Anda di halaman 1dari 7

1.

Hamzah Izzulhaq
Hamzah Izzulhaq adalah seorang pengusaha muda di bidang franchise bimbel yang
dibuka di daerah Johar, Jakarta Pusat dan kerajinan sofa di Tangerang. Pengusaha muda yang
biasa dipanggil Hamzah berasal dari keluarga menengah sederhana. Bakat entrepreneur muda
ini mulai terlihat sejak ia duduk di kelas 5 Sekolah Dasar. Pada tingkat Sekolah Dasar,
hamzah menjual mainan anak anak, tingkat Sekolah Menengah Atas, Hamzah mulai
menjual pulsa dan buku buku dengan melobi pamannya yang mempunyai toko buku besar.
Dari penjualan buku ini, ia dapat meraup keuntungan 950ribu/semester.
Pada pertengahan kelas 2 SMA, ia menangkap peluang bisinis ketika sedang
mengikuti seminar dan komunitas bisnis pelajar bertajuk Community of Motivator and
Entrepeneur (COME), ia bertemu dengan mitra bisnisnya yang menawari usaha franchise
bimbingan belajar bernama Bintang Solusi Mandiri. Rekan bisnis Hamzah juga masih
sangat muda, usianya baru 23 tahun tetapi sudah 44 cabang bimbel yang dimilikinya.
Kemudian Hamzah diberikan prospectus dan laporan keungan salah satu cabang bimbel di
lokasi Johar Baru, Jakarta Pusat, yang kebetulan ingin di take-over dengan harga jual sebesar
175juta. Dengan hanya memegang modal 5juta, pengusaha muda lulusan SMAN 21 Jakarta
Timur ini melobi sang ayah untuk meminjam uang sebagai tambahan modal bisnisnya sebesar
70juta yang seharusnya uang itu akan dipergunakan untuk membeli mobil. Hamzah lalu
melobi rekannya untuk membayar 75juta dan sisanya yang 100juta akan dicicil dari
keuntungan tiap semester.
Dari franchise bimbel itu, bisnis Hamzah berkembang pesat. Keuntungan demi
keuntungan selalu diputarnya untuk membuat bisnisnya lebih maju lagi. Kini, Hamzah telah
memiliki 3 lisensi franchise bimbel dengan jumlah siswa diatas 200 orang tiap semester.
Totoal omzet yang diperolehnya sebesar 360juta/semester dengan nett profit sekitar
180juta/semester.
2. Yasa Paramita Singgih
Yasa Paramita Singgih merupakan pengusaha muda di bidang mode khusus pria yang
diberi nama Mens Republic. Omset bisnis ini mencapai ratusan juta rupiah per bulannya.
Mens Republic dipasarkan sebagai produk pria dengan kualitas premium tetapi berbandrol
harga yang sesuai dengan anak muda. Berdasar surveinya, Yasa mendapati bahwa rata rata
pembeli Mens Republic berusia 15 25 tahun. Sehingga ia menyesuaikan agar harga produk
tidak lebih dari Rp 500.000 per item.
Saat ini, Mens Republic tidak hanya menjual sepatu tetapi juga pakaian dalam, celana
dalam, sandal dan jaket. Kini pengusaha muda yang pernah menjadi MC dalam berbagai
acara ini serius mengembangkan branding dan penjualan. Hingga sekarang ia bekerja sama
dengan enam pabrik di Bandung. Untuk tiap produk yang ia jual, pabrik yang membuatnya

pun berbeda. Pengusaha muda ini mengatakan pabrik yang bekerja sama dengannya juga
memproduksi sepatu merek lain, seperti Yongki Komaladi dan Fladeo.
Kini penjualan Mens republic sudah di atas 500 pasang sepatu per bulan, ditambah
produk lain. Yasa mengantongi omzet ratusan juta rupiah dari usaha ini. Laba bersihnya cukup
menarik, bisa sampai 40%. Di masa mendatang, yasa sudah menyiapkan beberapa produk
baru yang mau ia buat, seperti ikat pinggang dan celana.
Menjadi pengusaha muda tidak tidak membuat Yasa Paramita Singgih berpuas diri. Ia
menyadari masih harus banyak belajar, baik dari sesame pengusaha, maupun dari pengalaman
sendiri. Bagi Yasa, pengusaha harus mempunyai dua modal utama, yakni keberanian dan
relasi. Dua hal inilah yang mengantarkan seseorang masuk ke ranah bisnis.
3. Fauzan Adhima Efwandaputra
Di awal 2010, Efwan sapaan akrabnya mulai menekuni usaha fashion tetapi modal
coba coba. Mulai coba menjual produk kemudian membuat aneka produk sendiri seperti
sepatu, dompet, dan kaos. Dia juga aktif mengajak beberapa kawan membantunya. Efwan
berpartner dengan Yusuf Ramdhani. Keduanya mengembangakn usaha sepatu. Usaha yang
sebelumnya tidak punya merek sama sekali. Sekitar Oktober 2010 usahanya terbilang cukup
moncer dengan sepatu dan kaos. Lama kelamaan usahanya semakin dikenal karena barangnya
menarik di pasaran. Mereka sepakat mengambil nama brand Foremost. Intinya sebuah
usaha pembuatan sepatu homemade. Nilai tambah lainnya adalah footprintnya. Awalnya
Efwan membuat sepatu kets dan kasual. Ia menjelaskan tentang aksara Sunda di footprint
yang kalau diterjemahkan berarti Indonesia Pride.
Efwan memulai usaha berjualan lewat online. Karena produk bersifat handmade maka
tidak sama yang ada di pasaran. Alhasil usaha sepatu ini dijalankan hamper tanpa modal
berarti. Produk kemudian difokuskan di sepatu kulit. Ia juga mulai mengeksplorasi bentuk
sepatu. Efwan mulai mencari cirri khas produknya. Cirinya yaitu memakai kulit sapi
berkualitas baik juga dibuat secara handmade jahitan rapih. Foremost juga menambahkan
spons insole agar memberikan kenyamanan ekstra. Sementara outsolenya dibuat original sole
berbahan dasar karet matang.
Target panjang Yusuf dan efwan untuk Foremost adalah menguasai pasar
Internasional. Termasuk sukses buat masuk ke Asia, utamanya Singapura. Mereka
mencampaign Foremost for the people. Pemasaran Foremost mengikuti tiga market
menggiurkan. Selain menarget pasar anak muda, Foremost juga menyasar wanita, pengguna
internet pada umumnya atau mereka orangtua yang mau bergaya masa kini. Tetapi focus pasar
sepatu bot kulit ini tetap anak muda. Omzet yang diperoleh oleh pengusaha muda ini ratusan
juta rupiah per bulan.
4. Chairul Tanjung

Chairul Tanjung (lahir di Jakarta, 16 Juni 1962; umur 50 tahun) adalah pengusaha asal
Indonesia. Namanya dikenal luas sebagai usahawan sukses bersama perusahaan yang
dipimpinnya, Para Group. Chairul telah memulai berbisnis ketika ia kuliah dari Jurusan
Kedokteran Gigi Universitas Indonesia. Sempat jatuh bangun, akhirnya ia sukses membangun
bisnisnya. Perusahaan konglomerasi miliknya, Para Group menjadi sebuah perusahaan bisnis
membawahi beberapa perusahaan lain seperti Trans TV dan Bank Mega.
Chairul dilahirkan di Jakarta dalam keluarga yang cukup berada. Ayahnya A.G.
Tanjung adalah wartawan zaman orde lama yang menerbitkan surat kabar beroplah kecil.
Chairul berada dalam keluarga bersama enam saudara lainya. Ketika Tiba di zaman Orde
Baru, usaha ayahnya dipaksa tutup karena berseberangan secara politik dengan penguasa saat
itu. Keadaan tersebut memaksa orangtuanya menjual rumah dan berpindah tinggal di kamar
losmen yang sempit.
Selepas menyelesaikan sekolahnya di SMA Boedi Oetomo pada 1981, Chairul masuk
Jurusan Kedokteran Gigi Universitas Indonesia (lulus 1987). Ketika kuliah inilah ia mulai
masuk dunia bisnis. Dan ketika kuliah juga, ia mendapat penghargaan sebagai Mahasiswa
Teladan Tingkat Nasional 1984-1985.
Demi memenuhi kebutuhan kuliah, Ia mulai berbisnis dari awal yakni berjualan buku
kuliah stensilan, kaos, dan lainnya di kampusnya. Ia juga membuka usaha foto kopi di
kampusnya. Chairul juga pernah mendirikan sebuah toko peralatan kedokteran dan
laboratorium di bilangan Senen Raya, Jakarta Pusat, tetapi bangkrut.
Selepas kuliah, Chairul pernah mendirikan PT Pariarti Shindutama bersama tiga
rekannya pada 1987. Bermodal awal Rp 150 juta dari Bank Exim, mereka memproduksi
sepatu anak-anak untuk ekspor. Keberuntungan berpihak padanya, karena perusahaan tersebut
langsung mendapat pesanan 160 ribu pasang sepatu dari Italia. Akan tetapi, karena perbedaan
visi tentang ekspansi usaha, Chairul memilih pisah dan mendirikan usaha
sendiri. Kepiawaiannya membangun jaringan dan sebagai pengusaha membuat bisnisnya
semakin berkembang. Mengarahkan usahanya ke konglomerasi, Chairul mereposisikan
dirinya ke tiga bisnis inti: keuangan, properti, dan multimedia. Di bidang keuangan, ia
mengambil alih Bank Karman yang kini bernama Bank Mega.
Ia menamakan perusahaan tersebut dengan Para Group. Perusahaan Konglomerasi ini
mempunyai Para Inti Holdindo sebagai father holding company, yang membawahkan
beberapa sub-holding, yakni Para Global Investindo (bisnis keuangan), Para Inti Investindo
(media dan investasi) dan Para Inti Propertindo (properti). Di bawah grup Para, Chairul
Tanjung memiliki sejumlah perusahaan di bidang finansial antara lain Asuransi Umum Mega,
Asuransi Jiwa Mega Life, Para Multi Finance, Bank Mega Tbk, Mega Capital Indonesia,

Bank Mega Syariah dan Mega Finance. Sementara di bidang properti dan investasi,
perusahaan tersebut membawahi Para Bandung propertindo, Para Bali Propertindo, Batam
Indah Investindo, Mega Indah Propertindo. Dan di bidang penyiaran dan multimedia, Para
Group memiliki Trans TV, Trans7, Mahagagaya Perdana, Trans Fashion, Trans Lifestyle, dan
Trans Studio.
Khusus di bisnis properti, Para Group memiliki Bandung Supermall. Mal seluas 3
hektar ini menghabiskan dana 99 miliar rupiah. Para Group meluncurkan Bandung Supermall
sebagai Central Business District pada 1999. Sementara di bidang investasi, Pada awal 2010,
Para Group melalui anak perusahaannya, Trans Corp., membeli sebagian besar saham
Carefour, yakni sejumlah 40 persen. Mengenai proses pembelian Carrefour, MoU
(memorandum of understanding) pembelian saham Carrefour ditandatangani pada tanggal 12
Maret 2010 di Perancis.
Majalah ternama Forbes merilis daftar orang terkaya dunia 2010. Sebagai sebuah
pencapaian, menurut majalah tersebut, Chairul Tanjung termasuk salah satu orang terkaya
dunia asal Indonesia. Forbes menyatakan bahwa Chairul Tanjung berada di urutan ke 937
dunia dengan total kekayaan US$ 1 miliar. Tahun 2011, menurut Forbes Chairul Tanjung
menduduki peringkat 11 orang terkaya di Indonesia, dengan total kekayaan US$ 2,1 miliar.
Pada tanggal 1 Desember 2011, Chairul Tanjung meresmikan perubahan Para Grup
menjadi CT Corp. CT Corp terdiri dari tiga perusahaan sub holding: Mega Corp, Trans Corp,
dan CT Global Resources yang meliputi layanan finansial, media, ritel, gaya hidup, hiburan,
dan sumber daya alam .
5. Puspa Wardoyo
Puspo Wardoyo, merintis waralaba Ayam Bakar Wong Solo hingga menjadi sebesar
sekarang ini dari titik paling bawah. Ia pernah menjajakan ayam bakar di kaki lima. Sejak
kecil Puspo sudah terbiasa berurusan dengan ayam. Orangtuanya penjaja ayam. Pagi hari,
Puspo kecil membantu menyembelih ayam untuk dijual di pasar. Siang sampai malam, ia
membantu orangtuanya menjajakan menu siap saji seperti ayam goreng, ayam bakar, dan
menu ayam lainnya di warung milik orangtuanya di dekat kampus UNS Solo.
Impian itu sendiri terinpirasi oleh cerita seorang pedagang bakso yang sukses
mengarungi hidup di Medan. Ketika pria kelahiran 30 November 1957 itu tengah merintis
usaha warung lesehan di Solo selepas mengundurkan diri dari pegawai negeri sipil, suatu saat
pedagang bakso asal Solo tersebut bertandang ke tempat Puspo.
Dia bercerita bahwa peluang usaha warung makan di Medan sangat bagus. Pedagang
bakso itu telah membuktikannya. Dalam sehari ia bisa meraup keuntungan bersih di akhir
tahun 1990 itu sekitar Rp 300.000. Dari keuntungan berjualan bakso dengan gerobak sorong

itulah teman Puspo ini bisa pulang menengok kampung halamannya di Solo setiap bulan.
"Dengan uang, jarak antara Solo Medan lebih dekat dibanding Solo Semarang, " kata Puspoyo
menirukan ucapan temannya tadi. Wajar saja jika dengan pesawat terbang waktu tempuh
antara MedanSolo Berganti pesawat di Jakarta hanya membutuhkan waktu sekitar 1 jam.
Sementara dengan naik bis jarak antara SoloSemarang ditempuh sekitar empat jam.
Cerita sukses temannya itu begitu membekas di benak Puspo. "Saya bertekad bulat
akan merantau ke Medan, " pikirnya. Untuk mewujudkan keinginannya itu, apa boleh buat,
warung makan yang termasuk perintis warung lesehan di kota pusat kebudayaan Jawa itu pun
ia jual kepada temannya. Uang hasil penjualan yang tak seberapa itu ia manfaatkan untuk
membeli tiket bus ke Jakarta. Mengapa Jakarta? "Karena dengan uang yang saya miliki, bekal
saya belum cukup untuk merantau ke Medan, " katanya.
Ketika tengah merantau di ibu kota itu, suatu hari Puspo membaca lowongan
pekerjaan sebagai guru di sebuah perguruan bernama DR Wahidin di Bagan Siapiapi,
Sumatera Utara. Apa boleh buat, demi mewujudkan citacitanya, ia berusaha mengumpulkan
modal dengan kembali menjadi guru. Bedanya, kali ini ia tidak lagi menjadi pegawai negeri
seperti sebelumnya ketika menjadi staf pengajar mata pelajaran Pendidikan Seni di SMA
Negeri Muntilan, Kabupaten Magelang. "Target saya cuma dua tahun menjadi guru lagi,"
katanya.
Di sinilah anak pasangan Sugiman Suki ini ketemu dengan isteri pertamanya Rini
Purwanti yang sama-sama menjadi tenaga pengajar di sekolah tersebut. Dua tahun menjadi
guru ia berhasil mengumpulkan tabungan senilai Rp 2.400. 000. Dengan uang inilah
keinginannya menaklukkan kota Medan tak terbendung lagi. Uang tabungan itu sebagian ia
gunakan untuk menyewa rumah dan membeli sebuah motor Vespa butut. Masih ada sisa Rp
700.000 yang kemudian ia manfaatkan sebagai modal membangun warung kaki Lima di
bilangan Polonia Medan.
Disini ia menyewa lahan 4x4 meter persegi seharga Rp 1.000 per hari. Suatu saat
pegawainya tertimpa masalah. Ia terlibat utang dengan rentenir. Puspo membantunya dengan
cara meminjamkan uang. Sebagai ucapan terimakasih, sang pegawai membawa wartawan
sebuah harian lokal Medan. Si wartawan yang merupakan sahabat suami pegawai yang
ditolong Puspo kemudian menuliskan profilnya. Judul artikel itu Sarjana Buka Ayam Bakar
Wong Solo. Artikel itu membawa rezeki bagi Puspo. Esok hari setelah artikel dimuat, banyak
orang berbondong-bondong mendatangi warungnya. Siapa sangka jika dari sebuah warung
kecil ini kemudian melahirkan sebuah usaha jaringan rumah makan yang cukup kondang di
seantero Medan. Impian untuk menaklukkan "jarak" Solo Medan lebih dekat dibanding Solo
Semarang pun menjadi kenyataan. Bukan itu saja, penilaian atas prestasi bisnis yang dirintis

Puspo lebih jauh melewati impian yang ia tinggalkan sebelumnnya.


Dari ibu kota Sumatera Utara ini nanti Rumah Makan Ayam Bakar Wong Solo (Wong
Solo) melejit ke pentas bisnis nasional. Belakangan ini nama Wong Solo semakin
berkibarkibar setelah berhasil menaklukkan Jakarta setelah sebelumnva "mengapung" dari
daerah pinggiran. Dalam waktu relatif singkat kehadiran Wong Solo telah merengsek dan
menanamkan tonggaktonggak bisnisnya di pusat kota metropolis ini. Ekspansinya pun
semakin tak tertahankan dengan memasuki berbagai kota besar di Indonesia.
Fenomena Wong Solo mengundang decak kekaguman berbagai kalangan dari pejabat
pemerintah, para pelaku bisnis hingga para pengamat. Hampir semua outletnya di Jakarta
selalu sesak pengunjung, terutama di akhir pekan dan hari libur. Bahkan ketika bulan
Ramadhan kemarin, semua outlet tersebut membatasi jumlah pengunjung saat berbuka puasa.
Skala usaha Wong Solo itu memang belum sekelas para konglomerat masa lalu yang
dengan enteng menyebut angka aset, omset atau keuntungan per tahun yang triliunan rupiah.
"usaha saya memang belum kelas triliunan seperti para konglomerat yang kaya utang itu,"
paparnya. Kendati masih tergolong usaha menengah, namun kinerja wong Solo sangat solid
dan tak punya beban utang. Ia memiliki pondasi kuat untuk terus berkembang. Untuk
mewujudkan mimpimimpinya, ayah sembilan anak dari empat istri ini telah melewati rute
perjalanan yang berlikaliku lengkap dengan segala tantangannya.
Ada masa ketika di waktuwaktu awal merintis usaha di Medan ia nyaris patah
semangat garagara selama berhari-hari tak pernah meraih untung. Hanya berjualan dua atau
tiga ekor ayam bakar plus nasi, terkadang dalam satu hari tak seekor pun yang laku. Pernah
pula seluruh dagangannya yang telah dimasak di rumah tumpah di tengah jalan karena jalanan
licin sehabis hujan. "Apa boleh buat, saya terpaksa pulang dan memasak lagi". katanya.
Istrinya yang tak sabar melihat lambannya usaha Puspo bahkan sempat memberi tahu ayahnya
agar memberitahu ayahnya agar mempengaruhi Puspo supaya tak berjualan ayam bakar lagi.
"Mertua saya bilang, kapan kamu akan tobat," katanya menirukan ucapan sang mertua.
Pada awal perantauannya ke Medan, Puspo wardoyo, sama sekali tak menyangka jika
usaha warung ayam bakar Wong Solo akan berkembang seperi sekarang. Maklum, rumah
makan yang dibukanya hanyalah sebuah warung berukuran sekitar 3x4 meter di dekat bandara
Polonia, Medan. Setahun pertama dia hanya mampu menjual 3 ekor ayam per hari yang
dibagibagi menjadi beberapa potong. Harga jual per potongnya Rp 4.500 plus sepiring nasi.
Di tahun kedua, naik menjadi 10 ekor ayam per hari Namun sekarang, 13 tahun
kemudian, di memiliki lebih dari 16 cabang tersebar di medan, Banda Aceh, Padang, Solo,
Denpasar, Pekanbaru, Surabaya, Semarang, Jakarta, Malang dan Yogyakarta meskipun masih
mengandalkan ayam bakar, namun menunya kini makin beragam hingga 100 jenis. Sudah

terbiasa bagi Wardoyo untuk menyisihkan 10 % dari keuntungannya untuk amal. Dia percaya,
Tuhan akan memperkaya orang yang banyak beramal. Maka jangan heran bila Anda
kebetulan mampir di salah satu rumah makannya menyaksikan karyawannya sedang
berkerumun di saat menjelang atau usai jam kerja. Mereka sedang melaksanakan ibadah
kultum atau kuliah tujuh menit.

Anda mungkin juga menyukai