Anda di halaman 1dari 21

PERANAN TIPOLOGI USAHA DAN MASALAH PERKEMBANGAN

TERNAK KELINCI DI INDONESIA

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata kuliah Pengembangan


Ternak Potong

Oleh : Salsabila Urfa Al-ala


200120140501

PROGRAM STUDI ILMU PETERNAKAN


PROGRAM PASCASARJANA - FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2015

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas segala
berkat dan rahmatNya sehingga dapat menyelesaikan penulisan
makalah dengan judul Peranan dan Perkembangan Tipologi Usaha Ternak
Kelinci di Indonesia. Tak lupa Shalawat serta salam semoga selalu
tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad Sallallahu Alaihi Wassalam.
Penulisan

makalah

ini

untuk

menyelesaikan

tugas

mata

kuliah

pengembangan ternak potong.


Makalah ini disusun dengan tujuan memberikan informasi dalam
pengembangan potensi serta peranan tipologi usaha ternak kelinci.
Berdasarkan data yang diperoleh, ternak kelinci memiliki potensi untuk
dikembangkan.

Akan

tetapi,

dalam

pengembangannya

ditemukan

beberapa kendala sehingga perlu adanya upaya untuk mengatasinya.


Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata
kuliah

pengembangan

ternak

potong

yang

telah

membimbing,

mengarahkan, memberikan dukungan serta motivasinya kepada penulis


sehingga dapat menyelesaikan penulisan makalah ini.

Jatinangor, Desember 2015

Penulis.

DAFTAR ISI
BAB

Halaman

KATA PENGANTAR................................................................

ii

DAFTAR ISI ............................................................................

iii

PENDAHULUAN ....................................................................

1.1.
1.2.
1.3.
1.4.

Latar Belakang ...............................................................


Identifikasi Masalah ........................................................
Maksud dan Tujuan ........................................................
Kegunaan ........................................................................

1
4
4
4

PEMBAHASAN.......................................................................

2.1. Usaha Ternak Kelinci.......................................................


2.2. Tipologi Usaha Peternakan.............................................
2.3. Peran Tipologi Usaha Ternak Kelinci...............................
2.3.1 Peternakan Rakyat ................................................
2.3.2 Peternakan Komersil .............................................
2.4. Kendala Pengembangan Ternak Kelinci di Indonenia....

5
7
10
12
13
15

III. KESIMPULAN.........................................................................

15

3.1. Kesimpulan.......................................................................
3.2. Saran ...............................................................................

16
16

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................

17

I.

II.

I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Seiring dengan pertumbuhan penduduk Indonesia yang pesat,

konsumsi akan protein hewani pasti juga semakin melonjak. Kebutuhan


akan protein hewani penduduk Indonesia belum dapat dipenuhi hanya
dengan mengandalkan hasil pemotongan ternak lokal, baik ruminansia
maupun nonruminansia. Untuk memenuhi kebutuhan protein asal ternak
yang terus meningkat, pemerintah melakukan impor ternak bakalan dan
daging dari negara tetangga. Keadaan demikian tentu tidak dapat
dibiarkan berlangsung terus-menerus, pemanfaatan sumberdaya yang kita
miliki perlu terus dikembangkan, termasuk pangembangan ternak
potersial.
Saat ini usaha peternakan merupakan prospek usaha yang cukup
menjanjikan

di

sektor

perekonomian.

Sektor

peternakan

baik

di

kembangkan karena tingginya permintaan pasar akan produk peternakan


terutama daging. Permintaan daging untuk konsumtif saat ini sangat tinggi
karena semakin banyaknya jumlah konsumen yang membutuhkan asupan
gizi protein yang salah satunya daging.
Salah satu jenis ternak belum banyak mendapat perhatian untuk
dikembangbiakkan sebagai penghasil daging adalah kelinci. Kelinci dapat
membantu memenuhi kebutuhan protein hewani terutama pada wilayah
dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan keterbatasan tempat. Kelinci
adalah

hewan mamalia dengan potensi penghasil daging yang baik.

Kelinci

termasuk

hewan

yang

sudah

didomestikasi

dan

banyak

dimanfaatkan oleh manusia untuk produksi fur, daging, hewan percobaan

atau sebagai hewan kesayangan. Kelinci memiliki kelebihan yaitu laju


pertumbuhan yang cepat, potensi reproduksi yang tinggi dan memiliki
kemampuan dalam mencerna pakan hijauan karena memiliki sifat
coprophagy yaitu memakan kotorannya sendiri. Daging kelinci mulai di
gemari oleh masyarakat karena teksturnya yang lembut serta memiliki
kandungan protein tinggi dan sedikit berlemak sehingga daging kelinci
aman dari resiko kolesterol dagingnya juga tidak terlalu berbau seperti
daging kambing maupun sapi. Selain manfaat tersebut kotoran dan urine
dari semua jenis kelinci dapat dimanfaatkan sebagai pupuk alami yang
saat ini masih sangat terbatas namun sangat diminati oleh penggemar
tanaman hias. Keunggulan lainnya yaitu penyediaan pakannya tidak
bersaing baik dengan ternak nonruminansia maupun dengan manusia.
Hal ini berarti bahan pakan untuk kelinci tidak berasal dari bahan
makanan yang diperuntukan bagi manusia
Strategi pembangunan peternakan mempunyai prospek yang baik
dimasa depan, karena permintaan bahan-bahan yang berasal dari ternak
akan terus meningkat seiring dengan permintaan jumlah penduduk,
pendapatan dan kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi pangan
bergizi tinggi sebagai pengaruh dari naiknya tingkat pendidikan rata-rata
penduduk. Pembangunan dan pengembangan tersebut diantaranya, yaitu
meliputi pembangunan dibidang pertanian, khususnya peternakan.
Banyak

peternakan

di

pedesaan

yang

memperhatikan

masalah

pertumbuhan ternak dan mengabaikan masalah ekonomi perusahaan,


Ilmu usaha tani atau farm management berkembang sejak
permulaan abad ke-20. Perkembangan ini sejalan dengan perkembangan
Ilmu Ekonomi Produksi. Ilmu usaha tani di Asia telah mengalami

perubahan disesuaikan dengan ukuran usaha petani-petani di Asia yang


pada dasarnya berusaha dalam ukuran yang kecil (smallsize). Walaupun
petani-petani

Asia

berukuran

skala

kecil,

mereka

belum

semua

menerapkan prinsip-prinsip bisnis pertanian. Pengembangan sub sektor


peternakan sebagai bagian dari ilmu usaha tani dalam era globalisasi
ekonomi dihadapkan pada persaingan yang semakin terbuka, kondisi
tersebut seharusnya dijadikan momentum untuk memacu peningkatan
sumberdaya lokal, daya saing serta antisipasi masa depan.
Kegiatan peternakan saat ini bukan hanya untuk memenuhi
kebutuhan keluarga saja. Tapi sudah merupakan usaha yang dapat
dijadikan sumber penghasilan pokok. Dewasa ini usaha peternakan juga
sudah mencapai level usaha industri yang menyediakan lapangan kerja
bagi orang banyak. Saat ini usaha peternakan yang pengelolaannya
masih didominasi usaha skala kecil dan menengah antara lain ternak
kerbau, sapi, domba, kambing, kelinci, itik dan ayam buras. Sementara
ternak sapi potong, sapi perah, ayam ras dan puyuh dikelola oleh
perusahaan peternakan. Namun demikian, usaha ternak sapi potong, sapi
perah atau puyuh juga bisa dikelola sendiri dengan skala kecil.
Sektor usaha peternakan kelinci masih belum berkembang dengan
pesat, namun permintaan untuk konsumsi daging kelinci cukup tinggi,
sehingga perlu di adakan pemberdayaan peternakan kelinci. Hal ini
merupakan peluang yang bagus untuk mengembangkan usaha ini.

1.2

Identifikasi Masalah
Adapun rumusan masalah yang disusun dalam makalah ini adalah

sebagai berikut :
1) Bagaimana peranan tipologi usaha ternak kelinci di Indonesia
2) Apa kendala pengembangan usaha peternakan kelinci di Indonesia

1.3

Maksud dan Tujuan


Adapun maksud dan tujuan dari penyusunan makalah ini adalah

sebagai berikut :
1) Mengetahui peranan tipologi usaha ternak kelinci di Indonesia
2) Mengetahui kendala pengembangan usaha kelinci di Indonesia

1.4

Kegunaan
Adapun kegunaan dari penyusunan makalah ini adalah sebagai
berikut :

Sebagai bahan informasi bagi peternak dan pihak terkait dalam


pengembangan ternak kelinci di Indonesia

II
PEMBAHASAN
2.1

Usaha Ternak Kelinci


Di Indonesia ternak kelinci mempunyai kemampuan kompetitif

untuk bersaing dengan sumber daging lain dalam memenuhi kebutuhan


hidup manusia (kebutuhan gizi) dan merupakan alternatif penyedia daging
yang perlu dipertimbangkanpada masa yang akan datang,daging kelinci
merupakan salah satu daging yang berkualitas baik dan layak dikonsumsi
oleh berbagai kelas lapisan masyarakat. Bahkan dibandingkan dengan
kondisi daging ayam dilihat dari segi aroma, warna daging dan dalam
berbagai bentuk masakan tidak ditemukan perbedaan yang nyata
(Dwiyanto et al. 1995).
Peluang untuk berkembangnya usaha ternak kelinci di Indonesia
sebenarnya masih terbuka lebar. Saat ini pasokan kebutuhan daging
masyarakat dipenuhi oleh daging ayam, sapi, domba, dan kambing,
Dengan kenaikan jumlah penduduk Sistem pertanian (farming system)
adalah pengaturan usaha tani yang stabil, unik dan layak yang dikelola
menurut praktek yang dijabarkan sesuai lingkungan fisik, biologis dan
sosio ekonomi menurut tujuan, preferensi dan sumber daya rumah
tangga. (Tri, 2001). Hal-hal tersebut merupakan peluang bagi para
peternak kelinci terus meningkatkan produksi dan produktivitasnya.
Ternak kelinci telah dikenalkan dan dikembangkan masyarakat
secara

luas

dengan

berbagai

bentuk

promosi,

bahkan

promosi

pengembangannya dimotori secara langsung oleh Kepala Negara.


Berbagai program aksi dalam rangka pemberdayaan pengembangan
kelinci

telah

digulirkan

dimasyarakat

guna

menambah

pilihan

pemanfaatan daging sebagai sumber gizi. Namun sangat disayangkan


perkembangannya

kurang

menggembirakan

dan

terus

menurun

popularitasnya, bahkan hingga saat ini sentrasentra produksi kelinci


hanya terdapat didaerah-daerah pariwisata, misalnya di Lembang (Jawa
Barat), Bedugul (Bali), Kaliurang (Yogyakarta), tentunya dengan wilayah
penyebaran yang terbatas permintaan daging kelinci akan menjadi
terbatas pula. Kendala lain yang terdeteksi adalah adanya pengaruh
kejiwaan tidak tega apabila manusia hendak memakan daging kelinci
(Sartika, 1998).
secara umum, tujuan usaha ternak kelinci bisa dibagi ke dalam
beberapa poin, antara lain:
1. Usaha ternak kelinci pedaging. Sudah bukan rahasia umum lagi,
daging kelinci cukup nikmat dan istimewanya rendah lemak dan kaya
akan senyawa protein. Usaha ternak kelinci untuk tujuan pedaging
memiliki prospek yang baik. Terlebih harga daging lainnya cukup mahal.
Daging kelinci hadir sebagai alternatif yang murah dan juga sehat. Jenis
kelinci yang biasa diternakkan sebagai pedaging adalah Flemish Giant
Rabbit, Satin Rabbit, Rex Rabbit dan lain-lain.
2. Ternak kelinci sebagai penghasil anakan atau bibit kelinci.
Secara biologis kelinci memiliki rahim lebih dari satu sehingga ia bisa
melahirkan lebih dari 1 bayi. Diluar daripada itu, kelinci juga tergolong
binatang prolifik sehingga sangat mudah berkembang biak. Dalam
setahun saja, sang betina bisa melahirkan sampai 5 kali.
3. Ternak kelinci adalah untuk membidik permintaan pasar terhadap
ketersediaan kelinci sebagai binatang peliharaan atau kelinci hias. Jenis
kelinci yang diminati antara lain Angora Rabbit, Lop Rabbit, Lion Rabbit,

Harlequin Rabbit dan masih banyak lagi lainnya. Kelinci hias tidak beritik
pada kuantitas alias bobot kelinci melainkan pada kualitasnya terutama
bagian bulu.
4. Ternak kelinci lainnya adalah sebagai penyuplai hewan
percobaan untuk penelitian ilmiah di laboratorium. Memang permintaan ini
masih relatif sedikit tapi bisa dijadikan sampingan.
2.2

Tipologi Usaha Peternakan


Usaha tani dapat berupa usaha bercocok tanam atau memelihara

ternak. Usaha tani yang baik adalah bersifat produktif dan efisien yaitu
memiliki produktivitas atau produksi per satuan lahan yang tinggi (Swandi,
2005).
Sistem pertanian terpadu (integrated farming system) merupakan
salah satu kegiatan diversifikasi komoditas yang dapat dilakukan guna
mengimbangi kebutuhan akan produk pertanian (terutama tanaman
pangan) yang terus meningkat melalui pemanfaatan hubungan sinergis
antar komoditas yang diusahakan, tanpa harus merusak lingkungan serta
serapan tenaga kerja yang tinggi. Penerapan sistem usahatani terpadu
merupakan pilihan yang tepat dalam upaya meningkatkan pendapatan
petani dan sekaligus memanfaatkan sumberdaya pertanian secara
optimal.
Dalam rangka memacu pertumbuhan produksi, peternakan rakyat
dengan skala usaha kecil turut berperan. Pergeseran skala usaha dari
peternakan rakyat ke industri peternakan dapat dibagi menjadi tipe-tipe :
sambilan, cabang usaha, usaha pokok, dan industri peternakan.
Usaha peternakan adalah usaha dibidang peternakan yang dapat
diselenggarakan dalam bentuk peternakan rakyat dan perusahaan

peternakan (Dinas Peternakan, 2000 dalam Suhendar, 2004). Menurut


Soehadji dalam Annisa (2005), tipologi usaha peternakan dibatasi
berdasarkan skala usaha

dan

tingkat pendapatan

peternak dan

diklasifikasikan kedalam kelompok berikut:


1. Peternakan sebagai usaha sambilan, dimana ternak sebagai usaha
sambilan untuk mencukupi kebutuhan sendiri (subsistence) dengan
tingkat pendapatan dari usaha
ternak kurang dari 30%.
2.

Peternakan

sebagai

cabang

usaha,

dimana

petani

peternak

mengusahakan pertanian campuran (mixed farming) yang melibatkan


ternak sebagai cabang usaha dengan tingkat pendapatan dari usaha
ternak 30-70% (semi komersial atau usaha terpadu).
3. Peternakan sebagai usaha pokok, dimana peternak mengusahakan
ternak sebagai usaha pokok dan komoditi pertanian lainnya sebagai
usaha sambilan (single comodity), dengan tingkat pendapatan usaha
ternak 70%-100%.
4. Peternakan sebagai usaha industri, dimana komoditas ternak
diusahakan

secara

khusus

(specialized

farming)

dengan

tingkat

pendapatan usaha ternak 100% (komoditi pilihan).


Di sisi lain keadaan peternak kelinci di Indonesia sampai saat ini
masih didominasi oleh peternakan sapi perah rakyat, yang banyak
dicirikan oleh ketertinggalannya di dalam memacu peningkatan produksi
baik dari segi hasil maupun kualitasnya. sehingga skala pemilikannya
masih rendah berkisar 10-20 ekor/kepala keluarga. Bila dilihat dari skala
pemilikan kelinci produktif akan lebih rendah lagi, yaitu hanya 5-10 ekor
saja, karena sulit mendapatkan hijauan makanan ternak. Peternak

tersebut umumnya masih menggunaan pakan tradisional sehingga tingkat


produktivitasnya tidak maksimal.
Dalam memacu peningkatan produksi daging dan produktivitas
kelinci, idealnya peternak dapat mengusahakan ternaknya bukan sebagai
usaha sambilan, melainkan harus sebagai usaha pokok. Agar usaha
kelinci dapat menjadi usaha pokok, maka setiap peternak diharapkan
dapat memiliki skala usaha 50-100 ekor atau rata-rata 20-50 ekor indukan.
Tipologi peternak yang demikianlah yang selayaknya perlu
dikembangkan di dalam menjawab tantangan swasembada daging
maupun di dalam menghadapi era perdagangan bebas.
Sampai saat ini keadaan di lapangan menunjukkan bahwa
keberadaan peternak yang diidealkan tersebut belum menjadi fenomena
umum. Namun di setiap sentra produksi peternakan kelinci akan dijumpai
pula beberapa orang peternak yang memiliki kecenderungan yang
berbeda dengan kebanyakan peternak lainnya.
Bila sebagian besar peternak kelinci skala usaha amat terbatas
atau sambilan, maka ada peternak dengan tipe professional akan memiliki
skala usaha ternak di atas rata-rata. Dari sisi tipologi kepribadiannya,
peternak yang diidealkan ini diduga pula akan memiliki ciri khas yang
berbeda dibanding dengan peternak yang lainnya. Mengacu kepada
pendapat McClelland (Nasution, 1998), maka peternak yang diidealkan
tersebut diduga akan memiliki kebutuhan akan pencapaian (the need for
achievement) atau n/Ach yang lebih baik dibanding dengan peternak
lainnya.

2.3

Peran Tipologi Usaha Ternak Kelinci

2.3.1. Usaha Peternakan Rakyat


Usaha ini diwakili oleh petani-petani dengan lahan sempit yang
mempunyai 10-100 ekor ternak Kelinci,. Keluarga petani yang bergerak
dalam usaha ini diperkirakan terdiri atas 37.836.000 rumah tangga.
Usaha peternakan nasional hingga saat ini masih didominasi usaha
peternakan rakyat. Jumlahnya mencapai lebih dari 95 persen dari jumlah
keseluruhan peternak di Indonesia. Tipe usaha ini tidak mengalami
kemajuan pesat, karena perkembangannya sangat dipengaruhi oleh daya
dukung wilayah dan terbatasnya modal dan pemakaian teknologi. Cara ini
dapat digambarkan hanya merupakan usaha sambilan, memanfaatkan by
produk pertanian dan sangat berguna untuk saving keluarga. Dari tipe
usaha ini tentu telah ada yang berkembang kearah usaha semi intensif.
Usaha

peternakan

rakyat

atau

small

farmers

merupakan

usaha

peternakan yang melaksanakan biosekuriti secara terbatas, karena


masalah biaya.
Secara terperinci ciri-ciri sistem peternakan rakyat adalah:
a. Manajemen intensif yang rendah
b. Modal yang sangat rendah
c. Produknya adalah pengan dengan ketergantungan pada pasar output
dan input pada jasa pelayanan
Salah satu upaya yang mungkin dapat dilakukan untuk menjaga
kesinambungan usaha peternakan rakyat, adalah melalui sentuhan
perbaikan sistem pemasaran ternak potong, yang paling tidak dapat
dilakukan 2 pendekatan :

1. Peternak Kelinci rakyat mendirikan wadah dan bersatu didalamnya


untuk menggalang sumber daya yang dimiliki untuk diarahkan pada
keberlangsungan peternakan rakyat dibidang usaha ternak potong
secara agribisnis, dengan pengertian peternak melalui wadah
dimaksud mampu mengendalikan kegiatan- kegiatan hulu sampai
dengan hilir sub sistem agribisnis usaha ternak potong yang
tentunya pemasaran termasuk didalamnya.
2. Pemerintah atau pengusaha yang peduli terhadap pembangunan
peternakan rakyat mempelopori pendirian usaha pembelian ternak
rakyat secara langsung, menjamin pembelian dengan harga
memadai, memiliki cabang-cabang pada sentra pengembangan
ternak potong, tanpa perantara, dan menggunakan cara penentuan
harga per ekor ternak berdasarkan timbangan berat hidup ternak.
Selanjutnya jika yang menjadi pelopor tersebut adalah pemerintah
dan usaha dimaksud telah berjalan lancar dan menguntungkan,
dapat dijual ke pihak swasta melalui kebijakan privatisasi .Peternak
dengan peluang perolehan yang tinggi akan bergairah dalam
pengembangan usahanya dan selanjutnya akan muncul pendatang
baru sebagai investor untuk menanamkan modalnya dalam usaha
pengembangan ternak potong tersebut.

Argumentasi penguat dapat ditinjau dari realitas dan keunggulan


usahatani skala kecil. Pertama, usaha pertanian tidak pernah akan lenyap
selama

manusia

masih

perlu

makan.

Kedua,

kenyataan

bahwa

kepemilikan faktor produksi (lahan, modal) petani kita sangat sempit dan
terbatas. Ketiga, sebagian besar penduduk masih bergantung pada sector

pertanian di pedesaan. Keempat, kontribusi pertanian sangat besar dalam


menunjang sektor industri hulu dan hilir serta jasa pertanian, baik dalam
kontribusi komoditi pertanian, pendapatan, pasar maupun penyerapan
tenaga

kerja.

Kelima,

program-program

dalam

skala

kecil

lebih

memungkinkan adanya partisipasi, lebih mudah disesuaikan, serta lebih


peka menjawab kebutuhan petani. Keenam, program kecil membutuhkan
teknologi sederhana yang disesuaikan dengan kemampuan pelaku
pelakunya. Terakhir, program-program skala kecil memberi ruang yang
besar bagi partisipasi dan kemandirian.
2.3.2 Usaha Peternakan Komersil
Merupakan usaha yang benar-benar telah menerapkan prinsipprinsip ekonomi antara lain usaha dengan tujuan untuk profit maksimal.
Dalam usaha ini profit adalah motivasinya yang diproyeksikan kepada
pasar-pasar yang ada.
Sistem perusahaan Peternakan Komersial (SPPK) memiliki ciri-ciri:

a.Melaksanakan sekuriti relatif intensif

b.Modal relatif tinggi

c.Manajemen sekuriti relatif moderat sampai tinggi

d.Produknya merupakan pangan dengan input tergantung pada


Sistem Industri Peternakan Terintegrasi atau impor
Usaha komersial dalam bidang peternakan dapat bermacam

macam, misalnya:

a.Usaha pembibitan

b.Usaha makanan ternak

c.Usaha penggemukan (feed lot)

Usaha peternakan komersial umumnya dilakukan oleh peternak


yang memiliki modal besar serta menerapkan teknologi modern.
Disamping itu usaha peternakan komersial telah melakukan pemeliharaan
dalam ruangan tertutup dan menerapkan biosekuriti secara moderat.
Seperti usaha lainnya, usaha peternakan dapat juga dikelola secara
industri. Beberapa jenis ternak yang sudah dikelola secara industi antara
lain ayam ras, sapi potong, dan sapi perah. Usaha ternak secara industri
sudah berbadan hukum. Usaha peternakan skala besar seyogyanya
berbadan hukum karena melibatkan banyak pihak yang terdiri dari pemilik
modal dan pekerja. Beberapa bentuk badan hukum yang dapat dipilih
antara lain yayasan, koperasi, CV, atau perseroan terbatas. Tingkat
pendapatan yang diperoleh dari usaha ini mencapai 100%. Contoh usaha
yang dikelola secara industry adalah adalah peternakan sapi perah.
Namun demikian, usaha ini dikelola oleh peternak di bawah gabungan
Koperasi Susu Indonesia
2.4

Kendala Pengembangan Kelinci di Indonesia


Peternakan kelinci yang ada di Indonesia belum sepenuhnya

berjalan

sebagaimana

program

pemerintah

dalam

meningkatkan

swasembada daging, hal ini disebabkan oleh beberapa kendala antara


lain (Sastrodihardjo et al. 1992):
1. Daging kelinci belum memasyarakat
2. Belum adanya pusat pembibitan kelinci untuk bibit pedaging
maupun hias.
3. Sifat pemeliharaan masih bersifat individual dengan modal kecil
sehingga sulit berkembang.

4. kurang

gencarnya

promosi

tentang

perlunya

masyarakat

mengkonsumsi daging kelinci.

Kendala non teknis diduga lebih kuat pada pengembangan kelinci


sebagaimana diutarakan oleh Sartika et al. (1998) yang mengatakan
ditinjau dari segi preferensi sebetulnya daging kelinci tidak mengalami
kendala yang serius, namun kendala mengkonsumsi daging kelinci diduga
dari segi psikologis yang mengungkapkan adanya rasa sayang, atau
kasihan dalam pemotongannya maupun dalam hal memakannya.Kendala
secara teknis banyak ditemui tentang faktor kematian yang mencapai
lebih dari 20% pada tingkat umur potong.
Kendala utama lainnya yang dihadapi dalam pengembangan ternak
kelinci adalah:
a. Dari segi produksi kendala yang dihadapi adalah rendahnya
produktifitas dan mutu hasil terutama pada pemeliharaan skala kecil yang
diakibatkan kurangnya pengetahuan manajemen pemeliharaan.
b. Kelinci merupakan hewan kesayangan serta adanya anggapan bahwa
daging kelinci tidak halal untuk dimakan, sehingga sangat sulit untuk
memasyarakatkan daging kelinci sebagai sumber pangan alternatif.
c. Pengembangan agribisnis ternak kelinci
masih memerlukan promosi yang intensif dan kemampuan untuk
memasuki pasar atau menciptakan pasar .
Usaha pengembangan kelinci ini, diperlukan kepercayaan dari
pemerintah untuk mau mencoba mengembangkan kelinci kembali dengan
diadakannya kerjasama antara berbagai departemen dan pengusaha

pengolah makanan dalam memasarkan produknya serta diperlukan usaha


promosi agar produk olahan kelinci dapat diterima di masyarakat.
Begitu pula masyarakat harus percaya diri bahwa dengan usaha
ternak kelinci mempunyai peluang bisnis yang menguntungkan dimasa
mendatang. Diperlukan modal yang tidak sedikit dalam pengembangan
usaha ternak kelinci ini, oleh karena itu diperlukan bantuan proyek dari
pemerintah ataupun kredit lunak yang tidak memberatkan.

IV
KESIMPULAN

Dalam menghadapi era globalisasi, kelinci merupakan ternak yang


mempunyai kemampuan kompetitif untuk diusahakan secara
komersial terutama sebagai penghasil daging .

Indonesia mempunyai peluang untuk pengembangan usaha ternak


kelinci karena mempunyai potensi dalam penyediaan pakannya
yang tidak bersaing dengan kebutuhan manusia (banyaknya
hijauan dan limbah agroindustri pertanian), banyaknya tenaga kerja
produktif, tidak memerlukan lahan yang luas sehingga masih dapat
diusahakan di lahan-lahan yang terbatas

SARAN
Keberhasilan agribisnis peternakan akan sangat tergantung pada
komitmen, konsistensi, komunikasi, network dan partisipasi dari seluruh
stakeholders. Oleh karena itu dalam workshop nasional pengembangan
satwa

harapan

kelinci

diharapkan

dapat

menjaring

aspirasi

dari

stakeholder pengembangan agribisnis peternakan yang mempunyai arti


yang sangat strategis dan sangat penting bagi pembangunan peternakan
di masa mendatang.

DAFTAR PUSTAKA

Blakely, J., dan Bade, D. H. 1998. Ilmu Peternakan Edisi ke Empat.


Penerjemah: Srigandono, B. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press. Hal: 351-352.
CHEEKE, R. B., N. M. PATTON and G. S. TEMPLETON. 1982. Rabbit
Production. Fifth Edition. The Interstate Printers and Publishers,
Inc, Danville,Illinois.
CHEEKE, R.B., N.M. PATTON, S.D. LUKEFAHR and J.I. MCNITT. 1987.
Rabbit production. Sixth Edition. The Interstate Printers and
Publisher, Inc. Danville, Illinois.
CHEN, C. P., D. R. RAO., G. R. SUNKI and W. M. JOHNSON. 1987.
Effect of weaning and slaughter ages upon rabbit meat production,
body weight, feed efficiency and mortality. J. Anim. Sci. 46: 573
577.
CHURCH, D. C. 1979. Livestock Feed and Feeding. Durhan and Cowney,
Inc. Portlan. Oregon.
El-Raffa, A.M. 2004. Rabbit Production in Hot Climates. Poultry Production
Dept., Fac. Of Agric., Alexandria Univ., Egypt.
ENSMINGER, M. E. and C. G. OLENTINE. 1978. Feed and Nutrition
Complete. First Edition. The Ensminger Publishing Company.
California, USA.
ENSMINGER, M.E., J.E. OLDFIELD and W.W. HEINEMANN. 1990. Feed
and Nutrition. Second Edition. The Ensminger Publishing Company.
California, USA.
FIELDING, D. 1992. Rabbits. Macmillan. University of Edinburgh.
FIELDING, D. 1992. Rabbits. Macmillan. University of Edinburgh.
Frandson, R.D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak Edisi ke-4. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta.
GASNIER, A. 1948. Some modalities of growth study on the rabbit. Anim.
Breed. Abstr. 16: 144 145.
Hammond, J. dan J. C. Browman. 1983. Farm Animal. 5th Ed. Butter and
Tunner Ltd, London.

LANG, J. 1981. The nutrition of the Commercial Rabbit. Nutrient abstract


and Reviews. 51: 198-199. LASLEY, J. F. 1978. Genetic of
Livestock Improvement. Prentice-Hall, Inc. Englewood Cliffs, New
Jersey.
Lawrie, R.A. 2003. Ilmu Daging. Penerjemah Aminudin P. UI-Press,
Jakarta.
LEBAS, F., P. COUDERT, R. ROUVIER and H. DE ROCHAMBEAU.
1986. The Rabbitt, Husbandry, Health and Production. Food and
Agriculture Organization of The United Nation. Rome.
Parigi Bini R., and Xiccato G.. 1998. Energy Metabolism and
Requirements. In. The Nutrition of the Rabbit. Ed. C. de Blas and
J.Wiseman. CABI Publishing, New York. p.103-132
RAO, D. R., C. B. CAHWAN, C. P. GHEN and G. R. SUNKI. 1979.
Nutritive value of Rabbit Meat. The Domestic Rabbit Potential,
Problem and Current Research. Published by O.S.U. Rabbit
Research Center, Carvallis Oregon.
Remois, G., Lafargue-Hauret, P., Rouillere, H., 1996. Effect of amylases
supplementation in rabbit feed on growth performance. In:
Proceedings of the Sixth World Rabbit Congress, Vol. 1, Toulouse,
France, pp. 289292.
Sanford, J.C. and F.G. Woodgate. 1980. The Domestic Rabbit. Thid
edition. Granada. Lonon-Totonto-Sydney-New York.
SARTIKA, T. 1994. Inseminasi buatan (IB) pada kelinci ditinjau dari
beberapa tingkat kelahiran (pat-it~').Pros. Seminar Hasil Penelitian
dan Pengembangan Bioteknologi II. Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia. Cibinong-Bogor.
Smith, J.B., Mangkoewidjojo, S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan
Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Tikus
Laboratorium (Rattus norvegicus): 37-57. Penerbit Universitas
Indonesia.
Soeparno, 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
Sudarmono dan Sugeng Bambang. 2008. Sapi Potong dan Pemeliharaan,
Perbaikan Produksi, Prospek Bisnis, Analisis Penggemukan.
Penebar Swadaya. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai