Anda di halaman 1dari 9

Pendahuluan

Otitis Media Akut (OMA) merupakan inflamasi akut pada sebagian atau
seluruh mukosa telinga tengah, tuba eustachius, antrum mastoid dan sel-sel
mastoid yang berlangsung kurang dari tiga minggu.1 Yang dimaksud dengan
telinga tengah adalah ruang di dalam telinga yang terletak antara membran
timpani dengan telinga dalam serta berhubungan dengan nasofaring melalui tuba
Eustachius.2 Perjalanan OMA terdiri atas beberapa aspek yaitu efusi telinga
tengah yang akan berkembang menjadi pus oleh karena adanya infeksi
mikroorganisme, adanya tanda inflamasi akut, serta munculnya gejala otalgia,
iritabilitas, dan demam.3
Dalam realita yang ada, OMA merupakan salah satu dari berbagai penyakit
yang umum terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk di negara-negara dengan
ekonomi rendah dan Indonesia, serta memiliki angka kejadian yang cukup
bervariasi pada tiap-tiap negara.4,5 Penyakit ini juga telah menimbulkan beban lain
yang cukup berarti, diantaranya waktu dan biaya. OMA merupakan penyakit
infeksi yang paling sering terjadi di Amerika Serikat. Salah satu laporan Center
for Disease Control and Prevention (CDC) dalam salah satu programnya yaitu
CDCs Active Bacterial Core Surveillance (ABCs) di Amerika Serikat tahun 1999
menunjukkan kasus OMA terjadi sebanyak enam juta kasus per tahun. Meropol,
dkk juga mendapati 45-62% indikasi pemberian antibiotik pada anak-anak di
Amerika Serikat disebabkan OMA.6 Di Australia, tiap tahunnya 3-5% anak
meninggal akibat komplikasi otitis media dan 15 anak menderita kehilangan
pendengaran permanen akibat otitis media. Di Indonesia sendiri angka kejadian
otitis media sebesar 3,9-6,9%.7
Faktor usia merupakan salah satu faktor resiko yang cukup berkaitan
dengan terjadinya OMA. Kasus OMA secara umum banyak terjadi pada anakanak dibandingkan kalangan usia lainnya. Kondisi demikian terjadi karena faktor
anatomis, dimana pada fase perkembangan telinga tengah saat usia anak-anak,
tuba Eustachius memang memiliki posisi yang lebih horizontal dengan drainase
yang minimal dibandingkan dengan usia lebih dewasa. 2 Hal inilah yang membuat
kecenderungan terjadinya OMA pada usia anak-anak lebih besar dan lebih ekstrim
dibandingkan usia dewasa. Berdasarkan realita yang ada, Donaldson menyatakan

bahwa anak-anak berusia 6-11 bulan lebih rentan terkena OMA, dimana
frekuensinya akan berkurang seiring dengan pertambahan usia, yaitu pada rentang
usia 18-20 bulan. Pada usia yang lebih tua, beberapa anak cenderung tetap
mengalami OMA dengan persentase kejadian yang cukup kecil dan terjadi paling
sering pada usia empat tahun dan awal usia lima tahun. Setelah gigi permanen
muncul, insidensi OMA menurun dengan signifikan, walaupun beberapa individu
yang memang memiliki kecenderungan tinggi mengalami otitis tetap sering
mengalami episode eksaserbasi akut hingga memasuki usia dewasa. Kadangkadang, individu dewasa yang tidak pernah memiliki riwayat penyakit telinga
sebelumnya, namun mengalami Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) yang
disebabkan oleh adanya infeksi virus juga mengalami OMA.8

Epidemiologi
Otitis media terdapat pada semua bangsa diseluruh dunia baik di negara
berkembang maupun negara maju dengan angka kejadian bervariasi. Di negaranegara berkembang angka kejadian jauh lebih tinggi karena beberapa hal misalnya
higiene yang kurang, faktor sosioekonomi, gizi yang rendah, kepadatan penduduk
serta masih ada pengertian masyarakat yang salah terhadap penyakit ini sehingga
mereka tidak berobat sampai tuntas.
Di Amerika Serikat, otitis media terdiagnosis lebih dari 5 juta kali setiap
tahunnya, dan merupakan alasan paling banyak dituliskannya resep antibiotik
untuk anak-anak. Di Australia, tiap tahunnya 3-5% anak meninggal akibat
komplikasi otitis media dan 15 anak menderita kehilangan pendengaran permanen
akibat otitis media. Di Indonesia sendiri angka kejadian otitis media sebesar 3,96,9%.7
Stadium OMA
1)

Stadium Oklusi Tuba Eustachius


Tanda adanya oklusi tuba eustachius adalah gambaran retraksi membran

timpani akibat terjadinya tekanan negatif di dalam telinga tengah, akibat


absorbsi udara. Kadang-kadang membran timpani tampak normal (tidak
ada kelainan) atau berwarna keruh pucat. Efusi mungkin telah terjadi, tapi
tidak dapat di deteksi. Stadium ini sukar dibedakan dengan otitis media
serosa yang disebabkan oleh virus atau alergi.1
2)

Stadium Hiperemis (Stadium Pre-Supurasi)


Pada stadium hiperemis, tampak pembuluh darah yang melebar di

membran

timpani

tampak

hiperemis

serta

edema.

Sekret

yang

telah

terbentuk mungkin masih bersifat eksudat yang serosa sehingga sukar


terlihat.1
3)

Stadium Supurasi
Edema yang hebat pada mukosa telinga tengah dan hancurnya sel epitel

superfisial

serta

terbentuknya

eksudat

purulen

di

kavum

timpani,

menyebabkan membran timpani menonjol (bulging) ke arah liang telinga


luar. Pada keadaan ini pasien tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat,
serta rasa nyeri di telinga semakin bertambah berat.1

4)

Stadium perfrorasi
Karena beberapa sebab seperti terlambatnya pemberian antibiotik atau

virulensi kuman yang tinggi, maka dapat terjadi ruptur membran timpani
dan nanah keluar mengalir dari telinga tengah ke telinga luar. Anak yang
tadinya gelisah sekarang menjadi tenang, suhu badan menurun dan anak
dapat tertidur dengan nyenyak.1
5)

Stadium Resolusi
Bila membran timpani tetap utuh, maka keadaan membran timpani

perlahan-lahan akan normal kembali. Bila sudah terjadi perforasi, maka


sekretnya akan berkurang dan akhirnya kering. Bila daya tahan tubuh baik
atau virulensi kuman rendah, maka resolusi dapat terjadi walaupun tanpa
pengobatan. OMA berubah menjadi OMSK bila perforasi menetap dengan
sekret yang keluar terus-menerus atau hilang timbul. OMA dapat tibul
gejala sisa (sequele) berupa otitis media serosa bila sekret menetap di
kavum timpani tanpa terjadinya perforasi.1
Gejala Klinis
Gejala awal yang sering timbul pada pasien OMA, yaitu infeksi saluran
nafas atas. Gejala klinis OMA bergantung pada stadium penyakit serta umur
pasien. Pada anak yang sudah dapat berbicara keluhan utama adalah rasa nyeri di
dalam telinga, di samping suhu tubuh yang tinggi. Biasanya terdapat riwayat
batuk pilek sebelumnya. Pada anak yang lebih besar atau pada orang dewasa,
selain rasa nyeri, terdapat gangguan pendengaran berupa rasa penuh di telinga
atau rasa kurang mendengar. Pada bayi dan anak kecil, gejala khas OMA adalah
suhu tubuh tinggi dapat mencapai 39,5C (pada stadium supurasi), anak gelisah
dan sukar tidur, tiba-tiba anak menjerit waktu tidur, diare, kejang-kejang dan
kadang-kadang anak memegang telinga yang sakit. Bila terjadi ruptur membran
timpani, maka sekret mengalir ke liang telinga, suhu tubuh turun dan anak tidur
tenang.1,9
Diagnosa Banding
Pada pasien dengan keluhan otore (keluarnya cairan dari telinga tengah),
yang biasanya rekuren, didiagnosa sebagai Otitis Media Supuratif Kronik

(OMSK), atau dapat dicurigai sebagai tubotimpani maupun kolesteatoma. Infeksi


primer maupun sekunder dari otalgia (nyeri pada telinga) dan otore juga
bermanifestasi pada otitis eksterna. Gejala lain dari otalgia yang menjalar
dirasakan pada sakit gigi dan sendi temporomandibular. Pada orang dewasa,
keluhan otalgia dapat didiagnosa banding sebagai neoplasma laring dan laring.
Sedangkan pada neonatus dan bayi, otalgia disertai demam tinggi dapat dicurigai
meningitis.9
Tatalaksana
Terapi bergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan pada stadium awal
ditujukan untuk mengobati infeksi saluran napas, dengan pemberian antibiotik,
dekongestan lokal atau sistemik, dan antipiretik.1
1) Stadium Oklusi
Terapi ditujukan untuk membuka kembali tuba Eustachius sehingga tekanan
negatif di telinga tengah hilang. Diberikan obat tetes hidung HCl efedrin
0,25% untuk anak < 12 tahun atau HCl efedrin 0,5% dalam larutan fisiologis
untuk anak diatas 12 tahun dan dewasa. Sumber infeksi lokal harus diobati.
Antibiotik diberikan bila penyebabnya kuman.
2) Stadium Presupurasi
Diberikan antibiotik, obat tetes hidung dan analgesik. Bila membran timpani
sudah terlihat hiperemis difus, sebaiknya dilakukan miringotomi. Dianjurkan
pemberian antibiotik golongan penisilin atau eritromisin. Jika terjadi
resistensi, dapat diberikan kombinasi dengan asam klavulanat atau
sefalosporin. Untuk terapi awal diberikan penisilin intramuskular agar
konsentrasinya adekuat di dalam darah sehingga tidak terjadi mastoiditis
terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa dan kekambuhan.
Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari.
3) Stadium Supurasi
Selain antibiotik, pasien harus dirujuk untuk melakukan miringotomi bila
membran timpani masih utuh sehingga gejala cepat hilang dan tidak terjadi
ruptur.
4) Stadium Perforasi
Terlihat sekret banyak keluar, kadang secara berdenyut. Diberikan obat cuci
telinga H2Ow2 3% selama 3-5 hari serta antibiotik yang adekuat sampai 3

minggu. Biasanya sekret akan hilang dan perforasi akan menutup sendiri
dalam 7-10 hari.
5) Stadium Resolusi
Membran timpani berangsur normal kembali, sekret tidak ada lagi, dan
perforasi menutup. Bila tidak, antibiotik dapat dilanjutkan sampai 3 minggu.
Bila tetapi, mungkin telah terjadi mastoiditis.
Sekitar 80% kasus OMA sembuh dalam 3 hari tanpa pemberian antibiotik.
Observasi dapat dilakukan. Antibiotik dianjurkan jika gejala tidak membaik dalam
dua sampai tiga hari, atau ada perburukan gejala. Ternyata pemberian antibiotik
yang segera dan dosis sesuai dapat terhindar dari tejadinya komplikasi supuratif
seterusnya. Masalah yang muncul adalah risiko terbentuknya bakteri yang resisten
terhadap antibiotik meningkat. American Academy of Pediatrics (2004)
mengkategorikan OMA yang dapat diobservasi dan yang harus segera diterapi
dengan antibiotik sebagai berikut.10
Usia

Diagnosis pasti (certain)

Kurang dari 6 bulan


6 bulan sampai 2 tahun

Antibiotik
Antibiotik

2 tahun ke atas

Antibiotik jika gejala berat,


observasi jika gejala ringan

Diagnosis meragukan
(uncertain)
Antibiotik
Antibiotik jika gejala
berat, observasi jika gejala
ringan
Observasi

Diagnosis pasti OMA harus memiliki tiga kriteria, yaitu bersifat akut,
terdapat efusi telinga tengah, dan terdapat tanda serta gejala inflamasi telinga
tengah. Gejala ringan adalah nyeri telinga ringan dan demam kurang dari 39C
dalam 24 jam terakhir. Sedangkan gejala berat adalah nyeri telinga sedang-berat
atau demam 39C. Pilihan observasi selama 48-72 jam hanya dapat dilakukan
pada anak usia enam bulan sampai dengan dua tahun, dengan gejala ringan saat
pemeriksaan, atau diagnosis meragukan pada anak di atas dua tahun. Follow-up
dilaksanakan dan pemberian analgesia seperti asetaminofen dan ibuprofen tetap
diberikan pada masa observasi.11
Menurut American Academic of Pediatric (2004), amoksisilin merupakan
first-line terapi dengan pemberian 80mg/kgBB/hari sebagai terapi antibiotik awal
selama lima hari. Amoksisilin efektif terhadap Streptococcus penumoniae. Jika

pasien alergi ringan terhadap amoksisilin, dapat diberikan sefalosporin seperti


cefdinir. Second-line terapi seperti amoksisilin-klavulanat efektif terhadap
Haemophilus influenzae dan Moraxella catarrhalis, termasuk Streptococcus
penumoniae. Pneumococcal 7-valent conjugate vaccine dapat dianjurkan untuk
menurunkan prevalensi otitis media.10,11
Terdapat beberapa tindakan pembedahan yang dapat menangani OMA
rekuren, seperti miringotomi dengan insersi tuba timpanosintesis, dan
adenoidektomi.12
1. Miringotomi
Miringotomi ialah tindakan insisi pada pars tensa membran timpani, supaya
terjadi drainase sekret dari telinga tengah ke liang telinga luar. Syaratnya adalah
harus dilakukan secara dapat dilihat langsung, anak harus tenang sehingga
membran timpani dapat dilihat dengan baik. Lokasi miringotomi ialah di kuadran
posterior-inferior. Bila terapi yang diberikan sudah adekuat, miringotomi tidak
perlu dilakukan, kecuali jika terdapat pus di telinga tengah (Djaafar, 2007).
Indikasi miringostomi pada anak dengan OMA adalah nyeri berat, demam,
komplikasi OMA seperti paresis nervus fasialis, mastoiditis, labirinitis, dan infeksi
sistem saraf pusat. Miringotomi merupakan terapi third-line pada pasien yang
mengalami kegagalan terhadap dua kali terapi antibiotik pada satu episode OMA.
Salah satu tindakan miringotomi atau timpanosintesis dijalankan terhadap anak
OMA yang respon kurang memuaskan terhadap terapi second-line, untuk
menidentifikasi mikroorganisme melalui kultur.
2. Timpanosintesis
Menurut Bluestone dalam Titisari (2005), timpanosintesis merupakan pungsi
pada membran timpani, dengan analgesia lokal supaya mendapatkan sekret untuk
tujuan pemeriksaan. Indikasi timpanosintesis adalah terapi antibiotik tidak
memuaskan, terdapat komplikasi supuratif, pada bayi baru lahir atau pasien yang
sistem imun tubuh rendah. Menurut Buchman (2003), pipa timpanostomi dapat
menurun morbiditas OMA seperti otalgia, efusi telinga tengah, gangguan
pendengaran secara signifikan dibanding dengan plasebo dalam tiga penelitian
prospertif, randomized trial yang telah dijalankan.
3. Adenoidektomi

Adenoidektomi efektif dalam menurunkan risiko terjadi otitis media dengan


efusi dan OMA rekuren, pada anak yang pernah menjalankan miringotomi dan
insersi tuba timpanosintesis, tetapi hasil masih tidak memuaskan. Pada anak kecil
dengan OMA rekuren yang tidak pernah didahului dengan insersi tuba, tidak
dianjurkan adenoidektomi, kecuali jika terjadi obstruksi jalan napas dan
rinosinusitis rekuren.
Pencegahan
Terdapat beberapa hal yang dapat mencegah terjadinya OMA. Mencegah
ISPA pada bayi dan anak-anak, menangani ISPA dengan pengobatan adekuat,
menganjurkan pemberian ASI minimal enam bulan, menghindarkan pajanan
terhadap lingkungan merokok, antibiotik profilaksis, vaksinasi dan menjaga
higenitas telinga.10,12
Prognosis
Prognosis pasien dengan OMA tanpa komplikasi dapat mengalami
perbaikan tanpa gejala sisa. Dari beberapa kasus, pada perbaikan stadium
supuratif, efusi telinga tengah yang steril tetap ada. Bila efusi ini berlanjut selama
lebih dari 3 bulan, maka diagnosis OME (otitis media efusi) ditegakkan. Pasien
yang mengalami perforasi membran timpani dengan otore, sebagian kecil terus
berkembang menjadi OMSK karena kegagalan resolusi membran timpani.10

DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. 2007. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan: Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Jakarta, Balai Penerbit
FKUI, hal. 64-77.
2. Tortora, GJ, Derrickson, BH, 2009. The Special Senses. Dalam: Roesch, B., dkk,
ed. Principles of Anatomy and Physiology 12th edition International Student
Version Volume 1. Hoboken: John Wiley and Sons, Inc, 620-621.

3. World Health Organization (WHO). 2010. Second Hand Smoke: Accessing The
Burden of Disease at National and Local Levels. Enviromental of Disease Series,
18: 12-13; 23-26.
4. World Health Organization (WHO). 2006. Primary Ear and Hearing Care
Training Resource: Advanced Level. WHO Press.
5. World Health Organization Regional Office for South Asia (WHO-SEARO).,
2007. Situation Review and Update on Deafness, Hearing Lossand Intervention
Programmes Proposed Plans of Action for Preventionand Alleviation of Hearing
Impairment in Countries of the South-East Asia Region.
6. Meropol, SB, Glick, HA, Asch, DA. 2008. Age Inconsistency in The American
Academy of Pediatrics Guidelines for Acute Otitis Media. Pediatrics, 121(4):
657-663.
7. Rumimpunu A, Kountul C, Buntuan V. 2013. Pola bakteri aerob dan uji

kepekaan terhadap antibiotika pada penderita otitis media di poliklinik THTKL BLU RSUP prof. Dr. R. D. Kandou manado periode Desember 2012Januari 2013. Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi.
8. Donaldson, JD. 2010. Middle Ear, Acute Acute Otitis Media, Medical Treatment:
Overview,

eMedicine.

Diunduh

dari:

http://emedicine.medscape.com/

article/859316-overview. [Diakses 03 Septembe 2011].


9. Lalwani AK. 2008. Current Diagnosis dan Treatment: Otolaryngology Head

and Neck Surgery. United State of America, The McGraw-Hill Companies,


Inc.
10. American Academy of Pediatrics and America Academy of Family
Physicians. 2004. Diagnosis and Management of Acute Otitis Media.
Pediatrics 113(5):1451-1465.
11. Kerschner, JE. 2007. Otitis Media. In: Kliegman, R.M., ed. Nelson Textbook
of Pediatrics. 18th ed. USA: Saunders Elsevier, 2632-2646.
12. Buchman, CA, Levine, JD, Balkany, TJ. 2003. Infection of the Ear. In: Lee,
K.J., ed. Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery. 8th ed. USA:
McGraw-Hill Companies, Inc, 462-511.

Anda mungkin juga menyukai