Anda di halaman 1dari 27

7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Shift Kerja

Shift kerja atau kerja gilir merupakan pola waktu kerja yang
diberikan kepada tenaga kerja di luar jam kerja yang secara permanen atau
sering pada jam kerja yang tidak teratur. Ciri khasnya adalah kontinuitas,
pergantian dan jadwal kerja khusus (Kuswadji, 1997). Proporsi pekerja
shift semakin meningkat dari tahun ke tahun, ini disebabkan oleh investasi
yang dikeluarkan

untuk pembelian mesin-mesin yang mengharuskan

penggunaannya secara terus menerus siang dan malam untuk memperoleh


hasil yang lebih baik. Sistem shift kerja sistem shift kerja dapat berbeda
antar instansi atau perusahaan, walaupun biasanya

menggunakan tiga

shift setiap hari dengan delapan jam kerja setiap shift (Sumamur, 2009).
Berdasarkan data Pusat Informasi Ketenagakerjaan RI jumlah
penduduk usia kerja tahun 2014 di Provinsi Lampung sebanyak 5.759.171
penduduk (Pusdatinaker, 2014). Secara keseluruhan jumlah pekerja
seluruh Indonesia yang bekerja shift atau yang bekerja dalam kurun waktu
1-9 jam sebanyak 3.191.686 orang dan pekerja sebagai tenaga produksi,

operator alat angkutan dan pekerja kasar sebanyak 469.672 orang


(Pusdatinaker, 2015).

Gambar 2.1. Jumlah penduduk usia kerja (Pusdatinaker, 2014)

Jenis jenis waktu kerja ada empat kelompok besar, yaitu:


1) Kerja siang : meliputi periode bekerja antara pukul 07.00 hingga
pukul 15.00
2) Jam kerja berpindah tetap, seseorang yang bekerja pada salah satu
dari waktu gilir, yaitu:
a. Gilir pagi : yaitu pukul 07.00 s/d pukul 15.00
b. Gilir sore : yaitu pukul 15.00 s/d pukul 23.00
c. Gilir malam : yaitu pukul 23.00 s/d pukul 07.00
3) Kerja gilir rotasi : meliputi pergantian atau selang seling dari waktu
gilir , bias kerja gilir atau hanya dua gilir
4) Kerja roster : sama dengan kerja bergilir rotasi akan tetapi kurang
teratur dan lebih fleksibel.
Dalam merencanakan jadwal kerja gilir maka faktor - faktor
tersebut dibawah ini harus mempertimbangkan, yaitu :
1) Lama Kerja
ILO (International Labour Organisation) merekomendasikan untuk
kerja gilir malam dibatasi hanya 8 jam.

2) Jumlah gilir malam


Bila panjangnya seri kerja gilir malam yang dilaksanakan lebih dari 4
hari akan menjadi beban yang berat sekali. Dalam studi lapangan
dibuktikan bahwa terdapat perbaikan tingkat kewaspadaan dan
kesehatan secara umum ketika pada pekerja gilir tujuh hari putaran
diganti dengan 2-3 hari putaran.
3) Arah rotasi
Arah rotasi searah jarum jam yaitu pagi-sore-malam harus lebih
banyak daripada rotasi berlawanan arah jarum jam. Terbuki bahwa
perubahan arah rotasi dari berlawanan jarum jam menjadi searah
jarum jam dapat meningkatkan hasil produksi dan kondisi kesehatan
pekerja.
4) Siklus rotasi
Direkomendasikan bahwa rotasi gilir harus jangka pendek. Sebaiknya
gilir malam diikuti segera dengan istirahat penuh selama 24 jam.
Seperti ditunjukan dalam table di bawah ini.
Di Indonesia, sistem gilir yang banyak digunakan adalah dengan
pengaturan jam kerja secara bergilir mengikuti pola 5-5-5 yaitu lima hari
kerja gilir pagi (07.00-15.00), lima hari kerja gilir sore (15.00-23.00) dan
lima hari kerja gilir malam (23.00-07.00) diikuti dengan dua hari libur
pada setiap akhir kerja gilir (Dewi, 2006).

2.1.1 Dampak Kerja Shift

Sistem kerja gilir terdapat dampak positif dan dampak


negatif. Dampak positifnya adalah memaksimalkan sumber daya
yang ada, memberikan lingkungan kerja yang sepi khususnya kerja

10

gilir malam dan memberikan waktu libur yang banyak. Sedangkan


dampak negatifnya adalah penurunan kinerja, keselamatan kerja dan
masalah kesehatan. Secara umum, semua fungsi tubuh berada dalam
keadaan siap digunakan pada siang hari. Sedangkan pada malam hari
adalah waktu untuk istirahat dan pemulihan sumber energi. Monk
mengatakan, individu yang tergolong tipe siang mengalami kesulitan
dalam menyesuaikan diri dengan kerja gilir malam. Individu dengan
tipe siang adalah individu yang bangun tidur lebih pagi dan tidur
malam lebih awal dari rata-rata populasi (Sofrina, 2004).
Kerja gilir dan kerja malam hari merupakan kondisi yang
dapat menghambat kemampuan adaptasi pekerja baik dari aspek
biologis maupun sosial. Kerja gilir malam berpengaruh terhadap
kesehatan fisik, mental, menganggu irama sirkadian, waktu tidur dan
makan, mengurangi kemampuan kerja dan meningkatkan kesalahan
dan kecelakaan kerja, menghambat hubungan sosial dan keluarga
(Costa, 2003).
Berbagai dampak kesehatan dan keselamatan dapat muncul
akibat kerja shift. Persoalan yang segera dapat dirasakan adalah
terganggunya kualitas tidur dan

menurunnya kualitas hubungan

sosial yang akan berdampak pada timbulnya depresi, cemas maupun


stres. Shift kerja malam merupakan sumber utama dari stres bagi
para pekerja pabrik. Ini disebabkan karena kurangnya waktu tidur
dan terjadi gangguan irama sirkadian dalam tubuh (Yani, Soleha,
Larasati, & Maria, 2014).

11

Pada penelitian Lind Octaviani 2014 menyebutkan bahwa


kadar glukosa pekerja shift lebih tinggi dibandingkan pekerja yang
non-shift. Disini terbukti bahwa adanya peningkatan kadar glukosa
darah pada pekerja shift (Irawan, Susantiningsih, & Saptarina, 2014).

2.2

Irama Sirkadian

Irama sirkadian adalah proses-proses yang saling berhubungan


yang dialami tubuh untuk menyesuaikan perubahan waktu selama 24 jam,
sehingga seseorang akan terganggu jika terjadi perubahan jadwal kegiatan
seperti pada kerja gilir karena irama sirkadian atau jam biologis tubuh
tidak mampu mengatasi perubahan situasi yang ada. Irama ini bisa
digambarkan sebagai jam biologis internal yang mengatur fungsi tubuh
kita. Berdasarkan siklus bangun/tidur kita. Irama ini bukan hanya
menentukan siklus tidur/bangun, tetapi juga mencakup banyak hal lain,
misalnya kadar hormon, makan, dan minum (Ganong, 2003).
Master jam biologis bertanggung jawab atas koordinasi ini berada
di suprachiasmatic nucleus (SCN) dari hipotalamus di otak. SCN
mengirimkan sinyal ke seluruh otak, perifer osilator dan jaringan dalam
rangka untuk meneruskan atau mengkoordinasikan waktu "internal" tubuh
setiap hari. Serabut saraf eferen dari SCN menginisiasi sinyal saraf dan
humoral yang bekerja pada berbagai irama sirkadian. Irama ini termasuk
irama dalam sekresi ACTH dan hormon hipofisis lain (Ganong, 2003).

12

Penyesuaian antara irama sirkadian internal 24 jam dengan kondisi


lingkungan dipengaruhi oleh beberapa faktor, terutama cahaya, aktivitas
fisik, dan sekresi hormon melatonin oleh kelenjar pineal. Sekresi
melatonin mulai meningkat pada malam hari, sekitar 2 jam sebelum jam
tidur normal, kemudian terus meningkat selama malam hari dan mencapai
puncak antarapukul 02.00-04.00 pagi. Setelah itu, sekresi melatonin akan
menurun pada pagi hari dan mencapai level yang sangat rendah pada siang
hari (Ganong, 2003).
SPN sepanjang hari memproduksi arousal signal secara aktif yang
berfungsi untuk mempertahankan kesadaran dan menghambat dorongan
untuk tidur. Pada malam hari, sebagai respon pada keadaan gelap, terjadi
feedback loop pada SCN yang diawali dengan pengiriman sinyal untuk
memicu produksi hormon melatonin yang menghambat aktivitas SCN
(Doghramji, 2007).
Peran melatonin sebagai pengatur mekanisme tidur adalah sebagai
sleep onset latency melalui sleep switch model. Sedangkan peranan
melatonin dalam sleep maintenance tergantung pada durasi dan tingkat
desensitisasi reseptor serta ketersediaan melatonin dalam sirkulasi selama
sleep period. Desinkronisasi internal dapat terjadi pada para pekerja yang
harus menyesuaikan diri dengan jadwal kerja barunya (Doghramji, 2007).

2.3

Glukosa Darah

2.3.1 Pengertian Glukosa Darah

13

Glukosa, suatu gula monosakarida, adalah salah satu


karbohidrat terpenting yang digunakan sebagai sumber tenaga
utama dalam tubuh. Glukosa merupakan prekursor untuk sintesis
semua karbohidrat lain di dalam tubuh seperti glikogen, ribosa dan
deoksiribosa dalam asam nukleat, galaktosa dalam laktosa susu,
dalam glikolipid, dan dalam glikoprotein dan proteoglikan.
Glukosa yang dialirkan melalui darah adalah sumber utama energi
untuk sel-sel tubuh. Umumnya tingkat glukosa dalam darah
bertahan pada batas-batas 4-8 mmol/L/hari (70-150 mg/dl), kadar
ini meningkat setelah makan dan biasanya berada pada level
terendah di pagi hari sebelum orang-orang mengkonsumsi makanan
(Bender, 2012).

2.3.2

Kadar Glukosa Darah

Kadar glukosa darah merupakan faktor yang sangat penting


untuk kelancaran kerja tubuh. Karena pengaruh berbagai faktor
dan hormon insulin yang dihasilkan kelenjar pankreas, sehingga
hati dapat mengatur kadar glukosa dalam darah (Ratnasari, 2012).
Kadar glukosa darah yang normal pada pagi hari setelah malam
sebelumnya berpuasa adalah 70-110 mg/dL darah. Kadar glukosa

14

darah pada 2 jam setelah makan atau minum cairan yang


mengandung glukosa maupun karbohidrat lainnya biasanya kurang
dari 120-140 mg/dL (Corwin, 2009).
Kadar glukosa darah yang normal cenderung meningkat
secara ringan tetapi bertahap setelah usia 50 tahun, terutama pada
orang-orang yang tidak aktif bergerak. Peningkatan kadar glukosa
darah setelah makan atau minum merangsang pankreas untuk
menghasilkan insulin sehingga mencegah kenaikan kadar glukosa
darah yang lebih lanjut dan menyebabkan kadar glukosa darah
menurun secara perlahan (Corwin, 2009)
Patokan patokan yang dipakai di Indonesia adalah :
1. Kriteria diagnosis untuk gangguan kadar glukosa darah.
Pada ketetapan terakhir yang dikeluarkan oleh WHO dalam
petemuan tahun 2005 disepakati bahwa angkanya tidak berubah
dari ketetapan sebelumnya yang dikeluarkan pada tahun 1999,
yaitu :
Tabel

2.1.

Kriteria

diagnosis

untuk

gangguan

kadar

glukosa

darah

(PERKENI,2011)
Metode
Pengukuran
Glukosa darah
puasa (fasting
glucose)

Normal

Kadar Glukosa Darah


DM
IGT

IFG

< 6.1

7.0

< 7.0

< 6.1

mmol/L
< 110

mmol/L
126

mmol/L
< 126

mmol/L
< 110

mg/dL

mg/dL

mg/dL

mg/Dl

15

Glukosa darah 2

< 7.8

11.1

11.1

< 7.8

jam setelah makan

mmol/L

mmol/L

mmol/L

mmol/L

< 140

200

200

< 140

mg/dL

mg/dL

mg/dL

mg/dL

(2-h glucose)

Dalam tabulasi diatas WHO mengeluarkan standard dalam 2


satuan yang sering digunakan yaitu mmol/L dan mg/dL.
2. Kadar glukosa darah normal (Normoglycaemia)
Normogl adalah kondisi dimana kadar glukosa darah yang ada
mempunyi resiko kecil untuk dapat berkembang menjadi
diabetes atau menyebabkan munculnya penyakit jantung dan
pembuluh darah.
3. IGT (Impairing Glucose Tolerance)
IGT oleh WHO didefinisikan sebagai kondisi dimana seseorang
mempunyai resiko tinggi untuk terjangkit diabetes walaupun ada
kasus yang menunjukkan kadar glukosa darah dapat kembali ke
keadaan normal. Seseorang yang kadar glukosa darahnya
termasuk dalam kategori IGT juga mempunyai resiko terkena
penyakit jantung dan pembuluh darah yang sering mengiringi
penderita diabetes. Kondisi IGT ini menurut para ahli terjadi
karena adanya kerusakan dari produksi hormon insulin dan
terjadinya kekebalan jaringan otot terhadap insulin yang
diproduksi.

16

4. IFG (Impairing Fasting Glucose)


Batas bawah untuk IFG tidak berubah untuk pengukuran
glukosa darah puasa yaitu 6.1 mmol/L atau 110 mg/dL. IFG
sendiri mempunyai kedudukan hampir sama dengan IGT. Bukan
entitas penyakit akan tetapi sebuah kondisi dimana tubuh tidak
dapat memproduksi insulin secara optimal dan terdapatnya
gangguan mekanisme penekanan pengeluaran glukosa dari hati
ke dalam darah.

2.3.3 Metode Pengukuran Kadar Glukosa Darah

Metode pengukuran kadar glukosa standar menggunakan


bahan plasma darah yang berasal dari pembuluh vena. Plasma
darah adalah bagian cair dari darah. Intinya adalah darah yang
sudah tidak mengandung bahan-bahan padat lagi seperti sel darah
merah hematokrit dan yang lainnya. Pada alat pengukur glukosa
darah portabel yang banyak terdapat di pasaran, metode
mendapatkan plasma dari darah dengan melakukan penyaringan
darah yang diambil yang dilakukan oleh strip tempat menaruh
sediaan darah yang diambil. Pengukuran kadar glukosa darah
sebaiknya dilakukan sesegera mungkin setelah darah diambil dari
vena. Pengukuran darah vena dan kapiler pada saat puasa
memberikan hasil yang identik pada saat puasa tetapi tidak untuk

17

pengukuran 2 jam setelah makan dimana hasil dari darah kapiler


menunjukkan nilai yang lebih tinggi.
Terdapat metode pemeriksaan kadar glukosa darah lainnya
yang dapat membantu menentukan pengelompokan gangguan
kadar glukosa darah yaitu TTGO (Tes Toleransi Glukosa Oral). Hal
ini penting disebutkan karena tes glukosa darah puasa saja
mempunyai nilai kegagalan untuk mendeteksi diabetes yang telah
diderita sebelumnya sebesar 30% TTGO merupakan metode
pengukuran yang dapat mengidentifikasi kondisi IGT secara akurat
TTGO diperlukan untuk memastikan seseorang mengalami
gangguan toleransi glukosa yang tidak terdeteksi dan juga berarti
mengeluarkan orang tersebut dari kecurigaan yang ada. Tes TTGO
disarankan untuk dilakukan pada seseorang yang memiliki kadar
glukosa puasa 6.1 6.9 mmol/L atau 110 125 mg/dL untuk
menentukan kepastian status toleransi glukosanya (Depkes RI,
1989).

Adapun prosedur Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)


adalah sebagai berikut:
a.

Tiga hari sebelum tes, pasien harus mendapatkan diet


karbohidrat yang adekuat, minimal 150 gram per hari dengan
aktivitas fisis yang normal.

18

b.

Pasien dipuasakan selama 10 16 jam sebelum pemeriksaan


dimulai kecuali untuk pasien yang dilakukan TTGO dengan
indikasi hipoglikemia.

c.

Dalam keadaan basal diperiksa kadar glukosa plasma, insulin


serum, serta glukosa dan keton urin.

d.

Selanjutnya pasien diberi glukosa oral 1,75 g/kgBB maksimal


75 gram yang dilarutkan dalam 200 ml air dan diminum dalam
waktu 5 10 menit.

e.

Selama tes, pasien tetap dalam keadaan tidur atau duduk.

f.

Pengambilan darah vena kembali dilakukan pada menit ke 30,


60, 90 dan 120 (Depkes RI, 1989).
Penilaian hasil Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) adalah

sebagai berikut :
a.

b.

Kadar glukosa darah dianggap normal bila :


-

Kadar glukosa darah puasa <110 mg/dl

Kadar glukosa darah pada jam ke2 <140 mg/dl

Anak dianggap mengalami gangguan TTGO apabila :


- Kadar glukosa darah puasa < 140 mg/dl
- Kadar glukosa darah pada jam ke-2 < 140 199 mg/dl

c.

Anak didiagnosis DM apabila :


- Kadar glukosa darah puasa 140 mg/dl
- Kadar glukosa darah pada jam ke-2 200 mg/dl

19

World Health Organization (WHO) juga menggunakan


istilah Hiperglikemi Intermediet untuk menggambarkan kadar
glukosa dalam darah antara normal dan diabetes (IFG dan IGT)
karena WHO bermaksud menghilangkan stigma diabetes terhadap
orang yang tidak memenuhi kriteria untuk dikatakan memiliki
kondisi diabetes dan juga menekankan bahwasanya kondisi
Glikemi Intermediet ini masih dapat kembali ke kondisi normal.
World Health Organization mendefinisikan diabetes sebagai
kondisi dimana terdapat kenaikan kadar glukosa dalam darah yang
berimplikasi meningkatnya faktor resiko terhadap penyakit yang
didasari karena kerusakan pembuluh darah kecil dan besar serta
berkurangnya kualitas hidup seseorang.
Berdasarkan definisi ini, kita dapat mengambil sebuah
kesimpulan sederhana bahwa batasan yang dibuat WHO untuk
menentukan

seseorang

diabetes

atau

tidak

mengambil

pertimbangan

besar kecilnya kemungkinan muncul penyakit

pembuluh darah dan jantung dari kondisi kadar glukosa darah


seseorang. Pada kondisi dimana seseorang memiliki kadar glukosa
darah dibawah batas kadar glukosa darah diabetes maka orang
tersebut aman dari kemungkinan faktor resiko yang dapat timbul
seandainya kondisi berada di dalam wilayah batas diabetes
(Iswantoro, 2009).

2.3.4 Cara Pengukuran Kadar Glukosa Darah

20

Glukosa dapat diukur dalam darah atau serum keseluruhan,


yaitu plasma. Secara historis, nilai glukosa darah diberikan dalam
hal seluruh darah, namun sebagian besar laboratorium sekarang
mengukur dan melaporkan tingkat glukosa serum. Karena sel darah
merah (eritrosit) memiliki konsentrasi yang lebih tinggi protein
(misalnya, hemoglobin) dari pada serum, serum memiliki
kandungan air lebih tinggi dan glukosa akibatnya lebih terlarut dari
pada darah. Untuk mengkonversi dari seluruh glukosa darah,
perkalian dengan 1,15 telah terbukti pada umumnya memberikan
tingkat serum / plasma (David, 2006).
Pengumpulan darah dalam tabung untuk analisis kimia
bekuan serum memungkinkan metabolisme glukosa dalam sampel
dengan sel darah sampai dipisahkan dengan sentrifugasi. Sel darah
merah, misalnya, tidak memerlukan insulin untuk asupan glukosa
dari darah. Lebih tinggi dari jumlah normal jumlah darah putih atau
merah sel dapat menyebabkan glikolisis yang berlebihan di sampel
dengan pengurangan substansial tingkat glukosa jika sampel tidak
diproses dengan cepat. Suhu lingkungan di mana sampel darah
disimpan sebelum pemusingan dan pemisahan plasma / serum juga
mempengaruhi kadar glukosa. Pada suhu lemari es, glukosa tetap
relatif stabil selama beberapa jam dalam sampel darah. Pada suhu
kamar (25 C), kehilangan 1 sampai 2% dari total per jam glukosa
harus diharapkan dalam sampel darah keseluruhan. Kehilangan

21

glukosa bawah kondisi ini dapat dicegah dengan menggunakan


tabung fluorida (yaitu, abu-abu atas) sejak fluorida menghambat
glikolisis. Namun, seharusnya hanya digunakan ketika darah akan
diangkut dari satu laboratorium rumah sakit lain untuk pengukuran
glukosa. Merah-atas tabung pemisah serum juga melestarikan
glukosa dalam sampel setelah disentrifugasi mengisolasi serum dari
sel (David, 2006).
Perhatian khusus harus diberikan untuk menarik sampel
darah dari lengan yang berlawanan di mana garis intravena
dimasukkan, untuk mencegah kontaminasi dari sampel dengan
cairan intravena. Atau, darah dapat diambil dari lengan yang sama
dengan infus setelah infus telah dimatikan selama setidaknya 5
menit, dan lengan diangkat untuk menguras cairan infus jauh dari
vena (David, 2006).
Arteri, kapiler dan darah vena memiliki kadar glukosa yang
sebanding dalam individu berpuasa. Setelah makan tingkat vena
agak lebih rendah dari darah kapiler atau arteri, sebuah perkiraan
umum adalah sekitar 10%. Dua metode utama telah digunakan
untuk mengukur glukosa. Yang pertama, masih digunakan di
beberapa tempat adalah metode kimia mengeksploitasi properti
nonspesifik mengurangi glukosa dalam reaksi dengan zat indikator
yang berubah warna saat berkurang. Karena senyawa darah lainnya
juga memiliki sifat mengurangi (misalnya, urea, yang dapat normal
pada pasien uremik yang tinggi), teknik ini dapat menghasilkan

22

pembacaan yang salah dalam beberapa situasi (5 sampai 15 mg / dl


telah dilaporkan). Teknik yang lebih baru, menggunakan enzim
khusus untuk glukosa, kurang rentan terhadap jenis kesalahan ini.
Dua enzim yang paling umum digunakan adalah glukosa oksidase
dan heksokinase (Corwin, 2009).
2.4

Glukometer (Easy Touch GCU Meter)


2.4.1 Pengertian Glukometer dan Easy Touch GCU Meter

Glukometer merupakan suatu alat yang berfungsi untuk


mengetahui kadar glukosa di dalam darah. Glukometri adalah teknik
untuk mendapatkan nilai konsentrasi glukosa dalam darah perifer
atau sentral. Nilai pengukuran dinyatakan dalam mg/dl atau mmol
memiliki nilai klinis yang penting untuk mengetahui adanya
gangguan metabolisme seperti diabetes melitus, denutrisi, dan
beberapa gangguan lain seperti koma hiperosmolar, sindrom
malabsorbsi, dan hipoglikemia yaitu suatu keadaan dimana kadar
glukosa lebih rendah dari nilai kadar normal (King, Polonsky, &
Early, 2010).
Easy Touch GCU Meter Blood glucose/Cholesterol/Uric
Acid Multifunction Monitoring System adalah alat yang dirancang
untuk memonitor kadar glukosa, kolesterol dan asam urat. Alat ini
digunakan untuk memonitor kesehatan bagi orang-orang yang
menderita diabetes, hiperkolesterolemia dan hiperuresemia (Anonim,
2006)

23

Gambar
2.2

Easy

Touch

GCU Meter,
(Anonim,

2006).

2.4.2 Prinsip Kerja Glukometer


Glukometer memiliki prinsip kerja biosensor. Biosensor
pertama kali diperkenalkan oleh Clark dan Lyson pada tahun 1962.
Biosensor merupakan gabungan dari bioreseptor dan transduser.
Bioreseptor merupakan alat yang digunakan untuk menyensor
kehadiran konsentrasi elemen biologi, misalnya, enzim, antibody, sel
hidup, dan jaringan lainnya. Perangkat transduser berfungsi untuk
mengubah sinyal biokimia menjadi sinyal listrik yang kemudian
akan dibaca pada layar glukometer

24

Gambar 2.3. Prinsip kerja biosensor, (Jain et al., 2010)


Gambar 2.4. Struktur Bioreseptor, (Bender, 2012).

25

Gambar 2.5. Reaksi spesifik glukosa,(Bender, 2012).

Menurut Whitaker (2009) untuk mengukur glukosa, terdapat


tiga buah transduser berbeda yang dapat digunakan yaitu :
1.

Sensor oksigen, yang mengukur konsentrasi oksigen.

2.

Sensor PH, yang mengukur asam glukonik

3.

Sensor peroksidase, yang mengukur konsentrasi glukosa. Enzim


glukosa oksidase yang digunakan pada reaksi pertama
menyebabkan sifat reaksi spesifik untuk glukosa, khususnya BD glukosa.

Reaksi kimia :
Glukosa + O2

glukosa oksidase

O-glukono--lakton + H2O2
Kadar glukosa

2.4.3 Profil Alat Easy Touch GCU Meter

Glukometer

: Easy Touch GCU Meter

Pembuat

: Chiuan Rwey Enterprise

Prinsip Kerja

: Bioensor

Kalibrasi

: Plasma

26

Rentang Pengukuran

: 20-600 mg/dL

Metode Pengambilan sampel

: Tetes

Waktu tes glukosa

: 10 detik

Jumlah sampel L

: 4 L

Tipe Sampel

: Darah Kapiler

Sumber Energi

: Batre 1,5 V (AAA) x 2

Nomor seri

: 3010C035087

Easy Touch GCU Blood glucose/Cholesterol/Uric Acid


Multifunction Monitoring System dikemas dalam sebuah tas kecil, di
dalam kemasan terdiri dari beberapa alat seperti :

Easy Touch GCU Meter

Alat penusuk (lancet device)

Tes strip glukosa, tes strip kolesterol dan tes strip asam urat

Buku penggunaan Easy Touch GCU

Buku catatan

Lanset

Dua buah batre AAA (1,5 V)

2.4.4 Langkah-langkah dalam Menggunakan Easy Touch


GCU Meter
Hal-hal

yang

perlu

diperhatikan

menggunakan Easy Touch GCU Meter :

sebelum

27

a. Sebelum melakukan pengukuran glukosa darah selalu


periksa kode nomor pada kartu yang sesuai dengan label
nomor pada botol tes strip, bila kode nomor pada kartu
tidak sesuai maka hasil yang didapatkan akan salah.
b. Menulis dan mengingat kapan pertama kali botol tes strip
dibuka karena strip tes baik untuk digunakan 3 bulan
setelah pertama kali dibuka.
Langkah-langkah penggunaan Easy Touch GCU
Meter dalam mengukur kadar glukosa darah :
1.

Memasukkan kode nomor glukosa yang sesuai dengan


kode yang tertera pada botol tes strip glukosa ke dalam
celah kode yang berada di belakang alat Easy Touch

2.
3.

GCU Meter.
Mengambil satu strip tes glukosa dari botol.
Memasukkan strip tes glukosa ke dalam celah strip yang
ada pada alat, kemudian alat akan menampilkan nomor

4.

kode misalnya Glu 6005. Kemudian akan muncul simbol


Meremas jari yang akan ditusuk dengan lanset kemudian
mengusapnya dengan menggunakan alkohol, kemudian
menusukkan lanset yang telah dimasukkan ke dalam alat

5.

penusuk (lancet device ) ke jari.


Mengelap tetesan darah pertama kemudian teteskan

6.

tetesan darah berikutnya ke tes strip.


Kemudian akan terdengar bunyi Beep. Alat akan
segera menghitung mundur 10 detik, kemudian akan
menampilkan hasilnya di layar.

28

7.

Mengecek

nilai kadar glukosa dengan kadar normal

8.

glukosa yang ada di botol strip tes.


Membuang strip tes yang telah digunakan

2.4.5 Kelebihan dan Kekurangan Glukometer


2.4.5.1 Kelebihan Glukometer
Menurut

Reinauer

et

al.,

(2002)

beberapa

kelebihan glukometer diantaranya:


a. Presisi tinggi
b. Tidak memerlukan proses pemipetan
c. Menggunakkan darah kapiler
d. Harga yang relatif murah
e. Mudah digunakan

2.4.5.2 Kekurangan Glukometer


Menurut

Reinauer

et

al.,

(2002)

beberapa

kekurangan glukometer diantaranya:


a. Interval pengukuran yang terbatas
b. Ketidaktepatan pengukuran
c. Kurangnya kompatibilitas dengan sampel kontrol
d. Efek suhu menyebabkan hasil yang salah
e. Lebih tinggi biaya bahan habis pakai
f. Sampel darah yang dipakai harus cukup
g. Alkohol dapat menyebabkan ketidakakuratan
pengukuran
h. Tes strip yang telah dibuka lebih dari 3 bulan maka
akan menyebabkan hasil tidak akurat.
Beberapa serat (larut atau tidak larut) adalah kimia
karbohidrat.

Makanan

komponen-komponen

juga
yang

umumnya

mengandung

mempengaruhi

glukosa

(glukosa dan lainnya) pencernaan; lemak, misalnya


memperlambat

proses

pencernaan,

bahkan

untuk

29

konstituen seperti makanan mudah ditangani sebagai pati.


Menghindari efek makanan terhadap pengukuran glukosa
darah adalah penting untuk hasil yang dapat diandalkan
karena efek-efek yang sangat variabel.

2.5

Hubungan shift kerja dengan kadar glukosa darah

Pada keadaan normal, kadar kortisol di darah akan menurun


menjelang malam hari, sehingga mencapai kadar terendah saat tidur.
Namun pada keadaan sleep deprived, kadar kortisol akan meningkat
disebabkan karena teraktivasinya aksis hypothalamus-pituitary-adrenal
(HPA) (Reynolds et al., 2012).
Pengaktifan aksis HPA berfungsi untuk mempertahankan keadaan
terjaga, yang telah dibuktikan oleh adanya korelasi positif antara pelepasan
kortisol dengan aktivitas tinggi di EEG. Namun menurut beberapa
penelitian, pengaktifan aksis HPA ini akan berkurang seiring

dengan

meningkatnya frekuensi kurang tidur, yang disebabkan oleh penurunan


efektivitas aktivitas aksis HPA. Tidur biasanya terkait dengan puasa dan
biasanya pada malam hari mengakibatkan penurunan pada leptin, glukosa,
dan insulin, sedangkan terjaga terkait dengan asupan makanan dan siang
hari menghasilkan peningkatan leptin (Balbo, 2010).
Meningkatnya kadar glukosa darah juga diakibatkan oleh
gangguan irama sirkadian yang mempengaruhi reglukosasi hormon
kortisol. Hormon kortisol dalam tubuh memiliki beberapa efek terhadap

30

metabolisme glukosa dalam tubuh diantaranya, kortisol menginhibisi


penyerapan glukosa oleh otot, menginhibisi sintesis dan sekresi insulin,
dan meningkatkan produksi glukosa oleh hepar (Wilcox, 2005). Sehingga
asam amino, laktat, dan piruvat diubah di hati menjadi glukosa
(glukoneogenesis) yang akhirnya menaikkan kadar glukosa darah.
Glukagon meningkatkan kadar glukosa darah dengan cara mengkonversi
glikogen di hati menjadi glukosa, sehingga glukosa darah menjadi naik
(Kuswandi, Sitorus, & Gayatri, 2008)
Pada penelitian yang dilakukan oleh Dinneen et al., peningkatan
kadar kortisol pada malam hari akan mengganggu aktivitas insulin,
sehingga penyerapan glukosa oleh otot menurun. Penelitian ini juga
membuktikan bahwa produksi glukosa oleh hepar meningkat karena
kortisol menganggu fungsi sel pankreas, serta meningkatkan kadar dan
aktivitas enzim yang terlibat dalam proses pembentukan glukosa
(glukoneogenesis) dan pemecahan glikogen (glikogenolisis) (Arieselia,
Tasia, & Sasmita, 2014).
Pada penelitian Lind Octaviani 2014 menyebutkan bahwa kadar
glukosa pekerja shift lebih tinggi dibandingkan pekerja yang non-shift.
Disini terbukti bahwa adanya peningkatan kadar glukosa darah pada
pekerja shift (Irawan, Susantiningsih, Saftarina, 2014). Penelitian yang di
lakukan Okpitasari (2012) juga memberikan hasil yang bermakna antara
shift dengan kadar glukosa dalam darah. Terjadi peningkatan kadar
glukosa darah pada pekerja shift hal ini sejalan dengan teori-teori yang

31

menjelaskan peningkatan kadar glukosa darah pada pekerja shift


(Okpitasari, 2012).

2.6

Kerangka Teori

Kerja shift pada malam hari merupakan kondisi yang dapat


menghambat kemampuan adaptasi pekerja baik dari aspek biologis
maupun sosial. Kerja gilir malam berpengaruh terhadap kesehatan fisik,
mental, menganggu irama sirkadian, waktu tidur dan makan, mengurangi
kemampuan kerja dan meningkatkan kesalahan dan kecelakaan kerja,
menghambat hubungan sosial dan keluarga (Firdaus, 2005).
Perubahan irama sirkadian akan menyebabkan terjadinya gangguan
tidur. Selain itu akan terjadi menurunnya aktivasi aksis hypothalamuspituitary-adrenal (HPA), sehingga reglukosasi hormon kortisol ikut
terganggu. Hormon kortisol dalam tubuh memiliki beberapa efek terhadap
metabolisme glukosa dalam tubuh diantaranya, Kortisol menginhibisi
penyerapan glukosa oleh otot, menginhibisi sintesis dan sekresi insulin,
dan meningkatkan produksi glukosa oleh hepar (Wilcox, 2005).
Perubahan kehidupan sosial pekerja akan menyebabkan ganggu
fungsi sosial dari pekerja. Pada orang-orang tertentu, apabila hal ini terjadi
secara

terus menerus dapat menimbulkan stress. Stress dapat

32

menimbulkan perubahan perilaku, yang nantinya akan menimbulkan


penyakit, termasuk didalamnya peningkatan kadar glukosa darah (Firdaus,
2005).

Kerja Shift

Gangguan Sosial

Gangguan Irama Sirkardian


Disinkronisasi organ tubuh
Gangguan tidur

Social insuficiency
Stres

Kadar glukosa darah


HPA axis

Gambar 2.6. Kerangka Teori


Kortisol

2.7

Kerangka Konsep

Sensitiftas insulin

Pada penelitian yang dilakukan oleh Dinneen et al., peningkatan


kadar kortisol pada malam hari akan mengganggu aktivitas insulin,
sehingga penyerapan glukosa oleh otot menurun. Penelitian ini juga
membuktikan bahwa produksi glukosa oleh hepar meningkat karena
kortisol menganggu fungsi sel pankreas, serta meningkatkan kadar dan

33

aktivitas enzim yang terlibat dalam proses pembentukan glukosa


(glukoneogenesis) dan pemecahan glikogen (glikogenolisis) (Arieselia et
al., 2014).

Variabel Independent
Kerja Shift

Stress
Ya
Sensitiftas insulin

Kadar glukosa darah

Variael Dependent
Gambar 2.7. Kerangka Konsep
2.8

Hipotesis
Berdasarkan kerangka teori dan kerangka konsep diatas, hipotesis
yang diajukan adalah:
H0
: Tidak ada perbedaan kadar glukosa darah puasa antara pekerja
H1

shift pagi dan shift malam.


: Terdapat Perbedaan kadar glukosa darah puasa antara pekerja
shift pagi dan shift malam.

Anda mungkin juga menyukai