan pola susunan makin kebelakang makin tinggi dan dianggap paling
suci. Masing-masing halaman teras dihubungkan oleh sejumlah pintu dan jalan
setapak yang seolah-olah membagi halaman teras menjadi dua bagian. Bentuk
seni bangunan Candi Cetho mempunyai kesamaan dengan Candi Sukuh, yaitu

dibangun berteras sehingga mengingatkan kita pada punden berundak masa


prasejarah. Bentuk susunan bangunan semacam ini sangatlah spesifik dan tidak
diketemukan pada kompleks candi lain di Jawa Tengah kecuali Candi Sukuh.
Pada kompleks Candi Cetho banyak dijumpai arca-arca yang mempunyai
cirri-ciri masa prasejarah, misalnya arca digambarkan dalam bentuk sederhana,
kedua tangan diletakkan di depan perut atau dada. Sikap arca semacam ini
menurut para ahli mengingatkan pada patung-patung sederhana di daerah Bada,
Sulawesi Tengah. Selain itu juga terdapat relief-relief yang menggambarkan
adegan cerita Cundhamala seperti yang ada di Candi Sukuh dan relief-relief
binatang seperti kadal, gajah, kura-kura, belut dan ketam.
Mengenai masa pendirian Candi Cheto, dapat dihubungkan dengan
keberadaan Prasasti yang berangka tahun 1373 Saka, atau sama dengan 1451
Masehi. Berdasarkan prasasti tersebut, serta penggambaran figure binatang
maupun relief dan arca-arca yang ada, kompleks Candi Cetho diperkirakan berasal
dari sekitar abad 15 dari masa Majapahit akhir.7
Bangunan utama pada kompleks Candi Cetho terletak pada halaman paling
atas/belakang. Bentuk bangunan dibuat seperti Candi Sukuh dan ini merupakan
hasil

pemugaran

pada

akhir

tahun

1970-an

bersama-sama

dengan

bangunanbangunan pendapa dari kayu. Candi Cetho terletak di lereng Gunung


Lawu sebelah barat masuk dengan luas wilayah kurang 1 hektar. Tepatnya didesa
Gumeng kecamatan Jenawi Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Disekitar
Candi Cetho, banyak sekali perkebunan. Perkebunan disana didomonasi oleh
perkebunan teh milik PTPN Persero. Perkebunan teh dikawasan ini sangatlah luas
terletak dikawasan kecamatan Ngargoyoso dan Jenawi Karanganyar.
Kompleks percandian saat pertama kali ditemukan reruntuhan batu pada
14 teras/punden bertingkat, memanjang dari barat ke timur. Pembaruan pada akhir
1970-an dilakukan oleh Sudjono Humardani,asisten pribadi Suharto mengubah
banyak struktur asli candi, meski konsep punden berundak tetap dipertahankan.
Beberapa obyek baru hasil pembaruan yang dianggap sudah tidak original adalah
7 Irfan,Muhammad, Wisata Candi Cetho dan Sekitarnya dalam Fotograf,
(Surakarta:Tugas Akhir Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS hlm.xii), tidak
diterbitkan.

gapura di depan bagian kompleks, bangunan-bangunan dari kayu tempat


pertapaan, patung-patung yang dinisbatkan sebagai Sabdapalon, Nayagenggong,
Brawijaya V, serta Phallus, dan bangunan kubus ada bagian puncak punden.
Kemudian pada masa bupati karanganyar, Rina Iriani menempatkan arca Dewi
Saraswati, sumbangan dari Kabupaten Gianyar, pada bagian timur kompleks
candi, pada punden lebih tinggi daripada bangunan kubus.
C. Manifestasi dari Relief yang Ada di Candi Cetho
Keberadaan Lambang Kesuburan pada Situs Candi Cetho
Simbol kesuburan candi Cetho nampak pada penggambaran phallus dan
vulva. Dengan menggambarkan kedua lambang tersebut, mendukung makna
simbolis akan harapan-harapan kemakmuran agar hasil bumi terus melimpah,
keberlangsungan regenerasi keturunan dan simbol penciptaan kembali alam
semesta.8 Menurut para ahli simbol coitus (persebadanan) adalah lambanglambang kesuburan yang dipergunakan sejak jaman prasejarah. Prinsip dari
konsep ini adalah penciptaan kreasi baru di dalam semesta ini disebabkan oleh
adanya persatuan dua unsur yang berbeda, yakni laki-laki dan wanita.
Perkembangan konsep tradisi megalitik Nusantara beriringan dengan
konsep hinduistis. Hal tersebut dimungkinkan karena adanya persamaan bentuk
lingga (batu tegak) sebagai simbol Dewa Siwa dan Yoni (pitha/tempat lingga)
sebagai symbol saktinya yaitu Dewi Parwati. Keduanya bersatu sebagai objek
pemujaan utama. Lingga Yoni sebagai symbol Dewa Siwa dan Parwati pada
hakikatnya terletak pada kekuatan sebagai

pencipta kembali. Lingga

melambangkan api atau cahaya sebagai manifestasi dari kekuatan dan kekuasaan
(unsur langit), sedangkan Yoni melambangkan bumi. Api atau langit dan bumi
merupakan dua hal yang saling bertentangan, ibarat arus listrik Positif dan
negatif bila keduanya dipertemukan akan mendatangkan arus (energi) seperti
halnya perkawinan laki-laki dan wanita atau bersatunya sperma (sperm ) dan sel

8 Etty Saringendyanti, Candi Sukuh Dan Ceto Di Kawasan Gunung Lawu,


Makalah Hasil Penelitian, Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran, 2008, hlm.
18.

telur (ovum) akan menimbulkan pembuahan, kesuburan ( fertility) dan melahirkan


kehidupan baru.9
Penyatuan lingga dan yoni identik dengan air kehidupan yang dihasilkan
keduanya. Penyatuan tersebut memberikan harapan baru untuk keberlangsungan
keturunan dan kemakmuran serta kesejahteraan duniawi, karena sifat air itu
sendiri sebagai awal penghidupan segala mahluk alam semesta. Kehadiran simbol
Lingga Yoni sangat mudah diterima masyarakat Jawa. Hal ini terbukti dengan
banyaknya persebaran temuan Lingga Yoni di Jawa baik yang berukuran besar
maupun kecil. Oleh karena itu Poerbatjaraka menduga bahwa aliran siwa di Jawa
merupakan agama rakyat.
Menurut Soekarto, gambar naturalis tersebut mirip dengan relief phallus
candi sukuh, candi Ceto, Arca Gaprang dan arca di Pura pusering Jagat, yang
menggambarkan phallus kencang dan berdiri tegak. Phallus yang berdiri tegak
tersebut

(erection)

mungkin

melambangkan

urddhwareta,

yaitu

sikap

mengeluarkan atau memancarkan air mani. Perkataan urddhwa berarti tegak dan
reta semen virile atau air mani. Hal ini

bertambah jelas karena bagian

linggagra (the end or glans of the penis) digambarkan secara nyata. Dengan
demikian

Phallus diatas juga mengandung unsur kesuburan. Selain terdapat

lingga tersebut dimana dalam budaya klasik lingga tersebut dianggap sebagai
replika Mahameru karena lingga tersebut dilengkapi oleh empat buah bola yang
merupakan puncak-puncak tambahan. Selanjutnya terdapat kelelawar yang besar
yang mendukung kura-kura yang besar, dapat dipastikan lingga yang terdapat di
candi Cetho yang dalam posisi tidur tersebut sebelumnya berada di atas, atau
berdiri diatas kura-kura dimana kura-kura pada dasarnya sebagai terutama gunung
Mahameru. Disamping lambang phallus atau lingga juga terdapat lambang wanita
yang dimanifestasikan dalam bentuk segitiga dimana diatasnya terdapat relief
binatang yang berhubungan dengan lambang kesuburan atau pemujaan roh
leluhur, yaitu tiga ekor katak, mimi dan mintuna (ketam), tiga ekor biawak, dan
seekor belut.
9 Soekmono, Local Genius Dalam Perkembangan Bangunan Sakral di
Indonesia, dalam kepribadian budaya bangsa (Local Genius), disunting
Ayatrohaedi, (Bandung: Pustaka Jaya, 1986), hlm. 46.

Keberadaan Relief-Relief yang Menggambarkan Pembebasan


Kepurbakalaan di situs candi Cetho yang terkait dengan pembebasan atau

pelepasan. Selain relief atau

patung yang bergaya prasejarah terdapat pula

beberapa patung atau relief yang bergaya klasik (Hindu-Budha) meskipun relatif
kurang lengkap dan jelas. Hal ini terlihat dalam relief Arjuna Wiwaha, dimana
menunjukkan Arjuna sedang berhadap-hadapan dengan dewa Indra dalam posisi
memanah. Dalam cerita Arjuna Wiwaha dikisahkan bahwa ada Raksasa
Niwatakawaca yang ingin menghancurkan kerajaan Indra. Karena raksasa tersebut
tidak mudah dikalahkan oleh apapun,dan hanya bisa dikalahkan oleh kesaktian
manusia, maka Indra pun berusaha mencari manusia yang bisa membantunya
mengalahkan Niwatakawaca. Kemudian Indra memilih Arjuna yang sedang
bertapa di gunung Indrakila. Sebelum Indra meminta Arjuna, ia menguji
ketabahan Arjuna terlebih dahulu agar yakin bahwa Arjuna bisa mengalahkan
raksasa Niwatakawaca.
Ujian pertama, Indra mengutus tujuh bidadari yang sangat cantik untuk
menggoda dan merayu Arjuna agar menghentikan tapanya. Namun usaha
bidadari- bidadari terebut hanyalah sia-sia. Maka dengan sedih dan kesal bidadaribidadari tersebut kembali ke kerajaan Indra dan melaporkan usaha mereka bahwa
Arjuna tidak tergoda dan tetap kukuh pada tapa-bratanya. Indra pun menjadi
senang dan semakin yakin dengan Arjuna. Kemudian Indra menjadi penasaran
akan tujuan Arjuna melakukan tapa tersebut. Akhirnya Indra menyamar menjadi
seorang kakek tua, dan menghampiri Arjuna yang sedang betapa. Ia disambut
hormat oleh Arjuna, dan dalam pembicaraan mereka terpaparlah alasan mengapa
Arjuna melakukan tapa, yaitu adalah untuk membantu kakaknya, Yudhistira agar
bisa merebut kembali kerajaannya dan kesejahteraan rakyatnya dari Korawa.
Maka ia bertapa memohon kepada Siwa agar diberi senjata-senjata. Kemudian
setelah mengetahui alasannya tersebut, Indra menduga bahwa Siwa pasti akan
menghapiri Arjuna yang sedang bertapa. Indra pun kembali ke Surga.
Saat itu, raksasa Niwatakawaca mengetahui bahwa Indra akan mengutus
Arjuna, maka ia menyuruh Muka untuk membunuh Arjuna. Muka pun

menghampiri Arjuna dengan menyamar menjadi seekor babi hutan dan mengacakacak hutan. Arjuna pun terkejut. Lalu ia berusaha untuk membunuh babi hutan
tersebut. Pada saat yang bersamaan, Dewa Siwa yang telah mengetahui betapa
Arjuna baik sekali dalam melakukan tapanya,menyamar menjadi seorang
pemburu yang terasing dari sukunya. Dan pada saat yang bersamaan Siwa dan
Arjuna melepaskan anak panah,dan ternyata panah tersebut menjadi satu. Maka
mereka pun berselisih hingga berkelahi. Saat berkelahi, Arjuna hampir kalah.
Tetapi ia lalu memegang kaki lawannya,tetapi dengan seketika wujud pemburu itu
lenyap, dan Siwa pun menampakkan wujud aslinya sebagai ardhanariswara
setengah pria dan setengah wanita diatas bunga Padma. Lalu Arjuna memujanya
dengan segala pujian. Siwa pun menghadiahkan busur panah yang kesaktiannya
tidak dapat dipatahkan,bernama Pasupati.
Saat Arjuna sudah berkumpul dengan sanak saudaranya, ada utusan dari
Indra yang berwujud setengah dewa dan setengah manusia yang memberikan
sepucuk surat untuk Arjuna yang intinya meminta Arjuna untuk membantu Indra
mengalahkan raksasa Niwatakawaca. Setelah dijelaskan oleh Indra, maka Arjuna
pun bersedia membantu Indra. Arjuna diperintahkan untuk mencari kelemahan
Niwatakawaca. Maka Arjuna pun menyelinap di kerajaan Niwatakawaca bersama
bidadari Suprabha. Subrabha kemudian berpura- pura merayu Niwatakawaca. Ia
terus menggoda dengan memuji betapa hebatnya Niwatakawaca. Lalu secara tidak
sadar, Niwatakawaca mengatakan bahwa kelemahannya berada pada ujung
lidahnya. Setelah mengetahui hal itu, Arjuna pun keluar dari persembunyiannya
dan mengacak-acak kerajaan

Niwatakawaca. Setelah itu Arjuna membawa

Subrabha pergi,kembali ke Sorga Indra. Lalu Arjuna pun melapor kepada Indra.
Raksasa Niwatakawaca yang sangat marah karena ditipu pun menyerang
kerajaan Indra. Lalu terjadilah perang yang sangat hebat. Dalam perang tersebut,
Arjuna memancing Niwatakawaca dari arah belakang, dengan menyiapkan busur
panahnya.

Niwatakawaca pun mengejar Arjuna dan berteriak-teriak agar

pasukannya mengikutinya. Saat berteriak itulah Arjuna melepaskan anak


panahnya,yang kemudian masuk ke mulutnya. Niwatakawaca pun mati, dan
raksasa-raksasa pasukan Niwatakawaca pun pergi,dan sebagian sudah mati.

Dewa-dewa pun sangat senang dengan Arjuna. Maka ia diberi hadiah berupa
tahta di kerajaan Indra beserta tujuh bidadari dalam tujuh hari di surga,yang sama
dengan tujuh bulan di bumi manusia. Bulan
Suprabha,bulan ke dua
bidadari lainnya.10

pertama ia menikah dengan

bersama Tilotama, dan kemudian menyusul kelima

Dalam cerita ini dapat diambil kesimpulan bagaimana

seseorang melakukan tapa brata dan melepaskan keinginan duniawinya.


Kisah Tirta Amerta sering kali disebut sebagai lahirnya sang garuda. Ini
dapat dijumpai di gapura Candi Ceta teras VII, ditumpukan batu yang berbentuk
garudeya yang ditumpangi oleh kura-kura. Kisah pembebasan sang ibu oleh sang
garuda dianggap sebagai kisah suci dan siapapun yang mendengarnya akan
menjadi suci juga. Dikisahkan seorang pendeta cucu dewa Brahma yang bernama
Resi Kesyapa memperoleh empat belas orang gadis dari pendeta Daksa. Dari
empat belas gadis ini hanya Kadru dan Winata yang tidak memiliki anak, merasa
sedih dengan nasibnya Kadru dan Winata menghadap kepada Resi Kesyapa untuk
mengadu agar diberikan anak.
Kemudian Resi Kesyapa menyerahkan dua telur kepada kedua putri
tersebut. Telur Kadru menetas berupa ular sedangkan telur Winata menetas berupa
garudeya. Persaingan antar kedua putri tersebut masih berlanjut hingga saat terjadi
pengadukan kolam susu, mereka bertaruh akan warna kuda yang mengaduk lautan
susu tersebut, bila kalah maka yang kalah harus menjadi budak untuk yang
menang. Dewi Winata berpendapat bahwa kudanya berwarna putih mulus
sedangkan Dewi Kadru berpendapat kudanya berwarna putih namun ekornya
berwarna hitam.
Sebenarnya kuda tersebut benar-benar berwarna putih mulus namun dewi
Kadru menyuruh anak-anaknya untuk menyuntikkan bisanya ke ekor kuda
tersebut agar berwarna hitam, sehingga dewi Winata menjadi budaknya. Seiring
berjalannya waktu sang garudeya pun kasihan akan kesengsaraan ibunya yang
menjadi budak sehingga dia berbicara kepada ular untuk mengetahui syarat apa
yang bisa dilakukan untuk membebaskan ibunya. Ularpun menjawab bahwa
10 Lihat http://adinnanana.wordpress.com/cerita-arjunawiwaha-dalambuku-kalangwan/

syarat yang harus dipenuhi untuk membebaskan ibunya adalah dengan


mnyerahkan tirta amerta. Garuda pun bergegas pergi mencari tirta amerta dan
dalam pencariannya garuda

bertemu dengan ayahnya pendeta Kesyapa, dari

ayahnya garuda mendapat petunjuk dimana bisa menemukan tirta amerta yakni d
gunung Himawan. Setelah sang garuda mengalahkan penunggu di tempat ini sang
garuda bergegas menuju tempat penyimpanan kendi tirta amerta yang di jaga oleh
para dewa namun garuda tetap bisa mengambilnya dan menyerahkannya kepada
ular sebagai syarat untuk menebus ibunya.

Lokasi Situs Candi Cetho Sebagai manifestasi Punden Berundak


Pada masa Majapahit akhir terdapat bentuk bangunan suci lainnya yang

merupakan bentuk bangunan atau arsitektur budaya asli Indonesia. Bangunan suci
tersebut adalah bentuk-bentuk punden berundak yang banyak didirikan di lerenglereng gunung. Dari bukti-bukti yang ada dapat diketahui bahwa bangunan
punden berundak dikenal lagi secara meluas pada masa Majapahit akhir sekitar
abad 15 Masehi. Hal yang menarik adalah bahwa bangunan punden berundak
tersebut biasanya di daerah-daerah pegunungan atau lereng gunung. Contoh yang
paling terkenal ialah bangunan punden berundak yang ada di gunung
Penanggungan, Gunung Lawu, Gunung Arjuna dan Candi penampihan di lereng
timur gunung Wilis. Ciri-ciri umum yang menandai arsitektur punden berundak
yaitu :
1.Bentuknya merupakan susunan teras, bertingkat dan hanya mempunyai
satu sisi karena umumnya dibangun pada kemiringan lereng gunung.
2.Jumlah terasnya antara 1-4, ditambah batur rendah di teras teratas.
3.Tidak mempunyai bilik candid an tentu saja tidak mempunyai atap
pelindung bangunan.
4.Bangunan tersuci berada pada teras teratas (teras terbelakang)
Demikian ciri-ciri bangunan punden berundak yang pada umumnya, tetapi
ada juga bangunan suci yang didirikan pada masa Majapahit akhir yang
bangunannyatidak berundak, sebagai penggantinya adalah halamannya berteras
tiga meninggi ke belakang dalam hal ini sebagai contoh ialah bangunan candi
sukuh.

Begitu juga arsitektur bangunan Candi Cetho, yang terdiri dari banyak teras
atau altar sehingga menyerupai punden berundak dimana bagian teras atau altar
yang paling atas adalah merupakan bangunan utama nya. Teras terakhir yakni
teras yang paling tinggi dahulunya pernah menopang sebuah pendapa, yang masih
ada peninggalan lantai nya yang terbuat dari batu dan umpak-umpaknya untuk
tiang yang terbuat dari kayu. Telah dijelaskan diatas bahwa salah satu bangunan
yang biasa dianggap menyerupai punden berundak adalah mempunyai 1-4 teras
atau altar namun hal ini berlaku bagi pundenberundak di Gunung Penangguan,
karena di Candi Ceto di lereng sebelah barat Gunung Lawu jumlah terasnya
mencapai 13 tingkat. Situs candi cetho merupakan bangunan punden berundakundak dimana pada tiap-tiap tangga nya untuk menuju ke teras berikutnya terdapat
kura-kura nya, bagian punden yang terpenting terdapat di teras ke 14 yang
terdekat dengan gunung dan di teras ini hanya terdapat sejumlah batu yang
runcing bentuknya yang merupakan bentuk menhir yang sama artinya dengan
Lingga pada masa Hindu-Budha.11
Menilik bentuk bangunan punden berundak sebenarnya bangunan tersebut
dapat dikembalikan kepada konssep dasar pembagian lapisan kehidupan
(loka/dhatu), namun dalam punden berundak hal ini tidak terlihat begitu jelas. Hal
ini disebabkan karena sebuah punden berundak tidak dapat dibagi atas bagian kaki
(bhurloka), tubuh (bhuwarloka), dan atap (Swarloka). Namun punden berundak
bias dihubungkan dengan kepercayaan Hindu-Budha bahwa semakin tinggi
sebuah tempat maka tempat tersebut dianggap semakin dekat dengan sang
pencipta atau juga kepercayaan bahwa semua dewa bertempat tinggal di gunung
Mahameru. Kepercayaan inilah yang mungkin mendasari bentuk bangunan
punden berundak. Karena keinginan manusia untuk mendekatkan diri pada sang
pencipta sehingga mereka membuat bangunan yang tinggi menyerupai gunung.

11 Eko dkk., Anasir-anasir Ooterisme Pada Situs Candi Cetho, dalam


Jurnal, No.1, Maret 2014 (Surabaya:UNS,2014),hlm.118.

DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Agung Bimo Sutejo dan Timmy Hartadi, 2009, Misteri di Candi Cetho dan
Candi Penataran, Yogyakarta: Yayasan Turangga Seta.
Soekmono, 1986, Local Genius Dalam Perkembangan Bangunan Sakral di
Indonesia, dalam kepribadian budaya bangsa (Local Genius), disunting
Ayatrohaedi, Bandung: Pustaka Jaya.
Jurnal/Skripsi/Hasil Penelitian :
Agunk dkk., 2010, Misteri di Candi Cetho dan Candi Prambanan, dalam Artikel
Turangga Setha, Yogyakarta
Agus Aris Munandar,1990, Kegiatan Keagamaan di Pawitra Gunung Suci di
Jawa Timur Abad 14-15, Tesis, Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia,
Depok: Tidak Diterbitkan
Eko Hari Prasetyo dan Agus Suprijono, 2014, Anasir-Anasir Esoterisme
Pada Situs Candi Cetho, e-Journal AVATARA, Pendidikan Sejarah, Vol.
2 Nomor 1, Maret 2014, Pendidikan sejarah, Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Surabaya. Surabaya: Tidak Diterbitkan.
Etty Saringendyanti, 2008, Candi Sukuh Dan Ceto Di Kawasan Gunung
Lawu, Makalah Hasil Penelitian, Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran.
Bandung: Tidak Diterbitkan.
Irchan, Muhammad., 2008, Wisata Candi Cetho dan Sekitarnya Dalam Fotografi,
Tugas Akhir, Surakarta : Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas
Maret. Surakarta: Tidak Diterbitkan.
Nilasanti, Viva., 2010, Perencanaan Strategis Pengembangan Objek Wisata
Candi Cetho Oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten
Karanganyar, Skripsi, Surakarta : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret. Surakarta: Tidak Diterbitkan.

Internet:
Anonim,

Sejarah

Tentang

Candi

Cetho

Karanganyar,

diakses

dari

http://www.jalansolo.com/sejarah-tentang-candi-cetho-karanganyar.html,
pada Kamis 28 Mei 2015 Pukul 15.37 WIB di Surakarta.
Anonim,

Wisata

Jawa

Candi

Cetho,

diakses

https://wisatajawa.wordpress.com/wisata-jawa-tengah/candi-cetho/,
28 Mei 2015 pukul 20.23 WIB di Surakarta.

dari
Pada

LAMPIRAN

Salah satu relief di Candi Cetho

Terdapat beberapa patung-patung yang berbentuk manusia yang


belum dapat diidentifikasi satu-persatu. Namun secara umum
tidak menunjukkan ciri-ciri dewa tertentu. Barangkali arca-arca
ini merupakan perwujudan tokoh wayang.

Phallus yang menyentuh symbol Vagina

Patung Dewi
Saraswati. Dikenal
sebagai dewi ilmu
pengetahuan

Suasana di dalam lokasi. Gambar diatas merupakan bentuk arca


garuda dan kura-kura yang tersusun dengan susunan batu diatas
tanah membentuk kontur burung yang sedang membentangkan
sayap. Diatas nya lagi terdapat symbol phallus yang merupakan

symbol kesuburan, dan symbol phallus ini berada dalam posisi


menyentuh symbol vagina

Pintu Masuk Candi

Informasi singkat yang dipajang mengenai Candi Cetho

Anda mungkin juga menyukai